• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENETAPAN HARGA BARANG YANG TIDAK BERDASARKAN

C. Analisis penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan

3. Penetapan Harga Barang yang tidak sesuai dengan nilai mata

Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idil, yakni ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan hidup95

Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, mengenai hak konsumen yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penetapan harga barang yang tidak sesuai dengan nilai mata uang yang pada akhirnya konsumen tidak mendapatkan sisa pengembalian belanja merupakan perbuatan yang merugikan konsumen sebagai perbuatan melawan hukum. Perbuatan pelaku usaha merupakan perbuatan melawan hukum berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen khususnya Pasal 4 huruf b yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

.

Teknologi yang semakin maju juga dapat dirasakan oleh konsumen yang berbelanja khususnya di pasar modern. Konsumen berbelanja yang melakukan pembayaran tunai dan non tunai pada dasarnya sangat dirugikan oleh pelaku usaha dengan menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Konsumen yang melakukan pembayaran dengan tunai lebih merasakan langsung kerugian konsumen, dimana konsumen mengeluarkan sejumlah uang untuk melakukan pembayaran yang pada akhirnya pengembalian sisa uang belanja yang seharusnya tidak dikembalikan kepada konsumen. Sedangkan konsumen berbelanja yang melakukan

95 Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 234

pembayaran non tunai seperti Kartu Kredit, Kartu Debit tidak merasakan kerugian secara langsung karena pada saat pembayaran konsumen hanya memberikan kartu untuk dilakukan pemotongan pada kartu kredit atau kartu Debit.

Di sektor ritel, nilai nominal kerugian yang diderita konsumen beragam, mulai dari sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen hingga pengembalian dalam bentuk barang (misalnya permen) yang bukan merupakan alat pembayaran yang sah di negara Republik Indonesia, dan yang terbaru adalah pelaku usaha (dalam hal ini kasir) meminta kepada konsumen untuk menyumbangkan sisa kembalian dengan jumlah nominal yang tidak dapat dikembalikan kepada konsumen untuk disumbangkan.

b. Pelanggaran Terhadap Pasal 4 huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Upaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang dilakukan melalui perangkat hukum (UU Perlindungan Konsumen) diharapkan mampu menciptakan norma hukum perlindungan konsumen dan memberikan rasa tanggung jawab kepada dunia usaha, terutama pelaku usahanya96

Secara sederhana, efektifnya suatu perundang-undangan berarti tujuannya tercapai. Hal itu sangat tergantung pada pelbagai faktor, antara lain, pengetahuan tentang isi perundang-undangan, cara-cara mendapatkan pengetahuan tersebut dan pelembagaan

.

96 Happy Susanto, op.cit. hlm. 44

dari perundang-undangan tadi pada bagian-bagian masyarakat, sesuai dengan ruang lingkup perundang-undangan tadi97

Bahwa penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang pada akhirnya sisa pengembalian belanja tidak dikembalikan kepada konsumen, merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Khususnya Pasal 4 huruf b dengan tegas disebutkan bahwa

“hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”.

Maksudnya, misalnya perilaku pelaku usaha yang menetapkan harga suatu barang sebesar Rp. 1.210,- (seribu dua ratus sepuluh rupiah), sementara uang pecahan dengan nominal Rp.10,- (sepuluh rupiah) sudah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah. Kondisi seperti itu tentu merugikan konsumen, nilainya memang tidak seberapa pertransaksi, namun hal ini jika berulang terus menerus terlebih jika diakumulasi untuk seluruh konsumen nilainya besar juga.

.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa uang pecahan Rp. 10,- (sepuluh rupiah) Seri Sukarno Irian Barat (uang rupiah lama) sudah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah berdasarkan Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 tentang pengeluaran uang rupiah baru yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah bagi seluruh wilayah Republik Indonesia, dan setelah penarikan uang rupiah lama tersebut dari peredaran maka diterbitkanlah uang rupiah baru yang sejenisnya.

97 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta : CV. Rajawali, 1982), hlm. 85)

Selain itu, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang mata uang juga ditegaskan bahwa rupiah (Rp) merupakan satuan mata uang negara Republik Indonesia dan uang rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.

Sedangkan suatu perbuatan dikatakan merupakan perbuatan melawan hukum apabila antara para pihak tidak ada hubungan hukum dan kemudian ada pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak yang dianggap merugikan hak keperdataan pihak lain, dimana pelanggaran itu merupakan tindakan yang melanggar peraturan hukum yang berlaku98

Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku dikatakan perbuatan melawan hukum dikarenakan perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang termasuk ke dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu ;

.

1) adanya perbuatan 2) adanya unsur kesalahan 3) adanya kerugian yang diderita

4) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Pelaku usaha melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 4 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selain itu juga bertentangan dengan Undang-Undang Mata Uang dan Undang-Undang Bank Indonesia karena tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku di masyarakat yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian, akibat dari perbuatan pelaku usaha tersebut adalah konsumen

98 Adrian Sutedi, op.cit. hlm. 236

menderita kerugian, yaitu tidak mendapatkan sisa uang pengembalian yang seharusnya diterima oleh konsumen sekalipun nilainya kecil.

Meskipun hak-hak konsumen telah jelas diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 belum dapat dipastikan bahwa hak-hak konsumen terlindungi. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku.

BAB III PERILAKU KONSUMEN TERHADAP SISA PENGEMBALIAN UANG

PECAHAN YANG TIDAK DIKEMBALIKAN KEPADA KONSUMEN

A. Pengertian Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen oleh Schiffman dan Kanuk, adalah “proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya”.

Jadi, dapat dikatakan bahwa perilaku konsumen merupakan studi tentang bagaimana pembuatan keputusan (decision units), baik individu, kelompok, ataupun organisasi, membuat keputusan-keputusan beli atau melakukan transaksi pembelian suatu produk dan mengkonsumsinya99

Perilaku konsumen pada hakikatnya untuk memahami “why do consumers do what they do”. Dari beberapa defenisi telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi

.

100

Perilaku Konsumen adalah .

proses dan aktivitas ketika seseorang berhubungan dengan pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta pengevaluasian produk dan jasa demi memenuhi kebutuhan dan keinginan. Akan tetapi perilaku konsumen yang

99 Ristiyanti Prasetijo, dkk, Perilaku Konsumen, (Yogyakarta:Andi Yogyakarta, 2005), hlm.9

100 Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen;Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran, (Bogor :Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 25.

dimaksud disini adalah sikap atau perilaku konsumen terhadap harga barang yang tidak sesuai dengan nilai mata uang yang berlaku yang ditetapkan oleh pelaku usaha di pasar modern.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen

Konsumen dalam melaksanakan putusan belinya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Dibawah ini akan di uraikan apa saja yang tergolong kepada faktor internal dan faktor eksternal tersebut ;

1. Faktor Internal a. Kesadaran hukum

Faktor internal yang mempengaruhi perilaku konsumen terhadap sisa pengembalian uang pecahan yang tidak dikembalikan kepada konsumen adalah kesadaran hukum.

Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan, paksaan, atau perintah dari luar untuk tunduk pada hukum yang berlaku. Dengan berjalannya kesadaran hukum di masyarakat maka hukum tidak perlu menjatuhkan sanksi. Sanksi hanya dijatuhkan pada warga yang benar-benar terbukti melanggar hukum101

Sedangkan menurut H.C. Kelmen secara langsung maupun tidak langsung kesadaran hukum berkaitan erat dengan kepatuhan atau ketaatan hukum, yang dikonkritkan dalam sikap tindak atau perikelakuan manusia. Masalah kepatuhan

. Kesadaran hukum masyarakat akan haknya dalam penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang terlebih kepada sikap acuh dari masyarakat meskipun telah jelas bahwa haknya sebagai konsumen di abaikan oleh pelaku usaha.

101 Akhinayasrin,“Pengertian Kesadaran Hukum”, http://id.shvoong.com/writing-and-speaking /2165158 -pengertian-kesadaran-hukum/, diakses tanggal 4 Mei 2012.

hukum tersebut merupakan suatu proses psikologis (sifatnya kualitatif) dapat dikembalikan pada tiga proses dasar, yakni Compliance, Identification, Internalization. Demikian pula menurut Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah suatu percobaan penerapan metode yuridis empiris untuk mengukur kepatuhan hukum dalam menaati peraturan. Sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian terhadap hukum102

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesadaran hukum adalah kesadaran dimana hukum itu merupakan pelindung bagi kepentingan manusia, sehingga sesuatu norma baru dapat disebut sebagai hukum apabila norma tersebut memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang. Oleh karena itu, suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat

.

103

b. Kebutuhan .

Setiap orang mempunyai kebutuhan dan motif yang sama tetapi memiliki cara bereskpresi yang berbeda. Hal ini penting bagi pemasar karena dengan demikian bisa lebih dimengerti dan diantisipasi perilaku konsumsi. Kebutuhan adalah esensi dari konsep pemasaran modern. Bagaimana orang memenuhi kebutuhan itu perlu disimak oleh pemasar, karena hal tersebut memiliki makna yang lebih dalam dari pada sekedar konsep pemasaran modern104

Iklan potongan harga 50% (lima puluh persen) yang di display dengan huruf besar disebuah toko mungkin akan memicu konsumen untuk merasakan adanya

.

102 Busyra Azheri, “Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat (Bagian I)”, http://gagasan hukum.wordpress.com/2012/03/29/meningkatkan-kesadaran-hukum-masyarakat-bagian-i/, diakses tanggal 4 Mei 2012.

103 Ibid

104 Ristiyanti Prasetijo, dkk, Perilaku Konsumen, (Yogyakarta:Andi Yogyakarta, 2005), hlm.9.

kebutuhan membeli produk saat itu. Kebutuhan yang datang dari dalam diri seseorang disebut sebagai kebutuhan fisiologis atau biologis (innate needs). Misalnya kebutuhan akan makanan, air, udara, pakaian, rumah. Kebutuhan tersebut sering juga disebut sebagai kebutuhan primer (primary needs). Produk tersebut dibutuhkan konsumen untuk mempertahankan hidupnya. Selain kebutuhan primer, ada juga kebutuhan sekunder atau motif. Kebutuhan sekunder atau kebutuhan yang diciptakan (acquired needs) adalah kebutuhan yang muncul sebagai reaksi konsumen terhadap lingkungan dan budayanya.

Kebutuhan tersebut biasanya bersifat psikologis karena berasal dari sikap subjektif konsumen dan dari lingkungan konsumen105

2. Faktor Eksternal

.

a. Faktor Kebudayaan

Budaya, kebudayaan adalah “akal budi, pikiran manusia yang memiliki peradaban”106

105 Ibid, hlm. 36

. Akal budi, keyakinan, nilai-nilai, perilaku dan obyek-obyek materi yang dianut dan digunakan oleh komunitas/masyarakat tertentu. Budaya memiliki lima dimensi, yaitu dimensi materialialistik, institusi sosial, hubungan antara manusia dengan alam semesta, estetik, dan bahasa. Budaya merupakan sesuatu yang dipelajari dari lingkungan seseorang. Budaya adalah milik bersama suatu masyarakat atau komunitas dan budaya juga dinamis, artinya dapat berubah. Dalam setiap budaya terdapat nilai-nilai dasar yang mendominasi perilaku, konsep diri ideal dan sosial, perioritas hidup dan sebagai konsumen, berperan dalam pilihan produk. Nilai-nilai ini juga tercermin dalam memproduksi produk.

106 M.B. Ali, dan T. Deli, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung : Penabur Ilmu, 2000), hlm. 96

Produk mempunyai fungsi, bentuk dan arti. Ketika konsumen membeli suatu produk, mereka berharap produk tersebut menjalankan suatu fungsi membersihkan pakaian dalam hal detergen atau memberikan nutrisi dalam hal makanan. Konsumen terus membeli produk hanya bila harapan mereka akan produk yang menjalankan fungsi tersebut dipenuhi dengan sangat baik107

b. Faktor Sosial

. Dengan demikian, penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku ditepis oleh budaya msyarakat dalam mengkonsumsi barang dana/atau jasa menitikberatkan kepada fungsi dari produk atau barang yang dipasarkan oleh pelaku usaha.

Selain faktor budaya, perilaku konsumen di pengaruhi oleh faktor-faktor sosial, seperti kelompok acuan, keluarga, peran, dan status sosial. Kelompok acuan terdiri dari semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku orang tersebut. Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan para anggota keluarga menjadi kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Peran dan status sosial seseorang menunjukkan kedudukan orang itu dalam setiap kelompok sosial yang ia tempati. Peran meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang. Masing-masing peran menghasilkan status108

107 Nugroho, J. Setiadi, Perilaku Konsumen: Perspektif Kontemporer Pada Motif, Tujuan dan keinginan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 263-264

.

108 Santo Jia,“Faktor Sosial dan Faktor Budaya yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen”, http://asian –spirits.blogspot.com/2011/01/faktor-budaya-dan-faktor-sosial-yang.html , diakses tanggal 4 mei 2012.

Kelas sosial adalah bentuk lain dari pengelompokan masyarakat ke dalam kelas atau kelompok yang berbeda. Kelas sosial akan mempengaruhi jenis produk, jenis jasa, dan merek yang dikonsumsi konsumen. Kelas sosial juga mempengaruhi pemilihan toko, tempat pendidikan, dan tempat berlibur dari seorang konsumen109

Misalnya seorang yang memiliki peran sebagai direktur dan status yang lebih tinggi dari pegawai kantor, tentu ia akan memilih berbelanja di pasar modern ketimbang di pasar tradisional, karena kesesuaian antara kebutuhan dan kelebihan berbelanja di pasar modern yang menyediakan pilihan produk yang bermacam ragam, kenyamanan dalam berbelanja dibanding berbelanja di pasar tradisional. Bukan menjadi masalah meskipun pelaku usaha menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang pada akhirnya uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen.

.

c. Faktor Hukum

Salah satu faktor rendahnya tingkat kesadaran hukum para konsumen untuk mempertahankan hak-haknya adalah karena sangat kurangnya sosialisasi, baik sebelum diundangkan maupun setelah diundangkannya UUPK. Banyak konsumen korban yang enggan untuk melakukan tindakan hukum, dan ternyata bukan hanya warga masyarakat biasa saja yang enggan bahkan mahasiswa dan para pegawai negeri sipil yang bergelar S1, bahkan S2 banyak yang belum mengetahui adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen ini110

109 Riyanti Prasetijo, dkk, op.cit, hlm. 218

.

110 Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 232

Rendahnya kepercayaan warga masyarakat terhadap perlindungan konsumen, ditambah dengan rasa tidak yakin bahwa melalui UUPK hak-hak mereka yang dilanggar dapat dipulihkan, juga berpengaruh terhadap kesadaran hukum konsumen Indonesia111

d. Kebijakan Pemerintah

.

Kebijakan pemerintah merupakan hal yang sangat mempengaruhi perilaku konsumen, terlebih dalam hal perilaku konsumen terhadap penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang. Mengenai hak-hak konsumen secara tegas diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, meskipun demikian kebijakan pemerintah khususnya terhadap pelaku usaha yang menetapkan harga barang yang mengabaikan hak-hak konsumen harus di tindak tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Suatu kaidah hukum meskipun diatur secara sistematis dan baik dalam peraturan perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan lainnya akan menjadi kaidah mati (the dead norm) apabila penerapannya tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan atau memberi manfaat lain kepada masyarakat.

C. Perilaku Menyimpang dan Kepatuhan Hukum 1. Perilaku Menyimpang

Dalam kenyataan sehari-hari, tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat dinamakan perilaku

111 Ibid, hlm. 233

menyimpang. Penyimpangan terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mematuhi norma atau patokan dan nilai yang sudah baku di masyarakat112

Konsumen yang berbelanja produk barang dan/atau jasa di pasar modern mengalami peningkatan seiring menjamurnya pasar modern di beberapa kota besar di Indonesia. Fenomena yang terjadi adalah pelaku usaha menetapkan harga barang yang pada akhirnya sisa pengembalian tidak dikembalikan kepada konsumen, hal ini sepertinya merupakan hal yang biasa bagi pelaku usaha dan tidak ada hal yang aneh apalagi merasa dosa meskipun telah mengabaikan hak-hak konsumen. Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku oleh pelaku usaha seolah-olah bukan merupakan suatu kejahatan.

.

2. Kepatuhan Hukum

Kesadaran hukum masyarakat tidak identik dengan kepatuhan hukum masyarakat itu sendiri. Kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah kesetiaan seseorang atau subyek hukum terhadap hukum itu yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata, sedang kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak belum merupakan bentuk perilaku yang nyata yang mengakomodir kehendak hukum itu sendiri. Banyak diantara anggota masyarakat sebenarnya sadar akan perlunya penghormatan terhadap hukum baik secara instinktif maupun secara rational namun mereka cenderung tidak patuh terhadap hukum. Bahwa kesadaran seseorang tentang hukum ternyata tidak

112 Achmad Alfin, “Media Belajar Sosiologi”, http://alfinnitihardjo.ohlog.com/perilaku-menyimpang.oh112678.html, diakses tanggal 25 Mei 2012.

sertamerta membuat seseorang tersebut patuh pada hukum karena banyak indikator-indikator sosial lainnya yang mempengaruhinya.

a. Pengetahuan hukum dan kepatuhan hukum

Apabila ditinjau masalah pengetahuan terhadap peraturan-peraturan perlindungan konsumen tentang penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang, ternyata para responden kurang mengetahui tentang peraturan (Undang-Undang Perlindungan Konsumen) tersebut.

b. Pengetahuan tentang isi hukum dan kepatuhan hukum

Kebanyakan warga masyarakat kurang mengetahui adanya suatu peraturan, akan tetapi mengetahui haknya sebagai konsumen.

Artiya bahwa derajat pengetahuan konsumen tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen khususnya sangat mempengaruhi perilaku konsumen, dan oleh karena tanpa adanya pengetahuan dan pemahaman atau pengertian konsumen terhadap Undang-Undang tersebut, senantiasa akan mengalami kesulitan dalam menentukan sikapnya terhadap pelaku usaha yang menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku.

D. Perilaku Konsumen Terhadap Sisa Pengembalian Uang Pecahan Yang Tidak dikembalikan Kepada Konsumen

Meskipun di dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah jelas disebutkan apa yang menjadi hak konsumen, namun masih banyak konsumen yang kurang peduli terhadap hak-haknya tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang

berlaku yang dilakukan oleh pelaku usaha yang dengan jelas bertentangan dengan hak konsumen tersebut.

Hak konsumen untuk mendapatkan pengembalian sisa belanja yang seharusnya dikembalikan oleh pelaku usaha kepada konsumen tidak sepenuhnya diterima oleh konsumen, hal ini disebabkan uang pecahan yang dimaksud tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah di negara Republik Indonesia. Namun demikian pelaku usaha masih saja menetapkan harga barang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku lagi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 50 (lima puluh) responden pada bulan Maret 2012, bahwa pengetahuan konsumen terhadap tindakan pelaku usaha yang tidak mengembalikan uang sisa pengembalian belanja tersebut melanggar hak konsumen dapat diketahui sebagaimana Tabel.1 berikut ini :

Tabel.1

Pengetahuan konsumen terhadap tindakan pelaku usaha yang tidak mengembalikan uang pengembalian sisa belanja tersebut melanggar hak konsumen

n = 50

No Respon Konsumen Frekuensi Persentase

1. Sangat Mengetahui 9 18%

2. Mengetahui 13 26%

3. Kurang Mengetahui 17 34%

4. Tidak Mengetahui 11 22%

Total 50 100%

Sumber : Data Primer, 2012

Tabel.1 diatas menunjukkan sebanyak 34% (tiga puluh empat persen) atau 17 (tujuh belas) responden kurang mengetahui bahwa tindakan tidak mengembalikan uang sisa pengembalian belanja tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak mereka sebagai konsumen, 11 (sebelas) responden atau 22% (dua puluh dua persen) tidak mengetahui.

Meskipun dari tabel tersebut diatas responden kurang atau tidak mengetahui akan tetapi 26% (dua puluh enam persen) atau 13 (tiga belas) responden lainnya mengetahui dan 9 (sembilan) responden atau 18% (delapan belas persen) sangat mengetahui bahwa perbuatan pelaku usaha yang tidak mengembalikan sisa uang kembalin belanja merupakan hak konsumen yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.

Dari data tersebut di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya sebagian besar Konsumen mengetahui haknya sebagai konsumen hanya sebatas haknya untuk mendapatkan sisa uang pengembalian yang harus dikembalikan oleh pelaku usaha. Akan tetapi konsumen kurang mengetahui haknya sebagai konsumen yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Perilaku konsumen terhadap sisa pengembalian uang pecahan yang tidak dikembalikan kepada konsumen, dapat dilihat pada Tabel.2 dibawah ini :

Tabel.2

Perilaku Konsumen Terhadap Sisa Pengembalian Uang Pecahan Yang Tidak Dikembalikan Kepada Konsumen

n = 50

No Respon Konsumen Frekuensi Persentase (%)

1. Membiarkan saja 39 78%

2. Tetap meminta kembalian tersebut 3 6%

3. Menggantinya dengan barang (seperti permen, dll)

6 12%

4. Lain-lain (tidak memberi jawaban) 2 4%

Total 50 100%

Sumber : Data Primer, 2012

Berdasarkan Tabel.2 diatas memperlihatkan bahwa secara umum, konsumen tidak mempermasalahkan sisa uang kembalian yang tidak dibayarkan kepada konsumen.

Data memperlihatkan bahwa sebanyak 39 (tiga puluh sembilan persen) responden atau 78% (tujuh puluh delapan persen) sikap responden dengan membiarkan saja. Ketika pelaku usaha tidak mengembalikan sisa uang pengembalian, 6 (enam) responden atau 12% (dua belas persen) bersedia sisa uang kemballian tersebut diganti dengan barang lain seperti permen. Hanya 6% (enam persen) atau 3 (tiga) responden yang tetap meminta kembalian tersebut.

Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku yang dilakukan oleh palaku usaha yang pada akhirnya konsumen tidak mendapatkan pengembalian. Meskipun konsumen yang mengetahui haknya sebagai konsumen

Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku yang dilakukan oleh palaku usaha yang pada akhirnya konsumen tidak mendapatkan pengembalian. Meskipun konsumen yang mengetahui haknya sebagai konsumen