Proses Yang Tidak Linear
Setelah berkutat dengan berbagai macam konsep sebelumnya, penulis kemudian memulai desain bangunan dengan acuan konsep tersebut. Setelah berhari-hari mencoba menyelesaikan denah dan rancangan tapak bangunan, penulis selalu menemui kesulitan dalam menyusun konsep ruang dan zoning bangunan baik secara horizontal maupun
vertikal. Pendekatan desain berdasarkan kebutuhan ruang saja, dan tidak menggunakan konsep tertentu ternyata sangat sulit untuk diterapkan karena tidak ada garis besar desain yang menjadi panduan serta tujuan bagaimana bangunan ini akan terbangun pada akhirnya. Menggunakan pendekatan ini menyebabkan batasan-batasan dari ruang menjadi tidak jelas dan membuat konsep serta program ruang menjadi lebih sulit ditafsirkan, sebab tidak adanya batasan yang nyata sejauh apakah sebuah ruang dapat dibentuk. Pendekatan tanpa panduan atau garis besar juga menyebabkan desain penulis menjadi sangat monoton dan tidak terlihat sama sekali sisi etetikanya, bentukan bangunan menjadi terkotak-kotak dan hanya terlihat seperti kumpulan bujur sangkar yang disusun sehingga membentuk ruang, kosong, tanpa arti dan makna.
Dilatarbelakangi hal tersebut penulis memutuskan untuk mengulangi proses desain dari awal lagi dengan mencoba menggali konsep konsep yang dapat mewujudkan desain yang Humanopolis. Karena penulis merasakan bahwa masih ada jarak antara desain bangunan yang ideal dengan konsep dan tema desain yang telah ditentukan sebelumnya yaitu Humanopolis. Penulis belum mendapatkan “jembatan” penghubung yang dapat mengantarkan desain menjadi sebuah bangunan yang Humanopolis, sehingga bentukan bangunan dan zoning bangunan yang dapat mencerminkan hal tersebut. Selama
ini interpertasi penulis terhadap tema dan konsep masih berhenti sampai bangunan harus benar-benar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, tetapi kemudian penulis tersadar bahwa seluruh konsep dan tema arsitektur yang ada, baik yang memiliki bentuk sangat
modular atau yang memiliki bentuk abstrak sekalipun, tetap harus memenuhi atau paling tidak sesuai dengan standar-standar dan ketentuan ruang yang berlaku.
Penulis mencoba mencari benang merah antara tema desian sehingga tema tersebut dapat ditransformasikan kedalam desain bangunan, dalam upaya mencari pencerahan penulis mencoba untuk meminta saran kepada beberapa rekan sesama mahasiswa arsitektur, mulai dari yang sudah lulus sampai yang baru menyelesaikan kuliahnya. Penulis menjelaskan kepada beberapa rekan penulis bagaimana tentang konsep desain penulis, sehingga rekan-rekan penulis dapat memberikan saran dan masukan tentang bagaimana cara untuk membuat desain yang sesuai dengan tema Humanopolis. Setelah berdiskusi dengan beberapa rekan, penulis mendapatkan banyak sekali masukan bagaimana ide mereka mengenai bentukan massa bangunan yang Humanopolis itu. Salah satu ide yang diberikan oleh rekan penulis adalah bagaimana jika bentukan bangunan yang Humanopolis dibentuk dari metafora anatomi tubuh manusia yang ditransformasi menjadi bangunan. Menurut penulis ide tersebut cukup menarik, tetapi dalam konteks Humanopolis, konsep tersebut kurang kuat dan tidak memiliki dasar yang jelas, hal ini sangat jelas karena menurut interpretasi penulis, Humanopolis merupakan satu tema yang memiliki orientasi besar terhadap manusia secara keseluruhan, sehingga bentukan bangunan bukanlah sekedar interpretasi bentuk yang sempit, tetapi harus memiliki alasan tersendiri yang sesuai unsur-unsur Humanopolis.
Mengupas Kaidah Humanopolis
Diskusi ini terfokus bagaimana sebuah Humanopolis itu seharusnya, karena desain yang memenuhi kaidah Humanopolis haruslah memiliki unsur-unsur yang mampu memanusiawikan bangunan dengan segala perangkat mekanikal, elektrikal dan
strukturalnya yang masif serta keras itu.23 Elemen-elemen tapak yang berhadapan langsung dengan manusia diharapkan mampu menetralisir unsur-unsur yang keras diatas, sehingga bangunan terasa lebih manusiawi dan dapat dirasakan langsung oleh manusia itu sendiri. Maka kemudian timbul sebuah ide yaitu bagaimana jika ide bentuk bangunan dan susunan massa serta zoning didasarkan dari aspek yang paling fundamental dalam tema
Humanopolis, yaitu manusia. Manusia merupakan pangkal dari semua jenis pendekatan untuk mewujudkan desain manusiawi, karena apapun pendekatannya tentunya tujuan dari pendekatan tersebut bermuara kepada bagaimana cara untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia selaku pengguna lingkungan binaan tersebut, tentunya dengan tetap memperhatikan konteks dan tidak merusak lingkungan sekitar yang telah ada sebelumnya.
Setelah memutuskan apa yang menjadi aspek fundamental dari pendekatan desain, maka penulis memulai melakukan pencarian dan brainstorming mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan manusia. Pencarian dimulai dengan menilik kembali hubungan manusia dengan arsitektur itu sendiri. Jika ditelisik, kita tentunya setuju jika sebuah bangunan dibangun dikarenakan adanya kebutuhan yang berhubungan dengan penggunanya nanti yaitu manusia. Bahkan bangunan seperti kebun binatang dibangun selain untuk mennjaga dan melestarikan hewan, digunakan sebagai sebuah tempat yang membuat manusia dapat melihat hewan-hewan dari seluruh dunia secara aman dan murah. Jadi dapat disimpulkan bahwa bangunan dirancang dan dibangun agar dapat memenuhi kebutuhan manusia yang tiada habisnya. Berangkat dari kebutuhan manusia, maka penulis kemudian melakukan riset dan pencarian yang lebih banyak lagi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan manusia. Didapatkanah beberapa hal yang
23
Humanopolis, Wawasan Lingkungan Dalam Pembangunan Perkotaan, Eko Budihardjo dan
menarik, seperti teori supply & demand24 yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi permintaan atau kebutuhan maka harga yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut akan semakin tinggi begitu juga sebaliknya, dan jika jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan tersebut memiliki jumlah yang lebih banyak daripada permintaan, maka harganya semakin rendah, hal ini juga berlaku sebaliknya.
Teori tersebut sempat menarik perhatian penulis, tetapi setelah dikaji lebih jauh penulis tidak mendapatkan korelasi antara teori tersebut dengan tujuan penulis pada awalnya, yaitu mendesain bangunan dengan prinsip-prinsip Humanopolis. Setelah melakukan riset yang cukup panjang, ternyata hasil yang didapatkan masih jauh dari apa yang diharapkan. Teori-teori yang didapatkan belum berhasil merepresentasikan dan menjadi dasar bentuk bangunan dan desain yang memenuhi kaidah dalam tema Humanopolis. Keadaan ini jelas membuat penulis sedikit frustasi, karena waktu tidak pernah mau berkompromi dengan apapun. Setiap menit yang dilalui sangatlah berharga dan tidak boleh disia-siakan begitu saja, sehingga ketidakmampuan penulis dalam menginterpretasikan tema yang sebelumnya telah penulis tentukan dan pilih sendiri merupakan sebuah pukulan telak serta halangan yang sangat menghambat proses desain bangunan di Studio Perancangan Arsitektur 6 yang harus penulis selesaikan segera. Dengan waktu yang semakin menipis ini, rasa panik mulai muncul di diri penulis sehingga terkadang ada satu hari penulis tidak dapat memperoleh kemajuan yang berarti dalam proses desain atau riset kali ini. Keadaan yang belum pernah penulis alami sebelumnya ini diperparah lagi karena tekanan yang sangat besar untuk menyelesaikan apa yang sudah penulis pilih sebelumnya serta tekanan waktu yang semakin dekat dengan
preview desain pertama membuat rasa frustasi itu datang terus menerus. Pada akhirnya,
penulis menutup minggu ini tanpa hasil yang berarti, tidak ada kemajuan yang signifikan
24
Supply and Demand Theory
dalam proses desain studio penulis. Penulis hanya bisa terus mencoba dan berusaha mudah-mudahan pada minggu yang akan datang, mulai didapatkan titik terang dari desain yang penulis lakukan dan dapat memulai untuk merancang secara skematis bangunan tersebut.
BAB 5
Memulai Kembali, Mencari Benang Merah
Perjalanan panjang ini berlanjut kembali setelah satu minggu sebelumnya dipenuhi dengan mengkaji ulang konsep yang telah dibuat sebelumnya dan mencari teori baru yang dapat mendukung proses desain sekaligus merepresesntasikan tema Humanopolis. Berkaca dari minggu lalu, maka penulis memulai proses riset lebih awal, bahkan pada saat akhir pekan penulis tetap melakukan riset dan mencari teori yang dapat memperkuat serta membantu menginterpretasikan desain bangunan yang Humanopolis. Penulis kembali melakukan diskusi dengan beberapa rekan sehingga pikiran menjadi lebih terbuka serta membuat lebih banyak ide dapat keluar. Diskusi merupakan salah satu cara yang efektif untuk penulis dalam memecahkan masalah, karena dengan melakukan diskusi terjadi proses tukar pikiran yang membuat ide dapat ditelaah secara simultan karena proses ini akan membuat penulis mengeluarkan yang kemudian diterima oleh rekan penulis bersamaan.
Kali ini penulis mengawali jadwal studio lebih awal, yaitu pada hari minggu saat penulis memiliki jadwal yang kosong. Di sela waktu santai, penulis dan beberapa rekan mengunjungi salah satu gerai kafe internasional yang sangat sering dikunjungi dan menjadi gaya hidup masyarakat urban. Penulis merupakan satu dari sekian banyak pengunjung kafe tersebut dan sudah cukup sering berkunjung dan menjadi pelanggan tetap. Sapaan ramah dari barista setiap ada pengunjung yang datang membuat penulis
berpikir bahwa interaksi seperti ini merupakan salah satu perwujudan dari Humanopolis. Salah satu kriteria sebuah ruang binaan dikategorikan sebagai ruang yang berhasil adalah adanya interaksi di dalamnya,25 walaupun penulis sadar interaksi dan sapaan oleh barista
25
tersebut merupakan standard operational procedure (SOP) dari gerai kafe internasional
ini, tetapi tetap saja menarik untuk penulis, karena implementasinya berhasil dan telah menjadi kebiasaan tanpa harus diperingatkan lagi oleh atasannya.
Kembali ke diskusi dengan rekan-rekan penulis, di tengah suasana yang nyaman gerai kopi ini, kami dapat dengan bebas untuk berdiskusi dan berbicara satu sama lain, ditemani musik yang tidak terlalu keras volume-nya, terasa sangat pas di telinga dan
memberikan suasana yang berbeda jika dibandingkan dengan suasana kosong tanpa musik. Ditengah diskusi yang santai tersebut, tiba-tiba salah satu rekan berbicara mengenai kebutuhan dasar hidup manusia atau kebutuhan primer manusia yang oleh guru sudah diajarkan sejak masih di sekolah dasar, yaitu sandang, pangan, dan papan. Ternyata hal ini membuka pikiran penulis tentang pengelompokan kebutuhan manusia berdasarkan tingkatan kebutuhannya, yang secara sederhana dijelaskan di sekolah dasar sebagai kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Bagaimana jika hierarki ruang dan pembangunan zona dilandaskan atas tingkat kebutuhannya, sehingga terjadi susunan dan pola yang dapat menyesuaikan dengan tingkatan kebutuhan hidup manusia tersebut. Dalam benakku, ide ini sangatlah brilian, karena selain bentuk dan ruangannya dapat disusun sedemikian rupa sehingga memenuhi prinsip dari tema Humanopolis, secara filosofis susunan ini memiliki arti yang bermakna dan tentunya sesuai dengan tema diatas.
Abraham Maslow
Setelah mendapatkan ide tersebut, maka penulis memulai riset yang lebih dalam lagi mengenai teori yang dapat mendukung kebutuhan dasar manusia. Secara umum menurut penulis, teori ini seharusnya ada dan dapat diterapkan di dalam arsitektur, sehingga penulis optimis bisa mendapatkan teori ini dan memulai proses desain penulis. Setelah berusaha mencari dan melakukan browsing mengenai hierarki, kebutuhan manusia, arsitektur, bahkan sampai aspek psikologisnya, penulis membaca sebuah teori yang menarik, yaitu
teori dari seorang psikolog asal Amerika Serikat, Abraham Maslow. Maslow
mengemukakan ide yang dikenal sebagai Piramida Hierarki
Kebutuhan Maslow.26 Pada tahun 1943, dalam artikelnya Maslow merumuskan sebuah kerangka kerja yang berbasis motivasi manusia untuk memenuhi kebutuhannya yang berdasarkan pengalaman langsungnya dengan manusia, bukan seperti teori-teori sebelumnya seperti Freud dan BF Skinner, yang sebagian besar teorinya didasari oleh perilaku hewan.27 Dari teori ini, para pakar psikologi saat itu menyimpulkan teori Maslow
26
Abraham Maslow, Father of Modern Management Psychology - http://www.abraham- maslow.com/amIndex.asp
27
A preface to motivation theory . Psychosomatic Medicine, 1943, 5, 85-92