• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

B. Kepribadian Rohani

4. Perkembangan Kepribadian

Perkembangan kepribadian anak Panti Asuhan St.Maria dan Brayat Pinuji

kelas III SD-IX SMP yang menjadi sampel dalam penelitian ini berada pada tahap

laten (6-12 tahun) sampai pada tahap genital (12-18 tahun).

a. Tahap Laten: 6-12 Tahun

Pada masa ini anak menjadi lebih tahu tentang bagaimana dan apa yang

perlu dikerjakan dalam menghadapi tuntutan masyarakat dalam lingkungan

sosialnya sehari-hari. Selain itu sedikit demi sedikit mereka berhasil mengatasi

masalah dalam hubungan dengan temannya dan bagaimana cara berelasi dengan

Dari segi prestasi sekolah, dalam diri anak akan timbul motivasi yang

tinggi terhadap karya yang dikerjakannya. Selain itu di dalam segi emosi, anak

mulai mengendalikan reaksi emosinya dengan berbagai kegiatan atau cara yang

dapat diterima lingkungan sosial di sekitar hidupnya (Singgih dan Yulia, 2008:

13-14).

Pada masa laten ini Allah digambarkan sebagai seorang pribadi, seorang

yang tua atau seorang raja yang membuat undang-undang peraturan permainan

hidup sosial yang menuntut bahwa ia sendiri juga harus memegang maksud dan

upaya perjuangan orang lain (Agus, 1995: 130).

Pada masa laten anak berada pada tahap stadium pra-operasional dalam

usia ±18 bulan - 7 tahun). Anak di tahap ini dimulai dengan penguasaan bahasa

yang sitematis dalam arti mudah diterima dan dicerna oleh daya pikir mereka

yang masih memusat pada suatu permasalahan yang dihadapkan kepadanya.

Dalam hal tinggkah laku di usia ini sangat mudah menirukan tingkah laku yang

dilihatnya (imitasi) atau sebelunya pernah dilihatnya (imitasi tertunda) yang

didapatkannya dalam berinteraksi dengan sesamanya di lingkungan hidupnya.

Jelaslah di sini bahwa sejumlah besar tingkah laku anak-anak pada umumnya

timbul dengan meniru dan belajar dari teman sebayanya di dalam hidupnya

sehari-hari.

Pada tahap stadium operasional konkret ± 7-11 tahun, cara pikir anak yang

egosentrik sudah berkurang. Hal ini ditandai dengan kemampuan anak dalam

menyelesaikan sebuah tugas yang diberikan lebih dari satu dimensi sehingga

kekurangannya, bila seorang anak diberi sebuah pekerjaan dan tugas yang harus

diselesaikannya tanpa alat atau sarana yang digunakan anak tidak bisa

menyelesaikan tugasnya tersebut.

Perkembangan dorongan akan kekaguman sudah mulai tampak,

walaupun masih sangat terpengaruh perasaan dan mudah mengalihkan pada obyek

lain. Hal ini khusus kelihatan dengan pengetahuan yang ada dalam dirinya

mengenai orang yang dikagumi, dikasihani dan kejadian yang terjadi.

Pengetahuan pada masa ini hanya berupa pengenalan akan sifat atau kejadian

yang dihadapi, tetapi juga mengenai kebenaran pendirian yang dianut dan diterima

oleh orang banyak. Sedangkan dorongan anak untuk berbuat pada masa ini

tercermin pada aktivitas yang meningkat yang ditunjukan dengan usaha mengenal

dan menguasai lingkungan dengan mengadakan diferensiasi mengenai obyek yang

dilihatnya sesuai dengan kehendaknya (Rukadjat, 1973: 96).

Pada usia 11 tahun sudah bisa digolongkan ketahap stadium operasional

formal. Pada tahan ini anak tidak berpikir pada masa kini seperti pada tahap

stadium operasional kongkrit. Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat

yaitu sifat deduktif-hipotesis dan berpikir kombinatoris. Deduktif-hipotesis di

mana berpikir secara kongkret dan harus menyelesaikan masalah yang

ditimbulkannya. Anak pada tahap ini mampu menganalisa masalah yang ada

dengan penyelesaian hipotesis-hipotesis yang mungkin ada dengan

menggabungkan proposisi-proposisi yang berbeda. Maka anak yang berpikir pada

tahap operasional formal juga disebut proposional. Sedangkan berpikir

diberikannya secara berkala dan teratur dengan teoritik, sistematik dan empiris

sampai dia mencapai penyelesaiaannya. (Monks, 1982: 187-189).

Selain itu perbedaan antara sikap bermain dan sikap bekerja semakin tegas

dalam diri anak. Mereka mulai menunjukkan sikap pemahaman tentang adanya

waktu untuk bermain dan untuk bekerja baik secara pribadi maupun dalam kerja

bakti. Sejajar dengan perkembangan ini, dalam diri anak tampak keinginan untuk

belajar supaya mampu melakukan suatu tugas, demikian pula timbulnya rasa

kehormatan berkenaan dengan hasil yang dicapai dengan suatu tugas yang

dikerjakan seseorang. Maka untuk memenuhi tuntutan rasa hormat semakin

besarlah kemampuan anak untuk memusatkan kehendaknya menyelesaikan suatu

pekerjaan (Rukadjat 1973: 97).

Pada masa ini timbul sikap kritis dalam diri anak yakni sikap yang

meneliti dan menilai kegunaan atau menilai sesuatu yang dihadapi baik itu

kejadian maupun orang yang ada disekelilingnya. Namun yang mencolok pada

masa ini adalah munculnya dorongan berjuang yang erat berhubungan dengan

perkembangan jasmani anak. Di lapangan, perkembangan untuk mengetahui

tampak dari timbulnya tindakan yang mengarah pada pengkhususan pengetahuan

dan keterampilan yang diinginkan (Rukadjat, 1973: 104-107).

b. Tahap Genital: 12-18 Tahun

Dorongan atau impuls-impuls menguat lagi dengan drastis. Pencapaian

ego ideal anak sudah cukup baik pada tahap ini. Pada masa ini remaja lebih sibuk

dengan diri sendiri dengan menolak standar orang tua. Mereka lebih memilih

dalam kelompoknya serta masyarakat dimana dia tinggal dan berinterakasi dengan

orang lain yang semuanya memainkan peran penting dalam membentuk identitas

remaja pada masa ini. Usaha ini menunjukkan originalitasnya yang membedakan

dirinya dari orang dewasa dan menunjukkan sikap solidaritas terhadap

teman-teman sebayanya dalam memperkembangkan sosialnya (Alwisol, 2004: 127).

Pada usia 12-15 tahun kekuatan untuk berbuat pada fase ini didampingi

oleh bertambah kuatnya dorongan untuk mengalami. Remaja yang sadar akan

kemampuan yang dimilikinya dalam melakukan sesuatu, menunjukkan keinginan

yang cukup besar untuk memenuhi tuntutan dalam melakukannya. Dalam

melakukan sesuatu mereka tidak menekankan isi pengalaman yang diperolehnya

tetapi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman dalam melakukan sesuatu.

Pada masa ini anak sudah mampu menggunakan unsur yang

melandasinya untuk mengambil kesimpulan dalam proses berpikir yang

dilakukannya. Anak akan menilai ada tidaknya suatu nilai yang dapat diterima

dari sebuah benda atau kejadian yang dilihatnya. Hal ini menandakan bahwa anak

sudah dapat memberikan rumusan mengenai sesuatu yang dilihatnya atau

memahami suatu rumusan yang diberikan tentang sesuatu hal. Untuk aspek

afektif, pada masa ini sudah menunjukan pada sifat mendalam dan sekaligus

ditandai oleh labilitas yang amat besar. Bila dalam mengalami emosi tidak dapat

mengungkapkannya, sehingga mudah menimbulkan rasa sedih dalam dirinya.

Sedangkan perkembangan dorongan dalam diri anak pada masa ini semakin kuat

didampingi oleh bertambah kuatnya dorongan untuk mengalami dan mendapatkan

pengaalman yang berarti dari apa yang dilakukannya itu (Rukadjat, 1973: 96).

Remaja pada masa ini merasakan dan memandang Allah sebagai menurut

aspek persahabatan yang mendukung dan menuntun orang. Remaja

mengandalkan Allah sebagai sahabat karib dan paling berperan dalam hidup

mereka sebagai penyelamat dari kesesatan hidup. Maka remaja yang berada dalam

lingkungan yang selalu mengembangkan hidup religius, di dalam lubuk hati

mereka merasakan suatu komitmen Sang Sahabat Karib yang mengisi singgasana

hati yang menjadi penjamin dan pemberi ilham sebagai pelaku utama bagi

pembentukan jati diri mereka (James, 1995: 153-154).

Anak yang bersia 15-18 tahun memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu

berdasarkan pada kehendak pribadi. Mereka sudah bisa membandingkan yang

dicita-citakan dulu dengan yang dialaminya di lingkungan hidupnya dan berlaku

bagi semua orang (Rukadjat, 1973: 129-138). Masa ini menunjukkan dengan jelas

sifat masa peralihan dalam hidupnya karena mereka masih remaja belum

memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak

lagi. Walaupun masa kanak-kanak dan dewasa tidak terdapat batas yang jelas

namun tampak suatu tanda bahwa masa ini merupakan masa pubertas. Mereka

berada di status interim sebagai akibat dari posisi yang diterima dari orang tua

selama berada dalam lingkungan keluarga dan sebagian lagi merupakan hasil

usahanya sendiri yang memberikan prestise padanya ( Monks, 1982: 217).

Suatu lembaga tahu akan keadaan dan situasi yang dialami anak pada masa

berusaha melepaskan anak dari status intermnya supaya ia dapat menjadi remaja

yang bertanggung jawab. Usaha pendidikan ini sudah diusahakan oleh Panti

Asuhan St. Maria dan Brayat Pinuji Boro khususnya untuk anak-anak SLTP dan

SLTA agar tiap individunya memiliki perkembangan kepribadian yang mantap

dalam hal berpikir, bersikap dan bertindak bagi dirinya dan juga sesama terlebih

bagi teman-temannya yang masih duduk di Sekolah Dasar agar bisa memberikan

contoh yang baik bagi mereka.

Mereka yang memiliki kepribadian yang matang sebagai orang dewasa

menjadi bertanggung jawab, mau berusaha dalam belajar dan perjuangan hidup

mereka, mudah bergaul dengan siapapun yang ada di sekitar kehidupannya,

hangat, ulet dalam usaha untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dapat

mengendalikan nalurinya dan terlebih masalah emosi, dominan dan mampu

membuat orang lain menaruh kepercayaan pada mereka bila diminta mengerjakan

tugas atau pekerjaan yang harus kerjakan (Hurlock, 1990: 244).

5. Kepribadian Rohani

Seseorang yang terpanggil menjadi murid Yesus sekaligus sebagai anak

Allah pertama merupakan tindakan Allah sendiri yang menyapa dan mengundang

hidup bersama Yesus: “Mari, ikutilah Aku” (Mat 4: 19). Menjadi murid Yesus

berarti mengikat diri kepada pribadi Kristus agar bersama dia mampu berjuang

bersama menyebarkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam kehidupan dan berkat

Allah kepada sesama di dunia. Kedua, menjadi murid Yesus kita diberi kekuatan

Dinamika hidup rohani bersumber kepada Allah dan menuju kepada Allah

dimana Allah dapat dialami sebagai sumber, tujuan dan sekaligus motivasi hidup.

Seluruh pribadi rohani diresapi oleh rahmat dan ditarik untuk menghayati hidup

rahmat itu dengan keutamaan-keutamaan Illahi baik itu akal budi, afeksi maupun

dorongan diangkat oleh keutamaan Illahi sehingga pribadi rohani mampu

mengatasi hidup di dunia ini (Darminta, 1995: 50). Kita berusaha membangun

dunia ini dengan siapapun juga berdasarkan kekuatan Roh Kudus yang

menganugerahkan karunia kedamaian, keadilan, kelemahlembutan, kebaikan,

kesabaran dan penguasaan diri (Gal 5:22). Hal ini karena cinta Allah telah

dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus (Gal 5:5) (Darminta, 1993: 64).

Dalam bersikap dan bertindak mengumpulkan sesama digerakan oleh Roh

Kudus yang menghidupkan badan dan menggerakan manusia. Karena dilahirkan

oleh Roh dalam permandian yang menyatukannya dengan Kristus. Bila seseorang

sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada Roh Kudus secara total, ia menjadi

manusia rohani artinya manusia yang bersifat Roh, dikuasai oleh Roh dan

karenanya menjadi pribadi rohani (Indrakusuma, 1981: 15). Pribadi rohani mampu

menjadikan dirinya sebagai orang Allah di dalam Kristus dimana dalam pola

hidupnya dan perbuatan yang dilakukan dalam hidup sehari-hari berciri hakiki

holistik artinya bersentuhan dengan kekudusan Allah dan mengikuti Kristus

seturut kepribadian yang bercirikan Kristus yang menggemakan, memancarkan

dan mengalirkan hidup Ilahi.

Itulah kepribadian Yesus yang digambarkan sebagai air (mengalirkan

firman untuk santapan hidup). Air berkaitan dengan emosi atau afeksi seseorang,

terang berkaitan dengan kesadaran seseorang dalam bersikap dan berbuat bagi diri

dan juga orang lain sedangkan roti berkaitan dengan dorongan manusia untuk

menentukan pilihan hidup yang utama dan baik bagi dirinya dan sesama. Pikiran,

rasa dan naluri disebut jiwa manusia (Darminta, 2006: 62). Maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa kepribadian rohani merupakan pribadi yang beriman dengan

bimbingan Roh Kudus dalam mengikuti Kristus sebagai anak Allah sehingga

semakin bersatu dengan Kristus di dalam Gereja dan dalam perjuangan di dunia

agar Kerajaan Allah semakin nyata (Darminta, 1983: 75).

Dokumen terkait