• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA ( STUDI PUTUSAN NOMOR. 311/PID.SUS/2018/PN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA ( STUDI PUTUSAN NOMOR. 311/PID.SUS/2018/PN."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA

( STUDI PUTUSAN NOMOR. 311/PID.SUS/2018/PN.MDN) SKRIPSI

Oleh

CLINTON SIREGAR 140200326

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Bapa di surga, karena atas kesempatan yang diberikanNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik mungkin. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis dengan kerendahan hati menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Bapak Dr.Mahmul Siregar, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Agusmidah, SH.,M.Hum; Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum ; Dan Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, SH.,M.Hum Selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

3. Ibu Liza Erwina. SH, M.Hum, Selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara , Pembimbing I dalam Skripsi ini dan Selaku Dosen Penasihat Akademik Penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi. SH, M.Hum, selaku dosen Pembimbing II dalam skripsi ini, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada orang tua Penulis Geraynger Siregar dan Jenti Nababan yang telah dengan sabar dan penuh kasih sayang memberikan yang terbaik kepada penulis selama masa perkuliahan dan doa-doa dan nasehatnya yang sangat berguna bagi hidup penulis.

6. Saudara-saudara Penulis : Newyerina Siregar, Junardo Siregar, Novelinda Siregar, Dewi Sinta Siregar, dan Gresindah Siregar yang telah memberikan dukungan dan inspirasi kepada penulis.

7. Kepada abangda Maruli Freddy Simamora dan David Ricardo Simamora yang sudah seperti saudara kandung penulis yang selalu membantu penulis selama menempuh perkuliahan.

8. Abang-abang dan kakak-kakak senior di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Semua kawan dan para sahabat penulis, stambuk 2014, dan adik-adik stambuk yang dengan caranya tersendiri telah membantu penulis dalam masa perkuliahan.

(5)

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan berlipat ganda atas semua bantuan yang diberikan. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat kepada siapa saja yang membaca dan mempelajarinya khususnya bagi diri penulis.

Medan , Juni 2021 Penulis,

Clinton Siregar

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penelitian ... 31

G. Sistematika Penulisan ... 33

BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA UNTUK UPAYA MENGURANGI PELAKU TINDAK PIDANA ... 35

A. Perbuatan pidana dalam undang-undang tindak piudana pencucian uang (TPPU) ... 35

B. Pertanggungjawaban pidana sesuai undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU) ... 42

C. Sanksi pidana dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU) ... 46 BAB III PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA ( STUDI

(7)

PUTUSAN NOMOR. 311/PID.SUS/2018/PN.MDN) ... 50

A. Kasus ... 50

B. Analisa Kasus... 88

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 96 DAFTAR PUSTAKA

(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Saat ini kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar baik yang dilakukan secara perseorangan maupun oleh koorporasi telah semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia maupun melintasi batas wilayah negara. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), penyeludupan barang, penyeludupan tenaga kerja, perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, perpajakan, dan berbagai kejahatan kerah putih lainnya. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya.

Pada umumnya hasil kejahatan tersebut tidak langsung digunakan oleh para pelakunya karena apabila langsung dipakai akan dengan mudah terlacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber diperolahnya harta tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan tersebut masuk kedalam sistem keuangan (financial sytem), terutama kedalam sistem perbankan (banking sytem). Dengan demikian asal-usul keuangan tersebut diharapkan tidak dapat terlacak oleh para penegak hukum. Oleh karena mitu upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dikenal dengan nama pencucian uang (money laundering).1

1 C.S.T. Kansil dkk, Tindak Pidana Dalam Undang Undang Nasional, (Jakarta : Jala Permata Aksara, 2009), hlm 94

(9)

Perbuatan pencucian uang ini disamping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Untuk itu perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dan dapat diminimalisasi sehingga dapat menjaga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan negara. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negaranegara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini didorong karena kejahatan money laundering mempengaruhi sistem perekonomian khususnya menimbulkan dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang terbilang baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Kriminalisasi terhadap pencucian uang baru dimulai sejak diundangkannya Undang -Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Setelah undang-undang ini berlaku sekitar setahun, kemudian undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertimbangan sehingga dilakukan perubahan adalah agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.

(10)

Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Undangundang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dipertimbangkan pula bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu diganti undang-undang baru.2

Heru Supratomo memberi contoh pratik money laundering melalui sistem perbankan: Suatu sindikat kejahatan internasional melakukan transfer uang dari bank di suatu negara ke bank di negara lain dengan dokumen palsu dengan cara memalsukan “tested telex”. Uang tersebut di negara tujuan dimasukkan ke dalam beberapa rekening anggota. Kemudian, uang itu ditarik secara tunai dan dimasukkan ke rekening anggota sindikat lainnya. Apabila di negara tersebut tidak ada kewajiban untuk meminta informasi mengenai asal usul uang itu, baik segi

2 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, (Makassar : Prenadamedia Group, 2016), hlm 93

(11)

ekonomi maupun yuridis, maka uang tersebut aman dari pendeteksian, sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai uang yang sudah diputihkan.3

Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, Transaksi Keuangan Mencurigakan, adalah:

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;

b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;

c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan dengan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana; atau

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Hasil tindak pidana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 2 ayat (1) adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang menjadi asal dari harta kekayaan tersebut. Tindak Pidana yang dimaksud, yaitu:

a. Korupsi;

b. Penyuapan;

c. Narkotika;

d. Psikotropika;

e. Penyeludupan tenaga kerja;

3 Gerry A. Perguson dalam Alma Manuputty Pattileuw, Jurnal Ilmu Hukum Clavia:

Money Laundering Suatu Kejahatan yang Berdimensi Internasional, Makassar, Fakultas Hukum Universitas “45”, hal 78

(12)

f. Penyelundupan migran;

g. Di bidang perbankan;

h. Di bidang pasar modal;

i. Di bidang perasuransian;

j. Kepabeanan;

k. Cukai;

l. Perdagangan orang;

m. Perdagangan senjata gelap;

n. Terorisme;

o. Penculikan;

p. Pencurian;

q. Penggelapan;

r. Penipuan;

s. Pemalsuan uang;

t. Perjudian;

u. Prostitusi;

v. Di bidang perpajakan;

w. Di bidang kehutanan;

x. Di bidang lingkungan hidup;

y. Di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih,

(13)

yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.4

Seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 disebut sebagai tindak pidana asal. Artinya pada tindak pidana itulah, dapat terjadi pencucian uang, sehingga tidak hanya korupsi yang dapat memunculkan pencucian uang, akan tetapi juga pada tindak pidana lain misalnya tindak pidana narkotika. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana yang lainnya termasuk di dalamnya narkotika sebagai tindak pidana asal (predicate crime atau predicate offences). Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).

Sejarah mencatat bahwa latar belakang lahirnya ketentuan internasional tentang pencucian uang/ money laundering sebenarnya dimulai ketika masyarakat dunia merasa gagal dalam upaya pemberantasan kejahatan yang berkaitan dengan obat bius dengan segala jenisnya. Oleh karena itu masyarakat internasional maju selangkah lagi dengan strategi yang tidak diarahkan pada kejahatan berkaitan dengan obat biusnya, tetapi diarahkan pada upaya memberantas hasil

4 Pasal 2 UU TPPU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

(14)

kejahatannya melalui ketentuan pencucian uang. Alasannya adalah kalau penjahat itu dihalangi untuk dapat menikmati hasil atau buah dari kejahatannya maka dapat diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna.5

Walaupun tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian uang memiliki keterkaitan, namun ada kasus narkotika yang hanya terjerat undang- undang narkotika saja atau hanya undang-undang pencucian uang saja. Lalu bagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam upaya menjerat pelaku tindak pidana, Bagaimana pula keterkaitan antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana narkotika sebenarnya, dan bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap hasil tindak pidana narkotika.

Berdasarkan uraian permasalahan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu analisa terhadap Putusan Nomor.311/Pid.Sus/2018/Pn.Mdn di Pengadilan Negeri Medan, dengan terdakwa atas nama Syaiful alias Juned bin Alm Hazbi. Berdasarkan Putusan no.311/Pid.Sus/2018/Pn.Mdn tersebut terdakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari hasil tindak pidana narkotika, serta diancam pidana sesuai Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Maka dengan itu penulis mengangkat masalah tersebut ke dalam skripsi yang berjudul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK

5 Dian Andriawan, Pengaturan Kejahatan Money Laundering (Pencucian Uang), (Jakarta : Jurnal Hukum Prioris Vol.1 No.1, 2006), Hal 51

(15)

PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR.311/PID.SUS/2018/PN/MDN) ”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan hukum pidana mengenai tindak pidana pencucian uang dalam menjerat para pelaku tindak pidana ?

2. Bagaimana penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika (Studi Putusan Nomor.

311/Pid.SUS/2018/PN.Mdn) ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa hal yang menjadi tujuan guna menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana peran Pencucuian Uang dalam memberikan dampak untuk mengurangi Tindak Pidana Narkotika.

b. Untuk mengetahui kaitan antara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Narkotika.

c. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil Tindak Pidana Narkotika.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

(16)

a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai tindak pidana pencucian uang.

b. Secara Praktis

1. Agar masyarakat lebih mengetahui tentang tindak pidana pencucian uang.

2. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran tentang tindak pidana pencucian uang dari hasi tindak pidana narkotika.

3. Agar masyarakat mengetahui bagaimana penerapan hukum di Indonesia terhadap kasus pencucian uang.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan dari media massa baik media cetak maupun elektronik.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelusuran studi literatur dan bahan-bahan kepustakaan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.

Judul-judul yang ada tentang pencucian uang tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang “Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan Nomor. 311/Pid.SUS/2018/PN.Mdn).” oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Tindak Pidana

(17)

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan

“strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu perbuatan pidana, atau tindak pidana. Para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dari istilah itu, tetapi belum ada keseragaman pendapat saat itu.6

Istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:7

1. Tindak pidana, dapat dikatakan istilah resmi dalam perundang- undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang- undangan menggunakan istilah tindak pidana, Seperti dalam undang- undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Peristiwa pidana, pembentuk UU pernah menggunakan istilah peristiwa hukum, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 pasal 14 ayat 1 yang berbunyi “ Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahan saja dalam suatu siding pengadilan, menurut aturan- aturan hukum yang berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang telah ditentukan dan yang

6 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 90

7 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 67

(18)

perlu untuk pembelaan”.

Istilah tindak pidana menunjukan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur- unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:8 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatau Culpa);

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang

8 Drs.P A.F.Lamintang, Op.Cit, hal 126.

(19)

dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:9 a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP;

c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

1. Diancam dengan pidana oleh hukum;

2. Bertentangan dengan hukum;

3. Dilakukan oleh orang yang bersalah;

4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

9 Ibid

(20)

Satochid juga mengemukakan pendapat, menurutnya unsur-unsur delik atau tindak pidana ada dua golongan, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.10

1) Unsur-unsur yang obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu yang berupa:

a. Suatu tindak tanduk atau tingkah laku;

b. Suatu akibat tertentu;

c. Keadaan.

Semua unsur obyektif di atas harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

2) Unsur-unsur subjektif yang berupa:

penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan

“strafbaarfeit”.11

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.

Menurut Vos tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana. Jadi, suatu kelakuan manusia

10 Alfitra, Op Cit, hal 115

11 Drs.P A.F.Lamintang, Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181.

(21)

yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.12

Menurut Van Hamel tindak pidana dirumuskan sebagai delik adalah perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan sebagai kesalahan. Sebagai tindak pidana suatu pelanggaran terhadap kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, dimana pelaku mempunyai kesalahan untuk dapat dimintai pertanggungjawaban sehingga dapat dikenal pemidanaan. Kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana.

2. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia.

a. Pencucian Uang

Meskipun tindak pidana pencucian uang telah berkembang sedemikian rupa, namun sampai saat ini tidak ada atau belum ada suatu definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering ini.

Prof.Dr.Sutan Remy Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha- usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor” yang diperoleh dari hasil tindak pidana.13

Selain istilah tersebut diatas, ada beberapa definisi lain dari pencucian

12 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014,hal 112.

13Dr. Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 17.

(22)

uang yang penulis himpun dari beberapa sumber. Namun, hakikatnya mengandung unsur-unsur pokok berupa tindakan yang sengaja dilakukan, berkaitan dengan kekayaan, dan kekayaan tersebut berasal dari kejahatan.

Beberapa definisi tersebut ialah sebagai berikut:

1. Menurut Sarah N. Welling (1992) “ pencucian uang adalah proses dimana seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) ilegal atau aplikasi pendapatan illegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan) tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku”.

2. Menurut David Fraser (1992) “ pencucian uang kurang lebih adalah proses dimana uang “kotor” (hasil dari tindak pidana) dicuci menjadi bersih atau uang kotor yang dibersihkan melalui suatu sumber hukum dan perusahaan yang legal sehingga „”para penjahat” dapat dengan aman menikmati hasil jerih payah tindak pidana mereka”.

3. Menurut Made. M. I Pastika “ pencucian uang ialah cara dimana seseorang mengubah uang “haram” yang dimilikinya menjadi uang

“bersih” yang bisa ditelusuri kembali kepada mereka, dan tidak bisa dihubungkan dengan kejahatan manapun.

4. Menurut Anwar Nasution “ pencucian uang adalah suatu cara atau proses untuk mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal.

5. Menurut UU RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian

(23)

Uang: tindakan pencucian uang dapat berupa tindakan orang yang sengaja melakukan percobaan bantuan atau permufakatan jahat untuk:14 a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan lain, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

c. Membayar atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri atau atas nama pihak lain;

d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

g. Menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

14 Alfitra, Op Cit, hal 50.

(24)

merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau

h. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Selain dari definisi-definisi tersebut diatas, tindakan-tindakan dibawah ini juga merupakan praktik pencucian uang, yaitu:15

1. Perubahan atau transfer kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul kekayaan, demikian pula dengan maksud membantu seseorang agar dapat menghindar dari konsekuensi tindakannya;

2. Penyembunyian atau pengaburan sumber, lokasi, penarikan, pemindahan hak-hak yang berhubungan dengan kekayaan atau kepemilikan dari suatu kekayaan;

3. Akuisisi, pemilikan atau penggunaan kekayaan yang diketahui dari kejahatan dan keikutsertaan dalam kejahatan;

4. Keikutsertaan, kerjasama atau persekongkolan, percobaan untuk melakukan atau membantu, mempermudah dan menyuruh melakukan kejahatan tersebut.

Mengacu pada sejumlah definisi tindak pidana pencucian uang diatas maka terlihat jelas, walaupun terdapat persamaan tentang unsur adanya uang hasil dari tindak pidana, unsur-unsur lainnya dari tindak pidana pencucian uang memiliki perbedaan.

15 Ibid, hal 52.

(25)

Dengan demikian secara umum, tindak pidana pencucian uang bisa didefinisikan secara ragam pula. Misalnya, tindak pidana pencucian uang sebagai proses dimana seseorang menutup-nutupi keberadaan uang illegal, ataupun aplikasi illegal dari uang, ataupun menutup-nutupi pendapatan agar pendapatan tersebut terlihat bersih atau sah menurut hukum dan tidak melanggar hukum.

b. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1867. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Pemerintah Amerika Serikat mulai mengkualifikasikan pencucian uang ini sebagai suatu tindak pidana dengan mengeluarkan Money Laundering Central Act. (1986), yang kemudian diikuti dengan The Annunzio Wylie Act.dan Money Laundering Suppression Act. (1994).

Sedangkan pemerintah Republik Indonesia baru

(26)

mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002 ini oleh pemerintah Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Saat itu dunia menyoroti beberapa kelemahan pada negara Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, yakni tidak adanya undang-undang yang menetapkan money laundering sebagai tindak pidana.

Sejak tanggal 17 April 2002 telah mulai berlaku Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 30).

Untuk mengetahui latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang tersebut demikian pula untuk mengetahui latar belakang maksud dan tujuan dijadikannya perbuatan yang berupa pencucian uang sebagai tindak pidana dapat diketahui dari penjelasan umum Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang mengemukakan sebagai berikut:

“Berbagai kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu Negara maupun yang dilakukan melintasi batas-batas wilayah suatu Negara lain makin meningkat.

Kajahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, kenyuapan (bribery, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan

(27)

psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya).

Bagi organisasi kejahatan, harta kekayaan sebagai hasil kejahatan sebagai ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran harta kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, harta kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul harta kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.”

Secara khusus apa sebab sampai dibentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tersebut adalah dikarenakan pada tanggal 22 Juni 2001, Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF)16 telah memasukkan Indonesia pada daftar Non Cooperative Countries and

16 FATF adalah sebuah badan antar pemerintah (inter governmental body) yang didirikan oleh Negara-negara maju yang tergabung dalam G.7 di Paris pada bulan Juli 1985. Semula tugas dari FATF adalah memberantas pencucian uang (money laundering) tetapi dalam perkembangannya juga memberantas pendanaan terorisme (terrorist financing). FATF telah mengeluarkan rekomendasi tentang pencucian uang yang dikenal dengan nama THE 40 FATF RECOMMENDATIONS yang kemudian setelah peristiwa tanggal 11 september 2001, dikeluarkan lagi 8 (delapan) rekomendasi untuk memberantas terorisme dan 1 (satu) rekomendasi untuk khusus tentang Cash Courier. Indonesia belum menjadi anggota FATF, tetapi anggota dari Asia Pacifik Group on Money Laundering (APG). APG menjadi anggota FATF.

(28)

Territories (NCCT‟s), karena di Indonesia:

a. Tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana;

b. Tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer-KYC) untuk lembaga non bank;

c. Rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang;

d. Kurangnya kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan pencucian uang.17

Dimasukkannya suatu negara ke dalam daftar NCCT‟s adalah merupakan dasar bagi FATF untuk meminta kepada para anggotanya yang terdiri atas negara-negara besar di dunia untuk melakukan counter-measures terhadap negara tersebut dan menetapkan set date, yaitu tanggal mulai diberikannya sanksi kepada negara tersebut.18

Apabila suatu negara terkena counter-measures dari negara-negara anggota FATF, maka negara tersebut akan terisolir, antara lain tidak dapat melakukan transaksi dagang dan transaksi keuangan dengan pengusaha- pengusaha lembaga-lembaga keuangan dari negara-negara yang melakukan counter- measures tersebut.

Negara yang masih memerlukan bantuan pinjaman dari luar negeri akan dapat pula mengalami kesulitan untuk memperoleh dana bantuan dan pinjaman dari negara-negara yang melakukan counter-measures tersebut.

17 Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008, hal 89.

18 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, 2004, hal 94.

(29)

Negara tersebut juga akan mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan dan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Bank, IMF, dan ADB.19

Atas dasar alasan khusus seperti tersebut, maka dibentuklah UU No.

15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ternyata oleh FATF, UU No. 15 Tahun 2002 tersebut dinilai masih belum memenuhi standard Internasional,sehingga masih perlu diadakan perubahan.

Perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2002 dilakukan dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Meskipun terhadap UU No. 15 Tahun 2002 telah dilakukan perubahan untuk disesuaikan dengan standard internasional, FATF tidak serta merta mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCT‟s, karena FATF masih akan melihat bagaimana implementasinya dari UU No. 15 Tahun 2002 setelah dilakukan perubahan.20

Baru pada tanggal 11 Februari 2005 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT‟s, namun FATF tetap meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40 + 9 rekomendasi dengan memfokuskan pada 6 (enam) hal sebagai berikut:

1. Mendorong agar small banks (seperti BPR dan bank-bank umum

19 Ibid, hal 112.

20 Ibid, hal 113.

(30)

berskala kecil lainnya) menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan;

2. Meningkatkan capacity building, terutama kepada para penegak hukum yang melakukan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang;

3. Meningkatkan pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana pencucian uang dengan tepat waktu;

4. Melaksanakan pemeriksaan terhadap PJK dan mengenakan sanksi secara tegas;

5. Mengundangkan RUU tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Asssistance) serta melaksanakan kerjasama internasional di bidang penegakan hukum;

6. Memenuhi komitmen untuk mendukung operasional (penyediaan anggaran, gedung perkantoran, sistem penggajian dan kewenangan pengangkatan pegawai tetap.

Selanjutnya dalam Second Plenary Meeting FATF on Money Laundering di Cape Town, Afrika Selatan tanggal 13-17 Februari 2006 telah ditetapkan antara lain bahwa status Indonesia tidak lagi dalam monitoring FATF.

Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 (untuk selanjutnya disingkat: UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003), meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal karena perundang-undangan yang ada ternyata masih

(31)

memberikan ruang tumbuhnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana undang-undang ini.21

Sejak tanggal 22 Oktober 1020 UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomer 122 yang mulai berlaku pula sejak tanggal 22 Oktober 2010.

UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini dibentuk sebagai respon dari pemerintah dan badan legislative terhadap perkembangan TPPU di Indonesia. Hal ini dikarenakan UU TPPU dan Perubahan UU TPPU belum mampu menjawab setiap tantangan dan kemungkinan-kemungkinan praktik pencucian uang yang terjadi di masyarakat.

UU PPTPPU ini mengandung kebijakan hukum penanggulangan kebijakan pencucian uang. Kebijakan hukum tersebut dinyatakan sebagai berikut:

1. Kebijakan hukum melaui redefinisi, penambahan, dan perubahan pengertian hal yang terkait dengan TPPU, meliputi

a. Pengertian hal-hal lain yang tidak diubah dari UU TPPU dan

21 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

(32)

perubahan UU TPPU dalam UU PPTPPU ini yaitu pengertian:

1) Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

2) Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

3) Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a) Tulisan, suara, atau gambar b) Peta

c) Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahami.

4) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

b. Redefinisi pengertian

1. Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam UU PPTPPU.

(33)

Perbuatan yang dimaksud sebagai tindak pidana dalam undang-undang ini akan dijelaskan pada poin selanjutnya.

2. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antar dua pihak atau lebih.

3. Transaksi keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.

4. Transaksi keuangan mencurigakan adalah:

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.

b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

c. Transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

d. Transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang di duga berasal

(34)

dari hasil tindak pidana. UU PPTPPU ini menambahkan suatu poin baru dalam definisi TKM yaitu poin ke-4 yang menyebabkan semakin luasnya transaksi yang dapat dicurigai sebagai TKM.

Selain itu hal ini juga mengindikasikan bahwa PPATK memiliki kewenangan untuk meminta informasi, data, maupun dokumen terhadap suatu transaksi yang diduga sebagai upaya pencucian uang.

5. Transaksi keuangan tunai adalah transaksi keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.

6. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tim pemerintah dan komisi II Dewan Perwakilan Rakyat berdebat pada saat merumuskan pasal 2 ini. Perdebatan itu disebabkan adanya keberatan berkenaan dengan rumusan pasal 2 tersebut yaitu:22

a. Seyogianya tidak dicantumkan daftar kejahatan-kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan yang menjadi objek pencucian uang (daftar predicate crimes, yaitu kejahatan-kejahatan yang menghasilkan objek pencucian uang). Dengan adanya pencantuman daftar kejahatan tersebut, dikhawatrkan ada kejahatan yang terlupakan yang sangat potensial untuk menghasilkna harta kekayaan sebagai objek pencucian uang, namu tidak termuat dalam rumusan tersebut sehingga tidak dapat

22 Sutan Remy Sjahdeini,. Op Cit, hal 5.

(35)

dipidana. Misalnya saja tidak tercantum “perjudian” dalam pasal 2 undang-undang tersebut, sedangkan menurut pasal 303 KUHP, perjudian merupakan tindak pidana. Tidak dicantumkannya perjudian sebenarnya disebabnkan karena ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak semua oerjudian adalah tindak pidana tetapi da perjudian yang diselenggarakan dengan izin pemerintah.

b. Pada masa yang akan datang ada kemungkinan akan terjadi kejahatan- kejahatan baru yang sebelumnya belum dikenal di masyarakat.

c. Pada masa yang akan datang, tidak mustahil ada perbuatan-perbuatan yang menghasilkna uang dan merugikan pihak lain atau masyarakat akan dikriminalisasi melalui peraturan pernndang-undangan, namun saat ini perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

d. Seharusnya jumlah harta Kekayaan tidak hanya dibatasi pada julmah Rp 500.000.000.00 atau lebih, namu juga untuk semua hasil tindak pidana yang “dicuci” dengan salah satu perbuatan yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (1).

Kritikan tersebut juga dilanjutkan dengan kritik dari FATF sebagai lembaga internasional yang memerangi tindak pidana pencucian uang sehingga tindak pidana asal tersebut ditambah dengan tindak pidana.

3. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika.

a. Narkotika

Definisi narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang

(36)

menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics” pada

“farmacologie” (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh- pengaruh tertentu pada tubuh pemakai, yaitu:

1. Mempengaruhi kesadaran.

2. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia.

3. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa : a. Penenang;

b. Perangsang (bukan rangsangan seks);

c. Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat). Soedarto menyatakan bahwa perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “Narke”yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa. Hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.23

Dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 ini juga menjelaskan apa yang dimaksud prekusor narkotika , adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam UU No. 35 Tahun 2009.

Narkotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari kata

“narkoties”, yang sama artinya dengan kata narcosis yang berarti membius.

23 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(37)

Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, disamping dapat digunakan untuk pembiusan.

Jenis-jenis narkotika yang perlu diketahui dalam kehidupan sehari-hari:

1. Candu atau disebut juga opium 2. Morphine

3. Heroin 4. Cocaine 5. Ganja

6. Narkotika sintetis atau buatan b. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan- ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang- undang tersebut. Tindak pidana narkotika juga dapat dikatakan adalah penggunaan atau peredaran narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar UU Narkotika)24. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain :25

1. Penyalahgunaan / melebihi dosis;

2. Pengedaran narkotika;

3. Jual beli narkotika.

24 Moh Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 45

25 Ibid, hal 45.

(38)

Dari ketiga tindak pidana narkotika itu adalah merupakan salah satu sebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dana pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya itu sendiri, seperti:

1. Pembunuhan;

2. Pencurian 3. Penodongan;

4. Penjambretan;

5. Pemerasan;

6. Pemerkosaan;

7. Penipuan;

8. Pelanggaran rambu lalu lintas;

9. Pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.26

26Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal 43.

(39)

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode atau jenis penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Metode penelitian normatif ini dipilih untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika.

2. Data dan Sumber Data

Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini mengacu pada 3 bahan:

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer ini terdiri dari seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini;

(40)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya, ensiklopedia, kamus hukum dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah; studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan yakni; buku-buku, pendapat sarjana, artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan atau doktrin- doktrin yang berkenaan dengan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana narkotika.

4. Analisis Data

Adapun metode anailisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasarkan sumber-sumber hukum serta doktrin yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

(41)

BAB I : Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini akan diuraikan mengenai bagaimana ketentuan hukum pidana mengenai pencucian uang dapat menjerat pelaku tindak pidana, pertanggungjawaban pelaku pidana serta sanksi yang harus diterima sesuai dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

BAB III : Dalam bab ini penulis akan menguraikan bagaimana penerapan pasal mengenai tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika yang terdapat dalam undang-undang tentang pencegahan dan pembatasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dengan mengkaji sebuah putusan yang terkait dengan pembahasan ini.

BAB IV : Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta saran yang Penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami topik yang telah dibahas dalam penulisan ini.

(42)

BAB II

KETENTUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA UNTUK UPAYA MENGURANGI PELAKU TINDAK

PIDANA

A. Perbuatan pidana dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang ( TPPU)

Pada pasal 2 UU No.8 Tahun 2010 diatur mengenai jenis-jenis tindak pidana yang hasil dari tindakan tersebut merupakan harta kekayaan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No.8 Tahun 2010. Hal ini merupakan suatu keunikan tersendiri dari UU Pencucian Uang, karena tindak pidana ini terkait dengan tindak pidana lainnya yang disebut sebagai predicate offences. Adapun yang tercantum dalam pasal 2 UU No.8 Tahun 2010 adalah:

Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:27 a. Korupsi;

b. Penyuapan;

c. Narkotika;

d. Psikotropika;

e. Penyelundupan tenaga kerja;

f. Penyelundupan migran;

g. Dibidang perbankan;

h. Dibidang pasar modal;

i. Dibidang perasuransian;

j. Kepabeanan;

k. Cukai;

27 Pasal 2 UU TPPU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

(43)

l. Perdagangan orang;

m. Perdagangan senjata gelap;

n. Terorisme;

o. Penculikan;

p. Pencurian;

q. Penggelapan;

r. Penipuan;

s. Pemalsuan uang;

t. Perjudian;

u. Prostitusi;

v. Dibidang perpajakan;

w. Dibidang kehutanan;

x. Dibidang lingkungan hidup;

y. Dibidang kelautan dan perikanan; atau

z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,

yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/

atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

(44)

Dalam undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah menambahkan ketentuan-ketentuan baru yang tidak ada pada undang-undang pencucian uang sebelumnya yang mana ketentuan-ketentuan baru ini dapat mempersempit kesempatan dan kemungkinan bagi pelaku untuk melakukan pencucian uang. Ketentuan- ketentuan tersebut antara lain ialah :

1. Perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana pencucian uang

Pada prinsipnya, unsur-unsur tindak pidana pencucian uang dalam rumusan UU TPPU dan perubahan UU TPPU dengan UU PPTPPU adalah sama yaitu kegiatan menempatkan, mentransfer, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Namun pada UU TPPU ini, dicantumkan beberapa tambahan perbuatan baru yaitu “mengalihkan dan mengubah bentuk”.

UU TPPU ini juga memuat rumusan baru yang semakin menyempurnakan kriminalisasi pencucian uang. Rumusan baru itu dimuat dalam Pasal 4 yang merupakan pemidanaan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana yang dilakukan tanpa melalui transaksi keuangan (masuk ke sistem keuangan) seperti yang diatur dalam Pasal 3.

Rumusan tindak pidana yang terakhir yaitu pada Pasal 5 dan Pasal 6

(45)

ketentuan baru memuat perbuatan baru yang ditambahkan yaitu kata

“menggunakan” yang sebelumnya hanya perbuatan penerimaan atau penguasaan, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan penukaran.28

2. Tindak pidana asal

Undang-undang yang lama mengenal 25 jenis kejahatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana asal sedangkan pada Undang-undang yang baru ada 26 jenis kejahatan. Perbedaan pada ketentuan yang lama dan yang baru yaitu pencantuman tindak pidana kepabeanan dan cukai pada ketentuan baru sedangkan pada ketentuan lama hanya dirumuskan sebagai tindak pidana penyelundupan barang. Penambahan lain dalam tindak pidana bidang kelautan dimasukkan juga tindak pidana bidang perikanan.

Perluasan rumusan lain ditemukan pada Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa harta kekayaan yang digunakan untuk kegiatan terorisme diperluas dengan pencantuman ketentuan baru dengan penggunaan kata-kata

“yang akan digunakan” dan “kegiatan terorisme,organisasi teroris, atau teroris perseorangan”. Pencantuman ketentuan ini menyebabkan harta kekayaan yang akan dipergunakan untuk kegiatan teroris sudah termasuk objek dalam pencucian uang. Dengan demikian, semakin sempit jalan bagi pelaku tindak pidana teroris untuk membiayai kegiatan terornya.

3. Perluasan sanksi pada tindak pidana pencucian uang

Sanksi pidana dan penjara yang dijatuhkan bagi pelaku pada UU TPPU

28 Pasal 5 UU TPPU sebagaimana telah diubah dengan Perubahan UU TPPU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 6 UU PPTPPU

(46)

dan Perubahan UU TPPU berbeda dengan yang termuat dalam ketentuan yang baru pada Undang-undang UU PPTPPU, yaitu:

Pada undang-undang sebelumnya UU No. 25 Tahun 2003 yaitu pada pasal 3 mengenai ketentuan “setiap orang dengan sengaja : menempatkan, mentransfer, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,” dan pasal 6 mengenai ketentuan “setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,” terdapat ketentuan minimum maksimum pidana penjara dan pidana dendanya yaitu pidana penjara paling singkat 5 tahun paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.

100.000.000.00,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

15.000.000.000.00,-(lima belas miliar rupiah), sedangkan pada Undang- undang No. 8 Tahun 2010 pasal 3 mengenai ketentuan “setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” dan pasal 4 mengenai ketentuan “setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”

(47)

serta pasal 5 mengenai ketentuan “setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak terdapat ketentuan minimum pidana penjara dan pidana dendanya melainkan hanya diatur diataur pidana maksimumnya saja yaitu pidana penjara paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000.000.00,- (sepuluh miliar rupiah) untuk perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, pidana penjara paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.

5.000.000.000.00,- (lima miliar rupiah) untuk perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00,- (satu miliar rupiah).

4. Perluasan klasifikasi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang dan sanksinya

Klasifikasi perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang pada pokoknya adalah pelarangan bagi pihak pelapor untuk memberitahukan atau membocorkan rahasia mengenai data, informasi, data diri pelapor, atau semua hal yang berkaitan dengan proses penegakan hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Ketentuan lain berupa adanya kewajiban pelaporan bagi setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau mata uang asing, dan/atau instrument pembayaran lain dalam

(48)

bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling sedikit Rp 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu kedalam atau keluar daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Penambahan ketentuan baru yang menjamin independensi PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dan bagi pelanggarannya dikenakan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

Penentuan sanksi pidana untuk tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang juga memiliki perbedaan, antara lain : a. Pencantuman sanksi administratif pada ketentuan baru sedangkan pada

ketentuan lama tidak dikenal adanya sanksi administratif.

Sanksi administratif dikenakan bagi pihak pelapor yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan TKM oleh PJK maupun transaksi yang bernilai paling sedikit Rp 500.000.000.00 atau setara dengan itu oleh penyedia barang dan/atau jasa lain (pasal 25 ayat dan pasal 27 ayat (3) UU PPTPPU).29 Perbuatan lain yang dikenakan sanksi administratif adalah setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau instrument pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling sedikit Rp 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia namun tidak

29 Muhammad Yusuf dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program(NLRP), Bandung, 2011, hal. 370.

(49)

melaksanakan kewajiban pelaporan (pasal 35 ayat (1) dan (2).

b. Penjatuhan sanksi administratif kepada pihak pelapor yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan ini, sebelumnya pada ketentuan lama dijatuhi sanksi pidana. Namun dengan dikeluarkannya undang-undang yang baru, maka ketentuan tersebut dijatuhi sanksi administratif bukan sanksi pidana.

Penambahan ketentuan-ketentuan baru dan perluasan beberapa ketentuan dalam Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dimaksudkan agar ketentuan yang baru ini dapat lebih efektif dalam mencegah tindak pidana pencucian uang tetapi juga Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat para pelaku, khusunya para aktor intelektual yang mendanai kegiatan tindak pidana. Dalam konsep tindak pidana pencucian uang, hal utama yang dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan karena lebih mudah mengejar hasil dari kejahatan daripada mengejar pelakunya.

B. Pertanggungjawaban Pidana Sesuai Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang ( TPPU)

Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela yang dilakukan oleh masyarakat dan perbuatan itu dipertanggungjawabkan pada sipelaku/pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, ini berarti harus dipastikan terlebih dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini berarti bahwa likuiditas (CR), leverage (DER) dan ukuran perusahaan (Total Aktiva) tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu penyajian

Beberapa manfaat yang bisa diambil dari berkembangnya budaya sekolah, diantaranya: (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan

namun un men menyar yarank ankan an set setida idakny knya a dua dua da dari ri tig tiga a hal hal har harus us ter terda dapat pat, , ya yaitu itu se sebag bagai

Internet sudah menjadi salah satu kebutuhan sehari-hari sehingga kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam pemanfaatan internet sangat bisa terjadi, oleh karena itu

Dari siklus 1 pertemuan ke 1 ke siklus 1 pertemuan ke 2 terjadi peningkatan rata-rata nilai sebesar 3,6 atau meningkat sebesar 3,2 % dan terjadi peningkatan pada prosentase siswa

This research was supported in part through funding from the Adaptation Liaison Office, Natural Resources Canada (Climate Change Action Fund), Environment Canada (Canada

Informasi dan data bergerak melalui kabel-kabel atau tanpa kabel sehingga memungkinkan pengguna jaringan komputer dapat saling bertukar dokumen dan data, mencetak pada printer yang

Prinsip yang terakhir adalah accountability yaitu berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai