• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Produksi Beras Indonesia

V POTENSI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS

5.1 Kondisi Perberasan Indonesia

5.1.1 Perkembangan Produksi Beras Indonesia

Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, walaupun mempunyai kecenderungan laju pertumbuhannya melandai. Sejak periode tahun 1993 hingga tahun 2001 laju peningkatan produksi pangan, terutama beras mengalami penurunan. Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun (Hutapea dan Mashar, 2003)

Perkembangan luas areal panen selama kurun waktu 1990-2001 relatif tidak banyak berubah dengan laju pertumbuhan hanya 0,31 persen/tahun. Luas areal panen terendah terjadi pada tahun 1991 (10,28 juta ha) dan tertinggi pada tahun 1998 (11,730 juta ha). Bahkan laju produktivitas padi hanya 0,04 persen/tahun, dengan kisaran antara 4,17 ton/ha (1998) sampai dengan 4,52 ton/ha (1999). Laju pertumbuhan produksi pada kurun waktu tersebut sebesar 0,32 persen/tahun dengan kisaran produksi antara 44,69 juta ton hingga 51,17 juta ton GKG, setara dengan 29,04 juta ton hingga 33,21 juta ton beras.

Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni

produksi dalam negeri hanya cukup untuk pemenuhan konsumsi beras domestik, bahkan untuk cadangan nasional setiap tahun selalu ada realisasi impor beras dari luar negeri.

Tabel 3. Produksi padi (GKG) menurut Pulau di Indonesia Tahun 2001-2005 (000 ton) Daerah 2000 2001 2002 2003 2004 2005* Sumatera 11.819 11.286 11.542 12.136 12.665 12.620 (22,77) (22,37) (22,42) (23,28) (23,42) (23,25) Jawa 29.120 28.312 28.607 28.167 29.635 29.763 (56,11) (56,11) (55,56) (54,03) (54,79) (55,06) Bali dan Nusa

Tenggara 2.776 2.695 2.647 2 .725 2.807 2.590 (5,35) (5,34) (5,14) (5,23) (5,19) (4,79) Kalimantan 3.000 3.074 3.169 3.357 3.656 3.604 (5,78) (6,09) (6,16) (6,44) (6,76) (6,67) Sulawesi 5.065 4.982 5.438 5.602 5.171 5.296 (9,76) (9,87) (10,56) (10,74) (9,56) (9,80) Maluku dan Irian Jaya 117 108 85 149 151 180

(0,23) (0,22) (0,17) (0,29) (0,28) (0,33) Luar Jawa 22.778 22.148 22.881 23.970 24.452 24.292

(43,89) (43,89) (44,44) (45,97) (45,21) (44,94) Indonesia 51.898 50.460 51.489 52.137 54.088 54.056

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2005 Keterangan: * : angka sementara

Angka di dalam kurung menyatakan persentase terhadap produksi nasional.

Produksi padi Indonesia pada dasarnya tergantung pada dua variabel, yaitu luas areal panen dan produkstivitas per satuan luas. Produksi dalam negeri sampai saat ini masih didominasi oleh pulau Jawa yaitu sekitar 56 % persen dari total produksi nasional. Pada tabel 3, terlihat bahwa selama ini produksi padi dalam negeri masih tergantung pada produksi di pulau Jawa, karena 56 persen produksi padi berada di pulau Jawa, selebihnya tersebar 22 persen di pulau Sumatera, 10 persen di pulau Sulawesi dan 5 persen di pulau Kalimantan. Pulau Jawa mendapat proporsi paling besar dalam pengusahaan padi. Hal ini didukung oleh topografi, dan kesuburan tanah di pulau Jawa yang sangat cocok untuk usahatani padi.

terdapat di pulau Jawa mengingat pulau Jawa merupakan pulau yang terpadat penduduknya.

Pulau Jawa merupakan sentra produksi padi yang utama dan berperan sebagai penyangga produksi beras nasional. Luas tanaman di pulau Jawa cenderung menurun. Hambatan peningkatan luas tersebut karena: 1) pertambahan penduduk yang relatif tinggi akan meningkatkan permintaan terhadap lahan perumahan dan infrastruktur. 2) Industrialisasi diperkirakan akan cenderung berlokasi di pulau Jawa yang memiliki fasilitas infrastruktur yang lebih baik. Hambatan lain yang menyebabkan usaha peningkatan hasil per hektar lebih sukar diduga karena harga pupuk dan pestisida/insektisida yang meningkat, sehingga pemakaian pupuk tidak berimbang (Suryana et al., 2001).

Tabel 4. Perkembangan Produksi Padi dan Beras Tahun 2000-2005 Tahun Luas Panen Padi

(ha) Produksi Padi (ton) Produktivitas Padi (ton) Produksi Beras (ton) 2000 11.793.475 51.989.852 4,40 32.696.277 2001 11.499.997 50.460.782 4,38 31.790.293 2002 11.521.166 51.489.694 4,47 32.438.507 2003 11.477.357 52.078.830 4,54 32.809.663 2004 11.922.974 54.088.468 4,54 34.075.735 2005 11.818.913 54.056.282 4,57 34.055.458

Sumber: Badan Pusat Statistik.

Laju pertumbuhan produksi pangan nasional dalam dasawarsa terakhir rata-rata cenderung terus menurun. Luas lahan pertanian di Indonesia semakin lama semakin berkurang oleh karena adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian. Konversi lahan ini dilakukan sebagai bentuk implikasi dari pertambahan jumlah penduduk yang menuntut bertambahnya kebutuhan manusia akan pemukiman dan barang-barang kebutuhan lainnya. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap produksi padi dalam negeri mengingat luas lahan adalah

salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi padi. Kenyataan tersebut dapat dilihat pada tabel 4.

Namun demikian, dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi padi nasional, pemerintah tengah mempromosikan pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis usahatani padi. Berbagai program promosi yang dilaksanakan secara berkelanjutan adalah sebagai berikut: (a) Pengembangan infrastruktur mendukung usahatani padi dan peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan, (b) Peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju, (c) Melaksanakan ekstensifikasi lahan pertanian terutama di luar Jawa, dan (e) Peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pasca panen dan pemasaran.

Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut ternyata telah mendorong peningkatan produksi padi. Pada tahun 2003, produksi padi mencapai 52,08 juta ton gabah kering giling, atau meningkat sekitar 0,70 persen dibanding produksi tahun 2002. Adapun produktivitas padi pada tahun 2003 meningkat menjadi 45,38 kuintal/ha, atau naik sekitar 1,29 persen dibandingkan tahun 2002.

Tahun 2004, produksi padi nasional mencapai 54,09 juta ton gabah kering giling, setara 34 juta ton beras (konversi 0,632), merupakan produksi beras tertinggi selama Republik ini berdiri. Tahun 2004 Indonesia dapat dikatakan mampu swasembada beras, mengulangi keberhasilan swasembada tahun 1984. 5.1.2 Perkembangan Konsumsi Beras Indonesia

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan tetap mendominasi pola makan orang Indonesia. Dari 11 jenis pola pangan pokok rumah tangga di Indonesia, pola pangan pokok beras adalah yang dominan di

setiap propinsi. Perubahan jenis pangan pokok hanya terjadi pada komoditas bukan beras, seperti antara jagung dengan umbi- umbian dan sebaliknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa preferensi rumah tangga terhadap beras sangat besar dan sulit diubah (Mardianto dan Ariani, 2004).

Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai lebih dari 219 juta jiwa dengan angka pertumbuhan 1,7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan maka akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar.

Tabel 5. Jumlah Penduduk dan Tingkat Konsumsi beras di Indonesia Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Konsumsi Beras Domestik (ton)

1998 201.537.838 28.501.481,05 1999 204.789.931 25.140.011,93 2000 208.436.800 23.401.199,54 2001 211.063.000 24.515.474 2002 213.722.300 24.611.977,95 2003 214.374.096 24.687.037,92 2004 217.072.346 25.505.827 2005 219.205.000 25.461.186,84

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pada tabel 5 dapat diketahui bahwa konsumsi beras perkapita penduduk Indonesia sangat tidak stabil. Pada peride tahun 1998 hingga tahun 2005 konsumsi beras domestik tertinggi adalah pada tahun 1998, kemudian terjadi penurunan konsumsi yang sangat signifikan pada tahun 1999, yang semula sebesar 28,5 juta ton menjadi 25,14 juta ton. Penurunan ini sangat besar kemungkinannya disebabkan oleh kondisi krisis ekonomi dan bukan karena mulai

beralihnya konsumsi beras ke non beras. Selain itu hal ini juga disebabkan oleh konsumsi beras per kapita per tahun antara penduduk pedesaan relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan penduduk perkotaan, karena banyaknya jumlah penduduk yang mempunyai golo ngan pendapatan rendah di desa jika dibandingkan dengan perkotaan, sedangkan penduduk kota lebih cenderung menyukai jumlah makanan cepat saji yang sebetulnya bukan berbahan baku dari beras (Sitepu, 2002).

Fenomena penurunan konsumsi ini terus berlangsung tahun 2000, kemudian konsumsi beras kembali berfluktuasi hingga tahun 2005. Namun jika dilihat secara keseluruhan, terjadi penurunan konsumsi beras yang sangat signifikan dari 28,5 juta ton pada tahun 1998 menjadi 25,46 juta ton pada tahun 2005. Hal ini terjadi akibat mulai berubahnya pola konsumsi masyarakat terutama masyarakat perkotaan yang lebih suka mengkonsumsi roti atau berbagai sayuran dengan tujuan mengatur pola diet khusus.