TINJAUAN PUSTAKA
2.2 SIK Modifikasi Resin Nano
2.2.4 Perkembangan Penelitian SIK Modifikasi Resin Nano
Waleed et al (2007) menyatakan bahwa penambahan nano filler kedalam SIK modifikasi resin hanya meningkatkan ikatannya ke dentin, akan tetapi flexural dan
compressive strength tidak meningkat jika dibandingkan dengan SIK konvensional.13
Pada penelitian Coutinho et al (2009) dengan menggunakan SIK modifikasi resin nano, dikatakan bahwa ikatan SIK modifikasi resin nano ke enamel dan dentin sebaik ikatan SIK konvensional, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan SIK modifikasi
resin konvensional, oleh karena itu diperlukan penggunaan primer nano. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan gambaran TEM (Transmission Electron Microscopy) dari SIK modifikasi resin nano dengan dentin, menunjukkan adanya interaksi yang kuat, namun tidak ada demineralisasi nyata yang terlihat pada permukaan intertubular dentin dan juga tidak ada indikasi pembentukkan lapisan hibridisasi.30
Penelitian Wadenya et al (2010) dengan menggunakan gigi molar desidui menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan leakage pada enamel dan dentin antara SIK konvensional dan SIK modifikasi resin nano.28 El-Askary et al (2011) menyatakan bahwa diperlukan tindakan pre-conditioning yaitu penggunaan nano primer pada pemakaian SIK modifikasi resin nano karena ia tidak dapat membuktikan adanya shear bond strength dari SIK modifikasi resin nano itu sendiri jika tidak menggunakan primer. Hasil Scanning Elektron Microscope (SEM)dari penelitiannya menunjukkan adanya lapisan smear layer diatas permukaan dentin dan kurangnya pembentukan jaringan hibridisasi dalam pengunaan SIK modifikasi resin nano sesuai dengan anjuran pabriknya. Hal ini dapat dijelaskan dengan ketidakmampuan nano-primer untuk dekalsifikasi dasar dentin, yang mungkin berhubungan dengan tingginya pH nano primer ( 3).14
Deepali et al (2010) melakukan preparasi kavitas intra orifisi, kemudian dilakukan pengaplikasian primer dan pengeringan dengan udara, untuk kemudian direstorasi dengan Ketac N100, menyatakan penggunaan SIK modifikasi resin nano sebagai perintang intra orifisi menunjukkan hasil yang lebih baik pada coronal seal
dibandingkan restorasi komposit, dengan perbedaan yang tidak signifikan terhadap celah mahkota (coronal leakage) antara SIK viskositas tinggi dengan SIK modifikasi resin nano.31
Penelitian El-Rouby (2010) yang melakukan restorasi pada jaringan ikat subkutan dari tikus dengan bahan Ketac N100, menyatakan adanya infiltrasi peradangan yang parah, baik akut maupun kronis, setelah pemakaian Ketac N100 setelah satu minggu, terjadi proliferasi sel angioblast dan fibroblast, disertai hiperemi pembuluh darah dan penebalan jaringan granulasi disekitar jaringan yang direstorasi. Namun setelah 8 minggu pemakaian tidak dijumpai adanya sel yang nekrosis. Ia juga melaporkan adanya kemampuan remineralisasi pada bahan yang melepaskan fluor ini.12 Sharathchandra (2010) juga telah meneliti efek bleaching terhadap SIK modifikasi resin nano, hasil penelitiannya menyatakan bahwa tidak ada efek bleaching terhadap tekstur permukaan dan warna dari SIK modifikasi resin nano secara Scanning Elektron Microscopic (SEM).32
SIK modifikasi resin nano ini memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan SIK konvensional maupun SIK modifikasi resin tanpa partikel nano. SIK modifikasi resin nano memiliki compressive strength yang lebih tinggi dibandingkan dengan SIK konvensional (Fuji IX dan Ionofil Molar) dan beberapa SIK modifikasi resin konvensional (Vitremer, Photac Fill, dan Fuji Filling LC), hampir sama dengan Fuji II LC (SIK modifikasi resin konvensional). Flexural strength SIK modifikasi resin nano lebih tinggi dari Fuji IX, Ionofil Molar, dan Fuji Filling LC; hampir sama dengan Vitremer; namun lebih rendah dari Fuji II LC.11 Pada pengujian celah mikro antara SIK modifikasi resin nano (Ketac Nano) dengan SIK modifikasi resin
konvensional (Fuji II LC) menunjukkan bahwa pada enamel SIK modifikasi resin nano memiliki celah mikro lebih tinggi dari SIK modifikasi resin konvensional, namun sebaliknya pada dentin SIK modifikasi resin nano memiliki celah mikro jauh lebih rendah dari SIK modifikasi resin konvensional.11,31 Pada perbandingan SIK modifikasi resin nano dengan SIK konvensional tidak terlihat adanya perbedaan celah mikro antara kedua bahan tersebut.28 Pelepasan fluor pada SIK modifikasi resin nano juga lebih tinggi dibandingkan SIK modifikasi resin konvensional.15
2.3 Kitosan
Kitosan merupakan polimer alam yang mempunyai rantai linear dengan rumus (C6H11NO4)n dan merupakan turunan utama kitin (Gambar 8a) yang mempunyai derajat kereaktifan tinggi disebabkan oleh adanya gugus amino bebas sebagai gugus fungsional. Kitosan diperoleh dari hasil deasetilasi kitin dalam larutan NaOH pekat.16,17 Pada tahun 1859, Rouget menemukan modifikasi kitin yang akhirnya oleh Hoppe-Seiler pada tahun 1894 diberi nama kitosan (Gambar 8b). Sejak saat itu penelitian kitin dan kitosan berkembang sampai pertengahan abad 1900-an. Pada tahun 1930-an Rigby mempatentkan kitin dan kitosan berserta cara isolasi dan preparasinya dan pemanfaatannya dalam bidang industri.33
a b
Dunn et al. (1997) (cit Ningsih, 2011) menyatakan kitin dan kitosan tidak dapat larut hanya dalam air, kecuali dengan subsitusi. Keduanya dapat larut dalam asam encer seperti asam asetat. Adanya gugus karboksil dalam asam asetat memudahkan pelarutan kitin dan kitosan karena terjadi interaksi hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amina dari keduanya. Pernyataan Agusnar (2006) (cit Ningsih,2010) menyebutkan hidrolisis gugus asetil pada kitin dapat dilakukan dengan larutan NaOH kuat, diikuti pencucian, pengubahan pH dan proses pengeringan. Pada tahap ini kitosan yang terbentuk masih berupa kepingan kasar dan dapat dihaluskan mengikuti ukuran tertentu.19
Penelitian Marganov (2003) mengatakan bahwa kulit udang mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 13-20%, tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udang dan tempat hidupnya. Cangkang kepiting mengandung protein 15,6-23,9%, kalsium karbonat 53,7-78,4%, dan kitin 18,7-32,2% yang juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya.18,34 Perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada kandungan nitrogennya. Bila nitrogen kurang dari 7% maka polimer tersebut disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan.35
Kitosan memiliki sifat-sifat tertentu yang menguntungkan sehingga banyak diaplikasikan di berbagai industri maupun bidang kesehatan. Kitosan mempunyai sifat khas antara lain bioaktivitas dan biodegradasi yang dihubungkan dengan adanya gugus-gugus amino dan hidroksil yang terikat.36
Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terbagi tiga, yaitu: kitosan bermolekul rendah, bermolekul sedang dan bermolekul tinggi. Kitosan bermolekul
rendah dengan berat molekul dibawah 400.000 Mv dan bermolekul sedang dengan berat molekul 400.000-800.000 Mv berasal dari hewan laut dengan cangkang atau kulit yang lunak misalnya udang, cumi-cumi dan rajungan. Untuk kitosan bermolekul tinggi biasanya berasal dari hewan laut bercangkang keras, misalnya kepiting, kerang dan blangkas, dengan berat molekulnya 800.000-1.100.000 Mv.17