• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Produksi Karet Alam Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KARET ALAM

5.3. Perkembangan Produksi Karet Alam Indonesia

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang menjadi andalan

ekspor bagi Indonesia. Hal ini terlihat dari upaya Indonesia dalam hal peningkatan

produksi karet alam nasional. Pemerintah memperlihatkan keseriusan yang cukup

tinggi terhadap pengembangan perkaretan nasional. Hal tersebut terlihat dari

penelitian-penelitian yang terus menerus dikembangkan terhadap komoditas karet

demi menemukan klon-klon unggul yang dapat meningkatkan produksi.

Luas areal perkebunan karet Indonesia cenderung mengalami peningkatan.

Peningkatan luas areal ini tidak terlepas dari program perluasan lahan yang

dilakukan Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah Indonesia yang

menyatakan bahwasanya Indonesia akan menjadi eksportir terbesar pada tahun

2010. Merujuk pada tujuan tersebut, maka upaya-upaya rehabilitasi dan

peremajaan karet alam yang telah tua dan tidak produktif lagi telah dilakukan

sejak awal tahun 2000. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 bahkan tercatat

mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan 15% yang

merupakan perusahaan perkebunan, baik milik negara maupun yang diusahakan

52 Jika dibandingkan dengan luasan Thailand dan Malaysia, hingga saat ini

Indonesia baru menggunakan sekitar 1,5% dari luasan total areal kering (daratan)

yang dimiliki untuk pemanfaatan tanaman karet. Hal ini jelas berbeda dengan

pemanfaatan areal Thailand yang menggunakan sebesar 3% dari luasan total areal

keringnya. Perkebunan Malaysia bahkan mencapai 3,8% luas total wilayahnya.

Berdasarkan pada data faktual tersebut, maka Indonesia memiliki prospek

pengembangan yang sangat besar terhadap tanaman karet karena potensi

pengembangan lahan yang masih sangat besar.

Indonesia merupakan negara dengan luas areal perkebunan karet terbesar

di dunia. Namun kondisi ini tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai

produsen utama dalam bisnis perkaretan dunia. Indonesia mesti merasa puas

dengan statusnya sebagai produsen karet alam ke dua setelah Thailand. Hal ini

dikarenakan kepemilikan areal yang demikian luas tidak diiringi dengan

produktivitas yang tinggi. Berbeda dengan produktivitas negara pesaing lain

dalam perdagangan karet alam dunia, yaitu Thailand dan Malaysia. Perbandingan

luas areal dan produktivitas karet alam Indonesia, Thailand, dan Malaysia

53

Sumber: Food And Agriculture Organization, 2010

Gambar 3. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produktivitas Karet Alam Negara Produsen Utama

Rendahnya produksi dan kualitas karet alam merupakan masalah utama

bagi perkaretan nasional. Produksi yang rendah terutama disebabkan oleh fakta

yang menyebutkan bahwa sekitar 85% tanaman karet Indonesia menggunakan

bibit tanam dengan kualitas yang rendah (Basri et al., 2010). Hal ini terjadi antara lain karena sebagian besar tanaman masih menggunakan bahan tanam asal biji

(seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13% dari total area). Kondisi

yang demikian menyebabkan sebagian besar kebun karet rakyat menyerupai hutan

karet (Badan Litbang Pertanian, 2005 dalam Purnama, Firdaus dan Mildaerizanti, 2007). Selain itu, teknologi pengolahan pun masih tergolong tradisional, sehingga

belum dapat menghasilkan kuantitas optimal.

Masalah lain yang dihadapi oleh perkaretan nasional adalah rendahnya

kualitas karet alam yang dihasilkan Indonesia dibandingkan dengan karet yang

dihasilkan negara eksportir lain. Kualitas tersebut terutama disebabkan masih

banyaknya karet alam yang dihasilkan dari perkebunan rakyat yang pengolahan 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Luas Areal Indonesia (ha)

Luas Areal Thailand (ha)

Luas Areal Malaysia (ha)

Produktivitas Indonesia (kg/ha)

Produktivitas Thailand (kg/ha)

54 (penggumpalannya) tidak menggunakan koagulum ataupun bahan pengawet yang

sesuai sebagaimana yang dianjurkan oleh lembaga penelitian karet seperti

disebutkan pada pasal 7 – 9 Permentan No. 38 Tahun 2008. Selain itu, kadar air pada karet pun cenderung tinggi, bahkan banyak petani yang secara sengaja

merendam lateks sebelum dijual dengan tujuan agar memiliki berat yang lebih,

padahal hal tersebut justru menurunkan kualitasnya. Pencampuran lateks dengan

bahan-bahan lain juga masih banyak dilakukan (Rachman, 2008). Pada beberapa

propinsi di Sumatera bahkan ditemukan pencampuran bokar dengan bahan karet

mati (vulkanisat), antara lain di propinsi Sumatera Selatan dan Jambi (Direktorat

Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2007). Konsekuensi dari hal-

hal tersebut adalah meningkatnya biaya pengolahan untuk pembersihan ulang,

sehingga harga karet di petani cenderung lemah. Bahkan untuk kasus Sumatera,

ekspor karet alam dari wilayah ini ditolak oleh konsumen luar negeri.

Upaya yang optimal terhadap pengembangan karet nasional terlihat

dengan adanya peningkatan produktivitas pohon karet. Produktivitas karet

Indonesia semakin meningkat mengingat bahwa dalam perkembangannya

pemerintah telah mulai mengusahakan penanaman terhadap klon-klon unggul.

Meskipun demikian, nilai produktivitas karet Indonesia masih lebih rendah jika

dibandingkan dengan negara produsen lain. Hal ini tidak lain disebabkan sebagian

besar perkebunan karet Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang tersebar di

berbagai wilayah. Persebaran ini mengakibatkan usaha penanaman pohon karet

dengan bahan klonal masih terbilang rendah, yaitu hanya sekitar 40% dari total

luas perkebunan nasional, sangat berbeda dengan negara eksportir lain seperti

55 90%, Thailand sebesar 95%, India sebesar 99%, dan Vietnam yang telah

mencapai angka 100% (Barani, 2008)4. Meskipun demikian perbaikan-perbaikan masih dilakukan oleh berbagai pihak demi terciptanya hasil yang lebih baik lagi.

Perkembangan produktivitas karet alam nasional sebagaimana diperlihatkan pada

Gambar 4 berikut ini.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2003-2009

Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Lahan Karet Indonesia (kg/ha) berdasarkan Status Penguasahaan

Kuantitas produksi karet Indonesia terus mengalami peningkatan. Dengan

perbaikan pada harga karet dunia, maka nilai yang diperoleh dari industri

perkaretan ini pun terus meningkat. Produksi karet secara nasional pada tahun

2007 mencapai angka 2.8 juta ton dengan nilai sebesar 1,47 milyar dolar.

Perkembangan nilai dan kuantitas produksi karet alam nasional diperlihatkan pada

Tabel 6. Jumlah ini masih berpotensi ditingkatkan sejalan dengan dilakukannya

peremajaan dan pemberdayaan lahan-lahan pertanian milik petani serta lahan

kosong atau tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.

4

disampaikan pada Lokakarya Nasional Agribisnis Karet 2008 di Yogyakarta

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rakyat Negara Swasta Rata-rata

56

Tabel 6. Perkembangan Nilai dan Produksi Karet Alam Negara Eksportir Utama

Tahun

Indonesia Thailand Malaysia

Nilai (000 US$) Produksi (ton) Nilai (000 US$) Produksi (ton) Nilai (000 US$) Produksi (ton) 2000 805.337 1.501.430 1.275.512 2.378.000 497.760 928.000 2001 862.209 1.607.460 1.373.669 2.561.000 473.087 882.000 2002 874.492 1.630.360 1.411.752 2.632.000 477.378 890.000 2003 961.380 1.792.350 1.534.565 2.860.966 528.656 985.600 2004 1.108.064 2.065.820 1.613.223 3.007.612 626.867 1.168.700 2005 1.218.060 2.270.891 1.596.969 2.977.309 603.963 1.126.000 2006 1.414.558 2.637.231 1.646.966 3.070.520 688.497 1.283.600 2007 1.477.819 2.755.172 1.622.124 3.024.207 643.441 1.199.600

Sumber: Food And Agriculture Organization, 2010

Sebagaimana Indonesia, Thailand yang merupakan produsen terbesar karet

alam di dunia juga terlihat sangat fokus terhadap perkembangan karet alam

negaranya. Hal ini terlihat dari seriusnya usaha pemerintahan Thailand dalam

rangka pengembangan karet melalui penelitian-penelitian lebih lanjut yang

dilakukan oleh Thailand Rubber Research Institute. Luas areal tanam karet alam Thailand juga cenderung meningkat, dari seluas 1,52 juta ha pada tahun 2000

menjadi 1,77 juta ha pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa karet alam

merupakan salah satu tanaman perkebunan yang penting bagi Thailand.

Produktivitas pohon karetnya pun terbilang tinggi. Produktivitas yang besar

dengan luas areal yang semakin meningkat menjadikan produksi negara ini juga

makin tahun semakin mengalami peningkatan.

Perkembangan produksi karet alam Thailand terbilang cukup baik.

Berdasarkan data yang diperlihatkan pada Tabel 6 terlihat bahwa terjadi fluktuasi

perkembangan nilai dan kuantitas produksi. Namun secara umum, perkembangan

nilai produksi karet alam Thailand cenderung terus mengalami peningkatan.

Peningkatan produksi Thailand diiringi pula dengan peningkatan kuantitas ekspor

komoditas ini di pasaran dunia. Hal ini juga yang kemudian menjadikan Thailand

57 Produksi karet alam Thailand cenderung mengalami peningkatan sejak

tahun 2000 hingga 2004. Namun pada tahun 2005, kuantitas produksinya

menurun. Penurunan ini disebabkan oleh adanya penurunan produktifitas karet,

yaitu dari sebesar 1.815 kg/ha pada tahun 2004 menjadi 1.760 kg/ha pada tahun

2005 akibat telah banyak pohon-pohon karet yang telah tua dan kurang produktif,

serta karet-karet baru dari revitalisasi belum dapat memberikan hasil yang

optimal. Hal tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun selanjutnya,

Thailand dapat kembali meningkatkan produksinya menjadi 3,07 juta ton dengan

produktivitas 1.762 kg/ha. Hingga tahun 2008 produktivitas yang dapat dicapai

oleh perkebunan karet Thailand telah mencapai 1.790 kg/ha.

Malaysia yang merupakan produsen karet terbesar ke tiga setelah Thailand

dan Indonesia tetap bertahan dalam jajaran eksportir terbesar karet alam

internasional karena tingkat produktivitas yang cukup baik. Luas areal karet

Malaysia sejak tahun 2000 hingga 2008 cenderung turun. Penurunan luas areal

karet ini antara lain dipicu oleh adanya alih fungsi lahan penanaman karet untuk

tanaman perkebunan lain yang lebih kondusif dan dianggap memiliki nilai

ekonomi yang lebih tinggi seperti kelapa sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki

menyebabkan selama beberapa tahun terakhir tidak ada penambahan areal tanam

baru bagi perkaretan Malaysia. Meskipun demikian, karena produktivitas pohon

yang terus mengalami peningkatan, maka kuantitas produksi karet alam Malaysia

masih dapat dipertahankan dengan pertumbuhan yang positif.

Kuantitas produksi karet alam Malaysia pada tahun 2000 tercatat sebesar

928 ribu ton. Nilai ini mengalami penurunan menjadi 882 ribu ton pada tahun

58 Malaysia kembali mengalami peningkatan. Tercatat produksi pada tahun 2006

telah mencapai angka 1,28 juta ton. Perbaikan kinerja produksi karet alam tersebut

salah satunya dipicu oleh membaiknya harga karet alam di pasaran dunia sejak

tahun 2003. Namun penurunan kembali terjadi. Menurut laporan dari Departemen

Statistik Malaysia, pada tahun 2009 produksi karet alam negara ini hanya sebesar

857 ribu ton. Penurunan tersebut terjadi karena makin berkurangnya areal sadap

karet negara ini akibat alih fungsi lahan, yaitu dari seluas 750 ribu hektar pada

tahun 2008 menjadi 590 ribu hektar pada tahun 2009 (Association of Natural

Rubber Producing Countries, 2010) (Lampiran 3).

Dokumen terkait