• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PERILAKU KONSUMEN TERHADAP SISA PENGEMBALIAN

D. Perilaku Konsumen Terhadap Sisa Pengembalian Uang Pecahan

Meskipun di dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah jelas disebutkan apa yang menjadi hak konsumen, namun masih banyak konsumen yang kurang peduli terhadap hak-haknya tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang

berlaku yang dilakukan oleh pelaku usaha yang dengan jelas bertentangan dengan hak konsumen tersebut.

Hak konsumen untuk mendapatkan pengembalian sisa belanja yang seharusnya dikembalikan oleh pelaku usaha kepada konsumen tidak sepenuhnya diterima oleh konsumen, hal ini disebabkan uang pecahan yang dimaksud tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah di negara Republik Indonesia. Namun demikian pelaku usaha masih saja menetapkan harga barang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku lagi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 50 (lima puluh) responden pada bulan Maret 2012, bahwa pengetahuan konsumen terhadap tindakan pelaku usaha yang tidak mengembalikan uang sisa pengembalian belanja tersebut melanggar hak konsumen dapat diketahui sebagaimana Tabel.1 berikut ini :

Tabel.1

Pengetahuan konsumen terhadap tindakan pelaku usaha yang tidak mengembalikan uang pengembalian sisa belanja tersebut melanggar hak konsumen

n = 50

No Respon Konsumen Frekuensi Persentase

1. Sangat Mengetahui 9 18%

2. Mengetahui 13 26%

3. Kurang Mengetahui 17 34%

4. Tidak Mengetahui 11 22%

Total 50 100%

Sumber : Data Primer, 2012

Tabel.1 diatas menunjukkan sebanyak 34% (tiga puluh empat persen) atau 17 (tujuh belas) responden kurang mengetahui bahwa tindakan tidak mengembalikan uang sisa pengembalian belanja tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak mereka sebagai konsumen, 11 (sebelas) responden atau 22% (dua puluh dua persen) tidak mengetahui.

Meskipun dari tabel tersebut diatas responden kurang atau tidak mengetahui akan tetapi 26% (dua puluh enam persen) atau 13 (tiga belas) responden lainnya mengetahui dan 9 (sembilan) responden atau 18% (delapan belas persen) sangat mengetahui bahwa perbuatan pelaku usaha yang tidak mengembalikan sisa uang kembalin belanja merupakan hak konsumen yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.

Dari data tersebut di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya sebagian besar Konsumen mengetahui haknya sebagai konsumen hanya sebatas haknya untuk mendapatkan sisa uang pengembalian yang harus dikembalikan oleh pelaku usaha. Akan tetapi konsumen kurang mengetahui haknya sebagai konsumen yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Perilaku konsumen terhadap sisa pengembalian uang pecahan yang tidak dikembalikan kepada konsumen, dapat dilihat pada Tabel.2 dibawah ini :

Tabel.2

Perilaku Konsumen Terhadap Sisa Pengembalian Uang Pecahan Yang Tidak Dikembalikan Kepada Konsumen

n = 50

No Respon Konsumen Frekuensi Persentase (%)

1. Membiarkan saja 39 78%

2. Tetap meminta kembalian tersebut 3 6%

3. Menggantinya dengan barang (seperti permen, dll)

6 12%

4. Lain-lain (tidak memberi jawaban) 2 4%

Total 50 100%

Sumber : Data Primer, 2012

Berdasarkan Tabel.2 diatas memperlihatkan bahwa secara umum, konsumen tidak mempermasalahkan sisa uang kembalian yang tidak dibayarkan kepada konsumen.

Data memperlihatkan bahwa sebanyak 39 (tiga puluh sembilan persen) responden atau 78% (tujuh puluh delapan persen) sikap responden dengan membiarkan saja. Ketika pelaku usaha tidak mengembalikan sisa uang pengembalian, 6 (enam) responden atau 12% (dua belas persen) bersedia sisa uang kemballian tersebut diganti dengan barang lain seperti permen. Hanya 6% (enam persen) atau 3 (tiga) responden yang tetap meminta kembalian tersebut.

Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku yang dilakukan oleh palaku usaha yang pada akhirnya konsumen tidak mendapatkan pengembalian. Meskipun konsumen yang mengetahui haknya sebagai konsumen dilanggar oleh pelaku usaha tetapi tidak melakukan tindakan bahkan membiarkan saja meskipun haknya dilanggar.

Masalah yang kemudian muncul adalah, permen digunakan sebagai alat pengembalian sisa belanja hingga saat ini masih menjadi sorotan publik. Selain permen digunakan sebagai alat transaksi layaknya rupiah, yang lebih parah lagi adalah pelaku usaha justru tidak mengembalikan sisa pengembalian belanja yang seharusnya diterima oleh konsumen.

Persoalan permen menjadi alat pengembalian setara nilai rupiah (Rp) tertentu sempat menghilang beberapa lama pasca disyahkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Namun sejak menjamurnya mini market dibeberapa kota besar, penggunaan permen sebagai alat transaksi layaknya mata uang resmi Rp marak kembali.

Tentu saja ini menjengkelkan publik. Parahnya, kembali tidak ada tindakan dari aparat berwenang sampai hari ini113

Hal ini disebabkan sebelum lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, belum ada peraturan khusus yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.

Sehingga dengan lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat menciptakan keharmonisan diantara konsumen dan pelaku usaha di dalam bertansaksi barang dan/atau jasa.

.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) berharap otoritas Bank Indonesia (BI) segera menentukan solusi atas polemik kembalian uang receh di ritel modern.

Sebelumnya, Departemen Perdagangan (Depdag) melalui Direktorat Perlindungan Konsumen menetapkan, peritel modern harus mengembalikan kembalian transaksi, sekecil apapun dalam bentuk uang, bukan permen. Hal itu berdasarkan pengaduan masyarakat tentang penggunaan permen sebagai alat pengembalian transaksi perdagangan ritel. BI berjanji akan menyikapi kebutuhan ritel modern akan pasokan uang receh114

113 Agus Pambagio, “Bayar Belanja dengan Permen”,

.

http://news.detik.com/read/2011/11/14 /110020/1766801/103/bayar-belanja-dengan-permen?nd992203605, diakses tanggal 10 Maret 2012.

114 Indocashregister.com, “Permen Akan Dilarang Menjadi Ganti ’Receh’ Uang Kembalian Saat Belanja”, http://indocashregister.com/2009/12/14/permen-akan-dilarang-menjadi-ganti-receh- uang-kembalian-saat-belanja/, diakses tanggal 12 Januari 2012

Realitas diatas menunjukkan bahwa masalah perlindungan konsumen merupakan masalah yang sangat serius. Namun sayangnya, masalah-masalah tersebut baru dipersoalkan ketika ramai diangkat dalam pemberitaan di berbagai media. Ketika mulai sepi dari pemberitaan, masalah-masalah ini luput dari perhatian masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak yang berhubungan dengan perlindungan konsumen115

1. Konsumen tidak mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen

.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 (lima puluh) konsumen pada bulan Maret 2012 sejumlah konsumen tidak mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen, sebagaimana Tabel.3 berikut ini ;

Tabel.3

Respon konsumen terhadap sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen

n = 50

No Respon Konsumen Frekuensi Persen (%)

1. Mempermasalahkan 6 12%

2. Tidak Mempermasalahkan 44 88%

Total 50 100%

Sumber : Data Primer, 2012

Dari tabel.3 tersebut ternyata 88% (delapan puluh delapan persen) atau 44 (empat puluh empat) responden tidak mempermasalahkan sisa uang pengembalian belanja yang tidak dikembalikan kepada konsumen. Sedangkan 6 (enam) responden atau

115 Happy Susanto, op.cit.

12% (dua belas persen) konsumen mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan yang seharusnya menjadi hak konsumen.

Konsumen tidak mempermasalahkan sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen, menunjukkan bahwa konsumen tidak peduli terhadap hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha. Meskipun Undang-Undang perlindungan konsumen Pasal 4 dengan jelas disebutkan apa yang menjadi hak-hak konsumen akan tetapi sepertinya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mampu melindungi konsumen secara menyeluruh. Artinya, konsumen harus benar-benar terlindungi dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut.

Konsumen tidak mempermasalahkan uang sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen dengan berbagai alasan, sebagaimana Tabel.4 berikut ini ;

Tabel.4

Alasan-alasan konsumen tidak mempermasalahkan uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen

n = 50

No Alasan Konsumen Frekuensi Persentase (%)

1. Malu, gengsi (dikirain pelit) 17 34%

2. Tidak ingin ribut 9 18%

3. Nominalnya kecil 21 42%

4. Lain-lain (malas, hak konsumen, dll) 3 6%

Total 50 100%

Sumber : Data Primer, 2012

Berdasarkan Tabel.3 tersebut bahwa perilaku konsumen sebanyak 34% (tiga puluh empat persen) atau 17 (tujuh belas) responden dengan alasan malu atau gengsi, Jumlah nominalnya kecil 42% (empat puluh dua persen) atau 21 (dua puluh satu) responden, sedangkan tidak ingin ribut 18% (delapan belas persen) atau 9 (sembilan) responden, lain-lain 3 (tiga) responden 6% (enam persen) merupakan alasan responden terhadap sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen.

Malu, gengsi, tidak ingin ribut merupakan alasan konsumen yang tidak mempermasalahkan uang sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen.

Konsumen yang malu, gengsi, tidak ingin ribut terlebih karena nilai nominal uang pecahan yang terlalu kecil, sehingga konsumen merasa enggan untuk mempermasalahkan, hal ini berkaitan dengan budaya masyarakat Indonesia yang bersikap “pasrah” meskipun haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Pelaku usaha yang menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku, karena kurangnya pengetahuan konsumen akan hak-haknya mengakibatkan tidak memiliki niat atau keberanian untuk melakukan klaim (keberatan) kepada pelaku usaha. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain karena uang pecahan rupiah yang nilainya sedikit sehingga konsumen malu, gengsi dan mengajukan klaim kepada pelaku usaha. Meskipun konsumen menyatakan keberatan atas sikap pelaku usaha dalam hal ini bagian kasir tidak memberikan sisa kembalian belanja konsumen dengan alasan tidak tersedianya uang pecahan rupiah yang dimaksud.

Disisi lain, ada juga pelaku usaha di pasar modern yang menetapkan harga suatu barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku, akan tetapi konsumen tidak dirugikan. Seperti pelaku usaha (dalam hal ini kasir) melakukan pembulatan yang sudah

diatur oleh system mesin kasir. Misalnya, konsumen berbelanja dengan jumlah Rp.

20.575,- (dua puluh ribu lima ratus tujuh puluh lima rupiah) dan konsumen menyerahkan uang Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dan konsumen menerima pengembalian Rp. 19.500,- (sembilan belas ribu lima ratus rupiah) yang sudah diatur oleh system mesin kasir. Meskipun pelaku usaha menetapkan harga suatu barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang, akan tetapi konsumen tidak mengalami kerugian dengan pembulatan tersebut.

2. Konsumen mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel.2 menunjukkan bahwa 6 (enam) responden atau 12% (dua belas persen) mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen. Jadi, meskipun jumlah dan persentasenya kecil akan tetapi konsumen tetap ada yang mempermasalahkan sisa uang pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen.

Seperti halnya penelitian yang dilakukan pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan, menunjukkan adanya pengaduan konsumen pada tanggal 31 Desember 2009 dengan register Nomor : 37/PEN/BPSKMDN/2009 terhadap salah satu Supermarket yang ada di Medan, perihal Pengaduan konsumen tersebut adalah pengembalian uang kelebihan belanja yang diberikan adalah pengembalian berupa permen. Setelah menjalani persidangan, hasilnya adalah berupa putusan dengan menghukum pelaku usaha mengganti kerugian konsumen untuk rmemgganti kerugian

dengan jumlah seluruhnya Rp. 508.650,- (lima ratus delapan ribu enam ratus lima puluh rupiah)116

Berbeda halnya dengan kasus yang terjadi di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta, pengaduan Nomor : 121/PNG/YLKI/IV/2012, bahwa konsumen yang berbelanja di pasar modern ternama di Jakarta dengan jumlah Rp.

21.775,- (dua puluh satu ribu tujuh ratus tujuh puluh lima rupiah) dan konsumen menyerahkan uang RP. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan seharusnya konsumen menerima pengembalian Rp. 78.225,-, (tujuh puluh delapan ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) namun yang konsumen terima hanya RP. 78.000,- (tujuh puluh delapan ribu rupiah). Kasir yang melayani mengatakan bahwa telah terjadi pembulatan sebesar Rp.

25,- (dua puluh lima rupiah) yang sudah diatur oleh system mesin di kasir dan dalam struk tertulis pundi amal Rp. 25,- (dua puluh lima rupiah). Bahwa alasan yang diberikan oleh pelaku usaha adalah melakukan pengumpulan uang yang berasal dari pembulatan uang pengembalian konsumen dalam rangka acara Bakti Sosial yang dilaksanakan oleh Panitia Bakti Sosial

.

117

Meskipun pada dasarnya tujuan pengumpulan uang dari konsumen oleh Panitia Bakti Sosial telah memenuhi ketentuan perundang-undangan yng berlaku, akan tetapi perbuatan pelaku usaha yang demikian tidak dapat dibenarkan dengan mengambil hak konsumen secara sepihak apalagi tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. Ini membuktikan bahwa pelaku usaha bersikap semena-mena terhadap hak-hak konsumen yang dengan jelas dilindungi Undang-Undang.

.

116 Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Kota Medan (BPSK) Kota Medan , 18 Januari 2012

117 Dokumen YLKI Jakarta, Perihal :Pengaduan uang Pengembalian, 20 April 2012

BAB IV

PERANAN PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI KONSUMEN TERHADAP PENETAPAN HARGA BARANG YANG TIDAK BERDASARKAN NILAI

MATA UANG YANG BERLAKU

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Peranan Pemerintah

Peranan berasal dari kata peran, “berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama118

Peranan menurut Levinson sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekamto, sebagai berikut: Peranan adalah suatu konsep prihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan

.

119.

Gross, Masson, dan Mc.Eachren mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial dan oleh karena itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat.

Selanjutnya, Berry mengungkapkan bahwa di dalam peranan terdapat 2 (dua) macam harapan, yaitu120

1. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban dari pemegang peran, dan

:

2. Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang behubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.

118 W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1985), hlm. 735

119 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), hlm. 238

120 Shvoong.com, “Defenisi Peran atau Peranan”, http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism /2165744-definisi-peran-atau-peranan/, diakses tanggal 16 Juli 2012

Peranan secara yuridis lebih menitikberatkan kepada kewajiban hukum, kewajiban hukum pemerintah adalah melindungi hak konsumen.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dirumuskan mengacu pada filosofi pembangunan nasional Pancasila dan Dasar Negara.

Undang-Undang Dasar 1945, dimana pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum, melekat upaya yang bertujuan memberikan perlindungan bagi rakyat Indonesia.

Pemerintah berkewajiban, berlandaskan Undang-Undang Perlindungan Konsumen melakukan upaya pendidikan serta pembinaan kepada konsumen, terutama mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran sebagaian besar masyarakat akan hak-haknya sebagai konsumen. Melalui instrumen yang sama diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha dalam menjalankan prinsip-prinsip ekonomi dengan tetap menjunjung hal-hal yang patut menjadi hak konsumen121

Peranan pemerintah adalah upaya yang dilakukan pemerintah terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen khususnya bagi konsumen agar mendapatkan hak-haknya. Peran pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang dipandang perlu berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan guna melindungi konsumen dari barang-barang yang beredar di masyarakat. Meskipun demikian masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, seperti yang terlihat penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku khususnya di pasar modern yang dilakukan oleh pelaku usaha.

.

121 lpkjatim, dholin, “Konsumen Cerdas dan Mandiri”, http://lpkjatim.blogspot.com/2010/01/

tentang-kami.html, diakses tanggal 16 Juli 2012

B. Fungsi Pemerintah dalam Menegakkan Hukum Perlindungan Konsumen 1. Fungsi Pembinaan

Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, disebutkan

“bahwa pembinaan perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah sebagai upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing sesuai dengan asas keadilan dan asas keseimbangan kepentingan”.

Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha122. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen meliputi upaya123

a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;

;

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

Dengan demikian, Undang-Undang ini mengharapkan bahwa tugas pembinaan akan berdampak pada empat hal, yaitu124

1. Iklim Usaha

;

Dalam hal ini perlu ditumbuh kembangkan kesadaran di kalangan pelaku usaha bahwa konsumen merupakan mitra bisnis mereka sehingga eksistensi konsumen perlu dijaga, dibina, dan diberdayakan. Oleh karena itu, setiap keputusan produsen harus mempertimbangkan keberadaan konsumen. Dengan perkataan lain, pembinaan juga bertujuan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen secara keseluruhan.

122 Lihat Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

123 Rachmadi Usman, op.cit, hlm.226

124 Janus Sidabalok, op.cit, hlm. 179-182

2. Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga konsumen swadaya masyarakat ini tidak harus dipandang sebagai upaya perlawanan terhadap produsen, tetapi lebih tepat kalau dilihat sebagai mitra produsen, menjembatani perbedaan kepentingan antara produsen dan konsumen, melalui penanaman kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya konsumen memperoleh perlindungan secara hukum.

3. Sumber Daya Manusia

Melalui pembentukan lembaga konsumen swadaya masyarakat yang salah satu tugasnya melakukan pembinaan kepada konsumen melalui pendidikan-pendidikan konsumen, maka akan tercapailah sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu konsumen-konsumen yang sudah mempunyai tingkat kesadaran penuh akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen dan sebagai warga negara. Dengan demikian, konsumen dapat meningkatkan peran sertanya dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

4. Penelitian dan Pengembangan

Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dapat juga berdampak pada terselenggaranya penelitian dan pengembangan, sebagai langkah-langkah evaluasi perbaikan atas praktik-praktik usaha yang berjalan sebelumnya.

Pembinaan terhadap pelaku usaha (produsen) mengandung makna mendorong pelaku usaha supaya bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, baik aturan yang diharuskan oleh Undang-undang, kebiasaan, maupun kepatutan. Dengan demikian, pelaku usaha akan bertingkah laku sepantasnya dalam memproduksi dan mengedarkan produknya. Dalam pembinaan terkandung unsur bantuan, yaitu membantu pelaku usaha sedapat mungkin memenuhi kewajibannya melalui ketangguhan dalam berusaha sehingga tercipta iklim usaha yang sehat dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara produsen dan konsumen. Kemudian, melalui pembinaan ini dapat dicapai tingkat kualitas sumber daya manusia yang memadai sebagai pelaksana kegiatan usaha125

125 Janus Sidabalok, op.cit, hlm. 178

.

Sedangkan pembinaan kepada konsumen diarahkan untuk meningkatkan sumber daya konsumen sehingga mempunyai kesadaran yang kuat akan hak-haknya, mau berkonsumsi secara sehat dan rasional126

2. Fungsi Pengawasan

.

a. Pengawasan oleh Pemerintah

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 30 ayat 1 bahwa “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.

Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen, disebutkan bahwa “perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia”.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tugas pengawasan tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, masyarakat umum dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) juga bisa terlibat secara aktif. Sebagaimana diatur dalam UU perlindungan konsumen Pasal 30 ayat 3 bahwa “Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar”. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat

126 Ibid.

disebarluaskan kepada masyarakat dan bisa disampaikan kepada menteri dan menteri teknis127

Bentuk pengawasan oleh pemerintah Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, sebagai berikut :

.

1. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.

2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.

3. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.

4. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut128 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

;

2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;

3. Mengatur dan mengawasi bank.

Menjaga kestabilan moneter merupakan tugas Bank Indonesia untuk menjamin peredaran uang sesuai dengan yang diperlukan guna mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa mengakibatkan inflasi tinggi129

127 Happy Susanto, op.cit

. Sesuai dengan Pasal 20 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, “Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga

128 Lihat Pasal 8 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

129 Blognya Pak Amir, “Peranan Bank Indonesia Dalam Sistem Pembayaran, http://Blog .Stie-Mce.Ac.Id/Amirkusnanto/2011/07/19/Peranan-Bank-Indonesia-Dalam-sistem-pembayaran/, diakses tanggal 21 Juli 2012.

yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran”.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Bank Indonesia, pengawasan sistem pembayaran dilakukan untuk memastikan bahwa sistem pembayaran berjalan dengan efisien, cepat, aman, dan handal. Di samping itu, pengawasan system pembayaran dimaksudkan untuk mendukung penerapan prinsip-prinsip perlindungan konsumen130.

b. Pengawasan oleh Masyarakat

Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 sebagai berikut :

1. Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei.

3. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

4. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.

c. Pengawasan oleh LPKSM

Kemudian Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 bahwa bentuk pengawasan oleh LPKSM sebagai berikut :

1. Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei.

3. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang

130 Bank Indonesia ;Bagian Pengawasan Sistem Pembayaran, Makalah “Pengawasan Sistem Pembayaran”, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C87AF994-F6F1-4A0A-BEEF-B0577685BB37/846/

130 Bank Indonesia ;Bagian Pengawasan Sistem Pembayaran, Makalah “Pengawasan Sistem Pembayaran”, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C87AF994-F6F1-4A0A-BEEF-B0577685BB37/846/