• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Kepustakaan

7. Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Pemilihan Umum

a. Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam KUHP

Perkembangan mengenai Tindak pidana Pemilihan Umum berawal dari ketentuan Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Di dalam KUHP yang merupakan warisan dari Pemerintahan Belanda terdapat 5 (lima) pasal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum. Kelima pasal tersebut diatur dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai Tindak pidana Kejahatan dalam melaksanakan kewajiban dan hak kenegaraan, diantaranya adalah :

1. Pasal 148 yang mengatur tentang merintangi orang yang menjalankan haknya dalam memilih.

2. Pasal 149 yang mengatur tentang penyuapan dengan sanksi pidana. 3. Pasal 150 yang mengatur tentang perbuatan tipu muslihat diancam

pidana penjara Sembilan bulan

4. Pasal 151 yang mengatur tentang tindak pidana yang mengaku sebagai orang lain diancam pidana satu tahun empat bulan

5. Pasal 152 yang mengatur tentang meninggalkan pemungutan suara yang telah dilakukan atau melakukan tipu muslihat diancam pidana dua tahun.

Ketentuan pidana yang dimuat berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum di dalam KUHP adalah menarik ketika WvS mulai berlaku ditahun 1917, dan kedudukan pasal-pasal tersebut telah ada, padahal Indonesia pada masa tersebut masih dalam penjajahan Belanda yang menyatakan bahwa belum terlaksananya proses Pemilihan Umum di Indonesia.

b. Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953

Undang-Undang ini mengatur mengenai tindak Pidana Pemilihan Umum yang dapat dilihat dari ketentuan Bab XV Pasal 113-Pasal 129 yang terdiri atas 17 Pasal mengenai Tindak pidana yang diuraikan sebagai berikut :

1. Pasal 113-Pasal 126 yang mengatur tentang tindak pidana

2. Pasal 127 yang mengatur tentang perampasan/pemusnahan barang bukti

3. Pasal 128 yang mengatur tentang hukuman tambahan 4. Pasal 129 yang mengatur tentang jenis tindak pidana

Keseluruhan pasal ini memuat 14 (empat belas) pasal yang merupakan jenis kejahatan dan 2 (dua) pasal yang merupakan jenis pelanggaran. Kemudian dari segi sanksi pidananya, hanya 9 (Sembilan) pasal yang mengatur 5 (lima) tahun penjara sebagai sanksinya, kemudian terdapat hukuman denda dan hukum penjara antara 3 (tiga) bulan hingga 3(tiga) tahun penjara.

c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969

Pengaturan mengenai tindak pidana Pemilihan Umum di dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1969 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 dan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1985 yang kesemuanya merupakan Undang-Undang Pemilihan Umum pada masa Orde Baru tidaklah banyak terdapat perbedaan. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, pengaturan mengenai Pidana Pemilihan Umum hanya menyangkut 3 (tiga) prinsip, yaitu :

1) Hilangnya 2 (dua) Tindak pidana yang Berkaitan dengan Surat Palsu. Ketentuan yang berkaitan dengan Surat palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 115 dan Pasal 117, yakni “Menyimpan surat palsu dengan

maksud untuk menggunakan atau supaya dipergunakan orang lain” tidak terdapat l lagi pada Undang-Undang Pemilihan Umum pada masa Orde Baru. Melainkan yang digunakan hanyalah ketentuan Pasal 114 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1953, yakni “Mempergunakan atau menyuruh menggunakan surat palsu “yang dimasukkan ke dalam Pasal 26 ayat 2 dan 3. 2) Dibuatnya 1 (satu) Tindak pidana baru.

Ketentuan terhadap WNI bekas anggota G-30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya yang tidak diberikan hak pilih suara dan mencalonkan orang yang tidak diberi hak pilih tersebut.

3) Perubahan sistematika yang berupa penyerdehanaan pasal.

d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999

Undang- Undang ini mengatur mengenai tindak pidana Pemilihan Umum dalam Bab XIII yang terdiri atas 4 (empat) Pasal, yakni :

1. Pasal 72 yang terdiri atas 3 (tiga) ayat

2. Pasal 73 yang terdiri atas 11 (sebelas) ayat memuat rumusan dari 14 (empat belas) tindak pidana Pemilihan Umum

Terdapat 13 (tiga belas) pasal diantaranya telah dimuat dalam Undang-Undang Pemilihan Umum pada masa Orde Baru dan ditambah satu tindak pidana Pemilihan Umum yang berkaitan dengan pemberian dana kampanye melebihi ketentuan. Selanjutnya :

3. Pasal 74 mengatur tentang tindak pidana yang dikategorikan sebagai Kejahatan dan Pelanggaran

4. Pasal 75 mengatur tentang barang-barang bukti dalam tindak pidana Pemilihan Umum.

e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003

Undang –Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang yang sebelumnya berdasarkan tuntutan dan perkembangan masyarakat sebagaimana dituangkan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dimana Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Perbandingan dengan Undang-Undang sebelumnya, ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini terdapat sejumlah perbedaan dari awal proses Pemilihan Umum hingga Pengawasan dan Sanksi pidana. Di dalam Undang- Undang ini juga diatur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur pada Bab XV, yaitu Pasal 137 hingga Pasal 140. Demikan juga ketentuan Pasal 141 yang mengatur mengenai dasar pemberatan pidana.

f. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

Undang- Undang ini memuat perkembangan mengenai tindak pidana Pemilihan Umum terlihat dalam pasal 260-pasal 311 yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan, calon, dan tim kampanye, Pejabat negara, PNS, TNI, dan POLRI,Petugas anggota KPU,Bawaslu di semua tingkatan, percetakan, lembaga penghitungan hasil Pemilihan Umum cepat. Dengan kata lain terdapat pembagian antara subjek hukum pelaku Tindak pidana yang terdiri atas perorangan dan institusi.

g. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

Pengaturan tindak pidana Pemilihan Umum dalam Undang-Undang ini dikategorikan lebih jelas antara Kejahatan dan Pelanggaran yang berkaitan dengan denda pidana dan kurungannya. Selain itu terdapatnya penghapusan terhadap pidana minimum guna memberikan Asas Kepastian Hukum dan memudahkan bagi Hakim dalam memberikan putusan. Undang-Undang ini juga memperkuat peranan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang juga dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Hal ini dapat dilihat dari penambahan waktu terhadap pelaporan pelanggaran Pemilihan Umum menjadi 7 (tujuh) hari, penambahan penanganan laporan pelanggaran Pemilihan Umum yang dilakukan menjadi 5 (lima) hari yang kemudian pengawas Pemilihan Umum dapat mengklasifikasi penggaran tersebut ke dalam :

1. Pelanggaran Kode Etik penyelenggaraan Pemilihan Umum yang akan diteruskan kepada Dewan Kehormatan Pelanggaran Kode Etik (DKPP).Pada Undang-Undang Pemilihan Umum yang lama tidak mengatur mengenai hal ini

2. Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum diteruskan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. 3. Sengketa Pemilihan Umum diselesaikan oleh Bawaslu, yang pada

Undang-Undang Pemilihan Umum lama hal ini juga tidak diatur. 4. Tindak pidana Pemilihan Umum diteruskan kepada Kepolisian Negara

Republik Indonesia (POLRI)

Undang-Undang Pemilihan Umum ini juga mengatur tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) terkait mengenai penanganan tindak pidana Pemilihan Umum dengan tujuan untuk menyamakan pemahaman

dan pola penanganan Tindak pidana Pemilihan Umum antara Bawaslu, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.21

F.Metode Penelitian