• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN ASPEK NILAI DAN MORAL PERAN PERAW (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN ASPEK NILAI DAN MORAL PERAN PERAW (1)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ESSAY

KAJIAN ASPEK NILAI DAN MORAL PERAN PERAWAT PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA YANG MENDAPAT TINDAKAN ELECTROCONVULSIVE

THERAPY (ECT)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika dan Hukum dalam Keperawatan Magister Keperawatan Peminatan Jiwa

Disusun oleh: DEDI KURNIAWAN

156070300111020

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN KEPERAWATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

(2)

PAPARAN MASALAH

Perubahan pola pikir, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkat dan bertambah rumitnya masalah kesehatan masyarakat akan berdampak pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas termasuk pelayanan keperawatan pada pasien dengan gangguan jiwa. Masyarakat lebih sadar akan hak dan kewajiban untuk menuntut tersedianya pelayanan kesehatan dan keperawatan dengan mutu yang secara profesional dapat dipertanggungjawabkan. Menghadapi globalisasi ini tiada upaya lain yang perlu dilakukan kecuali mengadakan penyesuaian dan perbaikan terhadap mutu layanan keperawatan (Abdullah, 2011).

Peningkatan mutu pelayanan keperawatan didukung oleh pengembangan teori-teori keperawatan, teori-teori praktik keperawatan didasarkan pada pengetahuan keperawatan (Alpers, 2013). Teori keperawatan menyediakan sebuah perspektif tentang cara mendefinisikan perawatan, menggambarkan siapa yang diberikan perawatan, kapan perawatan akan di butuhkan, serta mengidentifikasi batas dan tujuan kegiatan terapeutik dalam perawatan (Taylor, 1997). Hal ini merupakan tantangan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan profesionalisme selama memberi pelayanan yang berkualitas.

Kualitas pelayanan yang tinggi memerlukan landasan komitmen yang kuat dengan basis pada etik dan moral yang tinggi. Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Salah satu hambatan dalam pengambilan keputusan tentang tindakan keperawatan adalah adanya stigma dalam populasi umum dan kalangan profesional medis mengenai prosedur pengobatan yang dianggap kurang manusiawi (Godbold, 2013; Denaley, 2012).

(3)

PEMBAHASAN

American Nurses Association (ANA) menjabarkan bahwa Kode Etik untuk Perawat menetapkan tugas perawat untuk memberi kasih sayang dan penghormatan terhadap martabat yang melekat, nilai dan keunikan setiap individu, dalam mempromosikan dan mengadvokasi untuk kesehatan, keselamatan, dan hak-hak pasien. Perawat profesional juga memiliki tugas untuk diri sendiri, yang melibatkan ekspresi perspektif moral pribadi seseorang dalam proses pengambilan keputusan etis.

Dalam memberikan perawatan pada pasien gangguan jiwa yang mendapat terapi ECT, American Psychiatric Association (APA) menganggap tujuan keperawatan adalah untuk mempersiapkan pasien sebelum terapi, mengurangi kecemasan, memenuhi kebutuhan keamanan pasien, meminimalkan trauma dampak fisik dan psikis selama terapi, dan mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan pasien pasca terapi. Stigma yang muncul dalam masyarakat terkait tindakan ECT menuntut perawat mampu menentukan keputusan dan strategi yang tepat. Selain kemampuan operasional prosedur standar yang harus dikuasai seorang perawat, kemampuan pengambilan keputusan berdasarkan aspek nilai dan moral menjadi hal yang penting sebagai bentuk upaya dalam meningkatkan kualitas mutu pelayanan keperawatan (Godbold, 2013).

Pemberian electroconvulsive therapy (ECT) pada pasien dengan gangguan jiwa menjadi dilema etik dalam penerapannya karena dilihat dari efek samping yang dapat terjadi seperti gangguan pada memori (retrograde dan anterograde amnesia) menjadi pertimbangan dalam pelaksanaannya. (Brown, 2014). Studi etik dalam perawatan kesehatan menekan pada pemecahan dilema etik yang sering terjadi karena telah begitu banyak situasi yang membingungkan secara moral muncul dalam perawatan kesehatan, namun etik tidak boleh berkurang menjadi hanya suatu pertimbangan terhadap masalah sulit. Etik keperawatan dihubungkan dengan hubungan antar masyarakat dan dengan karakter serta sikap perawat terhadap orang lain. Pengetahuan perawat diperoleh melalui keterlibatan pribadi dan emosional dengan orang lain dengan ikut terlibat dalam masalah moral mereka, (Abdullah, 2011).

Etik dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik keperawatan, yaitu istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya seorang perawat berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang perawat terhadap pasien, keluarga pasien, rekan kerja maupun aktifitas antar profesional lain (Alpers, 2013; Godbold, 2013).

Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting pada pengambilan keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat ditantang ketika harus berhadapan dengan masalah dilema etik, untuk memutuskan mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika tak ada jawaban benar atau salah; dan apa yang dilakukan jika semua solusi tampak salah (Abdullah, 2011).

(4)

Autonomi diartikan sebagai hak dan kemampuan mandiri dalam menentukan keputusan atau pilihan. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dan cara mengatur dirinya. Menghargai harkat dan martabat manusia sebagai individu yang dapat memutuskan yang terbaik untuk dirinya. Setiap tindakan keperawatan harus melibatkan pasien dan berpartisipasi dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan asuhan keperawatan. Dalam pemberian terapi pasien memiliki kebebasan menerima semua prosedur terapi yang akan diberikan (Kozier, 2000). Pemberian inform concent sebelum tindakan menjadi salah satu bentuk penerapan prinsip autonomi pasien. Pasien dengan ganggua jiwa hak otonomi dapat dialihkan ke orang yang bertanggung jawab atas pasien, seperti orang tua, saudara atau orang yang secara hukum memiliki wewenang.

Dalam kasus ini sedikit bersinggungan juga dengan parentalisme. Secara umum parentalism berarti bahwa seorang individu dewasa diperlakukan atau diterapi seolah-oleh individu tersebut sebagai seorang anak kecil seolah-oleh orang-orang yang bertindak seolah mereka memiliki otoritas dan peduli seperti orang tua. Seperti halnya orang tua, perawat akan menyatakan bertindak atas nama pasien dan untuk pasien, walaupun sebenarnya terkadang tetap ada unsur pemaksaan selama proses terapi. Pasien diperkirakan tidak dapat menghargai hubungan antara perilaku perawat dan kebaikannya (Lees, 2012; Mittal, 2013).

Beneficience yaitu keputusan dan tindakan yang dilakukan memiliki manfaat bagi pasien dan tidak merugikan pasien. Perawat secara moral berkewajiban membantu orang lain melakukan sesuatu yang menguntungkan dan mencegah timbulnya bahaya (Kozier, 2000). Dilihat dari tujuan pemberian ECT ditujukan untuk kesembuhan pasien jiwa dan sesuai dengan prinsip tersebut.

Prinsip nonmaleficience merupakan penghindaran dari bahaya, dapat dilihat kontinum rentang dari bahaya yang tidak berarti sampai menguntungkan orang lain dengan melakukan yang baik. Menuntut perawat menghindari yang membahayakan pasien selama pemberian asuhan keperawatan. Dari prinsip ini pemberian ECT tidak sesuai karena dapat menimbulkan bahaya, namun jika dilihat dari tujuan pemberian pelaksanaan terapi ini sesuai dengan prinsip beneficience yang semata-mata untuk kesembuhan pasien jiwa. Pada prinsip ini perawat berperan lebih selama proses terapi.

ECT sebagai terapi yang memiliki kerugian dan efek samping selama proses atau setelah terapi, efek tersebut tentunya perlu mendapat perhatian lebih. Selain memberikan efek kehilangan memori dan kekacauan mental sementara, terapi ini juga memberikan efek kejang, muntah, dislokasi sendi dan rahang, fraktur, dan nyeri kepala. Perawat professional bertanggung jawab mencegah atau mengurangi resiko dan dampak terhadap terapi atau pengobatan. Penerapan standar operasional tindakan tersebut telah tersedia sebagai langkah menangani masalah tersebut, namun aspek yang paling penting dalam menanggapi masalah tersebut adalah seberapa besar perilaku caring atau kepedulian yang dimiliki seorang perawat.

(5)

yang diketahuinya tentang pasien yang meliputi pikiran, perasaan, nilai-nilai, pengalaman, kesukaan, perilaku dan bahasa tubuh (Alpers, 2013; Marchuk, 2014).

Prinsip justice merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil terhadap semua pasien sesuai dengan kebutuhan. Setiap individu mendapat tindakan yang sama berarti mempunyai kontribusi yang relatif sama untuk kebaikan kehidupan seseorang. Prosedur terapi ini pada setiap orang yang menerimanya akan sama dalam setiap pelaksanaannya. Prinsip selanutnya adalah Fidelity yang dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Kesetiaan itu menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan (Kozier, 2000; WHO, 2005).

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi yang tersedia menjadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan menginformasikan kepada pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya (Alpers, 2012; Lees, 2012; Godbold, 2013).

Kerahasiaan atau confidentiality adalah bahwa informasi tentang klien harus dijaga privasi-nya. Informasi yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien dapat diakses guna untuk proses pengobatan klien dan kepentingan medis lain. Prinsip yang terakhir adalah accountability yaitu berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali (Kozier, 2001).

Berdasarkan rincian prinsip etik tersebut, hal yang paling mendasar dalam pemberian perawatan yang etis adalah adanya eksistensi nilai dan moral dalam diri individu perawat itu sendiri. Komitmen moral perawat dalam melindungi dan meningkatkan martabat manusia serta dirinya sendiri yang lebih meningkatkan kesadaran perawat dalam memelihara interaksi dan menghargai jiwanya serta kesadaran perawat akan potensi pasien untuk sembuh berdasarkan pengalaman selama melakukan keperawatan. Komitmen tersebut yang nantinya akan menumbuhkan kepedulian dan sikap empati perawat dalam memberikan asuhan keperawatan (Alpers, 2012; Godbold, 2013).

(6)
(7)

KESIMPULAN

Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memiliki peranan penting pada pengambilan keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Perawat etis yaitu perawat yang memperhatikan nilai dan moral dalam bertindak dan memperlakukan orang lain dengan cara tertentu yang konsisten dengan norma keperawatan. Kode etik keperawatan membantu perawat dalam mempertimbangkan masalah moral dengan menggunakan prinsip-prinsip etik keperawatan, yaitu meliputi autonomi, beneficience, nonmaleficience, justice, fidelity, veracity, confidentiality dan accountability.

Nilai humanisme dan moral adalah kunci utama dalam perilaku caring perawat professional. Perawat yang menggunakan pendekatan humanistik dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mendapatkan terapi ECT akan memperhitungkan semua aspek yang diketahuinya tentang pasien yang meliputi kebutuhan, keamanan, pikiran, perasaan, nilai-nilai, pengalaman, kesukaan, perilaku dan respon tubuh dari pre, intra sampai post terapi.

SARAN

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T., Brown, T.L. (2011). Mental illness stigma and ethnocultural beliefs, values, and norms: An integrative review. Clinical Psychology Review. 31:934-948.

Alpers, R.R., Jarrell, K., Wotring, R. (2013). Developing a philosophy of nursing: A first step to becoming a professional. Teaching and Learning Nursing Journal. (8).162-163.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. (4th edition; Text Revision) (DSM-IV-TR). Arlington, VA: Author.

Brown, A.M., Kazer, M.W. (2014). Electroconvulsive Therapy: Thoughts for Nursing. Archives of Psychiatric Nursing. 28:354.

Carol Taylor,Carol Lillies, Priscilla Le Mone, (1997). Fundamental Of Nursing Care, Third Edition, by Lippicot Philadelpia, New York.

Denaley, K.R. (2012). Psychiatric mental health nurse: Stigma issues we fail to see. Psychiatric Nursing. 26(4):333-335.

Gass, J., (2008). Electroconvulsive therapy and the work of mental health nurses: A grounded theory study. International Journal of Nursing Studies. 45:191-202. Godbold, R., Lees, A. (2013). Ethics education for health professional: A values based

approach. Nurse Education in Practice. (13):553-560.

Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2000). Synopsis of Psychiatry. New York: Williams and Wilkins.

Kraewski, C., Burazeri, G., Brand, H., (2013). Self-stigma, perceived discrimination and empowerment among people with a mental illness in six countries: Pan European stigma study. Psychiatry Research. 210, 1136-1146

Lees, A., Godbold, R., (2012). To tell or not to tell? Physiotherapy students’ responses to breaking patient confidentiality. New Zealand Journal of Physiotherapy. 40(2), 59-63.

Mittal, D., Sullivan, G., Reaves, C., Han, X., Mukherjee, S., Morris, S., Corrigan. P., (2013). Does serious mental illness influence treatment decisions of physicians and nurses? Poster Presentationat the. (2013). American Psychiatric Association Annual Meeting. SanFrancisco, CA.

Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (Ed ke-7). St. Louis: Mosby, Inc.

Suhaemi, M.E. (2004). Etika keperawatan: aplikasi pada praktisi. Jakarta: EGC. World Health Organization. (2005). WHO Resource Book on Mental Health, Human

Referensi

Dokumen terkait

Distributive justice berfokus pada keadilan keputusan atas hasil-hasil, procedural justice berfokus pada prosedur untuk mengalokasikan hasil tersebut.Perusahaan yang

Perjanjian Kerja yang telah ditanda tangani oleh PMI/TKI dengan pemberi kerja harus di daftarkan di KBRI negara tujuan, perjanjian dibuat minimal rangkap 6 (enam ) karena

mengakibatkan terjadinya penurunan kinerja karyawan pada PT. Bumi Sentosa Dwi Agung. Bumi Sentosa Dwi Agung. Sebaliknya apabila terjadi penurunan lingkungan kerja, maka

Untuk genggaman pertama yaitu genggaman tangkai cangkul bagian tengah, terlihat dari gambar di atas bahwa genggaman yang digunakan adalah genggaman antara ibu

Manfaat pada penelitian ini adalah membantu pembaca atau penonton untuk memahami tokoh, karakter para tokoh, dan alur cerita sehingga dapat memahami secara

Alat pemindahan bahan ( material handling equipment ) adalah peralatan yang digunakan untuk memindahkan muatan yang berat dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak yang tidak

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis kedua yang bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris pengaruh tenur partner audit terhadap kualitas audit, setelah dilakukan

Setelah itu didapatkan larutan standar 10 ppm, untuk diketahui alat yang kami gunakan yakni pada spektrofotometer uv vis dapat menyerap cahaya apabila senyawa