• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fahrudin et al. (2008) menjelaskan bahwa proses perkembangan embrional pada mamalia diawali dengan terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma sehingga terbentuk zigot. Zigot merupakan bentuk paling awal dari perkembangan hewan dan sering disebut juga sebagai sel telur yang terbuahi. Zigot akan mengalami proses pembelahan secara mitosis yang disebut dengan istilah cleavage. Pembelahan pertama dari satu sel menjadi dua sel, masing-

5

masing anak hasil pembelahan disebut blastomer. Masing-masing blastomer selanjutnya akan membelah menjadi 4, 8, 16 sel dan seterusnya.

Sel-sel blastomer akan saling menyatu dan menjadi kompak, bergerombol berbentuk seperti anggur, maka embrio tahap ini disebut morula. Pada tahap morula sel bagian tengah akan memadat dibandingkan sel bagian luar. Hubungan antar sel pada sel-sel bagian dalam terjadi melalui gap junction, sedangkan sel-sel permukaan melalui tight junction. Tight junction diyakini menjadikan sel-sel pada daerah permukaan lebih permeabel dibandingkan sel- sel sebelah dalam. Terbentuknya tight junction pada sel-sel permukaan akan merangsang akumulasi cairan dalam morula. Akumulasi cairan ini terjadi karena konsentrasi ion di bagian dalam meningkat sehingga air akan masuk ke dalam embrio, dan mulai membentuk rongga yang disebut blastosul. Embrio yang sudah memiliki rongga blastosul disebut blastosis.

Sel-sel blastomer pada blastosis akan terus bermitosis dan akumulasi cairan akan semakin bertambah. Sel-sel bagian dalam blastosis akan saling berkomunikasi melalui gap junction membentuk inner cell mass (ICM), sedangkan sel-sel di bagian permukaan yang berkomunikasi dengan tight junction akan menjadi trofoblas. Trofoblas memproduksi enzim proteolitik yang berfungsi untuk menipiskan zona pelusida, sehingga zona pelusida mudah pecah. Adanya pertambahan jumlah sel, akumulasi cairan dan melemahnya zona pelusida menyebabkan zona pelusida pecah dan embrio keluar dari zona pelusida. Proses ini disebut hatching (menetas). Selanjutnya embrio tanpa zona ini (hatched) akan berkomunikasi dengan endometrium untuk proses implantasi.

Tahapan dan waktu pembelahan embrio disajikan pada Tabel 1. Kecepatan pembelahan embrio sangat bervariasi pada spesies hewan. Pada mencit dan mamalia lainnya kecepatan pembelahan tergantung dari strainnya, namun secara umum akan menghabiskan waktu 3.5 hari untuk perkembangan dari mulai tahap pembelahan sel (cleavage) sampai dengan tahap blastosis (Kispert & Gossler 2004).

Tabel 1 Tahapan dan waktu perkembangan embrio mencit

Tahap Perkembangan Embrio Waktu (Jam)

1 sel 0-20 2 sel 24 4 sel 48 8 sel 52 Morula 72 Blastosis 96

Blastosis hatched – Implantasi 120 Sumber : Theiler (1989).

Vitrifikasi

Pembekuan (kriopreservasi) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari teknologi reproduksi berbantuan (Assisted Reproductive Technology, ART). Penelitian dasar dan aplikatif selama ini telah menghasilkan beberapa prosedur kriopreservasi embrio. Berdasarkan prosedur pendinginan dan konsentrasi krioprotektan yang digunakan, dikenal metode konvensional dengan pembekuan lambat (conventional slow freezing), pembekuan cepat (ultra rapid freezing) dan metode vitrifikasi.

Metode konvensional membutuhkan biaya yang relatif mahal karena menggunakan mesin pendingin yang dapat diprogram (program freezer machine) untuk mengatur pendinginan secara bertahap. Selain itu, metode ini juga melibatkan proses pembekuan bertahap dengan menekankan pentingnya proses seeding. Seeding merupakan proses inisiasi pembentukan kristal es ekstraseluler dengan menyentuhkan forceps dingin pada bagian luar straw. Laju pendinginan yang lambat menyebabkan tingginya peluang terbentuknya kristal es yang bersifat letal bagi sel (Boediono 2005). Terbentuknya kristal es intraseluler dapat menyebabkan kerusakan membran, organel sel dan hilangnya kemampuan embrio untuk tumbuh setelah proses pembekuan. Penggunaan metode slow freezing untuk kriopreservasi embrio tahap blastosis pada semua spesies termasuk manusia, memberikan hasil yang kurang memuaskan karena terjadi penurunan viabilitas, ketidakstabilan bentuk dan kemampuan implantasi setelah dilakukan thawing (Lane et al. 1999).

Pengembangan metode kriopreservasi pada dasarnya memiliki tujuan mekanisme yang sama yaitu terjadinya dehidrasi osmotik dari sel sebelum penyimpanan dalam nitrogen cair dan melindungi sel terhadap pengaruh- pengaruh merugikan dari toksisitas kimia dan pembekuan intraseluler. Kunci

7

keberhasilan tidak terlepas dari pengoptimalan masing-masing tahap prosedur yang digunakan dalam hubungannya dengan ukuran, permeabilitas, dan sifat fisiologis awal sel tersebut. Dengan demikian keseluruhan prosedur tersebut dapat mempertahankan sel (Rall 1992).

Upaya modifikasi metode pembekuan terus dilakukan sebagai alternatif kriopreservasi metode konvensional slow freezing, antara lain dengan metode pembekuan cepat (rapid dan ultra rapid freezing) sampai pada metode vitrifikasi di mana pembentukan kristal es dihindari pada saat pembekuan. Rall dan Fahy (1985) melaporkan bahwa metode vitrifikasi lebih efektif, cepat, sederhana dan lebih murah tanpa menggunakan alat pembekuan khusus.

Vitrifikasi adalah pembekuan sel ataupun embrio yang dilakukan secara cepat pada nitrogen cair bersuhu -196°C sehingga diharapkan sel dan lingkungan sekitarnya di dalam medium kriopreservasi berubah menjadi vitreus atau glassy state. Keunggulan prosedur vitrifikasi adalah mampu mengeliminasi secara total pembentukan kristal es baik secara intraseluler maupun ekstraseluler, protokol lebih sederhana dan waktu pengerjaan yang lebih singkat. Liebermann et al. (2002) melaporkan bahwa metode ini dapat diaplikasikan secara luas pada embrio mamalia.

Tujuan vitrifikasi adalah menyimpan embrio dalam waktu lama dengan cara menghentikan aktivitas metabolismenya yang dilakukan pada suhu -196ºC dalam nitrogen cair. Dengan metode ini sebagian besar air di dalam sel dikeluarkan sebelum terjadi pembekuan intraseluler dan digantikan dengan krioprotektan, sehingga pada saat pembekuan tidak terjadi kristal es (Rall & Fahy 1985). Banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan dan keberhasilan vitrifikasi, antara lain: (1) Jenis dan konsentrasi krioprotektan yang digunakan; (2) Suhu larutan vitrifikasi yang digunakan saat memapar sel; (3) Lama waktu yang digunakan dalam memapar sel pada krioprotektan sebelum dicelupkan dalam nitrogen cair; (4) Jenis wadah yang digunakan untuk vitrifikasi, karena ukuran permukaan pemaparan mempengaruhi laju pendinginan dan (5) Kualitas sel dan jaringan yang divitrifikasi.

Hemi-straw

Banyak metode vitrifikasi yang dikembangkan sebagai pertimbangan atas toksisitas krioprotektan dan menghindari terbentuknya kristal es, antara lain metode konvensional dan minimalis krioprotektan. Pada metode vitrifikasi

konvensional, embrio dikemas dalam straw ukuran 0.25 ml untuk selanjutnya didinginkan secara cepat langsung dalam nitrogen cair. Namun pada kenyataannya, ketebalan dan bahan dari straw yang digunakan akan mempengaruhi proses pendinginan dan pencairan secara cepat sehingga diduga masih dapat menyebabkan terbentuknya kristal es intraseluler. Sedangkan pada metode vitrifikasi minimalis krioprotektan, volume krioprotektan yang digunakan minimum sehingga dapat menurunkan pengaruh osmosis dan toksisitas (Boediono 2005).

Memperkecil volume krioprotektan dapat dilakukan dengan menggunakan wadah khusus selama proses vitrifikasi. Jenis wadah yang digunakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan dan keberhasilan vitrifikasi. Penggunakan wadah tersebut bertujuan untuk memperoleh laju pendinginan yang tinggi. Beberapa metode menggunakan wadah seperti open pulled straw (OPS; Vajta et al. 1998; Chen et al. 2000a,b; Hurtt et al. 2000; Oberstein et al. 2001), flexipet-denuding pipette (FDP; Liebermann et al. 2002), micro-drops (Papis et al. 2000), electron microscope copper grids (EM; Hong et al. 1999; Chung et al. 2000; Park et al. 2000), hemi-straw system (Vandervorst et al. 2001; Vanderzwalmen et al. 2003), nylon mesh (Matsumoto et al. 2001), cryoloop (Lane et al. 1999; Oberstein et al. 2001; Yeoman et al. 2001; Batan et al. 2009) dan cryotop (Murakami et al. 2011).

Wadah yang digunakan pada penelitian ini adalah modifikasi hemi-straw yang menggunakan straw 0.25 ml yang telah disayat bagian ujungnya, sehingga volume krioprotektan yang digunakan minimum dan proses pendinginan dapat berjalan lebih cepat. Wadah ini awalnya dikembangkan oleh Vandervorst et al. (2001) dengan menempatkan embrio dan sedikit krioprotektan (< 1.0 µl) diatas straw yang telah disayat bagian ujungnya sepanjang 1 cm. Dengan demikian, embrio langsung dicelupkan dalam nitrogen cair dengan posisi vertikal sehingga didapatkan derajat pendinginan yang cukup tinggi.

Krioprotektan

Keberhasilan vitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis dan konsentrasi krioprotektan. Krioprotektan adalah zat kimia yang dibutuhkan pada proses kriopreservasi dan berfungsi untuk melindungi sel dari pengaruh buruk yang dapat bersifat letal bagi sel pada saat proses pembekuan atau pendinginan (Liebermann et al. 2002). Selain dapat melindungi sel,

9

krioprotektan juga dapat menimbulkan kerusakan pada sel akibat sifatnya yang toksik (Fahy 1986; Fahy et al. 1990).

Boediono (2005) mengelompokkan krioprotektan menjadi dua, berdasarkan sifat krioprotektan terhadap permeabilitas membran sel, yaitu: (1) krioprotektan yang dapat masuk ke dalam sel (permeable cryoprotectants), misalnya etilen glikol (EG), dietilen glikol, gliserol, 1.2-propanediol (PROH) dan dimetilsulfoksida (DMSO); (2) krioprotektan yang tidak dapat masuk ke dalam sel (permeable cryoprotectants), misalnya polivinilpirolidon (PVP), protein (susu, kuning telur, albumin, serum), karbohidrat seperti gula (glukosa, sukrosa, trehalosa, manosa, rafinosa).

Penggunaan krioprotektan pada proses kriopreservasi umumnya mengkombinasikan lebih dari satu krioprotektan intraseluler (bersifat permeabel) dan juga menambahkan krioprotektan ekstraseluler (bersifat non-permeabel). Hal ini bertujuan untuk mengurangi efek toksik krioprotektan. Etilen glikol, dimetilsulfoksida, dan gliserol merupakan krioprotektan yang banyak digunakan dalam proses kriopreservasi (Liebermann et al. 2002). Menurut Dattena et al. (2004) penggunaan krioprotektan dengan permeabilitas yang tinggi, seperti etilen glikol dan dimetilsulfoksida, secara tunggal atau kombinasi dapat mengurangi kerusakan sel akibat pembekuan dan mengurangi tahapan pemaparan.

Penggunaan etilen glikol sebagai larutan dasar vitrifikasi sangat efektif untuk membekukan berbagai tahap perkembangan embrio (Kasai et al. 1990; Miyake et al. 1993; Mukaida et al. 2003). Etilen glikol mempunyai kemampuan masuk dan keluar sel yang lebih cepat dibandingkan dengan gliserol. Hal ini disebabkan oleh berat molekul etilen glikol lebih kecil dibandingkan dengan gliserol. Selain karena kemampuan etilen glikol yang mudah menembus masuk dan keluar sel dalam waktu yang lebih singkat, toksisitas etilen glikol juga lebih kecil jika dibandingkan dengan gliserol sehingga mempengaruhi ketahanan hidup embrio yang lebih tinggi (Rusiyantono et al. 2000).

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi dan UPT Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan mencit putih (Mus musculus albinus) betina sebanyak 43 ekor dan jantan sebanyak 7 ekor (strain DDY, Biofarma, Bandung) berumur 8-10 minggu yang berasal dari koloni bebas penyakit.

Metode Penelitian

Penelitian ini melibatkan beberapa prosedur kerja, yaitu meliputi: a. Superovulasi

b. Koleksi zigot

c. Vitrifikasi Menggunakan Wadah Hemi-straw d. Penghangatan (warming) Embrio

e. Kultur In Vitro f. Evaluasi Viabilitas g. Pewarnaan Vital

Superovulasi

Mencit betina dirangsang folikulogenesis ovariumnya dengan menyuntikkan hormon pregnant mare’s serum gonadotropine (PMSG) (Folligon®, Intervet, Boxmeer, Holland) 5 IU secara intraperitoneum. Setelah 48 jam penyuntikan PMSG, dilakukan penyuntikan hormon human chorionic gonadotropine (hCG) (Chorulon®, Intervet, Boxmeer, Holland) 5 IU secara intraperitoneum untuk menggertak ovulasi. Selanjutnya setiap mencit betina tersebut dikawinkan dengan mencit jantan dengan perbandingan satu ekor jantan : satu ekor betina (single mating). Pemeriksaan sumbat vagina (vaginal/copulation plug) dilakukan pagi hari berikutnya untuk memastikan mencit tersebut telah kawin.

11

Koleksi Zigot

Mencit betina yang memperlihatkan sumbat vagina dipisahkan dari mencit jantan ke dalam kandang individu. Hari terlihat adanya vaginal plug, ditandai sebagai hari kebuntingan pertama. Koleksi zigot dilakukan 16 – 18 jam setelah penyuntikan hormon hCG. Mencit betina bunting dimatikan dengan cara dislokasio cervicalis. Bagian oviduk atau tuba Falopii diisolasi dan ditempatkan pada medium dulbecco’sphosphate buffered saline (DPBS, Gibco, BRL, USA) yang telah diberi fetal bovine serum (FBS) 2% dan gentamisin 50µg/ml, yang selanjutnya disebut modified phosphate buffered saline (mPBS).

Bagian oviduk yang menggembung disayat dengan menggunakan jarum suntik 26G. Sambil diamati di bawah mikroskop stereo, zigot yang masih dikelilingi oleh sel-sel kumulus ooforus selanjutnya diinkubasi di dalam medium yang mengandung enzim hyaluronidase 0.3 mg/ml untuk memutus ikatan antara sel-sel kumulus ooforus sehingga zigot dapat dikoleksi dan dievaluasi. Kemudian, zigot tersebut dibilas dengan cara merendamnya berturut-turut 2-3 kali di dalam medium mPBS. Zigot dengan sitoplasma utuh dan homogen (viable) dikoleksi dan dihitung jumlahnya.

Vitrifikasi Menggunakan Wadah Hemi-straw

Vitrifikasi tunggal dilakukan masing-masing pada embrio tahap zigot (VZ) dan embrio tahap blastosis (VB), sedangkan vitrifikasi ganda (VZB) dilakukan pada embrio yang sama, yaitu tahap zigot, kemudian di kultur in vitro sampai mencapai tahap blastosis dan divitrifikasi kembali (ganda) selanjutnya di kultur in vitro sampai mencapai tahap blastosis hatched. Proses vitrifikasi meliputi: (a) ekuilibrasi, yaitu proses pergantian cairan sitoplasma dengan larutan krioprotektan melalui proses difusi ke dalam sel sehingga ruang perivitelin terlihat tampak lebih longgar, (b) pembekuan, tahapan pada saat embrio dan larutan berada dalam nitrogen cair (-196°C), (c) penghangatan yaitu tahap terjadinya perubahan kembali bentuk padatan menjadi cair, serta (d) rehidrasi, yaitu proses masuknya kembali air ke dalam sel untuk menggantikan kedudukan krioprotektan.

Hemi-straw yang digunakan untuk melakukan vitrifikasi berupa straw 0.25 ml (EcoPaillette®, Minitüb GmbH, Tiefenbach, Germany) yang digunakan pada proses pembuatan semen beku. Ujung straw disayat

sepanjang 1 cm untuk meletakkan embrio dalam droplet kecil yang berukuran <1.0 µl di atas permukaan straw tersebut. Hemi-straw sebagai wadah embrio tersebut merupakan modifikasi hemi-straw seperti yang digunakan oleh Vandervorst et al. (2001).

Medium dan metode vitrifikasi serta penghangatan (warming) yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan metode yang telah dilaporkan oleh Boediono (2005) (Gambar 1). Embrio tersebut ditempatkan pada medium ekuilibrasi yang mengandung etilen glikol (EG) 10% (Sigma, St Louis, USA) dengan PBS yang ditambahkan fetal bovine serum (FBS) 20%, maksimal 15 menit, atau hingga embrio kembali ke bentuk semula (re- ekspansi). Embrio kemudian dipindahkan dalam medium vitrifikasi yang mengandung dimetilsulfoksida (DMSO) 15% (Sigma, St Louis, USA), EG 15%, sukrosa 0.5M dan FBS 20%.

Gambar 1 Prosedur vitrifikasi menggunakan wadah hemi-straw (Boediono 2005).

Proses perlakuan embrio pada medium vitrifikasi tidak lebih dari 25-30 detik, waktu tersebut terhitung sejak awal pemaparan sampai penyimpanan pada ujung straw. Sebanyak 1-2 embrio diteteskan pada ujung straw 0.25 ml yang telah disayat. Embrio yang terdapat pada hemi-straw diuapi dengan

13

nitrogen cair selama 10 detik dan langsung dimasukkan ke dalam nitrogen cair yang bersuhu -196°C dengan posisi vertikal sehingga diperoleh derajat pendinginan yang cukup tinggi.

Penghangatan (warming) Embrio

Hemi-straw berisi embrio yang telah divitrifikasi dikeluarkan dari nitrogen cair dan didiamkan dalam uap nitrogen cair selama 5-10 detik, kemudian dilakukan proses penghangatan pada suhu kamar. Proses ini dilakukan dengan mencelupkan hemi-straw tersebut ke dalam medium mPBS yang mengandung FBS 20% dan larutan sukrosa 0.5M selama 1.5 menit. Embrio akan segera jatuh dari hemi-straw ke larutan tersebut. Embrio tersebut dipindahkan ke medium mPBS yang mengandung sukrosa 0.25M, kemudian 0.1M, masing-masing selama 2.5 menit dan 7 menit. Selanjutnya embrio dicuci 2-3 kali dalam medium mPBS dan medium kultur (Gambar 2).

Gambar 2 Prosedur penghangatan (warming) pada medium sukrosa dengan

Kultur In Vitro

Embrio yang telah dilakukan penghangatan selanjutnya dikultur untuk mengetahui viabilitas setelah divitrifikasi. Medium kultur yang digunakan pada penelitian ini adalah medium kultur sekuensial ISM1TM (Origio, Jyllinge, Denmark) yang berfungsi memberikan nutrisi pada embrio tahap zigot sampai 8 sel dan medium kultur ISM2TM (Origio, Jyllinge, Denmark) untuk perkembangan embrio tahap 8 sel sampai blastosis hatched. Sebanyak 3-5 embrio ditempatkan pada cawan petri (NuncTM, Roskilde, Denmark) yang berisi tetesan-tetesan (drops) dalam 10µl medium kultur yang telah ditutupi dengan minyak mineral (Mineral Oil, Sigma, St Louis, USA) untuk mencegah penguapan medium dan kontaminasi selama kultur. Kemudian, dikultur dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37°C.

Evaluasi Viabilitas

Pengamatan terhadap viabilitas embrio dilakukan setelah divitrifikasi. Penilaian kelangsungan hidup (survival rate) didasarkan pada keadaan morfologis embrio setelah dua jam penghangatan (warming) dan pengeluaran krioprotektan (Liebermann & Tucker 2002). Daya tahan hidup embrio secara umum dinilai berdasarkan keutuhan morfologi, re-ekspansi dan perkembangan embrio ke tahap lebih lanjut (Takahashi et al. 2005).

Pewarnaan Vital

Sebagian kecil dari embrio yang telah divitrifikasi tersebut dipilih secara acak untuk diwarnai dengan Hoechst (Bisbenzimide H 33342, Sigma, St Louis, USA) dan propidium iodide (Wako, Osaka, Japan) (Saha et al. 1996), guna melihat sel-sel embrio yang mati dan yang hidup setelah vitrifikasi. Embrio diinkubasi di dalam larutan DPBS yang mengandung Hoechst (10 µg/ml) dan propidium iodide (PI, 10 µg/ml) selama 10 menit dalam suasana gelap. Selanjutnya, embrio dicuci pada larutan DPBS yang disuplementasi FBS 20%. dan diteteskan ke atas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop fluoresens (Nikon Eclipse E600, Japan) dengan panjang gelombang 330- 380 nm. Inti sel yang berwarna biru (positif Hoechst) menunjukkan sel dalam keadaan hidup, sedangkan yang berwarna merah (positif PI) menunjukkan sel yang mati.

15

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (complete random design). Penelitian ini terdiri atas kelompok kontrol (kontrol negatif), kelompok vitrifikasi tunggal (kontrol positif) dan kelompok vitrifikasi ganda. Kelompok kontrol adalah kelompok embrio yang dikultur pada tahap zigot sampai blastosis hatched tanpa divitrifikasi. Kelompok vitrifikasi tunggal adalah vitrifikasi embrio yang hanya dilakukan satu kali, masing-masing pada tahap zigot (VZ) dan tahap blastosis (VB). Kelompok vitrifikasi ganda (VZB) adalah vitrifikasi embrio yang dilakukan dua kali, yaitu pada tahap zigot dan dilanjutkan pada tahap blastosis. Vitrifikasi ganda hanya dilakukan pada zigot yang mampu berkembang menjadi blastosis setelah kultur in vitro.

Respon yang diamati adalah viabilitas embrio tahap zigot dan blastosis setelah vitrifikasi, baik vitrifikasi tunggal maupun vitrifikasi ganda. Viabilitas embrio meliputi kelangsungan hidup (survival rate) dan keberhasilan perkembangan setiap tahapan embrio (development rate). Penilaian kelangsungan hidup (survival rate) didasarkan pada keadaan morfologis embrio setelah dua jam penghangatan (warming) dan pengeluaran krioprotektan (Liebermann & Tucker 2002). Selain itu, viabilitas embrio dapat diketahui dengan pewarnaan vital, guna melihat sel-sel embrio yang mati dan yang hidup setelah vitrifikasi (Saha et al. 1996).

Penilaian kemampuan perkembangan embrio (developmental rate) didasarkan pada kemampuan embrio berkembang ke tahapan selanjutnya, baik setelah penghangatan maupun yang tidak dihangatkan (kontrol). Pengamatan perkembangan setiap tahapan embrio dilakukan pada jam ke 24, 48, 72, 96 dan 120 dengan menggunakan mikroskop inverted (Olympus IX70 Japan) setelah kultur in vitro. Perkembangan embrio yang diamati adalah mulai dari tahap zigot, cleavage (2 sel, 4 sel dan 8 sel), morula, blastosis dan blastosis hatching dan blastosis hatched (embrio telah keluar dari zona pelusida).

Analisis Data

Data disajikan dalam bentuk persentase dan dianalisis dengan sidik ragam (Anova). Perbedaan antarperlakuan diuji dengan uji perbandingan berganda Duncan (DMRT, Duncan Multiple Range Test) (Mattjik & Sumertajaya 2006). Semua perhitungan statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS ver. 17.0.

Viabilitas berdasarkan morfologi zigot dan blastosis

Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap morfologi zigot sebelum dan setelah vitrifikasi tunggal (Gambar 3) dan morfologi blastosis sebelum dan setelah vitrifikasi ganda (Gambar 4). Morfologi zigot pascavitrifikasi tunggal (Gambar 3 (F)) relatif sama seperti zigot pravitrifikasi (Gambar 3 (A)), yaitu ditandai adanya zona pelusida yang utuh, membran plasma, sitoplasma utuh (intact) dan jernih (homogenus) serta tidak terjadi fragmentasi.

Gambar 3 Morfologi zigot pada proses pembekuan dengan vitrifikasi tunggal.

(A) zigot sebelum vitrifikasi (B) zigot yang dipapar pada medium ekuilibrasi, terjadi pengkerutan ditandai dengan melebarnya rongga perivitelin (RP) (C) zigot yang dipapar pada medium vitrifikasi, terjadi

pengkerutan maksimal (D-E) zigot yang dipapar pada medium warming,

terjadi re-ekspansi kembali (F) zigot setelah dua jam kultur in vitro.

Keterangan: PN: Pronukleus (kepala panah), BK: Badan Kutub, SP: Sitoplasma, MP: Membran Plasma, RP: Ruang Perivitelin, ZP: Zona Pelusida. Bar: 20 µm

Seperti halnya vitrifikasi tunggal pada zigot, morfologi blastosis pascavitrifikasi ganda (Gambar 4(F)) tidak berbeda dengan morfologi blastosis pravitrifikasi (Gambar 4 (A)), yaitu ditandai adanya zona pelusida yang utuh, membran plasma, ekspansi rongga blastosul, jumlah sel ICM dan trofoblas utuh, kompak dan simetris.

17

Gambar 4 Morfologi blastosis pada proses pembekuan dengan vitrifikasi ganda.

(A) blastosis sebelum vitrifikasi (B) blastosis yang dipapar pada medium ekuilibrasi, terjadi pengkerutan ditandai dengan melebarnya rongga perivitelin (RP) (C) blastosis yang dipapar pada medium vitrifikasi, terjadi pengkerutan maksimal (D-E) blastosis yang dipapar pada medium

warming, terjadi re-ekspansi kembali (F) blastosis setelah dua jam kultur in

vitro. Keterangan: RP: Ruang Perivitelin, ZP: Zona Pelusida, BS: Blastosul,

ICM: Inner Cell Mass, TB: Trofoblas. Bar: 20 µm

Keberhasilan vitrifikasi tidak terlepas dari optimalisasi masing-masing tahapan vitrifikasi, mulai dari ekuilibrasi, vitrifikasi, penghangatan, sampai kultur in vitro. Ekuilibrasi embrio dalam krioprotektan sebelum pembekuan dilakukan untuk menarik air dan menggantikan air dengan krioprotektan intraseluler. Pada embrio mencit, air dan krioprotektan intraseluler akan merembes secara perlahan dengan difusi melalui protein aquaporin pada membran plasma (Kasai & Edashige 2007), sehingga ruang perivitelin akan tampak lebih longgar (Gambar 3 & 4(B)). Periode dan suhu ekuilibrasi tergantung krioprotektan yang digunakan, dengan memperhatikan faktor minimalisasi toksisitas dan tekanan osmotik yang disebabkan oleh krioprotektan.

Terdapat perbedaan morfologi antara zigot, embrio tahap pembelahan, morula dan blastosis. Pada tahap blastosis telah terjadi diferensasi sel dimana akan terbentuk kumpulan sel trofoblas, inner cell mass (ICM) dan rongga blastosul yang berisi cairan. Secara umum telah diketahui bahwa keberadaan cairan fisiologis di dalam sel akan menyebabkan kerusakan organel sel selama

proses vitrifikasi. Oleh karena itu, keberadaan air dalam blastosul pada embrio tahap blastosis juga akan berdampak negatif terhadap kerusakan sel embrio pada proses vitrifikasi. Pengeluaran sebagian besar air dalam embrio selanjutnya digantikan dengan krioprotektan yang tepat dapat meningkatkan viabilitas embrio pascavitrififikasi. Hal ini berkaitan dengan pencegahan terbentuknya kristal es yang bersifat letal dan upaya mempersingkat waktu ekuilibrasi mengingat krioprotektan yang bersifat toksik terhadap embrio.

Proses pendinginan embrio dilakukan dengan sangat cepat (>20.000°C/menit), sehingga diharapkan embrio dan lingkungan sekitarnya di dalam medium vitrifikasi berubah menjadi vitreus atau glassy state. Medium vitrifikasi memiliki tingkat viskositas yang sangat tinggi sehingga embrio menjadi mengerut (Gambar 3 & 4 (C)). Hal tersebut bertujuan agar menghindari terjadinya pembentukan kristal es ekstraseluler dan intraseluler. Selanjutnya embrio dapat disimpan didalam nitrogen cair bersuhu -196°C.

Berdasarkan berbagai penelitian terdahulu, suhu yang paling ideal untuk menyimpan sel dalam waktu yang lama adalah -196°C (dalam nitrogen cair). Pada suhu tersebut, metabolisme sel berlangsung dengan sangat minimal bahkan nol, sehingga hanya berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya tanpa melakukan aktivitas apapun (nonaktif). Saat dibutuhkan, sel tersebut dapat direaktivasi kembali dengan cara dihangatkan hingga mencapai suhu awalnya (Halim et al. 2010).

Prosedur penghangatan dapat dilakukan secara cepat dengan dianginudarakan. Pengeluaran krioprotektan intraseluler dapat dilakukan dengan larutan sukrosa yang berfungsi sebagai buffer osmotik sehingga krioprotektan dapat dikeluarkan tanpa pengeluaran air intraseluler secara berlebihan (Gambar 3 & 4 (D-E)).

Pewarnaan vital pada zigot dan blastosis setelah vitrifikasi

Dokumen terkait