• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian

4.3.2 Perkembangan Pendapatan Perkapita

Berdasarkan data tabel 2 dapat dilihat perkembangan Pendapatan Pekapita selama periode penelitian. Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa unit usaha selama 15 tahun (1992-2006) cenderung mengalami kenaikkan. Pendapatan Perkapita di Kota Surabaya tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar Rp 8,157.19ribu. Sedangkan Pendapatan Perkapita di Kota Surabaya terendah terjadi pada tahun 1992 sebesar Rp 3,060.41ribu. Perkembangan tertinggi selama periode penelitian adalah dari tahun 1994 ke tahun 1995 yaitu sebesar 25,3% dan perkembangan terendah selama periode penelitian adalah dari tahun 1998 ke tahun 1999 yaitu sebesar -0,33 %.

Tabel 2 : Pendapatan Perkapita di Kota Surabaya Tahun 1992-2006.

Tahun Pendapatan Perkapita di Kota Surabaya (Ribuan Rp) Perkembangan (%) 1992 3,060.41 - 1993 3,662.50 19,6 1994 3,951.86 7,90 1995 4,357.38 25,3 1996 4,660.97 6,96 1997 4,840.58 3,85 1998 3,909.55 -19,2 1999 3,896.43 -0,33 2000 4,293.65 10,1 2001 4,783.32 11,4 2002 5,231.60 9,37 2003 6,137.05 17,3 2004 6,741.41 9,84 2005 7,408.60 9,89 2006 8,157.19 10,1

4.3.3 Perkembangan Jumlah Pelanggan Rumah Tangga di Kota Surabaya. Sesuai tabel 3 dapat digambarkan Jumlah Pelanggan Rumah Tangga selama kurun waktu 15 tahun (1992-2006) cenderung mengalami kenaikkan. Jumlah Pelanggan Rumah Tangga tertinggi di Kota Surabaya terjadi pada tahun 2005 sebesar 312,297.00Unit. Sedangkan Jumlah Pelanggan Rumah Tangga di Kota Surabaya terendah terjadi pada tahun1992 sebesar 140,677.00Unit. Perkembangan tertinggi selama periode penelitian adalah dari tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu sebesar 23,0% dan perkembangan terendah selama periode penelitian adalah dari tahun 2005 ke tahun 2006 yaitu sebesar -2,46%.

Tabel 3 : Jumlah Pelanggan Rumah Tangga di Kota Surabaya Tahun 1992-2006.

Tahun

Jumlah Pelanggan Rumah Tangga di Kota

Surabaya (Unit) Perkembangan (%) 1992 140,677.00 - 1993 148,511.00 5,56 1994 163,394.00 10,0 1995 175,863.00 7,63 1996 182,382.00 5,41 1997 199,030.00 9,12 1998 213,254.00 7,14 1999 202,010.00 -5,27 2000 248,491.00 23,0 2001 266,104.00 7,08 2002 278,382.00 4,61 2003 280,102.00 6,17 2004 308,482.00 10,1 2005 312,297.00 1,23 2006 304,585.00 -2,46

4.3.4 Perkembangan Tingkat Inflasi di Kota Surabaya.

Sesuai tabel 4 dapat digambarkan Tingkat Inflasi selama kurun waktu 15 tahun (1992-2006) cenderung mengalami kenaikkan Tingkat Inflasi di Kota Surabaya terjadi pada tahun 2005 sebesar 17,11%. Sedangkan Tingkat Inflasi di Kota Surabaya terendah terjadi pada tahun 1999 sebesar 2,01%. Perkembangan tertinggi selama periode penelitian adalah dari tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu sebesar 365,1% dan perkembangan terendah selama periode penelitian adalah dari tahun 1993 ke tahun 1994 yaitu sebesar -5,42%.

Tabel 4 : Tingkat Inflasi di Kota Surabaya Tahun 1992-2006.

Tahun Tingkat Inflasi di Kota Surabaya (%) Perkembangan (%) 1992 4,94 - 1993 9,77 97,7 1994 9,24 -5,42 1995 8,64 -6,49 1996 4,1 -52,5 1997 11,05 169,5 1998 77,63 602,5 1999 2,01 97,4 2000 9,35 365,1 2001 12,55 34,2 2002 8,68 -30,8 2003 5,16 -40,5 2004 6,4 24,0 2005 17,11 167,3 2006 6,6 61,4

4.3.5 Perkembangan Tingkat Produksi Air Minum di Kota Surabaya. Sesuai tabel 5 dapat digambarkan Tingkat Produksi selama kurun waktu 15 tahun (1992-2006) cenderung mengalami kenaikkan Tingkat Produksi di Kota Surabaya terjadi pada tahun…. Sebesar….. Sedangkan Tingkat Produksi di Kota Surabaya terendah terjadi pada tahun…. Sebesar…... Perkembangan tertinggi selama periode penelitian adalah dari tahun ….. ke tahun …. yaitu sebesar ….dan perkembangan terendah selama periode penelitian adalah dari tahun …. ke tahun ….. yaitu sebesar….

Tabel 5 : Tingkat Produksi di Kota Surabaya Tahun 1992-2006.

Tahun Tingkat Produksi di Kota Surabaya (m3) Perkembangan (%) 1992 138.198 1993 133.471 1994 138.705 1995 153.131 1996 159.238 1997 183.292 1998 200.417 1999 197.432 2000 204.912 2001 214.326 2002 230.085 2003 230.748 2004 244.497 2005 247.544 2006 252.872

4.3.6 Perkembangan Distribusi Air Minum Menurut Jenis Pelanggan di Kota Surabaya.

Sesuai tabel 4 dapat digambarkan Tingkat Inflasi selama kurun waktu 15 tahun (1992-2006) cenderung mengalami kenaikkan Tingkat Inflasi di Kota Surabaya terjadi pada tahun 2005 sebesar 17,11%. Sedangkan Tingkat Inflasi di Kota Surabaya terendah terjadi pada tahun 1999 sebesar 2,01%. Perkembangan tertinggi selama periode penelitian adalah dari tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu sebesar 365,1% dan perkembangan terendah selama periode penelitian adalah dari tahun 1993 ke tahun 1994 yaitu sebesar -5,42%.

Distribusi Air Minum Menurut Jenis Pelanggan (m3) Tahun Rumah Tangga Niaga / Business Industri / industry Social / Social Activity Instansi Pemerintah / Goverment 1992 51,594 8,700 4,603 8,107 8,245 1993 55,880 9,324 4,567 9,098 7,861 1994 56,014 90,271 4,503 9,521 5,865 1995 64,720 11,085 4,562 15,360 5,209 1996 66,457 11,655 4,263 17,073 5,942 1997 72,290 12,427 4,472 11,128 6,704 1998 73,485 12,175 4,048 17,429 7,139 1999 77,645 11,593 4,293 17,294 7,254 2000 83,103 10,434 4,728 18,019 7,585 2001 87,235 10,675 5,390 16,976 7,163 2002 94,835 11,620 5,350 17,359 6,884 2003 95,273 11,936 5,487 17,419 6,931 2004 108,772 14,156 5,271 10,777 6,308 2005 312,297 24,903 869 5,972 1,131 2006 324,585 26,491 888 5,487 1,118

4.4 Analisis dan Uji Hipotesis

4.4.1 Pengujian Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Sesuai Dengan Asumsi BLUE (Best Linier Unbiassed Estimator).

Sebelum kita uji persamaan regresi berganda sesuai dengan pengujian secara simultan maupun secara parsial, maka kita lihat terlebih dahulu apakah persamaan Y = β0 + β1 . X1 + β2 . X2 + β3 . X3 + µ yang diasumsikan tidak terjadi pengaruh antar variable bebas atau regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiassed Estimator), artinya koefisien regresi pada persamaan tersebut betul-betul linier tidak bias.

1. Multikolinieritas.

Penyimpangan asumsi model klasik yang pertama adalah adanya multikolinieritas dalam model regresi yang dihasilkan. Artinya antar variable independent yang terdapat dalam model memilki hubungan yang sempurna atau mendekati sempurna. Dengan melihat nilai VIFnya, variable bebas lebih kecil dari nilai VIF 10 sedangkan salah satu syarat terjadinya multikolinieritas bila niali VIF (Variance Inflation Factor) variable bebas lebih besar dari 10 pada persamaan regresi linier.

VIF menyatakan tingkat “pembengkakan” varians. Apabila VIF lebih besar dari 10, hal ini berarti terdapat multikolinieritas pada persamaan regresi linier.

Tabel 5 : Hasil Uji Multikolinieritas Variable

(Y) VIF > | < Kesimpulan

Pendapatan Perkapita (X1) Jumlah Pelanggan Rumah Tangga (X2) Tingkat Inflasi (X3) 4,252 4,154 1,087 < < < Non Multikolinieritas Non Multikolinieritas Non Multikolinieritas

Adapun hasil yang diperoleh setelah diadakan pengujian analisis regresi linier berganda diketahui bahwa dari ketiga variable yang dianalisis diperoleh VIF untuk X1, X2, dan VIF untukX3 lebih kecil dari 10 sehingga dalam model regresi ini tidak terjadi multikolinieritas.

2. Heterokedastisitas.

Heterokedastisitas adalah varians variable tidak sama atau konstan. Konsekuensi adanya heterokedastisitas dalam model regresi adalah penaksir (estimator) yang diperoleh tidak efisien, baik dalam sample kecil maupun dalam sample besar, walaupun sample penaksir yang diperoleh menggambarkan populasinya (tidak bias) dan bertambahnya sample yang digunakan akan mendekati nilai sebenarnya (konsisten). Heterokedastisitas diidentifikasi dengan koefisien korelasi Rank Spearman.

Tabel 6 : Hasil Uji Heterokedastisitas Variable (Y) Taraf α signifikansi dari Korelasi Rank Spearman > | < Taraf α Uji Pendapatan Perkapita (X1) Jumlah Pelanggan Rumah Tangga (X2) Tingkat Inflasi (X3) 0,704 0,869 0,621 > > > 0,05 0,05 0,05

Dari analisis dengan menggunakan SPSS 13 diperoleh taraf

α signifikansi dari korelasi Rank Spearman untuk X1, X2, dan untuk X3 lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Maka dapat disimpulkan tidak terjadi heterokedastisitas.

3. Autokorelasi.

Autokorelasi adalah salah satu bentuk pelanggaran asumsi klasik bagi suatu model regresi. Asumsi yang dilanggar tersebut adalah komponen penggannggu satu dengan yang lainnya tidak independent atau sifatnya tidak rando, sehingga antara komponen pengganggu ke-

t

dengan komponen pengganggu ke- (

t

-1) terjadi korelasi.

Dalam analisis diperoleh nilai Durbin Watson untuk Y sebesar 2.247 (lampiran 2). Untuk mengetahui untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi maka perlu dilihat tabel Durbin Watson, yaitu apabila jumlah variable bebas adalah 3 (k = 3) dan

jumlah data adalah 15 (n = 15) maka diperoleh dL = 0,814 dan dU = 1,750 ; 4-dL = 3,186 ; 4-dU = 2,250. Selanjutnya nilai tersebut diplotkan kedalam kurva Durbin Watson.

Tabel 7 : Hasil Uji Autokorelasi

Dw Kesimpulan Dw < 0,814 0,814 < Dw < 1,750 1,750 < Dw < 2,250 2,250 < Dw < 3,186 Dw > 3,186 Autokorelasi Positif Tanpa Kesimpulan Tidak Ada Autokorelasi

Tanpa Kesimpulan Autokorelasi Negatif Sumber : Lampiran 2

Karena nilai Durbin Watson (Y) = 2,247 terletak pada interval 1,750 < Dw < 2,250 ini berarti model regresi terletak pada Daerah Non Autokorelasi.

Gambar 11 : Uji Durbin Watson

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan bahwa model regresi linier berganda tersebut telah memenuhi beberapa asumsi regresi klasik yang tidak berarti tidak bias.

Autokolerasi positif Tanpa kesimpulan Non Autokolerasi Tanpa kesimpulan Autokolerasi negatif dl = 0,814 du = 1,750 4 – du = 2,250 4 – dl = 3,186 dw (Y)= 2,247

4.4.2 Pengujian Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

Tabel 8 : Hasil Perhitungan Regresi Linier Berganda Dengan Menggunakan Program SPSS 13

Variable

Koefisien Regresi

Pendapatan Perkapita (X1) 4653.879

Jumlah Pelanggan Rumah Tangga (X2) 162.695

Tingkat Inflasi (X3) -45295.521

Variabel Terikat : Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya.

Konstanta : 65310015.519

Koefisien korelasi R : 0,991 R2 : 0,9812

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai berikut :

Y = β0 + β1 . X1 + β2 . X2 + β3 . X3

Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya Y = 65310015.519 + 4653.879. X1 + 162.695. X2 - 45295.521. X3

Dimana :

1. β0 (Konstanta) = 65310015.519 artinya jika diasumsikan X1

(Pendapatan Perkapita), X2 (Jumlah Pelanggan Rumah

Tangga), dan X3 (Tingkat Inflasi) konstan maka nilai Y

(Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya) akan mengalami kenaikkan sebesar 65310015.519 m3.

2. β2 = 4.653,879 artinya setiap kenaikkan X1 (Pendapatan

(Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya) sebesar 4.653,879 m3. Dengan asumsi X2 dan X3 konstan.

3. β2 = 162,695 artinya setiap kenaikkan X2 (Jumlah Pelanggan Rumh Tangga) sebesar 1 unit rumah tangga menyebabkan kenaikkan nilai Y (Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya) sebesar 162,695 m3. Dengan asumsi X1 dan X3

konstan.

4. β3 = -45295.521 artinya setiap kenaikkan X3 (Tingkat Inflasi) sebesar 1 % menyebabkan penurunan nilai Y (Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya) sebesar -45295.521 m3. Dengan asumsi X1 dan X3 konstan.

Selanjutnya untuk pengujian hipotesisnya menggunakan cara sebagai berikut :

a). Uji F

yaitu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh dari variable bebas secara simultan atau serempak terhadap variable terikat.

Tingkat konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya Tabel 9 : Analisis Varian (ANOVA)

Sumber Varian

Jumlah Kuadrat Df Kuadrat

Tengah Fhitung Ftabel Regresi 3,67612 3 1,22537 190.88467 3,59 Residual 7,0614 11 6,41945 - - Total 3,74674 14 - - - Sumber : Lampiran 2

KT Regresi KT Galat

1,22537 6,41945

Langkah-langkah :

1. Ho : β0 = β1 = β2 = β3 = 0 (artinya secara keseluruhan variable bebas tidak ada pengaruh terhadap variable terikat).

Hi : β0 ≠ β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ 0 (artinya secara keseluruhan variable bebas ada pengaruh terhadap variable terikat).

2. α = 0,05 dengan df pembilang = 3, df penyebut =11 Ftabel = (α = 0,05) = 3,59

3. Fhitung = = = 190.88467

4. Pengujian Hipotesis

Gambar 12 : Distribusi Penerimaan dan Penolakkan Hipotesis Secara Simultan

Sumber : Lampiran 2 Kaidah :

Ho ditolak jika Fhitung > Ftabel Ho diterima jika Fhitung≤ Ftabel

5. Kesimpulan

Karena Fhitung 190.88467 > Ftabel 3,59 maka Ho ditolak dan Hi diterima yang berarti variable bebas yaitu Pendapatan Perkapita (X1), Jumlah Pelanggan Rumah Tangga (X2), dan

Daerah Penerimaan H0

Daerah Penolakan H0

3,59

Tingkat Inflasi (X3) berpengaruh nyata terhadap variable terikat Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y).

Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara variable bebas terhadap variable terikat secara keseluruhan, maka dapat dilakukan dengan cara menghitung nilai koefisien determinasi simultan (R2) dengan rumus :

R2 = = =

Dengan melihat nilai R2 diatas, maka dapat diketahui

bahwa variable bebas mampu mempengaruhi variable terikat secara keseluruhan sebesar 98,1% sedangkan 1,9% dipengaruhi oleh factor lain diluar model. Koefisien Korelasi ganda R (Multiple R) sebesar 0,991 menyatakan hubungan secara serentak antara variable bebas dengan variable terikat adalah 99,1%.

b). Uji

t

yaitu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengaruh dari masing-masing variable bebas dan secara parsial atau individu atau secara terpisah terhadap variable terikat.

Pendapatan Perkapita di Kota Surabaya Tabel 10 : Analisis Kovarian

Variable

Koefisien

Regresi

t

hitung

t

tabel

r2 parsial

Pendapatan Perkapita (X1) 4653.879 4,904 2,201 0,828

Jumlah Pelanggan Rumah Tangga (X2)

162.695 7,131 2,201 0,907

Tingkat Inflasi (X3) -45295.521 -1,174 2,201 -0,334

Jumlah kuadrat regresi Jumlah kuadrat total

3,67612

Langkah-langkah :

1). Untuk mengetahui pengaruh seacara parsial antara variable

Pendapatan Perkapita (X1) terhadap variable terikat yaitu Tingkat

Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y) digunakan uji

t

dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Ho : β1 = 0 (tidak ada pengaruh antara variable X1 terhadap variable Y).

Ho : β1 ≠ 0 (ada pengaruh antara variable X1 terhadap variable Y). 2. α = 0,025 dengan df =11

t

tabel (α/ 2 = 0,025) = 2,201 3.

t

hitung = ) 1 ( 1   Set = 4,904 4. Pengujian Hipotesis

Gambar 13 : Kurva Distribusi Penerimaan dan Penolakkan Hipotesis Secara Parsial Untuk Variabel X1

Sumber : Lampiran 3 Kaidah :

Ho diterima jika -

t

tabel

t

hitung

t

tabel

Ho ditolak jika

t

hitung >

t

tabel atau

t

hitung < -

t

tabel Daerah Penerimaan Ho

Daerah Penolakan Ho Daerah Penolakan Ho

5. Kesimpulan

Setelah diketahui hasil penghitungan secara parsial diperoleh

t

hitung 4,904 >

t

tabel 2,201. Sehingga secara parsial Pendapatan Perkapita (X1) berpengaruh nyata terhadap Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y).

Nilai r2 parsial untuk Pendapatan Perkapita di Kota

Surabaya (X1) sebesar 0,828 berarti bahwa variable bebas secara parsial mampu menjelaskan variable terikat Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y) yang diberikan sebesar 82,8% sedangkan sisanya tidak mampu dijelaskan oleh variable tersebut.

2). Untuk mengetahui pengaruh secara parsial antara variable Jumlah

Pelanggan Rumah Tangga (X2) terhadap variable terikat yaitu

Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y) digunakan uji

t

dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Ho : β2 = 0 (tidak ada pengaruh antara variable X2 terhadap variable Y).

Ho : β2 ≠ 0 (ada pengaruh antara variable X2 terhadap variable Y). 2. α = 0,025 dengan df =11

t

tabel (α/ 2 = 0,025) = 2,201 3.

t

hitung =

 

2 2 2   Se = 7,131 4. Pengujian Hipotesis

Gambar 14 : Kurva Distribusi Penerimaan dan Penolakkan Hipotesis Secara Parsial Untuk Variabel X2

Sumber : Lampiran 3 Kaidah :

Ho diterima jika -

t

tabel

t

hitung

t

tabel

Ho ditolak jika

t

hitung >

t

tabel atau

t

hitung < -

t

tabel

5. Kesimpulan

Setelah diketahui hasil penghitungan secara parsial diperoleh

t

hitung 7,131 >

t

tabel 2,201. Sehingga secara parsial

Jumlah Pelanggan Rumah Tangga (X2) berpengaruh nyata

terhadap Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y).

Nilai r2 parsial untuk Jumlah Pelanggan Rumah Tangga di Kota Surabaya (X2) sebesar 0,907 berarti bahwa variable bebas secara parsial mampu menjelaskan variable terikat Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y) yang diberikan sebesar 90,7% sedangkan sisanya tidak mampu dijelaskan oleh variable tersebut.

Daerah Penerimaan Ho

Daerah Penolakan Ho Daerah Penolakan Ho

3). Untuk mengetahui pengaruh secara parsial antara variable Tingkat Inflasi (X3) terhadap variable terikat yaitu Tingkat Konsumsi

Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y) digunakan uji

t

dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Ho : β3 = 0 (tidak ada pengaruh antara variable X3 terhadap variable Y).

Ho : β3 ≠ 0 (ada pengaruh antara variable X3 terhadap variable Y). 2. α = 0,025 dengan df =11

t

tabel (α/ 2 = 0,025) = 2,201 3.

t

hitung =

 

3 3   Se = -1,174 4. Pengujian Hipotesis

Gambar 15 : Kurva Distribusi Penerimaan dan Penolakkan Hipotesis Secara Parsial Untuk Variabel X3

Sumber : Lampiran 3 Kaidah :

Ho diterima jika -

t

tabel

t

hitung

t

tabel

Ho ditolak jika

t

hitung >

t

tabel atau

t

hitung < -

t

tabel Daerah Penerimaan Ho

Daerah Penolakan Ho Daerah Penolakan Ho

5. Kesimpulan

Setelah diketahui hasil penghitungan secara parsial diperoleh

t

hitung -1,174 >

t

tabel 2,201. Sehingga secara parsial

Tingkat Inflasi (X3) berpengaruh nyata terhadap Tingkat

Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y).

Nilai r2 parsial untuk Tingkat Inflasi di Kota Surabaya (X3) sebesar -0,334 berarti bahwa variable bebas secara parsial mampu menjelaskan variable terikat Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y) yang diberikan sebesar -33,4% sedangkan sisanya tidak mampu dijelaskan oleh variable tersebut.

4.5 Pembahasan

Kebutuhan masyarakat di Surabaya yang berkaitan dengan kebutuhan pokok, dalam hal ini adalah air dapat dipenuhi oleh PDAM untuk penyediaan air bersih Kotamadya Surabaya. Peran air minum mempunyai beberapa fungsi antara lain sebagai status social bagi sebagian masyarakat.

Jumlah konsumsi air minum dipengaruhi banyak factor, tetapi dalam hal penelitian ini hanya terbatas pada factor-faktor antara lain : Pendapatan Perkapita, Jumlah Pelanggan Sektor Rumah Tangga dan Tingkat Inflasi.

Pendapatan Perkapita berpengaruh nyata terhadap Tingkat

Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya. Variable (X1) tersebut

konsumsi akan meningkat pula, sebaliknya apabila pendapatan turun, maka konsumsi pun merosot pula. Hubungan yang erat antara konsumsi

dengan pendapatan seperti ini disebut atau diberi nama propensity to

consume (hasrat untuk mengkonsumsi).

Dimana kebutuhan masyarakat dan pendapatan berbanding sama dan itu terlihat dari semakin besar pendapatan penduduk kota Surabaya maka semakin banyak kebutuhan yang diinginkan seperti halnya air bersih.

Jumlah Pelanggan Rumah Tangga berpengaruh nyata terhadap Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya. Dengan semakin meningkatnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan air bersih maka semakin meningkat pula konsumsi air bersih yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga permintaan sambungan air bersih kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) akan meningkat. Permintaan inilah yang dapat berpengaruh positif terhadap perolehan pendapatan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) karena semakin banyak air yang terjual khususnya untuk konsumen rumah tangga.

Untuk variable Tingkat Inflasi secara parsial berpengaruh nyata terhadap Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya. Karena apabila terjadi penurunan inflasi maka produksi juga akan meningkat, dan dengan produksi yang meningkat diperlukan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan untuk memenuhi proses Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Surabaya. Dan sebaliknya apabila inflasi meningkat maka daya

beli masyarakat akan menurun sehingga akan mempengaruhi permintaan produksi sehingga barang dan jasa yang dihasilkan sedikit. Hal ini dikarenakan kenaikan tingkat inflasi terjadi dari kenaikkan harga barang-barang yang tidak dapat dikendalikan pemerintah, misalnya adanya kenaikkan harga BBM.

Fungsi Air Minum Bagi Kebutuhan Pokok Penduduk

Surabaya sebagai kota yang padat Penduduknya, yang juga merupakan padat kegiatan ekonomi, social budaya, dan politik sangat penting peran air minum karena menunjang kegiatan industri, perhotelan, pelabuhan serta meningkatkan taraf hidup dari penduduk itu sendiri. Karena itu tersedianya air bersih yang mudah didapat, dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang mudah dijangkau oleh penduduk yang berpendapatan rendah, sangat penting artinya bagi perkembangan kesehatan lingkungan di pemukiman kota.

Penyediaan air bersih, khususnya didaerah perkotaan dan pusat-pusat pemukiman lain, perlu diusahakan guna menjamin kelangsungan hidup masyarakat.

Sehubungan dengan itu Soemitro (1977 : 22) menyatakan masalah penyediaan air merupakan sesuatu yang paling peka berhubungan dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari pengujian didapat Fhitung 190.88467> Ftabel 3,59maka Ho ditolak dan Hi diterima yang berarti variable bebas yaitu Pendapatan Perkapita (X1), Jumlah Pelanggan Rumah Tangga (X2), dan Tingkat Inflasi (X3) berpengaruh nyata terhadap variable terikat Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y).

2. a). Hasil pengujian secara parsial diperoleh

t

hitung 4,904>

t

tabel 2,201.

Sehingga secara parsial Pendapatan Perkapita (X1) berpengaruh

nyata terhadap Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y). Hal ini erat kaitannya dengan pendapatan masyarakat yang berasal dari perolehan pendapatan perkapita suatu daerah dan jumlah penduduk. Sehingga semakin meningkatnya pendapatan masyarakat yang diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan tingkat konsumsi / permintaan akan kebutuhan air bersih akan ikut meningkat.

b). Hasil pengujian secara parsial

t

hitung 7,131>

t

tabel 2,201. Sehingga

secara parsial Jumlah Pelanggan Rumah Tangga (X2) berpengaruh

nyata terhadap Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y). Hal ini perlu adanya usaha perluasan jaringan /

sambungan permintaan pemakaian air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) khususnya bagi pelanggan dari golongan rumah tangga yang merupakan pelanggan terbesar Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

c). Hasil pengujian secara parsial

t

hitung -1,174 >

t

tabel 2,201. Sehingga secara parsial Tingkat Inflasi (X3) berpengaruh nyata terhadap Tingkat Konsumsi Air Minum PDAM di Kota Surabaya (Y). Hal ini berarti dengan meningkatnya inflasi akan berpengaruh nyata pada tingkat konsumsi yang semakin menurun sehingga barang dan jasa yang dihasilkan akan sedikit. Naiknya inflasi tidak terlepas karena keadaan perekonomian yang kurang stabil.

5.2. Saran

Setelah dikemukakan beberapa kesimpulan, maka akan diberiakan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan sebagai berikut :

1. Perlunya perhatian daerah khususnya Perusahaan Daerah Air Minum

(PDAM) dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berkaitan pemenuhan kebutuhan air minum.

2. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) hendaknya melakukan kontroling

terhadap meteran secara periodic untuk mencegah atau mengetahui kerusakan meteran dan pencurian air.

3. meningkatkan system pelayanan agar memperlancar kebutuhan fasilitas

air minum, dengan demikian akan meningkatkan minat pelanggan terhadap permintaan air minum.

DAFTAR PUSTAKA

Anugrah, Soni. 1993, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rumah Tangga

Dalam Mengkonsumsi Air PDAM Di Kotamadya Surabaya”, Universitas

Airlangga, Surabaya.

Arsyad. Lincolin, 1992, Ekonomi Pembangunan, Edisi Kedua, Penerbit Sekolah Tinggi

Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta.

Boediono, 1983, Ekonomi Mikro, Edisi kedua, Penerbit BPFE, UGM, Yogyakarta.

Dajan. Anto, 1986, Pengantar Metode Statistik, Jilid II, Penerbit PT Pustaka LP3ES

Indonesia, Jakarta.

Dumairy. M, 1997, Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta

Gujarat. Damodar, 1995, Ekonometrika Dasar, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Hartono, Dadang. Dwi, 2000, “Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan

Rumah Tangga Terhadap Air Minum Di Surabaya”, FE UPN “Veteran” Jatim,

Surabaya.

Kadariah, 1994, Teori Ekonomi Mikro, LPFE Universitas Indonesia, Jakarta.

Kuncoro. Mudrajat, 1997, Ekonomi Pembangunan, Penerbit Gadjamada, Yogyakarta.

Leylana, 1994, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Air Bersih

Untuk Rumah Tangga Di Kelurahan Kali Rungkut Kecamatan Kali Rungkut

Kotamadya Surabaya RW IV Dan RW VIII”, Universitas Surabaya, Surabaya.

Pujowati. Juliani, 1995, “Penetapan Kebijaksanaan Harga Air Minum Sebagai Usaha

Pemerataan Pemenuhan Kebutuhan Pelanggan Di Kota Surabaya”, FE UPN

“Veteran” Jatim, Surabaya.

Rosyidi. Suherman, 2004, Pengantar Teori Ekonomi, Penerbit PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

---, 2005, Pengantar Teori Ekonomi, Pendekatan Kepada Teori Mikro Dan

Makro, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Rahardja. Prathama, 2000, Pengantar Teori Ekonomi Mikro, Penerbit Universitas

Indonesia, Jakarta.

Sudarsono, 1999, Pengantar Ekonomi Mikro, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjamada, Yogyakarta.

Sukirno. Sadono,1994, Pengantar Teori Mikro, Edisi kedua, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

---, 2002, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Penerbit PT Grafindo Persada,

Jakarta.

Sumitro, 1977, Ekonomi Sumber Daya Alam, Penerbit Galia, Indonesia.

Simanjutak, 1990, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, LPFE Universitas

Indonesia, Jakarta.

Sumarsono, 2005, Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia Dan Ketenagakerjaan,

Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sugiarto, 2002, Ekonomi Mikro, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Steiner dan Lipsey, Dkk, 1992, Pengantar Mikro Ekonomi, Edisi Kesembilan, Penerbit

Erlangga, Jakarta.

Tedjakusuma. Ritawati, Dkk, 2001, (Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol.2 No:3),

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Dalam

Pembelian Air Minum Mineral Di Kotamadya Surabaya”, Universitas

Airlangga, Surabaya.

Wijarnako, 2004, “Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Air

Bersih Perusahaan Daerah Air Minum Untuk Rumah Tangga Di Kabupaten

Purbalingga”, FE UPN “Veteran” Jatim, Surabaya.

Dokumen terkait