KEDUDUKAN PIHAK KETIGA YANG MENGUASAI OBJEK HAK ATAS TANAH TERHADAP TERJADINYA PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
B. Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak yang Telah Melakukan Pengalihan Hak Atas TanahPengalihan Hak Atas Tanah
Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian siapa pemegang hak milik atau hak-hak lain atas sebidang tanah. Di dalam realitasnya, pemegang sertifikat atas tanah belum merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-raguan yang seringkali muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan sertifikat tanah melalui pengadilan.40
Menurut Pasal 19 ayat 1 UUPA disebutkan bahwa: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah dilaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”, dan selanjutnya menurut ketentuan Pasal 23 ayat 1 UUPA disebutkan bahwa hak milik,
40 Maria S.W. Soemarjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
demikian pula dengan pengalihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksudkan dalam Pasal 19 UUPA.
Pasal-pasal tersebut adalah merupakan dasar hukum dari pendaftaran tanah/pendaftaran hak atas tanah, termasuk tanah-tanah dengan status milik adat. Melalui pendaftaran inilah maka status tanah milik adat tersebut berubah menjadi hak milik sebagaimana diatur UUPA.41
Terbitnya sertifikat tanah atas tanah-tanah milik adat, di samping membawa kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah-tanah milik adat (merubah statusnya menjadi hak milik menurut UUPA), juga demi untuk kelancaran lalu lintas hukum dan kemajuan pembangunan dewasa ini, di mana setiap orang menghendaki kepastian tentang segala soal.
Pendaftaran pengalihan hak atas tanah diperlukan guna memperkuat pembuktian beralihnya suatu hak atas tanah karena dengan didaftarkan haknya akan berlaku umum. Dalam uraian di muka telah dikemukan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat mengingat stelsel negatif tentang register pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain. Dengan demikian disini pendaftaran adalah bersifat administratif. Jual belinya tetap sah menurut hukum
kendati pun tanpa di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau pun tidak didaftarkan haknya di kantor agraria.
Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menegaskan bahwa kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik dimulai dari pembuatan peta dasar pendaftaran, sedangkan pada pendaftaran tanah secara sporadik hanya perlu diusahakan tersedianya peta dasar pendaftaran tersebut.
Pendaftaran tanah bertujuan:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang terdaftar;
c. Untuk terselenggarakan tertib administarsi pertanahan.42
Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta
42Tampil Anshari,Undang-undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Study Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, Medan, 2001, hal. 186
pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan berserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP No. 24 Tahun 1997 ini.
Sistem publikasi yang digunakan tetap seperti dalam pendaftaran tanah menurut PP No. 10 Tahun 1961, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2) Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Bukan sistem publikasi negatif yang murni. Sistem publikasi yang negatif murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak. Juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam Pasal-Pasal UUPA tersebut, bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat.
Sebagaimana akan dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta pemeliharaannya dan penerbitan sertifikat haknya, biarpun sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan dalam uraian di atas, dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dalam Pasal 32 ayat (1) diberikan penjelasan resmi mengenai arti dan persyaratan pengertian ’’berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat” itu. Dijelaskan, bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang ternyata di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Ini berarti, demikian dijelaskan dalam penjelasan pasal tersebut, bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan. Sudah barang tentu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan, karena data itu diambil dari surat ukur dan buku tanah tersebut.
Dalam hubungan ini maka, data yang dimuat dalam surat ukur dan buku tanah itu mempunyai sifat terbuka untuk umum, hingga pihak yang berkepentingan dapat (PPAT bahkan wajib) mencocokkan data dalam sertifikat itu dengan yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang disajikan di Kantor Pertanahan. Perlu diperhatikan, bahwa menurut PP No. 10 Tahun 1961 surat ukur merupakan petikan dari peta pendaftaran. Maka data yuridisnya harus sesuai dengan peta pendaftaran. Menurut PP No. 24 Tahun 1997 surat ukur merupakan dokumen yang mandiri di samping peta pendaftaran. Surat ukur memuat data fisik bidang tanah yang bersangkutan.
Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertifikat hak tersebut, dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (2), bahwa: dalam
hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka para pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hal tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat ini tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Pada kasus, Tergugat I telah mengalihkan hak penguasaan tanah objek sengketa kepada Tergugat II tanpa alas hak yang jelas. Daftar inventaris barang milik Tergugat I bukanlah bukti sah kepemilikan Tergugat I terhadap tanah objek sengketa karena selain bukan termasuk bukti sah yang diakui oleh UU, juga daftar inventaris tersebut adalah produk yang dibuat sendiri oleh Tergugat I dengan melakukan tindakan sewenang-sewenang sehingga melanggar asas pemerintahan yang baik karena tanpa alas hak yang jelas mengeluarkan surat keterangan penguasaan fisik tanah kepada Tergugat II, juga tanpa sebuah penjelasan atau alasan yang jelas Tergugat I tidak mengeluarkan surat keterangan penguasaan fisik tanah untuk Penggugat.
Pernyataan tersebut dia atas mengandung makna, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan,
menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif.
Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas permberian perlindungan yang seimbang, baik kepada pihak yang mempunyai tanah dan dikuasai serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan. Demikian dinyatakan dalam Penjelasan Umum PP No. 24 Tahun 1997.
Ketentuan Pasal 32 ayat (2) tersebut disertai penjelasan sebagai berikut: “Pendaftaran tanah yang penyelenggaraan diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif”. Di dalam sistem publikasi negatif negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.
Ketentuan ini bertujuan, pada suatu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kelemahan sistem negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut di atasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring
(tidak dikenalnya daluwarsa untuk memperoleh hak atas tanah) atau adverse
possession.
Hukum tanah di Indonesia yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya (Putusan
Hooge rechts Hof25 Oktober 1934). Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang
dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembagarechtsverweking(lembaga kedaluarsa).
Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain, yang memperolehnya dengan itikad baik, maka dia dianggap telah melepaskan haknya atas bidang tanah yang bersangkutan dan karnanya hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini.43
Penjelasan ayat (2) tersebut diakhiri dengan kalimat: “Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud yang konkret dalam penerapan ketentuan UUPA mengenai penelantaran tanah”.
Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas, yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya.
Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah, yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi obyek perbuatan hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan pertanahannya.
Sehubungan dengan itu UUPA memerintahkan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum sebagai yang dimaksud di atas. Pendaftaran tanah tersebut kemudian diatur lebih lanjut dengan PP No. 10 Tahun 1961 yang sampai kini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Data Fisik dan data Yuridis yang dilaporkan secara bulanan oleh PPAT mendukung upaya pemerintah untuk menyediakan informasi kepada masyarakat. Hal inilah yang membedakan antara akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT dengan akta di bawah tangan. Kontrol terhadap kebenaran alat bukti di bawah tangan sangat rentan dengan kekeliruan sedangkan untuk akta otentik lebih memberikan kepastian hukum. Kondisi ini juga dapat menjadi salah satu solusi untuk memberikan penerangan kepada masyarakat siapa pemilik sah sebuah objek hak atas tanah.
C. Penguasaan Fisik sebagai Penyebab Terhalangnya Pengalihan Hak Atas