a. Pencucian Uang
Meskipun tindak pidana pencucian uang telah berkembang sedemikian rupa, namun sampai saat ini tidak ada atau belum ada suatu definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering ini.
Prof.Dr.Sutan Remy Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor” yang diperoleh dari hasil tindak pidana.13
Selain istilah tersebut diatas, ada beberapa definisi lain dari pencucian
12 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014,hal 112.
13Dr. Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 17.
uang yang penulis himpun dari beberapa sumber. Namun, hakikatnya mengandung unsur-unsur pokok berupa tindakan yang sengaja dilakukan, berkaitan dengan kekayaan, dan kekayaan tersebut berasal dari kejahatan.
Beberapa definisi tersebut ialah sebagai berikut:
1. Menurut Sarah N. Welling (1992) “ pencucian uang adalah proses dimana seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) ilegal atau aplikasi pendapatan illegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan) tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku”.
2. Menurut David Fraser (1992) “ pencucian uang kurang lebih adalah proses dimana uang “kotor” (hasil dari tindak pidana) dicuci menjadi bersih atau uang kotor yang dibersihkan melalui suatu sumber hukum dan perusahaan yang legal sehingga „”para penjahat” dapat dengan aman menikmati hasil jerih payah tindak pidana mereka”.
3. Menurut Made. M. I Pastika “ pencucian uang ialah cara dimana seseorang mengubah uang “haram” yang dimilikinya menjadi uang
“bersih” yang bisa ditelusuri kembali kepada mereka, dan tidak bisa dihubungkan dengan kejahatan manapun.
4. Menurut Anwar Nasution “ pencucian uang adalah suatu cara atau proses untuk mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal.
5. Menurut UU RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang: tindakan pencucian uang dapat berupa tindakan orang yang sengaja melakukan percobaan bantuan atau permufakatan jahat untuk:14 a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan lain, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. Membayar atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri atau atas nama pihak lain;
d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
g. Menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
14 Alfitra, Op Cit, hal 50.
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau
h. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Selain dari definisi-definisi tersebut diatas, tindakan-tindakan dibawah ini juga merupakan praktik pencucian uang, yaitu:15
1. Perubahan atau transfer kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul kekayaan, demikian pula dengan maksud membantu seseorang agar dapat menghindar dari konsekuensi tindakannya;
2. Penyembunyian atau pengaburan sumber, lokasi, penarikan, pemindahan hak-hak yang berhubungan dengan kekayaan atau kepemilikan dari suatu kekayaan;
3. Akuisisi, pemilikan atau penggunaan kekayaan yang diketahui dari kejahatan dan keikutsertaan dalam kejahatan;
4. Keikutsertaan, kerjasama atau persekongkolan, percobaan untuk melakukan atau membantu, mempermudah dan menyuruh melakukan kejahatan tersebut.
Mengacu pada sejumlah definisi tindak pidana pencucian uang diatas maka terlihat jelas, walaupun terdapat persamaan tentang unsur adanya uang hasil dari tindak pidana, unsur-unsur lainnya dari tindak pidana pencucian uang memiliki perbedaan.
15 Ibid, hal 52.
Dengan demikian secara umum, tindak pidana pencucian uang bisa didefinisikan secara ragam pula. Misalnya, tindak pidana pencucian uang sebagai proses dimana seseorang menutup-nutupi keberadaan uang illegal, ataupun aplikasi illegal dari uang, ataupun menutup-nutupi pendapatan agar pendapatan tersebut terlihat bersih atau sah menurut hukum dan tidak melanggar hukum.
b. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1867. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Pemerintah Amerika Serikat mulai mengkualifikasikan pencucian uang ini sebagai suatu tindak pidana dengan mengeluarkan Money Laundering Central Act. (1986), yang kemudian diikuti dengan The Annunzio Wylie Act.dan Money Laundering Suppression Act. (1994).
Sedangkan pemerintah Republik Indonesia baru
mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002 ini oleh pemerintah Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Saat itu dunia menyoroti beberapa kelemahan pada negara Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, yakni tidak adanya undang-undang yang menetapkan money laundering sebagai tindak pidana.
Sejak tanggal 17 April 2002 telah mulai berlaku Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 30).
Untuk mengetahui latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang tersebut demikian pula untuk mengetahui latar belakang maksud dan tujuan dijadikannya perbuatan yang berupa pencucian uang sebagai tindak pidana dapat diketahui dari penjelasan umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang mengemukakan sebagai berikut:
“Berbagai kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu Negara maupun yang dilakukan melintasi batas-batas wilayah suatu Negara lain makin meningkat.
Kajahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, kenyuapan (bribery, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan
psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya).
Bagi organisasi kejahatan, harta kekayaan sebagai hasil kejahatan sebagai ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran harta kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, harta kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul harta kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.”
Secara khusus apa sebab sampai dibentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tersebut adalah dikarenakan pada tanggal 22 Juni 2001, Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF)16 telah memasukkan Indonesia pada daftar Non Cooperative Countries and
16 FATF adalah sebuah badan antar pemerintah (inter governmental body) yang didirikan oleh Negara-negara maju yang tergabung dalam G.7 di Paris pada bulan Juli 1985. Semula tugas dari FATF adalah memberantas pencucian uang (money laundering) tetapi dalam perkembangannya juga memberantas pendanaan terorisme (terrorist financing). FATF telah mengeluarkan rekomendasi tentang pencucian uang yang dikenal dengan nama THE 40 FATF RECOMMENDATIONS yang kemudian setelah peristiwa tanggal 11 september 2001, dikeluarkan lagi 8 (delapan) rekomendasi untuk memberantas terorisme dan 1 (satu) rekomendasi untuk khusus tentang Cash Courier. Indonesia belum menjadi anggota FATF, tetapi anggota dari Asia Pacifik Group on Money Laundering (APG). APG menjadi anggota FATF.
Territories (NCCT‟s), karena di Indonesia:
a. Tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana;
b. Tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer-KYC) untuk lembaga non bank;
c. Rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang;
d. Kurangnya kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan pencucian uang.17
Dimasukkannya suatu negara ke dalam daftar NCCT‟s adalah merupakan dasar bagi FATF untuk meminta kepada para anggotanya yang terdiri atas negara-negara besar di dunia untuk melakukan counter-measures terhadap negara tersebut dan menetapkan set date, yaitu tanggal mulai diberikannya sanksi kepada negara tersebut.18
Apabila suatu negara terkena counter-measures dari negara-negara anggota FATF, maka negara tersebut akan terisolir, antara lain tidak dapat melakukan transaksi dagang dan transaksi keuangan dengan pengusaha-pengusaha lembaga-lembaga keuangan dari negara-negara yang melakukan counter- measures tersebut.
Negara yang masih memerlukan bantuan pinjaman dari luar negeri akan dapat pula mengalami kesulitan untuk memperoleh dana bantuan dan pinjaman dari negara-negara yang melakukan counter-measures tersebut.
17 Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008, hal 89.
18 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, 2004, hal 94.
Negara tersebut juga akan mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan dan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Bank, IMF, dan ADB.19
Atas dasar alasan khusus seperti tersebut, maka dibentuklah UU No.
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ternyata oleh FATF, UU No. 15 Tahun 2002 tersebut dinilai masih belum memenuhi standard Internasional,sehingga masih perlu diadakan perubahan.
Perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2002 dilakukan dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Meskipun terhadap UU No. 15 Tahun 2002 telah dilakukan perubahan untuk disesuaikan dengan standard internasional, FATF tidak serta merta mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCT‟s, karena FATF masih akan melihat bagaimana implementasinya dari UU No. 15 Tahun 2002 setelah dilakukan perubahan.20
Baru pada tanggal 11 Februari 2005 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT‟s, namun FATF tetap meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40 + 9 rekomendasi dengan memfokuskan pada 6 (enam) hal sebagai berikut:
1. Mendorong agar small banks (seperti BPR dan bank-bank umum
19 Ibid, hal 112.
20 Ibid, hal 113.
berskala kecil lainnya) menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan;
2. Meningkatkan capacity building, terutama kepada para penegak hukum yang melakukan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang;
3. Meningkatkan pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana pencucian uang dengan tepat waktu;
4. Melaksanakan pemeriksaan terhadap PJK dan mengenakan sanksi secara tegas;
5. Mengundangkan RUU tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Asssistance) serta melaksanakan kerjasama internasional di bidang penegakan hukum;
6. Memenuhi komitmen untuk mendukung operasional (penyediaan anggaran, gedung perkantoran, sistem penggajian dan kewenangan pengangkatan pegawai tetap.
Selanjutnya dalam Second Plenary Meeting FATF on Money Laundering di Cape Town, Afrika Selatan tanggal 13-17 Februari 2006 telah ditetapkan antara lain bahwa status Indonesia tidak lagi dalam monitoring FATF.
Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 (untuk selanjutnya disingkat: UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003), meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal karena perundang-undangan yang ada ternyata masih
memberikan ruang tumbuhnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana undang-undang ini.21
Sejak tanggal 22 Oktober 1020 UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomer 122 yang mulai berlaku pula sejak tanggal 22 Oktober 2010.
UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini dibentuk sebagai respon dari pemerintah dan badan legislative terhadap perkembangan TPPU di Indonesia. Hal ini dikarenakan UU TPPU dan Perubahan UU TPPU belum mampu menjawab setiap tantangan dan kemungkinan-kemungkinan praktik pencucian uang yang terjadi di masyarakat.
UU PPTPPU ini mengandung kebijakan hukum penanggulangan kebijakan pencucian uang. Kebijakan hukum tersebut dinyatakan sebagai berikut:
1. Kebijakan hukum melaui redefinisi, penambahan, dan perubahan pengertian hal yang terkait dengan TPPU, meliputi
a. Pengertian hal-hal lain yang tidak diubah dari UU TPPU dan
21 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
perubahan UU TPPU dalam UU PPTPPU ini yaitu pengertian:
1) Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
2) Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
3) Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a) Tulisan, suara, atau gambar b) Peta
c) Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahami.
4) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
b. Redefinisi pengertian
1. Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam UU PPTPPU.
Perbuatan yang dimaksud sebagai tindak pidana dalam undang-undang ini akan dijelaskan pada poin selanjutnya.
2. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antar dua pihak atau lebih.
3. Transaksi keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
4. Transaksi keuangan mencurigakan adalah:
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.
b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
c. Transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
d. Transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang di duga berasal
dari hasil tindak pidana. UU PPTPPU ini menambahkan suatu poin baru dalam definisi TKM yaitu poin ke-4 yang menyebabkan semakin luasnya transaksi yang dapat dicurigai sebagai TKM.
Selain itu hal ini juga mengindikasikan bahwa PPATK memiliki kewenangan untuk meminta informasi, data, maupun dokumen terhadap suatu transaksi yang diduga sebagai upaya pencucian uang.
5. Transaksi keuangan tunai adalah transaksi keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.
6. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tim pemerintah dan komisi II Dewan Perwakilan Rakyat berdebat pada saat merumuskan pasal 2 ini. Perdebatan itu disebabkan adanya keberatan berkenaan dengan rumusan pasal 2 tersebut yaitu:22
a. Seyogianya tidak dicantumkan daftar kejahatan-kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan yang menjadi objek pencucian uang (daftar predicate crimes, yaitu kejahatan-kejahatan yang menghasilkan objek pencucian uang). Dengan adanya pencantuman daftar kejahatan tersebut, dikhawatrkan ada kejahatan yang terlupakan yang sangat potensial untuk menghasilkna harta kekayaan sebagai objek pencucian uang, namu tidak termuat dalam rumusan tersebut sehingga tidak dapat
22 Sutan Remy Sjahdeini,. Op Cit, hal 5.
dipidana. Misalnya saja tidak tercantum “perjudian” dalam pasal 2 undang-undang tersebut, sedangkan menurut pasal 303 KUHP, perjudian merupakan tindak pidana. Tidak dicantumkannya perjudian sebenarnya disebabnkan karena ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak semua oerjudian adalah tindak pidana tetapi da perjudian yang diselenggarakan dengan izin pemerintah.
b. Pada masa yang akan datang ada kemungkinan akan terjadi kejahatan- kejahatan baru yang sebelumnya belum dikenal di masyarakat.
c. Pada masa yang akan datang, tidak mustahil ada perbuatan-perbuatan yang menghasilkna uang dan merugikan pihak lain atau masyarakat akan dikriminalisasi melalui peraturan pernndang-undangan, namun saat ini perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
d. Seharusnya jumlah harta Kekayaan tidak hanya dibatasi pada julmah Rp 500.000.000.00 atau lebih, namu juga untuk semua hasil tindak pidana yang “dicuci” dengan salah satu perbuatan yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (1).
Kritikan tersebut juga dilanjutkan dengan kritik dari FATF sebagai lembaga internasional yang memerangi tindak pidana pencucian uang sehingga tindak pidana asal tersebut ditambah dengan tindak pidana.