• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pemasaran Sayuran di Indonesia .1 Pemasaran Kentang di Indonesia .1 Pemasaran Kentang di Indonesia

Dalam dokumen RISIKO HARGA SAYURAN DI INDONESIA (Halaman 36-41)

ditanam di dataran tinggi diatas 1000 m dpl seperti daerah Cianjur, Lembang, Sukabumi, dan daerah lainnya16.

2.2 Perkembangan Pemasaran Sayuran di Indonesia 2.2.1 Pemasaran Kentang di Indonesia

Pola pemasaran kentang cenderung bersifat musiman. Panen raya kentang terjadi ada bulan April, Juli-Agustus, dan November. Pada musim-musim raya tersebut volume perdagangan dapat mencapai 2 ton/hari, sedang pada bulan-bulan biasa hanya mencapai 500 kilogram/hari. Biasanya pada musim kemarau petani mengurangi jumlah tanaman pada lahan yang sama, untuk mengurangi risiko kegagalan panen yang disebabkan oleh musim. Di tingkat pembelian dari petani, kentang belum diklasifikasikan menurut mutu/besar kecilnya kentang. Pada umumnya para pedagang/agen kentang membeli kentang dari petani di kebun, dengan harga sama untuk semua mutu secara campuran. Posisi petani dalam menentukan harga sangat rendah. Pada waktu panen langsung dipotong dengan jumlah pinjaman, dan petani sama sekali tidak mengetahui berapa harga kentang di pasar. Petani hanya dapat menerima harga yang ditetapkan pedagang (Hastuti, 2001).

Menurut Sihombing (2005) petani kentang di daerah penelitian, berladang kentang dengan luas efektif 0,21 ha dengan jarak tanam 20 x 60 cm atau 40 x 70 cm. Dengan demikian jumlah populasinya adalah 1.155 rumpun tiap hektar. Waktu yang dibutuhkan dari penanaman sampai panen sekitar 3,5 bulan. Produktivitas rata-rata 10.337,84 kilogram/ha. Biaya produksi yang diperlukan adalah Rp 19.230.600/ha dengan rataan harga yang diterima Rp 2.900/kilogram maka penerimaan total adalah Rp. 29.979.000/ha/thn. Dengan demikian besarnya pendapatan bersih petani produsen adalah Rp. 10.748.400 /ha/thn.

Pedagang desa/ranting, umumnya pelaku pemasaran ini mempunyai tipe yang sangat aktif mencari pasokan kentang sampai ke ladang petani. Pedagang ini berkedudukan di desa, mereka dapat bertindak sendiri, namun seringkali sudah menjadi perpanjangan tangan dari pengumpul dengan berbekal modal yang

22 diberikan oleh pengumpul, dapat juga berdasarkan permintaan pedagang ranting atau pemberian pedagang pengumpul (Sihombing, 2005).

Pedagang Pengumpul merupakan induk pedagang ranting desa yang berkedudukan atau berasal dari kecamatan sendiri atau lainnya. Fungsi tataniaga yang diperankan mereka umumnya adalah sortasi, pengemasan dalam keranjang dan transportasi, baik dari maupun ke pedagang besar antar kota. Pedagang Besar yang terlibat dalam tataniaga kentang terdiri atas tiga, yaitu pedagang besar antar kota, pedagang besar kota Medan dan pedagang besar propinsi. Pedagang besar ini memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan harga kentang. Tipe pedagang besar ini ada dua macam. Pertama, pedagang yang langsung berhubungan dengan petani produsen dan pedagang yang hanya berhubungan dengan pedagang pengumpul di kecamatan. Agen Eksportir dan Eksportir Baik agen eksportir maupun eksportir umumnya berkedudukan di iibukota propinsi dan kabupaten. Untuk wilayah Karo dan Dairi umumnya mereka berdomisisli di Brastagi dan Medan. Rata-rata volume eksport adalah 670 ton/bulan dengan negara tujuan Singapura dan Malaysia. Fungsi utama yang dijalankan adalah grading, penyimpanan dan pengemasan (Sihombing, 2005). Pengolah pada mata rantai tataniaga kentang bentuk olahan (kripik) di Medan Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2002 tercatat berjumlah 9 pabrik, namun banyak usaha rumah tangga yang belum tercatat. Kapasitas produksi keripik kentang baru mencapai 51,25 ton setara dengan 128,125 ton bahan baku kentang. Dengan demikian, retention index komoditas ini berkisar sebesar 99,95. Sedangkan produksi keseluruhan kentang segar di Propinsi Sumatera Utara mencapai 252.451 ton.

Ada tiga rantai pemasaran kentang (Gambar 3), pertama, dari petani ke pedagang pengumpul – pedagang besar – agen eksportir, eksportir selanjutnya diekspor melalui pelabuhan Belawan. Kedua, mulai dari petani produsen ke pusat pasar, tingkat kabupaten dilanjutkan ke pusat pasar propinsi (Medan), kemudian ke pengecer dan akhirnya ke konsumen akhir. Ketiga, dari petani produsen ke pedagang pengumpul desa atau ranting yang bermuara ke pasar kabupaten. Rantai pemasaran sebagai bahan baku kripik cukup sederhana. Pabrik pengolah memperoleh bahan baku dari pedagang pengumpul. Hasil olahannya berupa kripik didistribusikan melalui toko pengecer baru ke konsumen. Pabrik juga melakukan

23 penjualan langsung ke konsumen, misalnya melalui forum pameran, dan lain-lain (Sihombing, 2005). Skema saluran tataniaga kentang di Sumatera Utara, disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Saluran Tataniaga Kentang di Sumatera Utara

Sumber: Sihombing, 2005

2.2.2 Pemasaran Kubis di Indonesia

Berdasarkan penelitian Agustian et al. (2005) mengenai tujuan dan pertimbangan pemasaran kubis dari petani hingga konsumen (Gambar 4). Pada jalur pemasaran komoditas kubis di lokasi penelitian (Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan Kabupaten Karo), petani melakukan pemasaran kubis cukup berVariasi yaitu melalui pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, dan pedagang besar atau Bandar. Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi Penelitian Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo, disajikan dalam Gambar 4. Sub-Sistem Produksi Sub-Sistem Pemasaran Sub-Sistem Pra Produksi Dalam Negeri Sub-Sistem Pengolahan

Kentang Segar Kripik

Dalam Negeri Luar

Negeri

Pedagang desa Eksporti Pengecer Merk

Dagang Pdg Pdg Besar Eksportir Grosir Grosir Pengecer Pengecer Konsumen Sumatra Utara Konsumen Jakarta/ Jawa Konsumen Luar Negeri

24 Gambar 4. Rantai Pemasaran Kubis di Lokasi Penelitian Kabupaten Garut,

Kabupaten Bandung dan Kabupaten Karo

Sumber: Agustian et al., 2005

Pedagang pengumpul desa di ketiga lokasi penelitian mempunyai kaki tangan yang dikenal dengan sebutan “penyiar” di Kabupaten Garut dan “agen” di Kabupaten Karo, yang bertugas memberikan informasi mengenai petani yang akan panen dan berapa jumlah produk yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa alur pemasaran komoditas kubis dari petani ke konsumen akhir cukup panjang. Hal ini tentunya akan sangat terpengaruh oleh adanya perbedaan selisih harga yang ada untuk mendorong penjualan tersebut yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa/penyiar/agen. Pedagang pengumpul tingkat kecamatan atau kabupaten selanjutnya dapat menjual ke pedagang di pasar tradisional yaitu pasar induk (Pasar Induk Caringin, Gedebage, Kramat Jati, Cibitung, Tanah Tinggi, Bogor), sedangkan untuk pedagang besar jangkauan pemasarannya dapat langsung ke pasar induk, atau ke supplier.

Sementara itu, pola pemasaran kubis dari petani ke pedagang di Provinsi Sumatera Utara (Agustian et al., 2005) adalah sebagai berikut :

a. Petani umumnya menjual langsung kepada pedagang di lahan untuk menaksir produksi dan dilakukan tawar menawar harga yang disebut dengan pola lelang. Penjualan berlangsung beberapa hari sebelum panen dilakukan.

b. Petani terikat untuk menjual langsung ke pedagang yang telah memberi pinjaman modal. Pola ini umum terjadi pada pedagang yang memasok kubis ke Batam, untuk seterusnya di ekspor ke Malaysia dan Singapura.

Pedagang besar/bandar Pedagang pengumpul kecamatan/kabupaten Pedagang pengumpul desa Petani Pdg Antar pulau Supplier PI. Caringin PI. Bitung PI. Tanah Tinggi PI. Kramat Jati Pdg Luar Jawa/ Luar Negeri Supermarket Pdg eceran dr luar daerah Konsumen

25 c. Petani menjual ke pasar terdekat, pada pola ini petani memanen dan

mengangkut sendiri kubisnya ke pasar terdekat. Petani yang memilih pola ini biasanya petani yang produksinya sedikit, maksimal satu ton.

2.2.3 Pemasaran Tomat di Indonesia

Seperti halnya pada komoditas sayuran lainnya, kegiatan pemasaran tomat bertujuan untuk memindahkan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen. Pada umumnya kegiatan produksi berlangsung di daerah pedesaan, sementara daerah konsumen terletak di perkotaan. Hal ini memberikan gambaran besarnya kontribusi lembaga-lembaga pemasaran dalam menjembatani produsen dan konsumen. Hampir seluruh sektor pemasaran tomat ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar tomat seringkali dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan.

Dibandingkan komoditas sayuran lainnya seperti kentang, tomat termasuk sayuran yang mudah rusak. Oleh karena itu jarang sekali petani tomat yang mempunyai gudang penyimpanan. Pada umumnya, petani menjual hasil produksi segera setelah panen. Cara penjualan tomat yang paling sering dilakukan oleh petani adalah dengan cara menimbang berat (kiloan) dan tebasan. Penjualan secara ditimbang dilakukan apabila panen telah selesai. Penentuan harga jual dilakukan berdasarkan harga kiloan yang berlaku. Hampir seluruh petani di sentra produksi Lembang dan Pangalengan menggunakan sistem penjualan tersebut. Tebasan merupakan cara penjualan yang dilakukan berdasarkan taksiran hasil produksi. Transaksi dilakukan menjelang panen, sedangkan biaya pemeliharaan selanjutnya dibebankan kepada pembeli. Sistem tebasan ini banyak dilakukan oleh petani tomat di daerah Garut Jawa Barat (Adiyoga et al., 2004).

Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/memilih tomat yang marketabledan non-marketable) dan grading (pada umumnya berdasarkan ukuran /berat tomat). Grading atau pengkelasan ternyata banyak memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen tomat, antara lain: 1) memudahkan pembeli untuk mendapatkan tomat sesuai dengan kualitas yang diinginkan, 2) dapat meningkatkan keperca-yaan konsumen,

Dalam dokumen RISIKO HARGA SAYURAN DI INDONESIA (Halaman 36-41)