• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

2.1.5 Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

maupun aset. Proyek yang diajukan harus merupakan kelanjutan dari proyek yang ada dan sudah memiliki struktur pengelolaan dasar.

Melalui seleksi yang ketat yang dilakukan oleh Sekretariat SGP PTF UNDP ini telah terpilih 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah untuk mendapatkan dukungan dana. Besarnya jumlah dana dan rentang waktu pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM sangat beragam. SGPPTF ini aktif berjalan mulai tahun 2005 – 2007.

2.1.5. Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu diantara negara di dunia yang mempunyai sumber daya hutan yang besar dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Bersamaan dengan meningkatnya pengetahuan mengenai sumberdaya hutan dan apresiasi mengenai manfaat sumberdaya hutan, terlihat adanya keterkaitan dalam kerangka perkembangan sosial-budaya masyarakat bagi baik lokal maupun global. Hal ini menimbulkan paradigma baru yaitu pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari (sustainable forest management/SFM)

Saat ini, perhatian publik terhadap pengelolaan hutan lestari telah mengalami kemajuan yang pesat. Dalam kerangka itu, pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) muncul sebagai salah satu alternatif model pengelolaan hutan di Indonesia.

Makna kehutanan masyarakat seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang di lapangan. Komunitas hanya dilihat seperti sekumpulan masyarakat yang memegang teguh hukum adat atau kearifan lokal yang sudah turun temurun sejak dulu kala. Komunitas masih dianggap mempunyai tingkat bargaining position yang rendah, kemampuan yang lemah dan tanpa adanya leverages untuk merubah menuju kearah yang lebih baik. Kondisi seperti itu masih diperparah dengan lemahnya dukungan dan lindungan dari pemerintah.

Namun kenyataan yang sebenarnya adalah komunitas pengelola hutan telah terbukti mampu menjaga dan memelihara sumberdaya hutan yang menjadi tumpuan hidupnya. Pengakuan atas kemampuan dan kearifan komunitas dalam mengelola sumberdaya hutannya itu telah dibuktikan dengan banyaknya hasil kajian di berbagai lokasi dan telah lama dilakukan.

Menurut Suharjito (2000), Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu/rumahtangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi.

Keragaman PHBM di Indonesia menunjukkan variasi berdasarkan asal-usul prakarsa pengelolaannya, status lahan yang dijadikan areal pengelolaan, fungsi kawasan dari lokasi lahan pengelolaan, jenis produk utama yang diusahakan, dan kelembagaan atau organisasi sosial yang terbentuk (atau dibentuk) sebagai institusi pengelolaan hutan (LEI, 2001).

Ada tiga dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat, yaitu pengembangan institusi yang terkait dengan pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi, dan pengembangan institusi yang terkait dengan tata konsumsi. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh sedikitnya tiga hal utama yaitu kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat, faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, maupun daerah, dan faktor dinamika sosial politik lokal (Tim Karsa, 2007)

Dalam Tambun, W et.al (2007), yang memuat kumpulan pengalaman pelaksanaan PHBM dan pendampingan oleh LSM yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang telah berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, tersebar di banyak tempat dan mampu mempertahankan kondisi hutan sehingga dapat berfungsi dengan baik.

Hal senada juga dijelaskan Suharjito (2006), yang memuat kumpulan pendampingan oleh LSM dalam pelaksanaan PHBM yang tersebar di wilayah Jawa Barat, Jogjakarta, Jambi, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat, bahwa kegiatan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan telah berlangsung cukup lama. Kegiatan pendampingan tersebut dilakukan oleh

beragam LSM maupun universitas/perguruan tinggi. Kegiatan pendampingan tersebar di berbagai daerah dengan konteks sosial budaya yang berbeda-beda. Sumberdaya hutan yang menjadi arena pergumulanpun berbeda-beda, baik fungsi utamanya: hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, maupun ragam produknya: buah-buahan, rotan, dan kayu. Pihak-pihak yang terlibat dalam pergumulan sumberdaya hutan tersebut juga beragam kepentingan.

Social Forestry (SF) merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dibidang kehutanan yang memberikan akses langsung kepada masyarakat dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa disekitar hutan. Perguliran kebijakan SF ini membuktikan bahwa pemerintah telah melakukan koreksi yang selama ini memposisikan masyarakat sekitar hutan termarjinalkan dengan melatakkan paradigma pembangunan kehutanan berbasis pemberdayaan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2005).

Dari aspek kebijakan, akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan sudah cukup terbuka. Selain SF, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Namun dalam implementasinya kebijakan ini kurang berjalan dengan baik, antara lain akibat belum berubahnya paradigma sebagian besar aparat kehutanan dan para pihak terkait serta belum terbangunnya sistem pelayanan pemerintah untuk pengembangan sistem pengelolaan berbasis masyarakat lokal tersebut.

Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antara kelompok, tidak mengetahui bagaimana menangani konflik, atau tidak memiliki cara untuk mendorong kerjasama. Jadi, tantangan terbesar dalam upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntunan-tuntunan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi (Kusmanto, 2006).

Dari perkembangan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan di Indonesia, kita dapat melihat bahwa yang telah terjadi adalah proses pembelajaran

coba dan ralat (trial and error) antara berbagai kelompok kepentingan. Pembelajaran ini masih berlangsung sampai saat ini. Namun pembelajaran telah terjadi, laju pembelajaran tersebut berjalan lamban dan partisipasi masih dilihat terutama sebagai cara untuk memastikan agar hutan tetap dapat dijadikan sumber pendapatan dan kekayaan bagi mereka yang memiliki kekuasaan.

Di lain pihak, praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat, meskipun dibawah tekanan-tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Namun realisasi dari dorongan pergeseran tersebut belum juga terwujud dalam praktek akibat hambatan-hambatan antara lain berupa perbedaan persepsi dan sikap pemerintah termasuk pihak akademisi yang masih relatif lebih kuat (Suharjito, 2000).

Pada umumnya pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mempunyai karakteristik ketahanan yang tinggi terhadap krisis ekonomi, sekaligus mampu memelihara fungsi lingkungan sehingga praktik-praktik ini merupakan alternatif pengelolaan hutan di masa mendatang yang paling tepat dikembangkan tatkala pertumbuhan penduduk terus meningkat.

2.1.6. Pengukuran Peran LSM

2.1.6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja LSM

Kinerja suatu organisasi secara periodik perlu di evaluasi secara menyeluruh. Maksud dari evaluasi tersebut adalah untuk mendapatkan informasi penting sebagai umpan balik apakah organisasi telah menjalankan strateginya atau belum sehingga masuk sebagai kontrol dari seluruh proses pelaksanaannya (implementation control).

Implementasi strategi terjadi dalam tahapan-tahapan, program-program, investasi dan inisiatif yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Dalam menjalankan suatu strategi para manager mengkonversikan rencana-rencana garis besar menjadi langkah-langkah kongkrit dengan menjalankan program-program tertentu, menempatkan dan menyesuaikan personel dengan kebutuhannya, serta mengalokasikan sumberdaya.

Menurut Yuwono, et al. (2006), pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivias dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian. Menurut Gaspersz (2005) pengukuran merupakan suatu cara memantau dan menelusuri kemajuan-tujuan-tujuan strategis.

Berdasarkan Ibrahim (2004), kalangan donor menilai bahwa LSM akan dinilai dari empat hal yang masing-masing tidak bisa diabaikan dan saling berkaitan, yaitu dari aspek manajemen teknis, legitimasi, akuntabilitas dan transparansi LSM. Untuk itu, ada sekurang-kurangnya empat faktor penting untuk dapat dikembangkan oleh kalangan LSM adalah:

1. Internal governance. Faktor ini mencakup aspek pengambilan keputusan, perbedaan dan pembagian peran antara pengurus dengan badan pelaksna, pertanggungjawaban kepada konstituen, dan kejelasan mengenai visi, misi dan tujuan LSM.

2. Akuntabilitas. Akuntabilitas ini tidak hanya terhadap pemerintah tetapi juga terhadap publik yang lebih luas. Selama ini LSM hanya berusaha untuk akuntabel terhadap donor yang memberikan bantuan pendanaan

bagi mereka dalam bentuk naratif dan keuangan proyek. Sudah saatnya LSM mengembangkan mekanisme akuntabilitas kepada publik yang lebih luas.

3. Pengembangan hubungan antar LSM. LSM harus melakukan pengembangan hubungan yang intensif baik dengan sesama LSM mapun dengan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi beneficiaries program-program LSM selama ini.

4. Management LSM. Hal ini menyangkut perencanaan strategis, manajemen program, manajemen keuangan serta pengembangan SDM. Ada tiga indikator yang dapat dijadikan ukuran apakah LSM mempunyai legitimasi. Pertama, pengakuan, apakah LSM diakui keberadaannya oleh pemerintah atau pihak lain yang melibatkannya dalam proses penyusunan kebijakan. Kedua, pembenaran, apakah kegiatan-kegiatan LSM mendapat sambutan dari masyarakat dengan memberikan dukungan moral. Ketiga, dukungan, apakah LSM memperoleh bantuan berupa dana, tenaga, dan sebagainya dari masyarakat maupun pihak-pihak lainnya (Ibrahim, 2004).

Sementara itu ada tiga sumber legitimasi bagi LSM. Pertama, legitimasi moral, yang menyangkut kesesuaian antara apa yang dilakukan oleh LSM dengan nilai-nilai norma. Kedua, legitimasi hukum, merupakan pengakuan dari negara akan keberadaan LSM serat dukungan berupa regulasi bagi LSM dalam melaksanakan kegiatannya. Ketiga, legitimasi sosial, berupa pengakuan dari masyarakat kepada LSM karena dianggap bermanfaat bagi masyarakat (Ibrahim, 2004).

Secara umum keberadaan setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan untuk menjawab akuntabilitas organisasinya. Menurut Santika (2004), pada kenyataannya paling tidak terdapat 5 (lima) aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu organisasi, yaitu aspek finansial, operasi kegiatan internal, kepuasan staf, kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholders, dan dimensi waktu. Aspek-aspek inilah yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dan akuntabilitas LSM di Indonesia.

Sejumlah LSM telah melakukan inisiatif untuk mengembangkan program akreditasi dan sertifikasi LSM. Salah satu tujuannya adalah untuk menjamin

integritas dan kredibilitas LSM itu sendiri. Menurut Ibrahim (2004), dalam program sertifikasi ini sekurang-kurangnya ada lima elemen yang harus diperhatikan. Pertama, visi, misi, dan tujuan LSM; kedua, internal governance; ketiga, manajemen, administrasi, dan keuangan; keempat, operasioanl program; kelima, legitimasi dengan mengembangkan indikator dan mean of verification-nya.

Secara umum keberadaan setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan untuk menjawab akuntabilitas organisasinya. Menurut Santika (2004), pada kenyataannya paling tidak terdapat 5 (lima) aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu organisasi, yaitu aspek finansial, operasi kegiatan internal, kepuasan staf, kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholders, dan dimensi waktu. Aspek-aspek inilah yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dan akuntabilitas LSM di Indonesia.

Melihat dari kompleksitas permasalahan yang ada, jelas hal ini harus segera mendapatkan perhatian yang serius terutama dari kalangan LSM sendiri sebagi pihak yang paling berkepentingan. Perlu adanya komitmen yang kuat dari pihak LSM untuk mengimplementasikan gagasan akuntabilitas dan transparansi tersebut sehingga secara bertahap LSM dapat kembali menampilkan citra dirinya secara lebih positif.

2.1.6.2. Indikator Penilaian Kinerja LSM

Upaya LSM untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan publik tidak cukup dengan menyumbang atau bekerjasama dengan konstituennya. Ada hal yang sangat esensial bagi LSM untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, yaitu LSM harus berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah dan akan dilakukan dengan transparan ke publik.

Menurut Ibrahim (2004), ada sekurang-kurangnya enam instrumen yang dapat digunakan untuk menjalankan akuntabilitas LSM, yaitu laporan berkala, audit publik, rapat anggota (board of trustees), mekanisme konsultasi publik, tanggap terhadap pengaduan masyarakat, dan survai pendapat umum.

Lebih lanjut Kas (2005) menjelaskan bahwa ada 2 aspek penting yang menjadi pokok perhatian dalam melakukan monitoring dan evaluasi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas LSM. Pertama, aspek organisasi, yang

meliputi visi dan misi, struktur organisasi, pola pengambilan keputusan, keberlanjutan program, keadilan dan kesetaraan gender, dan pengelolaan keuangan. Kedua adalah aspek program, yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan, monitoring dan evaluasi keberlanjutan program, serta sasaran pertanggungjawaban.

Secara lebih rinci, Tifa (2006)1 telah mengembangkan sebuah tools untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas LSM. Tools ini berisi 6 indikator yang dapat dijadikan sebagai elemen penilaian kinerja LSM, yaitu:

1. Elemen Visi – Misi dan Tujuan Organisasi

Visi adalah cara pandang organisasi terhadap kondisi ideal atau hasil akhir yang ingin dituju. Sedangkan misi adalah alasan/sebab keberadaan organisasi; misi merupakan suatu pola dari sasaran (purpose) yang dapat digunakan untuk mengawali, mengevaluasi, dan merumuskan ulang seluruh kegiatan organisasi. Rumusan misi dianggap baik bila menunjukkan cakupan kegiatan dan masyarakat dampingan.

Tujuan (Goals) adalah gambaran tentang apa yang ingin dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tertentu. Tujuan merupakan sasaran kinerja atau hasil akhir yang berkaitan dengan kegiatan. Visi dan Misi relatif tetap selama kurun waktu tertentu. Tetapi tujuan mungkin berubah seiring waktu dan respon terhadap kondisi lingkungan. Tujuan (goals) merupakan hasil potensial yang menggerakkan organisasi mendekati visi dan misinya.

Visi-Misi dan Tujuan organisasi yang baik, senantiasa mencerminkan kebutuhan masyarakat, sesuai mandat yang diberikan masyarakat terhadap organisasi. Oleh karena itu, dalam penyusunan Visi, misi dan Tujuan organisasi, keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi (Board/ dewan pendiri, jajaran manajemen, staf, kelompok dampingan, dan masyarakat) merupakan suatu keharusan.

Dengan kata lain, penyusunan Visi, Misi dan Tujuan organisasi idealnya dilakukan secara partisipatif. Dalam penyusunan secara partisipatif ini,

1 Yayasan Tifa yang diresmikan tanggal 8 Desember 2000 membawa misi untuk mengembangkan masyarakat terbuka di Indonesia, yang menghormati perbedaan, menghargai hukum, keadilan dan persamaan. Visi Yayasan Tifa adalah terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak pribadi, terutama hak dan pandangan perempuan, kelompok minoritas dan kelompok yang tidak diuntungkan lainnya. Yayasan ini juga mendukung terciptanya pemerintahan (governance) yang baik.

stakeholder yang hadir tidak sekadar terlibat secara “kehadirannya” saja, tetapi juga terlibat secara aktif dalam perumusan V – M – T. Selain disusun secara partisipatif, penyusunan V – M – T juga harus memperhatikan perspektif gender.

Jika staf lembaga bergabung dengan lembaga sesudah proses perumusan V – M – T, perlu adanya usaha untuk mendiseminasi V- M – T tersebut kepada staf baru. Tentu saja, rumusan yang jelas (tertulis) mengenai Visi, Misi dan Tujuan harus diketahui oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi.

Dengan demikian, seluruh aktivitas pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi senantiasa dalam kerangka visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai bersama.

2. Elemen Tata Laksana (Governance)

Tata Laksana mengacu pada tatanan organisasi dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang menuntun pelaksanaan misi dan tujuan yang ingin dicapai. Pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi, pertanggungjawaban, dan struktur organisasi merupakan elemen kunci dalam penyelenggaraan (governing) suatu organisasi.

Semua hal yang berkaitan dengan mekanisme dalam organisasi (pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi, dan struktur organisasi) dilandasi kesepakatan bersama seluruh anggota organisasi (board/dewan pendiri, jajaran manajemen, dan staf). Kesepakatan ini kemudian kemudian didokumentasikan agar jelas dan dapat dijadikan pedoman yang diterapkan organisasi secara konsisten.

Pada proses pengambilan keputusan, keputusan tersebut dapat mempengaruhi kebijakan organisasi secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai pihak (pengurus, direktur eksekutif, staf organisasi) dapat mempengaruhi tingkat transparansi dan akuntabilitas proses.

Administrasi berkaitan dengan penyelenggaraan atau pengelolaan organisasi setiap hari. Hal ini meliputi pembagian kerja, sistem manajemen informasi dan personalia.

Organisasi perlu sistem pengelolaan (bahkan aturan main) yang baik agar efektivitas dan efisiensi dapat terwujud. Untuk menimbulkan sense of belongingdan keterlibatan semua anggota organisasi terhadap sistem pengelolaan, dilakukan penyusunan secara partisipatif.

4. Elemen Program

Program merupakan jabaran dari misi yang nantinya akan diterjemahkan dalam kegiatan organisasi. Hal ini mencakup elemen integritas program, perencanaan program, pelaksanaan program dan monitoring dan evaluasi.

Program organisasi senantiasa mengacu pada visi dan misi organisasi. Keterlibatan rekan jejaring dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi program akan sangat membantu tercapainya visi dan misi organisasi. Tanpa program, organisasi tidak akan mempunyai kegiatan, karena kegiatan merupakan terjemahan program.

5. Elemen Pengelolaan Keuangan

Pengelolaan Keuangan mengacu pada prinsip pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif dan akuntabel. Proses pengelolaan menganut prinsip keterbukaan, akuntabilitas Tahapan pengelolaan keuangan meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, pengawasan, pembuatan informasi, penggalangan dana, dan keberlanjutan keuangan.

Keuangan dalam organisasi merupakan urat nadi organisasi karena tanpa dana (uang), program tidak bisa dilakukan. Namun ingat! Visi, misi dan tujuan organisasi harus selalu dijadikan pedoman dalam perencanaan, pengelolaan, pertanggungjawaban, penggalangan dana maupun keberlanjutan keuangan itu sendiri. Prinsip keterbukaan dan akuntabilitas harus dibudayakan Informasi keuangan bersifat terbuka, mudah diakses, diterbitkan secara teratur, dan mutakhir.

Legitimasi merupakan pengakuan masyarakat yang valid bahwa LSM yang bersangkutan benar-benar merupakan organisasi yang menjalankan mandat dari masyarakat, memberi manfaat serta diakui oleh masyarakat.

Legitimasi bisa dilihat dari dua elemen yaitu sosial dan hukum (legal). Untuk elemen sosial, legitimasi dapat dilihat pada bagaimana, LSM yang bersangkutan mendisseminasikan gagasan dan pemikirannya, serta pengakuan dan dukungan dari masyarakat dalam berbagai bentuknya.

Prinsip-prinsip legitimasi adalah responsibilitas (cepat, tanggap, dan peka ) terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat serta aktif memfasilitasi memfasilitasi kasus-kasus publik, dan komposisi alokasi sumber daya, baik itu sumber daya manusia ataupun anggaran harus lebih besar untuk masyarakat atau target group daripada alokasi untuk LSM itu sendiri.

Indikator-indikator penilaian kinerja ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam melakukan penilaian kinerja LSM. Melalui indikator ini dapat ditentukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan peningkatan kapasitas lembaga hingga bisa menjadi sebuah lembaga yang lebih akuntabel dan transparan.