• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI MENGENAI PARTISIPASI ORANG TUA

B. Orang Tua sebagai Pendidik dalam Keluarga

2. Tanggung Jawab Orang Tua sebagai Pendidik dalam Keluarga

Orang tua mempunyai kedudukan yang penting dan memiliki tanggung jawab dalam hal mendidik anak. Gereja menempatkan orang tua sebagai pendidik anak yang pertama dan utama dalam keluarga, “karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Oleh karena itu orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama” (GE, art. 3). Orang tua mempunyai peranan vital dan tak tergantikan dalam pendidikan anak. Peran orang tua ini merupakan konsekuensi dari tanggung jawab mereka sebagai penyalur kehidupan bagi anak-anak.

...Sebab merupakan kewajiban orang tua: menciptakan lingkup keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Maka keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat (GE, art. 3).

Ini berarti bahwa orang tua mempunyai tugas untuk mendidik anak, berperan menciptakan situasi keluarga yang mendukung proses pendidikan anak. Situasi keluarga yang didasari oleh semangat bakti pada Allah dan kasih sayang

pada sesama menjadi pendukung kepribadian dan pendidikan sosial bagi anak-anak.

Dengan demikian hal yang perlu dituntut dari tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak adalah suatu sikap di mana orang tua memandang anak sebagai manusia yang berkembang, dan perlu berkembang. Maka anak harus diberi pertolongan untuk mengembangkan pribadinya lewat pendidikan yang benar. Anak diberi kebebasan dalam berpikir, bertindak, dan dalam memberikan keputusan sesuai dengan perkembangannya. Disini orang tua bertugas mengarahkan perkembangan anak pada hal-hal yang positif. Seperti yang ditegaskan Nasution (1985:40) karena orang tua mempunyai tanggung jawab besar terhadap anak-anaknya, maka orang tua dituntut agar mampu untuk: (1) mengasuh dan membimbing anaknya; (2) mengawasi pendidikan anak-anaknya; (3) mengemudikan pergaulan anak-anaknya.

Pendidikan dalam keluarga terdapat suatu hubungan pergaulan, yaitu pihak yang mendidik (orang tua) dan yang dididik (anak). Dalam mendidik anak orang tua berperan sebagai pembimbing. Di mana anak yang belum dewasa dibimbing dan diarahkan oleh orang tua untuk mencapai kedewasaan sehingga anak dapat berpikir, berbuat dan berkehendak. Di samping itu orang tua harus berusaha menanamkan pengaruh yang baik kepada anak-anak sejak dini, supaya anak jangan sampai berkembang ke arah yang negatif yang dapat merugikan anak sendiri.

b. Yang Harus Dilakukan Oleh Orang Tua Untuk Mendidik Anak

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam hal ini, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting bagi anak. Menjadi orang tua berarti harus siap menjadi pendidik, dan siap dengan segala sesuatu sehubungan dengan pengetahuan untuk mendidik anak.

Orang tua yang baik mampu menciptakan suasana di rumah sebagai berikut: Pertama, mewujudkan cinta kasih. Gravissimum Educationis art. 3 mengatakan para orang tua wajib menciptakan lingkup keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Ini berarti bahwa setiap orang bahkan anak sekalipun memerlukan sesuatu yang mutlak untuk dasar ketentraman; untuk menopang kelemahan kita, melindungi, dan mengasihi. Hal senada juga dikemukakan oleh Suban Tukan (1991:63) bahwa orang tua yang penuh cinta dan hangat akan mudah ditiru. Anak akan merasa senang, aman dan percaya diri, misalnya: bapak dan ibu selalu rukun, saling membantu dan saling mengasihi, begitu juga dengan anaknya. Suasana sekitar seperti itu tentu akan membuat anak nyaman dan bahagia. Anak tidak merasa kawatir jika anak mengalami kesusahan atau pun kesulitan dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Seorang anak yang selalu mendapat cinta kasih, merasakan cinta kasih orang tuanya, tentu anak tersebut akan tumbuh berkembang ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu orang tua perlu menciptakan suasana rumah yang penuh dengan cinta kasih yakni suasana rumah yang harmonis, rukun,

saling melindungi satu dengan yang lain, sehingga suasana keakraban serta kehangatan terasa antara orang tua dengan anak. Dengan merasakan suasana rumah yang penuh cinta tentu anak juga akan memberikan cinta kasihnya kepada sesama.

Kedua, memberikan teladan. Piaget (1997:57), menyatakan bahwa bagi anak orang tua dianggap sebagai makhluk serba bisa, oleh karena itu patut diikuti tanpa harus bertanya-tanya. Segala perbuatan dan tingkah laku orang tua pun dapat ditiru anak, karena seorang anak tidak akan menanyakan terlebih dahulu kepada orang tuanya, apakah ia diizinkan untuk meniru atau tidak sesuatu perbuatan atau tingkah laku orang tuanya sendiri. Anak menganggap bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh orang tuanya adalah baik untuk ditiru dan diterapkan dalam hidup.

Berkaitan dengan hal tersebut orang tua harus bijaksana, menyadari dengan baik posisinya sebagai orang tua, satunya kata dengan perbuatan dan memberikan contoh teladan yang baik. Sahlan Syafei (2002:17), mengutip kata pepatah dari Ki Hajar Dewantoro, orang tua harus bersikap ing ngarso sung tuladha,ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ing ngarso sung tuladha, berarti orang tua harus mampu menjadikan dirinya sebagai contoh atau panutan bagi anak-anaknya. Ing madya mangun karsa, berarti orang tua harus dapat membangkitkan semangat atau memberikan dorongan kepada anak-anaknya. Tut wuri handayani, berarti orang tua harus dapat memberikan kesempatan pada anak untuk ikut berperan serta, untuk melatih percaya diri, namun apabila diperlukan orang tua pun perlu memberikan pengarahan.

C. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi, Menghambat, dan yang Mendukung Belajar Anak.

1. Pengertian Belajar

Dalam kehidupan sehari-hari tentu kita melakukan banyak kegiatan, misalnya, membaca buku, mengenakan pakaian, makan dengan menggunakan alat-alat makan, bertindak sopan dan lain sebagainya. Untuk bisa melakukan semua kegiatan itu tentu dengan kegiatan belajar terlebih dahulu. Dalam arti mustahillah kita dapat melakukan kegiatan itu jika kita tidak berusaha untuk belajar terlebih dahulu.

Sudah banyak para ahli menguraikan definisi tentang belajar. Maka dari itu sebelum menarik kesimpulan tentang belajar, baiklah jika meninjau terlebih dahulu beberapa rumusan tentang belajar dari beberapa tokoh pendidikan. Definisi belajar menurut Winkel (1991:36) sebagai berikut:

Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.

Dari definisi di atas nampak bahwa manusia dapat belajar melalui interaksi dengan lingkungan, yaitu dalam bergaul dengan orang, dalam memegang benda dan dalam menghadapi peristiwa. Namun, tidak sembarang berada di tengah-tengah lingkungan, menjamin adanya proses belajar. Orangnya harus aktif sendiri, melibatkan diri dengan segala pemikiran, kemauan dan perasaannya. Maka dari itu orang tua sebagai pendidik dalam keluarga perlu memperhatikan perubahan pada diri anak dalam hal kebiasaan, pengetahuan, sikap selama pengalaman belajar itu berlangsung.

Sumadi Suryabrata (1993:247) yang menegaskan kembali pandangan Cronbach bahwa definisi belajar adalah dengan mengalami, dan dengan mengalami itu si pelajar mempergunakan panca inderanya. Definisi tersebut mengartikan bahwa dalam belajar sangat dibutuhkan kemauan untuk terlibat aktif dalam proses belajar, baik dengan melihat, merasakan dan juga mengalaminya sendiri.

Definisi di atas mempunyai kesamaan di mana untuk belajar itu dibutuhkan keterlibatan langsung dari si pelajar. Berkenaan dengan ini dapatlah dikatakan bahwa belajar adalah sebagai proses perubahan dari belum mampu menjadi sudah mampu, terjadi dalam jangka waktu tertentu. Perubahan itu merupakan suatu hasil belajar dan mengakibatkan manusia berubah dalam pengetahuan, perasaan, perilaku, kebiasaan, nilai, dan sikap. Perubahan yang terjadi bersifat menetap (permanen) dan tidak hanya terjadi pada perilaku yang saat ini nampak tetapi juga pada perilaku yang mungkin terjadi di masa mendatang. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa perubahan-perubahan tersebut terjadi karena pengalaman. Perubahan yang terjadi karena pengalaman ini yang membedakan perubahan-perubahan lain yang disebabkan kerusakan fisik (karena penyakit atau kecelakaan), atau sebab-sebab lain yang menyebabkan perubahan non permanen (lelah, mengantuk dan sebagainya).

Dokumen terkait