• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut

DESA SALIGUMA

2.2.4. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut

Secara umum ada dua faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di dua desa penelitian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah penyebab terjadinya kerusakan yang berasal dari masyarakat itu sendiri,

dan faktor eksternal adalah kerusakan yang penyebabnya berasal dari luar masyarakat.

Faktor internal yang berpengaruh terhadap rusaknya terumbu karang di wilayah ini adalah terkait dengan praktik penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, terutama potasium, untuk menangkap kerapu. Penggunaan potasium untuk menangkap kerapu itu dianggap lebih efektif, karena umumnya kerapu bersembunyi di dalam goa yang tidak dapat ditangkap dengan pancing. Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh potasium tergolong tinggi, karena bahan potasium dapat menyebar terbawa arus air. Kerusakan yang terjadi akibat potasium adalah terumbu karang memutih di ujungnya, dan semakin lama akan mati. Beberapa orang setempat diduga sering menggunakan potasium untuk menangkap ikan sebetulnya sudah diketahui identitasnya, namun sulit ditangkap, karena tidak adanya bukti secara langsung.

Penggunaan potasium untuk menangkap ikan itu dimulai sekitar tahun 2003, seiring dengan beroperasinya perusahaan “PT. Hiu Raksa”, yang menampung penjualan ikan hidup (kerapu) dari nelayan. Untuk meningkatkan jumlah ikan kerapu tangkapan nelayan, sehingga jumlah ikan yang diperoleh perusahaan juga semakin banyak, maka perusahaan itu mengajarkan kepada para nelayan cara menangkap kerapu dengan menggunakan potasium. Sejak saat itu hampir semua nelayan menggunakan potasium untuk menangkap kerapu.

Perilaku penangkapan kerapu secara masal menggunakan potasium itu tidak berlangsung lama, karena hal itu berakibat pada menurunnya populasi kerapu secara drastis. Akibatnya saat ini nelayan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan ikan kerapu. Dengan menurunnya populasi kerapu, maka PT. Hiu Raksa juga tidak beroperasi di kawasan itu, karena produksinya tidak banyak lagi. Pada saat ini memang masih ada

beberapa penampung ikan hidup, namun jumlah produksinya tidak banyak.

Untuk meminimalkan penangkapan ikan menggunakan potasium, pihak Tripika (Tiga Pimpinan Kecamatan) Kecamatan Siberut Selatan (Pemerintah Kecamatan, Koramil dan Polsek) pada tahun 2003 itu telah berhasil mengumpulkan para nelayan yang berada di wilayahnya. Hasil dari pertemuan itu diperoleh kesepakatan bahwa menangkap ikan menggunakan potasium tidak diperbolehkan. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan diberikan sanksi denda sebesar Rp 500.000,-. Ketentuan lainnya adalah pelarangan penggunaan peralatan kompresor. Larangan penggunaan kompresor ini karena alat ini disalahgunakan sebagai alat bantu dalam penyelaman menangkap ikan dengan menggunakan potasium. Jadi dengan demikian, penggunaan kompresor dianggap sebagai indikasi penangkapan menggunakan potasium.

Penggunaan potasium untuk menangkap ikan bisa diberlakukan dengan ketat, namun larangan penggunaan kompresor dalam kenyataannya tidak bisa diberlakukan seperti itu. Hal itu karena kompresor juga merupakan alat bantu untuk menangkap teripang, yaitu digunakan sebagai alat bantu menyelam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa nelayan yang menggunakan kompresor, namun mereka bisa berkelit dengan menyatakan bahwa alat tersebut digunakan untuk menangkap teripang.

Pada saat ini penggunaan potasium untuk menangkap ikan sudah jarang terjadi. Mereka yang menggunakan, umumnya melakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal itu karena mereka takut atas ancaman sanksi yang diberlakukan, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2003. Pada saat itu ada sembilan unit perahu nelayan dari desa lain yang beroperasi di kawasan perairan dekat Desa Saliguma. Mereka kemudian ditangkap dan didenda sebesar Rp 1.250.000,- per unitnya. Sebelum denda itu

dibayarkan, perahu dan kompresor yang digunakan ditahan, sampai mereka melunasi pembayarannya. Menurut informasi dari beberapa informan, penahanan perahu dan kompresor saat itu mencapai 12 hari, karena pada hari ke 13 denda itu dibayarkan. Sejak saat itu penggunaan potasium di kawasan ini menurun secara drastis.

Selain penggunaan potasium untuk menangkap ikan, faktor lain yang menjadi penyebab rusaknya terumbu karang di wilayah ini adalah pengambilan karang oleh penduduk untuk bahan bangunan, terutama untuk pondasi rumah. Akan tetapi, penggunaan terumbu karang untuk pondasi saat ini pengaruhnya tidak banyak bagi kelestarian terumbu karang, karena jumlah warga yang membangun rumah permanen masih belum banyak. Meskipun demikian hal itu tetap perlu diwaspadai, karena dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa ada kebanggaan tersendiri bagi masyarakat untuk bisa memiliki rumah dengan dinding tembok. Untuk membuat dinding tembok dan pondasinya penduduk menggunakan batu karang. Jika tingkat kesejahteraan penduduk meningkat, dikhawatirkan mereka akan beramai-ramai membangun rumah permanen, yang berakibat pada penggunaan batu karang secara besar-besaran.

Menurut penduduk, batu karang yang diambil adalah terumbu karang yang mati. Akan tetapi, hal itu sulit dipercaya, sehingga diperkirakan karang hidup pun banyak yang diambil untuk bahan bangunan. Kasus yang dikemukakan oleh seorang informan paling tidak memperkuat dugaan itu. Menurutnya, penggunaan karang mati hanyalah sebagai kamuflase untuk membohongi orang lain. Pada saat pengambilan karang mereka tidak memilih karang yang sudah mati, melainkan semua karang yang mudah diambil. Dengan demikian banyak karang yang sebetulnya masih hidup yang juga ikut diambil. Bahkan menurut sumber itu, persentase antara karang hidup dan karang mati yang diambil lebih besar dari karang hidup. Karang mati hanyalah

sebagian kecil, karena jika hanya memilih karang yang mati, selain membutuhkan waktu yang lebih lama juga memilihnya tidak mudah. Penduduk sebetulnya bukan tidak mengetahui fungsi terumbu karang, terutama untuk perlindungan ikan. Akan tetapi, penggunaan karang untuk bahan bangunan tetap saja dilakukan, karena potensi bahan pengganti tidak tersedia di sekitar desa mereka.

Selain faktor internal, faktor eksternal juga ikut berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan perairan laut Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, yaitu penggunaan trawl dan bom untuk menangkap ikan. Hasil wawancara mendalam dengan para informan mengungkapkan bahwa pengguna bom untuk menangkap ikan di kawasan ini umumnya banyak berasal dari luar daerah, terutama dari Sibolga. Hal itu berbeda dengan penangkapan menggunakan potasium, karena penggunaan trawl dan bom itu sama sekali tidak melibatkan nelayan lokal.

Penduduk sangat memusuhi pengoperasian trawl dan penggunaan bom di kawasan perairan mereka, karena pengoperasian trawl dan bom telah mengakibatkan hancurnya terumbu karang di wilayah ini. Selain itu, walaupun tanpa menggunakan trawl ataupun bom, pengoperasian kapal Sibolga di wilayah mereka juga dianggap merugikan masyarakat, karena perahu Sibolga itu umumnya dilengkapi dengan lampu-lampu yang sangat terang untuk daya tarik ikan. Keberadaan lampu-lampu itulah yang dianggap merugikan nelayan lokal, karena dianggap menyedot ikan sehingga para nelayan sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan.

Akibat pengoperasian kapal Sibolga yang menggunakan banyak lampu tersebut, mengakibatkan terjadinya konflik dengan nelayan lokal tidak bisa dihindari. Kasus yang pernah terjadi adalah pengejaran yang dilakukan oleh sekitar 30 nelayan dari Desa Saibi Saibi Samukop terhadap kapal Sibolga, karena

melakukan pengeboman di sekitar desa mereka. Akan tetapi, pengejaran itu tidak berhasil menangkapnya, karena sesudah dekat warga mereka diancam akan ditembak. Kasus yang terjadi pada tahun 2003 itu menurut penduduk memiliki dampak yang positif, karena sejak saat itu kapal Sibolga tidak ada lagi yang berani merapat ke perairan pantai.

Tuntutan pasar juga merupakan faktor eksternal yang secara tidak langsung ikut berpengaruh terhadap perusakan terumbu karang di kawasan ini. Adanya perusahaan penampung ikan hidup sebagai tempat penjualan hasil tangkapan ikan kerapu dari para nelayan, lebih-lebih jika perusahaan itu mengajarkan cara menangkap kerapu yang lebih efisien dengan menggunakan potasium, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh PT. Hiu Raksa tersebut, jelas sangat berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan perairan Desa Saibi Saibi Samukop dan Desa Saliguma ini.

Pada saat ini PT. Hiu Raksa sudah tidak ada di kawasan ini. Akan tetapi, di kawasan ini masih ada beberapa pedagang yang menampung ikan hidup, yang kemudian dibeli oleh kapal ikan dari Hongkong. Akan tetapi, hal itu tidak banyak berpengaruh bagi perusakan terumbu karang di kawasan ini, karena masyarakat sudah tidak berani lagi menangkap ikan kerapu dengan menggunakan potasium, kecuali secara sembunyi-sembunyi. Itupun saat ini sudah jarang penduduk yang mengkhususkan diri menangkap kerapu, karena populasinya tidak banyak. Jadi umumnya saat ini kerapu yang tertangkap adalah hanya terjadi secara kebetulan, bersama dengan penangkapan jenis ikan yang lain.

2.2.5 . Sarana dan prasarana sosial-ekonomi

Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan di lokasi penelitian saat ini masih terbatas pada tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pertama. Di Desa Saibi Samukop pada tahun 2009 terdapat 4 unit SD, tersebar di 4 dusun. Rata-rata satu kelas 40 orang murid, rata-rata satu sekolah ada 6 ruang kelas dan 6 orang guru. Sementara di Saliguma hanya memiliki tiga unit SD. Rata-rata satu kelas sekitar 30 orang murid dan jumlah guru per kelas kurang dari 6 orang. Di lokasi penelitian bangunan SD umumnya milik pemerintah. Sementara sekolah TK (Taman Kanak-kanak) dikembangkan oleh yayasan swasta di Desa Saibi Samukop ada 3 unit TK, dengan murid sebanyak 75 orang dan 3 orang guru. Di Desa Saliguma ada 2 unit TK, jumlah murid sekitar 50 orang dengan 2 orang guru. Sejak tahun 2008 di Desa Saibi Saliguma sudah ada SMP Negeri, dengan demikian bagi lulusan SD bisa melanjutkan SMP di desanya sendiri, tidak harus ke kota Muara Siberut lagi dan harus kos di kota tersebut. Pada tahun 2009 jumlah murid SMP di desa tersebut telah mencapai sekitar 120 orang murid, dan memiliki 8 orang guru. Sedangkan di Desa Saliguma sampai sekarang belum memiliki sekolah setingkat SLTP. Lulusan SD Desa Saliguma jika ingin melanjutkan ke sekolah lanjutan, SLTP dan SLTA harus di kota Muara Siberut, yang tidak mungkin ditempuh ulang — alik setiap hari melalui transportasi laut. Oleh sebab itu, dengan kondisi seperti itu tidak semua lulusan SD dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, karena memerlukan biaya tambahan, yakni biaya makan dan indekos. Pada umumnya mereka yang dapat melanjutkan ke SLTP atau SLTA penduduk yang mampu atau sekurang-kurangnya mereka yang memiliki famili di Muara Siberut. Ada juga fasilitas indekos yang lebih murah, yakni asrama milik Yayasan Katolik di Muara Siberut, namun tidak

semua siswa memiliki kesempatan untuk mendapat fasilitas ini karena keterbatasan kamar.

• Kesehatan

Fasilitas kesehatan sampai tahun 2009 yang terdapat di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah Puskesmas. Tenaga medis masing-masing Puskesmas hanya ada seorang bidan. Di Desa Saibi Samukop juga telah dibangun lagi 2 Puskesmas Pembantu, namun belum memiliki tenaga medis. Di samping itu, juga telah ada Balai Pengobatan Yayasan Lemarsepur — bantuan dari Negeri Belanda, dengan tenaga medis seorang perawat. Di Desa Saliguma, di samping memiliki Puskesmas juga telah dibangun satu Balai Pengobatan Masyarakat dan satu Puskesmas pembantu. Namun keduanya belum memiliki tenaga medis. Walaupun Puskesmas tersebut di atas belum memiliki tenaga dokter dan hanya menyediakan tenaga bidan. Mereka telah disediakan rumah dinas. Pelayanan Puskesmas dilakukan setiap saat, sebab tenaga bidan rumah tinggalnya berdekatan dengan Puskesmas tempat praktek. Tenaga dokter hanya berada di Muara Siberut, ibukota kecamatan. Sebenarnya sarana kesehatan yang disediakan pemerintah tersebut hanya merupakan salah satu pilihan untuk berobat.

Di samping itu, ada pilihan lain, yakni pengobatan tradisional. Di setiap desa ada sekitar 20 orang tenaga kesehatan tradisional yang dipercaya mampu mengobati penyakit. Namun demikian, agak sulit mengetahui kapan warga desa berobat ke Puskesmas dan berobat ke tenaga kesehatan tradisional, atau sering disebut sikere/ dukun kampung. Wawancara mendalam dengan informan diperoleh informasi bahwa penduduk yang berobat ke sikere biasanya orang yang menderita sakit tidak sembuh-sembuh karena dipercaya kemasukan roh jahat atau dibikin orang. Penyakit yang sering diderita masyarakat adalah

Gambar 2.9 : Dermaga Kapal Penumpang

diare dan ispa, penyakit ini disebabkan kondisi lingkungan — kekurangan air bersih dan kurang menjaga kebersihan makanan. Penyakit para nelayan umumnya adalah gastritis — penyakit perut yang disebabkan oleh sering terlambat makan; rematik — sering menyelam di laut dalam untuk mencari tripang; asma — bergadang di laut; luka harus dioperasi - terkena mata pancing. Fasilitas yang dikeluhkan oleh tenaga medis di Pustu tersebut adalah belum tersedianya oksigin dan inkubator.

Sosial - ekonomi

Prasarana sosial-ekonomi yang dimaksud di sini adalah infrastruktur yang digunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan aktivitas

sosial-ekonomi, seperti pasar, dermaga, kedai/ warung dll. Sedangkan, pengertian sarana sosial - ekonomi adalah perlengkapan yang

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi. Berdasarkan dari pengertian tersebut, maka prasarana sosial ekonomi di daerah penelitian dapat dikatakan sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat di dua desa lokasi penelitian, tidak ada dermaga (permanen) desa yang dibangun pemerintah untuk mobilitas sosial-ekonomi perdesaan. Dermaga yang ada hanya dermaga non-permanen yang tersebar di masing-masing permukiman penduduk. Dermaga perahu di desa pada dasarnya dibangun dari swadaya masyarakat. Masing-masing masyarakat cenderung membangun dermaga - tempat bersandar perahu sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan kedekatan

Gambar 2.10: Sarana Transpor

dengan tempat tinggal dan kondisi pasang-surut air laut. Namun baik di Desa Saibi Samukop dan Desa Saiguma telah dibuatkan dermaga baru dari kayu yang dibangun melalui dana program COREMAP pada tahun 2007. Bangunan tersebut kondisinya sampai saat ini masih cukup bagus dan masih digunakan oleh penduduk, terutama di Desa Saibi Samukop. Sementara dermaga di Desa Saliguma dibangun diujung perkampungan penduduk, sehingga jarang digunakan. Dermaga tersebut hanya digunakan apabila air laut surut, sebab dermaga yang dibangun program COREMAP di pantai yang agak dalam. Sehingga ketika air laut surut masih tetap dapat digunakan untuk berlabuh perahu nelayan.

Prasarana sosial-ekonomi terpusat di kota Muara Siberut. Di Muara Siberut terdapat pasar tingkat kecamatan yang cukup ramai terutama pada hari pasar, yaitu tiap hari selasa. Prasarana sosial-ekonomi lainnya adalah pelabuhan yang digunakan tempat perahu yang

bersandar dari berbagai desa dan tempat bersandar kapal penumpang yang datang dari Padang dan Tua Pejat. Prasarana dermaga ini juga tempat berlabuh kapal-kapal yang mengangkut hasil bumi yang dibawa ke kota Padang. Di semua desa-lokasi penelitian belum terdapat pasar desa. Prasarana ekonomi yang ada hanya berupa kedai-kedai/ warung. Kedai tersebut melayani kebutuhan pokok penduduk, seperti sembako (sembilan bahan pokok dan kebutuhan rumah tangga lainnya, termasuk menyediakan BBM).

Gambar 2.11: Sarana mobilitas antar

rumah/kampung

Sarana transportasi dari Desa Saibi Samukop ke kota Muara Siberut (pasar kecamatan) reguler berupa perahu motor dengan mesin 15 PK tiap hari selasa. Ongkos transpor adalah sebesar Rp 60.000,-/PP per orang dan waktu yang ditempuh 4 jam PP. Di Desa Saliguma, sarana transportasi yang digunakan ke kota Muara Siberut adalah jenis perahu motor dengan kemampuannya 15 PK tiap hari selasa. Karena jaraknya lebih pendek ongkos hanya Rp 40.000,-PP/ orang dengan waktu tempuh hanya satu jam atau 2 jam PP.

Sarana sosial-ekonomi yang paling banyak digunakan penduduk adalah jenis perahu motor berukuran besar - jenis perahu yang dapat menampung sekitar 6-7 orang. Jenis perahu motor ini sebagai sarana angkutan mobilitas penduduk desa ke desa lain atau ke Muara Siberut. Jenis perahu motor ini belum dimiliki oleh setiap penduduk. Jenis perahu ini biasanya hanya dimiliki penduduk yang mengusahakan warung kebutuhan bahan pokok di desa. Jadi perahu motor tersebut selain untuk mengangkut barang dagangan, juga sebagai sarana transportasi penduduk.

Sarana sosial-ekonomi lainnya adalah jenis perahu sampan yang digunakan untuk memancing ikan di sungai, muara sungai atau tepi pantai. Perahu sampan ini dimiliki hampir setiap rumah tangga penduduk di desa penelitian. Perahu sampan pada umumnya digunakan untuk mobilitas jarak pendek dari rumah ke rumah atau pergi ke kebun. Perahu sampan juga digunakan para nelayan perempuan untuk mencari ikan di dekat pantai atau dekat hutan bakau. Pada umumnya para nelayan perempuan

Gambar.2.12 : Kelembagaan Pokmas

tersebut menangkap ikan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk rumah tangga sendiri.

Kelembagaan sosial-ekonomi

Selain kelembagaan sosial-kemasyarakatan yang berkembang di lokasi penelitian, seperti kelompok

Ibu-ibu PKK, kelompok Pemuda Karang Taruna, kelompok Pemuda Protestan, dan kelompok Muda-mudi Katolik (Mudika), terdapat pula kelompok

yang merupakan himpunan warga berdasarkan kegiatan mata pencaharian (Daliyo dkk, 2007). Dibandingkan dengan kelembagaan sosial —kemasyarakatan, kelembagaan sosial— ekonomi berkembang berhubungan dengan program pemberdayaan di desa ini, seperti program COREMAP. Dari program ini telah disiapkan pembentukan kelembagaan pengelolaan terumbu karang. Berbentuk beberapa kelompok masyarakat akan terlibat langsung dalam kegiatan COREMAP di Desa Saliguma. Kelompok-kelompok tersebut, misalnya Kelompok Nelayan Pancing Sikebbukat, Kelompok Nelayan Pancing Simatoiming, Kelompok Nelayan Pancing Suka Maju dan Kelompok Tani Cokelat.

2.3. KONDISI KEPENDUDUKAN

Dokumen terkait