• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

2.1.4 Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia

dengan ketidakpercayaan, terutama kepada penggalang dana/fund raiser (34%), organisasinya (9%), maupun kegiatan/misi organisasi yang bersangkutan (8%).

Menurut Saidi (2004a), program kerja yang disusun dengan baik dan logis akan meringankan persoalan klasik tapi pelik bagi lembaga nirlaba seperti LSM dan yayasan yaitu pendanaan. Pengelola lembaga harus mampu menyusun rencana program yang baik dan logis sehingga dapat dipahami secara baik oleh pelaksana dan donor. Program yang koheren dan logis akan meyakinkan donor untuk mendukungnya.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip penyusunan program yang terstruktur dan logis, LSM dan yayasan dapat lebih mudah mengakses lembaga donor. Dengan demikian, LSM dan yayasan dapat mendiversifikasi donor sehingga tidak tergantung pada satu lembaga pemberi dana saja. Selama ini tidak jarang dijumpai kesulitan LSM mengakses donor, karena program yang disusun tidak dapat dipahami dengan baik (Saidi, 2004a).

Untuk itu, LSM perlu memiliki manajemen finansial yang sehat dan staf yang handal menjalankan program agar dapat menarik kepercayaan dari para pendukungnya. Kepercayaan itu harus dibuktikan dengan keberhasilan program dan laporan finansial yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya program yang menunjukkan kemajuan dan perubahan pada kelompok sasaran, serta laporan finansial yang memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi akan memiliki kesempatan untuk terus menambah dukungannya. Tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi maka reputasi lembaga akan dipertanyakan sehingga kemungkinan mengakses sumber dana dan sumber daya lainnya akan sulit.

2.1.4. Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia 2.1.4.1. Gambaran Umum Lembaga Donor di Indonesia

Dalam pengembangan LSM menuju lembaga yang mandiri dalam memperjuangkan visi dan misi yang sudah menjadi komitmen dalam lembaga, sangat memerlukan pola pengembangan lembaga agar lembaga bisa tetap eksis. Eksistensi ini tidak serta merta berdiri sendiri, namun jalinan kerja sama maupun hubungan dengan lembaga lain, khususnya lembaga donor sangat diperlukan.

Hal ini sangat disadari bersama karena sebagian besar LSM yang ada di Indonesia masih banyak yang menggantungkan lembaganya pada lembaga donor, baik lembaga donor nasional maupun lembaga donor internasional.

Ada lima kategori lembaga donor asing yang memberikan bantuannya kepada LSM Indonesia. Pertama, donor bilateral, yaitu lembaga pemerintah-pemerintah lura negeri yang menyalurkan bantuannya kepada LSM baik melalui pemerintah Indonesia atau langsung kepada LSM bersangkutan. Kedua, yayasan-yayasan internasional. Ketiga, LSM-LSM internasional yang memperoleh dananya dari pemerintah atau publik di negaranya masing-masing kemudian melakukan aktivitas di Indonesia bekerja sama dengan LSM Indonesia. Keempat, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Indonesia, dan sebagainya yang memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia kemudian mengontrakkan kepada LSM untuk program pengembangan masyarakat. Kelima, lembaga-lembaga pembangunan internasional yang bernaung dibawah PBB seperti UNDP, UNICEF, dan lain-lain (Ibrahim, 2004).

Menurut Kuswardono (2004), terdapat tiga tipe donor internasional. Pertama organisasi donor sukarela yang memiliki karakter, (1) aktif memperjuangkan penghapusan kemiskinan struktural, (2) sebagai kontraktor pelayanan umum, (3) sebagai penyandang dana bagi organisasi-organisasi di negara Dunia Ketiga. Kedua, organisasi donor privat yang didirikan oleh perusahaan-perusahaan atau kaum elit Utara yang memiliki semangat filantropi yang tinggi. Ketiga, organisasi donor atau agensi pemerintah untuk bantuan luar negeri. Organisasi ini memperoleh dana langsung dari pemerintah suatu negara untuk didistribusikan sebagai hibah kepada negara penerima demi kepentingan pembangunan.

Dalam Direktori Funding Agency (2006), Yapim mencatat terdapat 295 lembaga donor yang beroperasi di Asia, termasuk 90 lembaga donor yang berada di Indonesia. LP3ES (2001) mencatat terdapat sekitar 40 organisasi donor luar negeri beroperasi dan membiayai proyek-proyek di Indonesia, dan beberapa lainnya tidak langsung maupun tidak membiayai proyek dari luar Indonesia.

Menurut Sumarto (2003), tidak kurang dari 11 lembaga internasional penting yang memiliki program besar berkaitan dengan isu-isu partisipasi dan good governance di Indonesia. Selain World Bank (Bank Dunia) dan ADB, dapat disebtukan UNDP, USAID – termasuk di dalamnya CSSP, dan NRM-GTZ, CIDA, JICA, DFID, British Council, Ford Foundation, dan Tifa Foundation. Sedangkan ornop-ornop internasional yang memiliki program partisipasi dan good governance yang cukup penting di Indonesia saat ini adalah NDI, Pact, CARE, dan The Asia Foundation.

Selama dua dekade terakhir, sudah lebih dari 1 milyar dolar AS yang diinvestasikan lebih dari 40 donor dalam bantuan pembangunan kehutanan Indonesia. Akan tetapi, faktanya manajemen dan tata kelola kehutanan tetap buruk. Kerusakan hutan masih terus berlanjut sampai detik ini (Kompas, 22 Februari 2007). Sementara setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi rata-rata 22,5 milyar dolar AS bantuan pembangunan kepada penguasa korup dan untuk berbagai proyek besar yang merusak lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial (Hadar, 2004).

Sejak tahun 1955, Asia Foundation juga telah bermitra dengan berbagai lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta. Selama lebih dari lima dekade, Asia Foundation ikut berkontribusi menjawab kebutuhan Indonesia melalu serangkaian program seperti reformasi ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, serta dukungan pada masyarakat sipil yang kuat dan dinamis. Asia Foundation saat ini mengelola dana hibah dan bantuan teknis sebesar 60 juta dolar AS (The Asia Foundation, 2008).

Menurut GEF SGP (2007), distribusi dana dampingan untuk inisiatif masyarakat secara keseluruhan mencapai lebih dari 3,6 juta dolar AS untuk mendukung 221 proyek berbasis komunitas di seluruh Indonesia. Program ini juga memobilitasi dana pendamping sebesar 2,8 juta dolar AS, berupa kontribusi masyarakat dan kemitraan dengan donor lain. Dana hibah yang diberikan sebagai dukunag berkisar antara 2.000 hingga 50.000 dolar AS dengan masa program 2 – 24 bulan dengan rata-rata dana hibah 25.000 dolar AS per proyek. Program ini memproriritaskan kemitraan langsung dengan organisasi berbasis komunitas dan organisasi non pemerintah pendamping masyarakat.

Donatur dan pemerintah lebih berminat mendukung LSM yang mengadakan campur tangan dalam pemberian bantuan peringanan dan kesejahteraan yang secara langsung menghilangkan penderitaan daripada mendukung LSM yang berupaya mengadakan perubahan struktural mendasar (Korten, 2001).

Menurut Ibrahim (2004), terdapat sekurang-kurangnya empat alasan penting mengapa lembaga donor mau bekerja sama dengan kalangan LSM. Pertama, lembaga donor sangat mendukung pelayanan yang efektif dan efisien, dimana kalangan LSM kadang-kadang dipandang lebih efektif dan efesien dalam penggunaan dana dibandingkan dengan pemerintah. Kedua, unsur-unsur layanan yang diberikan LSM, di samping program pengembangan masyarakat, juga mencakup pembangunan infrastruktur sosial dan politik dalam bentuk advokasi untuk kepentingan rakyat. Ketiga, LSM mendukung pengembangan civil society dengan memperjuangkan demokrasi, HAM, dan sebagainya. Keempat, LSM mendukung upaya perubahan kebijakan.

Lembaga donor yang berasal dari berbagai negara dengan keragaman kepedulian melalui berbagai program yang dimiliki dimaksudkan untuk membantu membuka jalan bagi berbagai kelompok masyarakat dalam mencari peluang untuk mengembangkan kegiatannya.

2.1.4.2. SGP PTF UNDP sebagai Lembaga Donor

Berdasarkan dokumen Pemangilan Proposal (SGP PTF, 2005), pada awal tahun 2005, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) yang didukung oleh Komisis Eropa (European Commission/EC) dengan penanggungjawab kegiatan adalah SEARCA (SEAMEO Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture) menyelenggarakan program Pendanaan Kecil untuk Menunjang Pelestarian Hutan Tropis di Indonesia (Small Grants Programme for Operations to Promote Tropical Forest/SGPPTF) di Indonesia. Sekretariat SGPPTF kemudian mengundang para mitra yang bergerak di bidang penguatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk terlibat dalam program SGPPTF.

SGPPTF bertujuan mempromosikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan melalui kemitraan langsung dengan stakeholders lokal di

wilayah yang telah ditentukan. SGPPTF berpandangan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan, memberdayakan individu dan komunitas dalam mengelola hutan dan kehutanan, menghasilkan manfaat yang adil dari barang dan jasa kehutanan yang dihasilkan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Para mitra yang layak mengajukan proposal adalah komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan traditional, lembaga swadaya masyarakat, organisasi rakyat dan usaha kecil berbasis masyarakat yang bekerja untuk dan dengan komunitas adat dan hutan. Mitra dapat mengajukan proposal atau konsep proposal yang menangani aktifitas-aktifitas layak sebagai berikut:

ƒ Pengembangan inisiatif alternatif dan kehidupan berkelanjutan, pengembangan kapasitas dan keahlian komunitas yang akan secara signifikan mengurangi tekanan pada sumber daya hutan;

ƒ Membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk pengelolaan yang ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lain; dan

ƒ Menunjang kemantapan hak pemanfaatan/penggunaan lahan dan sumber daya alam lain, dan dengan demikian memperbaiki akses penggunaan/pemanfaatan sumber daya alam lestari.

Aktifitas-aktifitas tersebut di atas harus mempunyai tema umum kehidupan berkelanjutan dari komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan orang asli. Tema spesifik meliputi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Komunitas Secara Terpadu, Membangun Prakondisi bagi terciptanya lingkungan hidup yang berkelanjutan dan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan.

Rentang pendanaan dari jumlah minimum sebesar € 20.000 (sekitar dua ratus Juta Rupiah) hingga jumlah maksimum sebesar €100,000 (sekitar 1 Milyar Rupiah) bagi setiap proyek untuk periode 2 tahun (2005 – 2007). Jumlah yang diajukan harus secara jelas menggambarkan tujuan dan pencapaian dalam periode waktu tersebut. SGP PTF akan mendanai 80% dari biaya total proyek dan 20% dari dana harus dilengkapi oleh mitra pengaju proposal dalam bentuk dana

maupun aset. Proyek yang diajukan harus merupakan kelanjutan dari proyek yang ada dan sudah memiliki struktur pengelolaan dasar.

Melalui seleksi yang ketat yang dilakukan oleh Sekretariat SGP PTF UNDP ini telah terpilih 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah untuk mendapatkan dukungan dana. Besarnya jumlah dana dan rentang waktu pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM sangat beragam. SGPPTF ini aktif berjalan mulai tahun 2005 – 2007.