• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI MENGENAI PARTISIPASI ORANG TUA

D. Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar

perkembangan anak. Alangkah tidak baik apabila orang tua menyamakan dalam mendidik anak yang sudah dewasa dengan mendidik anak yang belum dewasa, karena seorang anak kecil tidak mungkin bisa menangkap apa yang diajarkan orang tua jika cara mengajar orang tua seperti mengajar kepada orang yang sudah dewasa. Oleh karena itu dalam mendidik anak kiranya perlu diperhatikan juga masalah perkembangan anak.

Di dalam seluruh rentang kehidupan, manusia terbagi dalam beberapa periode atau masa yaitu: masa bayi, kanak-kanak, remaja dan dewasa. Kartini Kartono (1990:133), mengemukakan masa sekolah dasar anak yakni pada usia 6 s.d 12 tahun. Sedangkan Munandar (1992:1-2), mengatakan usia anak SD, yakni usia 6 s.d 12 tahun. Masa perkembangan ini oleh para pendidik disebut masa sekolah dasar, karena pada masa ini anak diharapkan memperoleh pengetahuan dasar yang dipandang sangat penting untuk persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa dewasa.

Kebanyakan orang berpendapat bahwa masa anak adalah masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan manusia. Saat di mana seorang individu tidak berdaya dan masih tergantung dari bantuan orang di sekitarnya terutama orang tuanya. Masa anak merupakan masa yang penting untuk mendapat perhatian khsusnya dari orang dewasa. Hal ini karena masa anak sangat menentukan sikap dan tingkah lakunya pada perkembangan berikutnya.

Sehubungan dengan karya tulis ini, penulis memberikan batasan mengenai anak sebagai berikut: anak adalah para siswa yang sedang belajar di Sekolah Dasar (beragama Katolik) dan dari segi usia terentang usia 6 s.d 12 tahun. Alasan

penulis memilih siswi Sekolah Dasar dalam kelompok anak, karena siswa-siswi Sekolah Dasar jika ditinjau dari segi usia mereka belum dewasa. Mereka masih membutuhkan bantuan dari orang dewasa, terutama orang tuanya.

Oleh karena anak usia Sekolah Dasar masih perlu bantuan dari orang tua, maka dalam mendidik anak perlulah orang tua untuk mengetahui taraf perkembangan anak, sehingga memudahkan proses belajar antara yang mendidik dengan yang dididik. Miller (dalam Heryatno, 2008:71) mengutip ayat-ayat Kitab Suci 1Kor 3:2a “Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya”. Ia juga menegaskan betapa pentingnya mendidik anak sesuai dengan taraf perkembangan mereka. Taraf dalam perkembangan anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Untuk itu, orang tua harus mengenali anak secara utuh atau melihat kondisi konkrit anak. Maka dari itulah penulis memaparkan teori-teori perkembangan anak sebagai berikut:

1. Perkembangan Kognitif

Piaget (dalam Munandar 1992:10), mengemukakan bahwa anak sekolah dasar memasuki tahap operasi konkret dalam berpikir. Pemikirannya tidak sekabur seperti pada masa kanak-kanak, tetapi lebih konkret. Di samping itu, anak memperoleh informasi baru melalui media massa, terutama film, radio, dan televisi. Berdasarkan pengalaman-pengalaman ini, anak membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, dan sebagainya. Piaget (dalam Suparno 2001:86) mengemukakan bahwa tahap operasi konkret terjadi pada usia 7 s.d 12 tahun, anak sudah tidak begitu egosentris dalam pemikirannya.

Anak sadar bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran lain. Ini terjadi terlebih dalam bertatap muka dengan teman-temannya.

2. Perkembangan Emosi

Syamsu Yusuf (1998:181) mengatakan bahwa pada usia sekolah dasar anak belajar untuk mengendalikan dan mengontrol emosi yang diperoleh anak melalui peniruan dan latihan. Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Emosi-emosi yang secara umum dialami pada tahap usia sekolah dasar ini adalah marah, takut, cemburu, iri hati, kasih sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan (rasa senang, nikmat, atau bahagia). Emosi yang positif, seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, aktif dalam berdiskusi, dan disiplin dalam belajar. Sebaliknya emosi negatif, seperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, maka proses belajar akan mengalami hambatan. Oleh sebab itu pendidik harus dapat menciptakan situasi belajar yang kondusif bagi terciptanya proses belajar mengajar yang efektif.

3. Perkembangan Moral

Kohlberg (dalam Syamsu Yusuf 1998:134-135) mengemukakan bahwa pada tahap ini, anak menilai baik-buruk, benar atau salah dari sudut dampak (hukuman atau ganjaran) yang diterimanya dari yang mempunyai otoritas (yang membuat aturan), baik orang tua atau orang dewasa lainnya. Di sini anak mematuhi aturan

orang tua agar terhindar dari hukuman.

Pada tahap selanjutnya yakni anak mulai memasuki umur belasan anak memperlihatkan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan seseorang baik atau tidak. Baik, bilamana sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, dan buruk, kalau bertentangan atau berlawanan. Apabila ingin diterima masyarakat maka harus meperlihatkan perbuatan yang baik.

4. Perkembangan Iman

Allen Shelly (1982:41-49) mengemukakan bahwa anak sudah dapat membedakan antara Allah dan orang tua. Pola pikir anak masih konkret, namun anak pada masa ini mulai menggunakan konsep abstrak untuk menggambarkan Allah. Anak mempunyai keinginan yang besar untuk belajar tentang Allah dan surga, mereka suka memanjatkan doa-doa umum pada waktu menjelang tidur dan makan. Doa anak biasanya bersifat egosentris, berupa permohonan kepada Allah untuk menolong dirinya, atau berterima kasih atas orang-orang dan hal-hal yang mereka sukai.

Anak memiliki perkembangan secara cepat, dunianya semakin meluas dari lingkup keluarga ke lingkup sekolah dan masyarakat. Pengertian tentang Allah sebagai pencipta, pemberi hukum, dan sahabat yang mereka kenal dari pengajaran, teladan orang tua, guru, dan orang lain mulai tumbuh.

Fowler (dalam Heryatno, 2008:78), mengemukakan bahwa pada usia 7 s.d 12 tahun anak mulai dapat menceritakan pengalamannya sendiri. Anak sangat

menyukai ceritera, bahkan ia dapat menghapal seluruh ceritera sampai detail. Ceritera sebagai sarana perpanjangan dan penemuan diri, diartikan secara harafiah dan darinya belum dapat ditarik kesimpulan. Allah digambarkan secara antropomorphis, di mana Allah dibayangkan sebagai manusia istimewa, yang mempunyai rumah kediaman di surga, penuh perhatian, sabar, seperti tokoh di dalam ceritera atau dongeng.

E. Pendidikan Agama Katolik Sekolah Dasar

Dokumen terkait