• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerusakan atau abnormalitas secara molekuler (kromosomal) yang diakibatkan oleh perlakuan vitrifikasi tidak selalu terlihat secara morfologi. Oleh karena itu, diperlukan pewarnaan vital yang bertujuan untuk mendeteksi kondisi kromatin pada sel hidup ataupun sel yang mengalami degenerasi. Viabilitas embrio hasil vitrifikasi dievaluasi dengan menggunakan pewarna Hoechst- propidium iodide (Hoechst-PI).

Hoechst merupakan pewarna inti sel yang terikat baik pada pasangan basa adenin-timin (AT) dan dapat menembus membran sel hidup, sedangkan PI hanya dapat menembus membran sel yang telah mati (Garner 2009). Inti sel embrio yang terwarnai oleh Hoechst akan berwarna biru, sedangkan yang terwarnai oleh PI akan berwarna merah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sebagian besar inti sel embrio hasil vitrifikasi, baik vitrifikasi tunggal ataupun ganda, berwarna biru atau terbukti hidup setelah diwarnai dengan pewarna Hoechst-PI (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa embrio tersebut masih memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan struktural dan melanjutkan perkembangan setelah vitrifikasi.

Gambar 5 Gambaran embrio setelah vitrifikasi dengan pewarnaan vital Hoechst-

propidium iodide (Hoechst-PI). (A) zigot setelah vitrifikasi (B) blastosis hasil kultur in vitro zigot setelah vitrifikasi tunggal zigot (VZ) (C) blastosis hasil kultur in vitro zigot setelah vitrifikasi tunggal blastosis (VB) (D) blastosis hasil

kultur in vitro zigot setelah vitrifikasi ganda. Kepala Panah: PN: Pronukleus,

Sel Mati (Merah), Sel Hidup (Biru). Bar: 20 µm

Hoechst dan PI bersifat reaktif terhadap gelombang ultra violet (UV) yang berasal dari laser ion-argon atau sumber eksitasi lainnya, seperti lampu merkuri. Dengan panjang gelombang 350-460 nm, Hoechst dapat mengukur tingkat kandungan DNA dengan tepat, sedangkan PI membutuhkan panjang gelombang

20

yang lebih besar, yaitu 535-617 nm. PI hanya mewarnai sel yang mati (Invitrogen 2009). Pola pewarnaan yang dihasilkan dari kombinasi Hoechst dan PI memungkinkan untuk membedakan populasi sel normal, sel apoptosis dan sel mati (Elstein & Zucker 1994).

Kelangsungan hidup (survival rate) zigot dan blastosis setelah

vitrifikasi

Hasil pengamatan setelah vitrifikasi tunggal dan ganda terhadap perkembangan embrio dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Zigot mampu bertahan hidup setelah divitrifikasi baik vitrifikasi tunggal pada tahap zigot, blastosis atau vitrifikasi ganda pada tahap zigot dan dilanjutkan pada tahap blastosis. Pada penelitian ini, kelangsungan hidup setelah vitrifikasi tunggal tahap zigot (VZ) tidak berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan dengan vitrifikasi ganda tahap zigot (VZB), begitu pula dengan kelangsungan hidup blastosis setelah vitrifikasi ganda tahap blastosis (VZB) tidak berbeda (P>0.05) dengan vitrifikasi tunggal tahap blastosis (VB).

Tabel 2 Kemampuan perkembangan embrio setelah vitrifikasi tunggal dan ganda Tahap Perkembangan Embrio Kontrol Perlakuan Vitrifikasi Zigot (VZ) Vitrifikasi Blastosis (VB) Vitrifikasi Zigot & Blastosis (VZB) ∑ Zigot awal 95 (100.00) 91 (100.00) 92 (100.00) 94 (100.00) Survival rates setelah vitrifikasi (n(%)) - 83 (91.21)a - 91 (96.81)a Cleavage (n(%))* 63 (66.32)b 72 (86.75)ab 81 (88.04)a 80 (87.91)ab Morula (n(%))* 59 (62.11)b 68 (81.93)ab 79 (85.87)ab 80 (87.91)a Blastosis (n(%))* 54 (56.84)b 63 (75.90)ab 79 (85.87)ab 80 (87.91)a Survival rates setelah vitrifikasi (n(%)) - - 75 (94.94)a 74 (92.50)a Blastosis Ekspan (n(%))** 54 (100) a 63 (100)a 67 (89.33)a 61 (82.43)a Blastosis Hatching (n(%))** 45 (83.33) ab 57 (90.48)a 60 (80.00)ab 49 (66.22)b Blastosis Hatched (n(%))** 43 (79.62) ab 56 (88.89)a 60 (80.00)ab 49 (66.22)b Keterangan :

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Data yang ditampilan berupa jumlah (n) dan %.

* Nilai % dihitung dari jumlah zigot yang digunakan atau jumlah zigot yang survive pada

tahap perkembangan sebelumnya.

** Nilai % dihitung dari jumlah blastosis yang digunakan atau jumlah blastosis yang

Dalam tahap vitrifikasi maupun tahap penghangatan kembali, embrio tersebut masih berpotensi untuk mengalami kerusakan. Biasanya tidak semua embrio yang disimpan beku dapan bertahan hidup melalui vitrifikasi dan penghangatan kembali. Berdasarkan optimasi dari berbagai metode simpan beku yang ada saat ini, vitrifikasi dapat dikatakan cukup berhasil bila viabilitas sel pascavitrifikasi mencapai lebih dari 80% (Halim et al. 2010). Pada penelitian ini, kelangsungan hidup setelah vitrifikasi pada masing-masing perlakuan mencapai lebih dari 80%. Hasil ini membuktikan bahwa metode vitrifikasi ganda dengan wadah hemi-straw efektif dan dapat dilakukan pada embrio, baik tahap zigot ataupun blastosis.

Pernah dilaporkan kesuksesan pembekuan ganda konvensional pada embrio mencit (Vitale et al. 1997), embrio manusia (Baker et al. 1996), dan diikuti dengan vitrifikasi ganda pada embrio sapi tahap blastosis ekspan hingga menghasilkan kebuntingan (Vajta et al. 1998). Penelitian tentang vitrifikasi ganda pada tahap zigot dan dilanjutkan pada tahap blastosis baik pada mencit maupun embrio mamalia lainnya yang menggunakan wadah hemi-straw sampai saat ini belum dilakukan. Namun, vitrifikasi tunggal oosit dan embrio tahap blastosis dengan menggunakan wadah ini telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Vandervorst et al. (2001) melaporkan bahwa kelangsungan hidup (survival rate) blastosis pada manusia setelah divitrifikasi tunggal dengan metode hemi-straw adalah 78%. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Vanderzwalmen et al. (2003), persentase kelangsungan hidup oosit tahap metafase II mencapai 74% dan blastosis mencapai 72%. Murakami et al. (2011) melaporkan tentang viabilitas setelah vitrifikasi tunggal pada tahap pronukleus dengan menggunakan wadah cryotop mencapai 97.6%.

Persentase kelangsungan hidup pasca vitrifikasi ganda yang diperoleh pada penelitian ini, yaitu 92.5%. Vitrifikasi ganda terbukti berhasil dilakukan karena viabilitasnya lebih dari 80%, walaupun lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Murakami et al. (2011) yang melakukan vitrifikasi ganda dengan wadah cryotop pada embrio tahap perkembangan pronukleus dan dilanjutkan pada tahap blastosis sebesar 98.1%. Lain halnya dengan Isachenko et al. (2003) yang melaporkan temuannya tentang penggunaan teknologi open- pulled straw (OPS), straw yang dilengkapi super-fine-pulled tip (SOPS) dengan prosedur vitrifikasi ganda mampu memperoleh viabilitas yang tinggi pada embrio tahap morula, namun rendah pada tahap blastosis. Hal ini juga didukung oleh

22

hasil penelitian Sheehan et al. (2006) bahwa perkembangan embrio mencit tahap 8 sel pada hari ke-3 dan blastosis pada hari ke-5 tidak dipengaruhi oleh vitrifikasi ganda, namun berefek kurang baik pada proses implantasinya.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan menurunnya atau bahkan hilangnya kelangsungan hidup embrio yaitu jenis dan konsentrasi krioprotektan, jenis wadah serta karakteristik morfologi embrio. Kecenderungan penurunan daya hidup zigot setelah vitrifikasi dapat disebabkan pula oleh kerusakan fisik akibat pembentukan kristal es selama pembekuan, efek toksik krioprotektan dan stress osmotik selama pengeluaran krioprotektan dari sel saat penghangatan.

Krioprotektan dengan konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan tingginya tekanan osmotik sehingga memicu rusaknya membran plasma, membran inti bahkan organel sitoplasma. Pemaparan yang lama terhadap embrio ke dalam krioprotektan mengakibatkan efek toksik pada embrio yang dapat menyebabkan tingkat kelangsungan hidup menurun (Nowshari & Brem 2001). Hal ini berkaitan dengan lamanya kontak antara embrio dan krioprotektan, sehingga untuk mengurangi toksisitas krioprotektan pemaparan sebaiknya dilakukan dengan waktu yang tepat. Meskipun krioprotektan bersifat toksik, kombinasi pemakaian krioprotektan intra dan ekstraseluler dapat mengurangi toksisitas krioprotektan serta menurunkan kerusakan akibat tekanan osmosis yang tinggi.

Krioprotektan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi krioprotektan intraseluler, yaitu etilen glikol dan DMSO dengan konsentrasi masing-masing krioprotektan sebanyak 15% dan sukrosa 0.5M sebagai krioprotektan ekstraseluler. Menurut Mukaida et al. (2003), konsentrasi ini efektif untuk mencegah penurunan daya hidup, terbentuknya kristal es dan mengurangi resiko toksik krioprotektan pada saat dilakukan vitrifikasi.

Kombinasi antara krioprotektan intra dengan ekstraseluler, seperti sukrosa dapat mengurangi toksisitas serta kerusakan akibat tekanan osmotik (Rall 1992). Disamping itu, proses penghangatan menggunakan larutan sukrosa dengan konsentrasi bertingkat, yaitu: 0.5M, 0.25M, 0.1M dapat meminimumkan kerusakan akibat tekanan osmotik (Dattena et al. 2004). Massip et al. (1995) melaporkan bahwa sukrosa sangat efektif dalam mempertahankan integritas struktur serta fungsi membran.

Jenis wadah juga dapat mempengaruhi keberhasilan vitrifikasi. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah hemi-straw dimana embrio ditempatkan dengan sedikit krioprotektan (< 1.0 µl) diatas straw 0.25 ml yang

telah disayat bagian ujungnya sepanjang 1 cm. Dengan demikian, embrio langsung dicelupkan dalam nitrogen cair dengan posisi vertikal sehingga didapatkan derajat pendinginan yang cukup tinggi. Dinding straw yang lebih tipis dan permukaan krioprotektan yang langsung bersentuhan dengan permukaan nitrogen cair membantu perpindahan panas menjadi lebih cepat.

Penggunaan wadah ini dapat meminimalkan penggunaan volume larutan vitrifikasi, mempercepat laju pendinginan dan memudahkan proses warming sehingga mampu menjaga daya hidup dan viabilitas setelah vitrifikasi (Liebermann & Tucker 2002). Hal serupa diungkapkan oleh Vanderzwalmen et al. (2003) bahwa persentase kelangsungan hidup oosit dan embrio tahap blastosis pada manusia setelah vitrifikasi dengan menggunakan wadah hemi- straw masih tetap tinggi. Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan vitrifikasi dengan wadah hemi-straw dan keberhasilan perkembangan zigot setelah divitrifikasi tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup (survival rate) embrio (P<0.05) jika dibandingkan dengan zigot yang tidak divitrifikasi.

Kemampuan perkembangan embrio (developmental rate) setelah

vitrifikasi

Penilaian kemampuan perkembangan embrio (developmental rate) didasarkan pada kemampuan embrio yang dikultur in vitro untuk berkembang lebih lanjut hingga mencapai tahap blastosis hatched baik pada embrio setelah penghangatan maupun embrio kontrol. Tingkat pembelahan embrio (cleavage) mencapai 66.32% dan 86.75% masing-masing pada zigot yang tidak divitrifikasi (kontrol) dan zigot setelah vitrifikasi (P>0.05) (Tabel 2). Persentase perkembangan zigot kontrol menjadi embrio tahap cleavage mengalami penurunan yang sangat signifikan (Tabel 3). Hal ini mungkin disebabkan oleh kualitas zigot yang digunakan, karena zigot dikultur sebelum terjadi pembelahan, sehingga tidak ada parameter morfologi standar untuk membantu proses seleksi. Akibatnya, zigot dengan kompetensi perkembangan yang rendah terkadang ikut dikultur atau dibekukan. Pada penelitian ini ditemukan beberapa kejadian abnormalitas embrio seperti pembelahan asimetris, fragmentasi dan embrio tanpa zona pelusida.

Hasil pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penurunan persentase perkembangan zigot menjadi embrio tahap cleavage (Gambar 6 (A-C)), morula

24

(Gambar 6 (D)) dan blastosis (Gambar 6 (E)) hampir terjadi pada semua perlakuan, baik yang divitrifikasi maupun yang tidak divitrifikasi setelah kultur in vitro. Persentase zigot setelah penghangatan lebih rendah dibandingkan dengan zigot yang tidak divitrifikasi. Hal ini disebabkan zigot yang divitrifikasi setelah dilakukan penghangatan akan mengalami penyesuaian terlebih dahulu terhadap medium kultur sehingga kecepatan perkembangan zigot yang divitrifikasi lebih lambat daripada yang tidak divitrifikasi.

Tabel 3 Laju penurunan perkembangan embrio setelah vitrifikasi

Perkembangan Embrio Kontrol Perlakuan Vitrifikasi Zigot (VZ) Vitrifikasi Blastosis (VB) Vitrifikasi Zigot & Blastosis (VZB) ∑ Zigot awal 100 100 100 100

Survival rates setelah

vitrifikasi (%)* - 8.79 - 3.19

Zigot - Cleavage (%)* 33.68 4.46 11.96 8.9 Cleavage – Morula

(%)* 4.21 4.82 2.17 0

Morula - Blastosis (%)* 5.27 6.03 0 0 Survival rates setelah

vitrifikasi (%)** - - 5.61 10.07 Blastosis Ekspan - Hatching (%)** 16.67 9.52 9.33 16.21 Blastosis Hatching - Hatched (%)** 3.71 1.59 0 0 Keterangan :

* Nilai % merupakan selisih dari persentase zigot yang hidup (survive) setelah vitrifikasi

dengan jumlah zigot awal atau tahap perkembangan sebelumnya

** Nilai % merupakan selisih dari persentase zigot yang hidup (survive) setelah vitrifikasi

dengan jumlah zigot awal atau tahap perkembangan sebelumnya

Perkembangan embrio secara in vitro sangat dipengaruhi oleh kualitas embrio, respon individu embrio, komposisi medium kultur yang digunakan dan lingkungan inkubasi sistem kultur. Sato dan Marrs (1989) melaporkan bahwa kualitas oosit dan embrio dipengaruhi oleh jumlah hormon gonadotropin yang digunakan untuk stimulasi superovulasi. Superovulasi pada mencit menyebabkan keterlambatan perkembangan embrio secara in vitro ataupun in vivo, abnormalitas bentuk blastosis dan pertumbuhan fetus terhambat (Van der Auwera & Hooghe 2001). Selain itu, Ghaemi et al. (2008) mengungkapkan bahwa superovulasi menyebabkan penurunan viabilitas dan perkembangan embrio serta peningkatan kematian atau degenerasi embrio. Penurunan viabilitas kemungkinan disebabkan oleh tingginya abnormalitas pada kromosom oosit dan

embrio pada mencit betina yang disuperovulasi. Namun demikian, hal ini juga dimungkinkan bahwa degenerasi embrio pada mencit yang disuperovulasi disebabkan oleh proses apoptosis.

Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya. Apoptosis terjadi pada sitoplasma, nukleus dan DNA. Apoptosis berperan penting pada proses embryonic arrest. Proses ini terjadi baik pada perkembangan embrio yang dikultur in vitro maupun in vivo. Embrio yang mengalami proses tersebut menunjukkan abnormalitas pada kromosom. Peningkatan abnormalitas pada kromosom dapat disebabkan ketidakteraturan atau defisiensi sitoskeleton serta adanya gangguan pada proses mitosis dan sitokinesis (Hardy et al. 2001).

Komposisi medium kultur juga berpengaruh pada perkembangan embrio secara in vitro. Pada kultur in vitro embrio mencit, diperlukan medium yang mampu mendukung perkembangan embrio mencit dari zigot menjadi blastosis hatched. Li et al. (2010) melaporkan bahwa pada tahap awal perkembangan (tahap cleavage) embrio mencit biasanya memperlihatkan fenomena cell block. Pada penelitian ini, cell block terjadi pada tahapan dua sel. Pada saat cell block terinisiasi, embrio tidak dapat berkembang lebih lanjut dan degenerasi. Selain itu, terjadi fragmentasi sel berupa pembelahan sel-sel embrio yang tidak beraturan dan tidak sama ukurannya.

Secara umum setiap tahapan embrio memerlukan syarat medium yang berbeda karena pada saat perkembangan terjadi perubahan morfologi, fisiologi dan biokimiawi. Komposisi medium sangat berpengaruh terhadap perkembangan embrio. Oleh karena itu, medium yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan embrio. Pada penelitian ini, jenis medium kultur tidak dibedakan antara embrio yang divitrifikasi maupun yang tidak divitrifikasi. Medium kultur yang digunakan pada penelitian ini adalah medium sekuensial ISM1TM dan ISM2TM. Medium kultur ISM1TM berfungsi memberikan nutrisi pada embrio tahap zigot sampai 8 sel, sedangkan medium kultur ISM2TM untuk perkembangan embrio tahap 8 sel sampai blastosis hatched.

Kandungan medium yang penting adalah sumber energi, protein serta larutan buffer. Sumber energi dapat berupa asam laktat, glukosa atau glutamin tergantung tahapan perkembangan embrio serta jenis sel yang dikultur. Protein berfungsi sebagai bahan untuk pembangun sel yang sedang membelah serta

26

fungsi fisiologis yang lain. Larutan buffer digunakan untuk menjaga stabilitas medium kultur dari perubahan pH. Glukosa diperlukan oleh embrio 8 sel untuk perkembangan embrio lebih lanjut, jika tidak ada glukosa perkembangan embrio mencit akan berhenti sampai tahap morula (Gardner 2007). Keberadaaan EDTA (Ethylenediaminetetraacetic acid) dan glutamin dalam medium kultur bermanfaat untuk mengurangi kejadian cell block. EDTA berfungsi sebagai chelator yang dapat mencegah pembentukan radikal bebas oksigen di dalam medium kultur. EDTA yang ada dalam medium kultur sangat esensial untuk tahap cleavage embrio. Glutamin sangat bermanfaat pada 48 jam pertama kultur embrio dan digunakan oleh embrio sebagai substrat energi pengganti glukosa.

Gambar 6 Perkembangan embrio setelah vitrifikasi. (A) embrio tahap 2 sel (B) embrio tahap 4 sel (C) embrio tahap 8 cel (D) morula (E) blastosis (F) Blastosis

tahap ekspan setelah dikultur 24 jam (G) Blastosis tahap hatching setelah

dikultur 36 – 48 jam (H) Blastosis tahap hatched setalah dikultur 48 – 72

jam. Keterangan: BM: Blastomer, ICM: Inner Cell Mass, TB: Trofoblas, RP:

Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan kultur embrio meliputi: O2, CO2, pH, suhu, inkubator, cahaya, volume inkubasi dan jumlah embrio yang

dikultur dalam satu kelompok. Karbondioksida diperlukan untuk mempertahankan pH protein dan asam nukleat oleh embrio mencit pada semua tahap perkembangan sebelum implantasi. Beberapa faktor yang dapat mengurangi tingkat perkembangan embrio sampai ke tahap blastosis diantaranya ialah: fluktuasi pH yang signifikan, fluktuasi suhu pada tahap awal perkembangan embrio, lama waktu pemaparan embrio pada suhu ruang dan jumlah embrio yang dikultur. Mikromanipulasi dan kultur embrio di bawah cahaya redup akan meningkatkan perkembangan embrio (Gardner 2007).

Penelitian ini menggunakan inkubator CO2 5% suhu 37%. Medium berada

di luar inkubator CO2 pada saat handling embrio dan manipulasi embrio. Hal ini

diduga menyebabkan terjadinya fluktuasi pH dan fluktuasi suhu, sehingga mengurangi tingkat perkembangan embrio. Selain itu, koleksi dan manipulasi embrio dilakukan pada suhu ruang dalam waktu relatif lama (lebih dari sepuluh menit) di bawah cahaya terang. Hal tersebut kemungkinan akan menyebabkan embrio mengalami kerusakan sebelum dikultur, sehingga akan mempengaruhi tingkat pembelahan dan perkembangan lebih lanjut. Gardner (2007) menyatakan bahwa tingkat pembelahan dan pembentukan blastosis pada embrio mencit akan meningkat apabila embrio dikultur dalam grup (dengan jumlah 5 – 10 embrio dalam satu drop media). Hal ini karena embrio mamalia tahap preimplantasi memproduksi faktor pertumbuhan (growth factor) yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap embrio lainnya.

Persentase kelangsungan hidup dan tingkat perkembangan blastosis setelah vitrifikasi menurun pada pengamatan dua jam setelah penghangatan. Walaupun vitrifikasi dilakukan dengan sederhana melalui laju pendinginan yang cepat, masih memungkinkan perlukaan pada sel akibat efek toksik dari konsentrasi krioprotektan dan stress karena perubahan suhu yang ekstrim (cold shock).

Salah satu alasan kecenderungan penurunan nilai viabilitas selama 24 jam kultur in vitro setelah vitrifikasi disebabkan karena embrio mamalia pada setiap tahap perkembangan yang berbeda, memiliki mekanisme tersendiri dan kemampuan yang relatif berbeda dalam menyerap krioprotektan, serta mencapai tingkat dehidrasi sempurna selama proses penyerapan larutan vitrifikasi. Berdasarkan Lane et al. (1999) bahwa parameter viabilitas blastosis baik pada

28

mencit maupun manusia mencakup kemampuan untuk tumbuh pada medium in vitro. Parameter perkembangan vitrifikasi meliputi kemampuan re-ekspansi (Gambar 6 (F)), berkembang ke tahap selanjutnya, hatching (Gambar 6(G)) dan hatched atau embrio keluar dari zona pelusida (Gambar 6 (H)).

Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perkembangan blastosis menjadi blastosis ekspan setelah vitrifikasi ganda yang diperoleh setelah kultur 24 jam tidak berbeda (P>0.05) dengan kontrol, vitrifikasi tunggal zigot dan vitrifikasi tunggal blastosis. Hasil yang diperoleh pada blastosis tahap hatching dan hatched setelah vitrifikasi ganda berbeda (P<0.05) dibandingkan vitrifikasi tunggal zigot, namun tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan vitrifikasi tunggal blastosis dan kontrol (Tabel 2).

Perolehan jumlah blastosis yang mencapai tahap ekspan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian oleh Isachenko et al. (2003) bahwa blastosis tikus hasil vitrifikasi ganda setelah dikultur dalam medium HEPES + TCM-199 mencapai tahap ekspan sebesar 76.3%. Adanya perbedaan sifat individual blastosis untuk berkembang dan beradaptasi pada lingkungan in vitro dan banyaknya jumlah sel-sel blastomer tahap blastosis yang mengalami kerusakan selama proses vitrifikasi, menyebabkan terjadinya variasi daya hidup untuk berkembang setelah dikultur in vitro. Pada penelitian ini, persentase blastosis ekspan mencapai tahap haching setelah vitrifikasi ganda mengalami penurunan sebesar 16.21% (Tabel 3). Demikian pula dengan penurunan persentase perkembangan blastosis tahap hatching mencapai hatched. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua blastosis ekspan mampu mengalami hatching dan blastosis yang mengalami hatching mampu mencapai tahap hatched.

Embrio hasil vitrifikasi baik satu kali atau dua kali vitrifikasi tidak semuanya berkembang dengan baik dan mencapai blastosis hatched. Penurunan kemampuan blastosis ekspan untuk hatching diduga disebabkan oleh fenomena zona hardening. Walaupun terdapat kecenderungan penurunan persentase blastosis ekspan yang berkembang setelah vitrifikasi (Tabel 3), namun blastosis ekspan yang berhasil hidup setelah vitrifikasi memiliki kemampuan yang relatif cepat untuk berkembang ke tahap selanjutnya, karena waktu dan energi yang dibutuhkan untuk mencapai hatching dan hatched lebih sedikit dibandingkan ke tahap lainnya.

Tharasanit et al. (2005) melaporkan bahwa perlakuan vitrifikasi pada suhu yang rendah menyebabkan depolimerasi struktur protein dari sitoskeletal oosit, mikrotubuli dan mikrofilamen yang dibutuhkan pada saat pematangan sel. Hal ini memberikan hipotesis bahwa pengerasan dari lipid (stumbling block) menyebabkan deformasi dan gangguan pada sitoskeletal. Menurut Vincent et al. (1990) pengerasan zona pelusida disebabkan oleh lamanya pemaparan dalam krioprotektan yang menyebabkan menipisnya jumlah butiran kortikal yang mendasari permukaan embrio. Pengerasan zona pelusida akibat lamanya pemaparan dapat diatasi dengan perlakuan assisted hatching. Assisted hatching adalah prosedur yang digunakan untuk meningkatkan hatching rate blastosis dengan manipulasi mikro, yaitu dengan menyayat zona pelusida sehingga sel dapat keluar (Hiraoka et al. 2004).

Vitrifikasi ganda setelah penghangatan atau beberapa jam setelah proses kultur secara teori dan prakteknya tentunya akan berdampak pada morfologi embrio. Prosedur vitrifikasi dinilai efektif apabila embrio mampu bertahan hidup setelah proses vitrifikasi ganda dan menunjukkan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Perlakuan vitrifikasi tunggal atau ganda akan menghasilkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) dan perkembangan (developmental rate) yang tinggi apabila kualitas embrio yang akan divitrifikasi mempunyai kualitas sangat baik.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa kelangsungan hidup (survival rate) setelah vitrifikasi tunggal zigot dan blastosis maupun vitrifikasi ganda zigot yang dilanjutkan pada tahap blastosis menggunakan wadah hemi-straw tidak berbeda (P>0.05) dengan embrio yang tidak divitrifikasi. Kemampuan perkembangan embrio (development rate) mencapai tahap blastosis hatched setelah vitrifikasi ganda berbeda (P<0.05) dengan vitrifikasi tunggal zigot, namun tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan vitrifikasi tunggal blastosis dan kontrol.

Dokumen terkait