• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DI LOKASI COREMAP II

Desa Saibi Samukop dan Saliguma

Kabupaten Mentawai

HASIL BME

DALIYO

SUDIYONO

Coral Reef Rehabilitation and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(COREMAP II – LIPI) Jakarta, 2009 COREMAP-LIPI

(3)

KATA PENGANTAR

elaksanaan COREMAP fase II yang bertujuan untuk menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang, agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, dilindungi dan dikelola secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan peningkatan tutupan karang merupakan indikator keberhasilan dari aspek bio-fisik. Sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan pendapatan per-kapita penduduk naik sebesar 2 persen per tahun dan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program.

Untuk melihat keberhasilan tersebut perlu dilakukan penelitian benefit monitoring evaluation (BME) baik ekologi maupun sosial-ekonomi. Penelitian BME ekologi dilakukan setiap tahun untuk memonitor kesehatan karang, sedangkan BME ekonomi dilakukan pada tengah dan akhir program. BME sosial-ekonomi bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan, untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.

Hasil BME sosial-ekonomi ini dapat dipakai untuk memantau perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan evaluasi pengelolaan dan pelaksanaan program, baik di tingkat nasional, kabupaten maupun di tingkat lokasi.

Buku ini merupakan hasil dari kajian BME sosial-ekonomi (T1) yang dilakukan pada tahun 2009 di lokasi-lokasi COREMAP di

(4)

Indonesia Bagian Barat. BME sosial-ekonomi ini dilakukan oleh CRITC-LIPI bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan - LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI.

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku ini melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan — LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan studi ini. Kepada para informan yang terdiri atas masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan POKMAS, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi

Desa Saibi Samukop dan Saliguma

, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mentawai, CRITC Kabupaten Mentawai dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi.

Jakarta, Desember 2009

Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI

(5)

RINGKASAN

ujuan umum penelitian ini adalah mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Sedangkan tujuan khususnya adalah : (1).Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di daerah (tingkat kabupaten dan lokasi/ desa); (2).Mengkaji pemahaman masyarakat

mengenai program COREMAP; dan (3). Menggambarkan

tingkat pendapatan masyarakat untuk memantau dampak program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat.

Sumber data dalam laporan ini mendasarkan pada hasil survei sosial-ekonomi COREMAP tahun 2009 di dua lokasi program COREMAP II, yaitu Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Seberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai Selatan. Survei dilakukan terhadap 100 rumah tangga sampel yang diambil dari 100 rumah tangga sampel yang telah diteliti tahun 2007 (T0), sehingga dapat dianalisis perubahan kondisi sosial ekonomi dari rumah tangga sampel tersebut dengan adanya program COREMAP. Dalam laporan ini data juga diperoleh dari hasil wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, dokumentasi dan observasi.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umumnya masyarakat di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma yang telah mengenal program COREMAP, sebab program ini telah masuk ke dua desa ini sejak tahun 2005. Namun belum semua anggota masyarakat dilibatkan dalam berbagai program yang ada.Berbagai program kegiatan pokmas, termasuk Pokmas Usaha Ekonomi Produktif pernah dilakukan di desa ini. Hasilnya adalah

(6)

sebagian besar belum berhasil atau kandas di tengah jalan. Oleh karena itu, program-program COREMAP tersebut belum mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Pokmas yang pernah dibentuk dan pernah melakukan kegiatan di dua desa tersebut adalah Pokmas Budidaya Kepiting, Pokmas Budidaya Rumput Laut, Pokmas Pembuatan Minyak Nilam, Pokmas Pembuatan Minyak Kelapa (Minyak Manis), Pokmas Penangkapan Ikan (dengan perahu pongpong), Pokmas Usaha Ternak Itik, Pokmas Pengolahan Ikan, dan Pokmas Jender (Warung Pesisir). Di antara pokmas-pokmas tersebut yang masih melakukan kegiatan sampai saat ini hanya Pokmas Pembuatan Minyak Kelapa (Minyak Manis).

Kurang berhasilnya program-program pokmas di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma tersebut antara lain disebabkan :

a. Program-program Pokmas Usaha Ekonomi Produktif yang ditawarkan pihak DKP pada umumnya tidak mendasarkan pada potensi dan kemampuan masyarakat, namun lebih cenderung top down dan diseragamkan. Sehingga tidak sesuai dengan keinginan, partisipasi dan kemampuan yang dimiliki masyarakat.

b. Kurangnya dan tidak adanya pelatihan yang memadai bagi anggota pokmas sebelum melakukan program kegiatan COREMAP. Pada umumnya kemampuan teknologi masyarakat masih terbatas. Hampir semua program yang ditawarkan selama ini adalah kegiatan-kegiatan belum pernah dikenal sebelumnya.

c. Setelah program turun ke masyarakat desa, ternyata kurang adanya bimbingan dan kontrol dari pihak DKP kabupaten, sehingga kegiatan program COREMAP kurang terkontrol dan berjalan sendiri-sendiri.

(7)

d. Umumnya anggota pokmas mengeluh karena kurangnya pendampingan dari para ahli atau petugas yang trampil di bidangnya untuk mendampingi para ketua pokmas dan anggotanya. Pendampingan diharapkan dari mulai persiapan, pelaksanaan/ memproduksi, pemanenan sampai pemasaran. Selama ini dalam satu desa ada tenaga pendamping, namun mereka kurang menguasai bidang-bidang yang akan dilakukan oleh pokmas dan mereka tinggal di desa sangat terbatas waktunya karena terikat kontrak.

e. Banyak kegiatan pokmas yang tidak sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan potensi yang ada. Sehingga masyarakat hanya sekedar menerima jenis kegiatan yang sudah ditentukan dari atas. Oleh karena itu, kegiatan pokmas yang dilakukan tidak sesuai dengan kemampuan yang dikuasai para anggota pokmas.

Program kegiatan usaha ekonomi produktif yang masih berlanjut adalah Pokmas Pengolahan Minyak Kelapa. Kegiatan ini masih terus berjalan disebabkan teknologi yang digunakan adalah telah dikuasai oleh masyarakat di Desa Saliguma. Potensi bahan baku tersedia di desa ini, pemasaran minyak kelapa tak mengalami kesulitan, sebab hampir seluruh rumah tangga di desa ini membutuhkan produk tersebut. Hanya apabila diproduksi besar-besaran barangkali bahan baku lokal tidak akan memenuhi. Keuntungan yang diperoleh pokmas selama ini belum mampu meningkatkan penghasilan rumah tangga anggota pokmas yang cukup berarti. Rata-rata keuntungan yang diterima anggota pokmas per tahun hanya sekitar Rp 300.000 sampai Rp 400.000 atau rata-rata per bulan antara Rp 25.000 sampai Rp 30.000.

Pokmaswas telah terbentuk di dua desa penelitian, armada kapal telah diberikan program COREMAP, namun kegiatan Pokaswas tidak berjalan. Alasan tersendatnya kegiatan terbentur pada masalah kurang adanya dana operasional yang

(8)

tidak mungkin ditanggung oleh anggota Pokmaswas maupun pengurus CREMAP di desa. Alasan yang kedua, para anggota Pokmaswas tidak dibekali surat-surat tugas dari instansi yang berwewenang. Hal tersebut sebagai bukti bahwa tugasnya adalah legal atau dilindungi oleh undang-undang. Juga para anggota Pokmaswas dibekali peralatan komunikasi yang memadai agar dengan mudah dapat melapor/ berkomunikasi pada petugas keamanan laut, seperti KAMLA, Polair dan instasi lainnya apabila ada kejadian-kejadian pelanggaran di laut.

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

RINGKASAN v

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xvii

BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan Penelitian 3 1.3. Metodologi 4 1.3.1. Lokasi Penelitian 4 1.3.2. Pengumpulan Data 4

1.3.3. Pengolahan Data dan Analisis Data 7

1.4. Pembabakan Penulisan 7

BAB II. PROFIL LOKASI PENELITIAN DESA SAIBI

SAMUKOP DAN DESA SALIGUMA 9

2.1. Kondisi Geografis 9

2.2. Potensi Sumber Daya Alam dan

Pengelolaannya 11

2.2.1. Keadaan Sumber Daya Alam 11

2.2.2. Wilayah Pengelolaan 16

2.2.3. Teknologi Penangkapan 16

2.2.4. Permasalahan dalam Pengelolaan

Sumber Daya Laut 18

2.2.5. Sarana dan Prasarana

(10)

2.3. Kondisi Kependudukan 30 2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 30

2.3.2. Pendidikan dan Ketrampilan 34

2.3.3. Pekerjaan 37

2.3.4. Pemilikan/penguasaan aset

Produksi, kondisi

permukiman dan sanitasi

lingkungan 44

BAB III. COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA DI DESA SAIBI SAMUKOP DAN DESA

SALIGUMA 53

3.1. Pelaksanaan COREMAP :

Permasalahan dan Kendala 54

3.1.1. Tingkat kabupaten : progam dan kegiatan masing-masing

komponen 57

3.1.2. Tingkat Desa 69

• Pembentukan, kinerja dan

kegiatan LPSTK 69

• Pembentukan, kinerja dan

kegiatan Pokmas 76

• Kegiatan sosialisasi dan

Pelatihan 90

• Kegiatan pengawasan 96

• Kegiatan UEP 102

• Program-program Fisik 110

3.2. Partisipasi Masyarakat terhadap Program

(11)

BAB IV. PENDAPATAN PENDUDUK DAN PERUBAHANNYA DESA SAIBI

SAMUKOP DAN DESA SALIGUMA 121

4.1. Pendapatan Penduduk 122

4.1.1. Pendapatan Rumah Tangga

dan Per Kapita 122

4.1.2. Pendapatan menurut Kegiatan

Kenelayanan 126

4.2. Faktor-Faktor Pengaruh Terhadap

Pendapatan 129

4.2.1. Program COREMAP 129

4.2.2. Program Pemerintah di Lain 131

4.2.3. Faktor Lainnya 132

• Faktor internal 132

• Faktor eksternal 133

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 135

5.1. Kesimpulan 135

5.2. Rekomendasi 137

DAFTAR PUSTAKA 139

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.3.1 : Komposisi Penduduk Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten

Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 33

Tabel 2.3.2 : Komposisi Responden Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten

Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 34

Tabel 2.3.3 : Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan Ditamatkan di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Muara Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen) 36 Tabel 2.3.4 : Lapangan Pekerjaan Utama Penduduk

Sampel Desa Saibi Samukop, dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen) 40 Tabel 2.3.5 : Jenis Pekerjaan Utama Penduduk Sampel di

Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten

Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 40

Tabel 2.3.6 : Status Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten

(14)

Tabel 2.3.7 : Lapangan Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samokop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen) 43

Tabel 2.3.8 : Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk

Sampel di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen) 43

Tabel 2.3.8 : Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk

Sampel di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen) 44 Tabel 2.3.9 : Status Pekerjaan Tambahan Penduduk

Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen) 46 Tabel 2.3.10 : Jumlah Rumah Tangga Pemilik Aset

Produksi di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen)

Tabel 3.2.1 : Persentase Responden Menurut

Pengetahuan, Keterlibatan, dan Manfaat Program COREMAP II di Desa Saibi

Samukop, Tahun 2009. 115

(15)

Tabel 3. 2.2 : Persentase Responden Menurut Pengetahuan, Keterlibatan dan Manfaat Program COREMAP II di Desa

Saliguma,Tahun 2009 117

Tabel 4.1.1 : Pendapatan Rumah Tangga dan

Pendapatan per Kapita di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai,

2007 dan 2009 (Persen) 124

Tabel 4.1.2 : Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga per Bulan dari Kenelayanan Menurut Musim di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten

(16)
(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Peta Lokasi COREMAP II Desa Saliguma & Saibi Samukop Kecamatan Siberut Selatan 10

Gambar 2.2 : Rawa dan Hutan Bakau 12

Gambar 2.3 : Kebun Kelapa Rakyat 13

Gambar 2.4 : Kebon Cokelat 14

Gambar 2.5: Perladangan Penduduk 15

Gambar 2.6: Alat tangkap kepiting 16

Gambar 2.7: Teknologi Budidaya Kepiting 16

Gambar 2.8 : Bagan Keramba 18

Gambar 2.9 : Dermaga Kapal Penumpang 26

Gambar 2.10: Sarana Transpor 27

Gambar 2.11: Sarana mobilitas antar rumah/kampung 28

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

ecara umum dalam dua dasawarsa terakhir kondisi terumbu karang di perairan Indonesia telah mengalami degradasi. Proses degradasi tersebut disebabkan oleh berbagai hal, antara lain disebabkan karena bencana alam maupun oleh ulah manusia. Studi yang dilakukan P2O-LIPI (2004) di 686 stasiun penelitian menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia hanya 5,8 persen dalam kondisi sangat baik, sekitar 25,7 persen dalam status baik, sekitar 30,8 persen dalam status cukup dan ternyata telah mencapai sekitar 31,9 persen yang sudah dalam kondisi kurang baik. Di perairan Indonesia Barat (termasuk di perairan Kepulauan Mentawai) diperkirakan bentangan terumbu karang yang termasuk kurang baik telah mencapai sekitar 36 persen. Sementara bentangan terumbu karang di wilayah Indonesia Barat yang masih dianggap baik hanya tinggal sekitar 5,4 persen. Kondisi tersebut dianggap sudah cukup mengkhawatirkan (Daliyo dkk, 2007).

Makin rusaknya terumbu karang di perairan tersebut disebabkan oleh ulah manusia, yang antara lain adanya penangkapan ikan dan biota terumbu karang lain secara terus-menerus dan dalam kuantitas yang berlebihan (over fishing). Di samping itu, juga penggunaan bom dan racun untuk menangkap sumber daya di terumbu karang masih kadang terjadi. Kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan pembangunan di daerah pesisir, penebangan hutan bakau, penebangan hutan di sepanjang sungai yang menyebabkan terjadinya endapan

(19)

sedimentasi di daerah terumbu karang dan mematikan terumbu karang (Widayatun dkk, 2002 dan Hidayati dkk, 2002) .

Untuk mengatasi masalah kerusakan terumbu karang tersebut pada awal tahun 2000-an pemerintah Indonesia telah mencanangkan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef Rahabilitation and Managemet Program). Progam pada fase I tersebut bermaksud untuk menggerakan dan meningkatkan usaha pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara lestari bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir Indonesia. Program COREMAP pada prinsipnya mendasarkan pada partisipasi masyarakat atau dapat dikatakan ‘pengelolaan berbasis masyarakat. Pengelolaan tersebut menggunakan sistem terpadu yang perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat sendiri. Kemudian tujuan COREMAP pada fase II lebih menekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola. Dalam hal ini gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang telah didesentralisasi kepada pemerintah kabupaten dengan sistem pendanaan yang berkelanjutan, namun tetap dikoordinir secara nasional. Desentralisasi pengelolaan ini dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai, melakukan co-manajemen secara berkelanjutan agar kerusakan terumbu karang dapat dicegah dan dampak positif selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Indikator yang dapat digunakan untuk melihat tercapainya tujuan COREMAP antara lain adalah melihat aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan tercapai peningkatan tutupan karang paling sedikit 5 persen per

(20)

tahun sampai tercapai level yang sama dengan daerah yang telah dikelola secara baik atau pristine area (daerah terumbu karang yang masih asli/ belum dimanfaatkan). Selanjutnya indikator keberhasilan COREMAP dari aspek sosial-ekonomi adalah : (1) adanya pendapatan penduduk dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang dan kegiatan ekonomi alternatif lainnya, mengalami kenaikan sebesar 10 persen pada akhir program (tahun 2009); dan (2) paling sedikit 70 persen dari masyarakat nelayan (beneficiary) di kabupaten program merasakan dampak positif COREMAP. Dalam hal ini dampak pada tingkat kesejahteraannya dan status sosial ekonominya (World Bank, Project Appraisal Document, 2004)

Keberhasilan COREMAP salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian rencana program dengan permasalahan, potensi dan aspirasi masyarakat. Untuk merancang program yang sesuai dengan permasalahan dan potensi wilayah serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat diperlukan data dasar sosial—ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Data dasar sosial-ekonomi dari hasil baseline merupakan titik awal (T0) program COREMAP II telah dilakukan tahun 2007. Pada tahun 2009 dilakukan kajian sosial ekonomi lagi untuk mengevaluasi perkembangan dan dampak dari program COREMAP II tersebut terhadap masyarakat.

1.2. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.

(21)

Adapun tujuan khususnya meliputi :

1. Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di daerah (tingkat kabupaten dan lokasi/ desa).

2. Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai program

COREMAP.

3. Menggambarkan tingkat pendapatan masyarakat untuk

memantau dampak program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat.

1.3. METODOLOGI

1.3.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai. Dua desa tersebut dipilih dalam penelitian ini dengan pertimbangan : (1). Keduanya merupakan desa-desa sasaran kegiatan program COREMAP II dan (2). Desa-desa tersebut juga telah dilakukan penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang (T0) pada tahun 2007. Dengan adanya kajian kali ini dapat dikaji/ dievaluasi perkembangan program di desa-desa tersebut dan pengaruh program terhadap kesejahteraan masyarakat.

1.3.2. Pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, kualitatif, observatif dan penggunaan data sekunder. Masing-masing metode tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan. Dalam pendekatan kuantitatif kegiatan yang dilakukan adalah survei dengan menggunakan daftar pertanyaan yang dirancang secara tertutup dan setengah tertutup. Pendekatan survei digunakan untuk mewawancarai para responden rumah tangga dan individu. Penggunaan survei dalam analisis lebih objektif dibandingkan dengan pendekatan kualitatif, di mana subjektivitas

(22)

peneliti dapat dihindari. Kelemahan dari survei ini adalah data yang dikumpulkan sangat terbatas pada jawaban tertutup yang tersedia di daftar pertanyaan. Pendekatan ini kurang memberikan keleluasaan para peneliti untuk menggali informasi yang lebih dalam lagi dari responden.

Kelemahan pendekatan kuantitatif tersebut dapat diatasi dengan menggunakan kualitatif. Pendekatan kualitatif lebih menekankan pengumpulan data yang sifatnya kualitatif. Kegiatan yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi lapangan. Pendekatan ini memberikan peluang kepada para peneliti untuk menggali data dan informasi yang lebih mendalam dan kontekstual dari para informan sesuai dengan kondisi dan kejadian di lokasi kajian. Kelebihan pendekatan ini data dan informasi yang dikumpulkan lebih kaya dan mendalam dibandingkan pendekatan kuantitatif.

Instrumen dan responden

Dengan menggunakan metode penelitian tersebut di atas, kajian ini dibekali dengan 2 paket instrumen, yaitu daftar pertanyaan/ kuesioner dan pedoman wawancara.

Daftar pertanyaan

Daftar pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daftar Pertanyaan Penelitian Benefit Monitoring Evaluation (BME T1) Sosial-Ekonomi. Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis daftar pertanyaan, yaitu Daftar Pertanyaan Rumah Tangga dan Daftar Pertanyaan Individu/ Perorangan. Dalam Daftar Pertanyaan Rumah Tangga terdiri 5 bagian, yaitu : (1). Pengenalan Tempat; (2) Keterangan Rumah Tangga; (3). Keterangan Pencacahan; (4). Ekonomi Rumah Tangga; dan (5). Pemilikan Aset Rumah Tangga. Sementara Daftar Pertanyaan Individu hanya terdiri dari dua bagian, yaitu :

(23)

(1). Pengetahuan dan Partisipasi Responden dalam COREMAP; dan (2). Manfaat COREMAP untuk Kehidupan Ekonomi

Pedoman wawancara mendalam

Dalam penelitian ini wawancara mendalam dilakukan dengan para pemangku kepentingan (Dinas Kalautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pengurus COREMAP Tingkat Kabupaten, Yayasan Karekat Indonesia di Kota Tua Pejat, Pengurus COREMAP Tingkat Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma termasuk ketua/ anggota Pokmas dan masyarakat desa penelitian) yang terkait dengan kegiatan kenelayanan. Dalam wawancara mendalam pedoman diperlukan agar wawancara lebih terarah, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian. Pedoman ini berupa daftar dari poin-poin penting yang akan diteliti. Poin-poin tersebut oleh para peneliti dikembangkan dan dilakukan cek dan recek di lapangan. Peneliti akan berhenti melakukannya apabila telah mendapatkan pemahaman yang komprehensif, mendalam dan solid dari informan-informan kunci dan narasumber yang mewakili para pemangku kepentingan dalam masyarakat nelayan.

Pengambilan sampel rumah tangga

Dalam penelitian ini di masing-masing desa dipilih dusun-dusun yang jumlah dan proporsi rumah tangga nelayannya cukup banyak. Masing-masing desa dipilih dua dusun. Jumlah rumah tangga sampel diwawancarai sebanyak 100 rumah tangga, sehingga masing-masing desa mendapat jatah 50 rumah tangga sampel dan masing-masing dusun 25 rumah tangga sampel. Pemilihan rumah tangga sampel di masing-masing desa diambil dari rumah tangga yang pernah diwawancarai pada penelitian awal/ T0 (tahun 2007).

(24)

1.3.3. Pengolahan data dan analisis data

Dari hasil penelitian ini telah menghasilkan data rumah tangga dan individu dari desa penelitian. Data yang telah terkumpul diolah secara komputerisasi. Data entry menggunakan program SPSS data entry versi 4. Melalui tahapan cleaning, data tersebut diolah dengan SPSS 11.5 for Windows. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan tabel-tabel frekuensi (frequency tabulation) dan tabel-tabel silang (cross tabulation). Tabel-tabel tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kenelayanan dan kegiatan serta manfaat program COREMAP 1.4. Pembabakan Penulisan

Bagian awal dari tulisan ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dari penelitian, yang meliputi tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian ini. Metodologi penelitian meliputi pemilihan lokasi dan cara pengumpulan data dan tentang analisis data yang digunakan.

Bagian kedua menyajikan profil lokasi penelitian di Desa Saibi Samukop dan Saliguma. Dalam sajian ini meliputi deskripsi keadaan geografi desa penelitian, kondisi sumber daya alam dan kondisi kependudukan. Keadaan geografis mendeskripsikan kondisi fisik daerah penelitian. Sementara kondisi sumber daya alam mendeskripsikan sumber daya yang ada di laut maupun sumber daya yang ada di darat, wilayah pengelolaan, teknologi penangkapan, sarana dan prasarana serta program dan kegiatan dalam pengelolaan SDL. Deskripsi tentang kependudukan meliputi jumlah dan komposisi penduduk, pendidikan dan ketrampilan, pekerjaan dan pemilikan aset produksi.

Bagian ketiga membahas tentang program COREMAP II dan implementasinya. Hal ini meliputi pelaksanaan program-program COREMAP II termasuk permasalahan/ kendala. Bagian

(25)

terakhir bab ini membahas tentang pengetahuan, partisipasi dan manfaat yang dirasakan masyarakat terhadap kegiatan/ program COREMAP.

Bagian keempat merupakan inti dari penelitian ini menyajikan tentang pendapatan rumah tangga penduduk di desa penelitian (antara T0 dan T1). Pendapatan rumah tangga (T1) disajikan dalam bentuk rata-rata pendapatan rumah tangga dan pendapatan per kapita dengan membandingkan dengan penelitian sebelumnya (T0). Kemudian dilanjutkan untuk mengupas lebih fokus pada pendapatan rumah tangga, khusus kegiatan kenelayanan. Dalam mengupas pendapatan kenelayanan ini juga akan membandingkan pandapatan rumah tangga pada T0 dan T1 untuk melihat tingkat perubahannya. Pada subbab terakhir membahas tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan pendapatan di desa-desa penelitian. Sebagai penutup dari laporan ini disajikan suatu kesimpulan dari pembahasan dari bagian pertama sampai bagian keempat dan beberapa rekomendasi.

(26)

BAB II

PROFIL LOKASI PENELITIAN

DESA SAIBI SAMUKOP DAN

DESA SALIGUMA

2.1. KEADAAN GEOGRAFIS

esa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah dua desa yang terletak di Pulau Siberut, tepatnya di wilayah Kecamatan Siberut Selatan. Secara geografis terletak di wilayah timur Pulau Siberut. Desa Saibi Samukop bertetangga dengan Desa Saliguma. Desa Saibi Samukop memiliki luas wilayah sekitar 456,72 km2. Desa Saibi Samukop yang berjarak 42 km dari kota Muara Siberut. Desa tersebut dapat ditempuh dengan perjalanan laut sekitar 2 jam dengan perahu bermotor.

Wilayah Saibi Samukop semula hanya terdiri dari 5 dusun, yaitu: Dusun Saibi hulu (Sirisurak), Dusun Saibi Muara, Dusun Sibudda Oinan, Dusun Totoet dan Dusun Sua. Sejak tahun 2007 bertambah 3 dusun baru, yang terdiri dari Dusun Samoilalak (pemekaran dusun akibat proyek sosial), Dusun Pangasaat, dan Dusun Masoggunei. Dusun Pangasaat dan Dusun Masoggunei terletak di pusat Desa Saibi. Sementara, Dusun Samoilalak diapit oleh Dusun Sirisurak dengan Saibi Muara (Daliyo dkk, 2007).

Desa Saibi Samukop terletak di tengah-tengah, antara wilayah Siberut Selatan dan Siberut Utara. Sebelah selatan berbatasan Desa Saliguma, sebelah utara dengan Desa Malancan, sebelah barat dengan Desa Simatalu, sedangkan sebelah timur adalah lautan bebas. Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma sejak tahun 2009 telah menjadi wilayah

(27)

kecamatan baru dan saat ini Desa Saibi Samukop telah menjadi pusat kecamatan. Meskipun sebagai pusat kecamatan berbagai sarana dan prasaranan kota kecamatan masih sangat minim.

Gambar 2.1.

Peta Lokasi COREMAP II Desa Saliguma & Saibi Samukop Kecamatan Siberut Selatan

Sumber : DKP Kab. Kep. Mentawai

Desa Saliguma memiliki luas wilayah 96,55 km2. Pada mulanya Desa Saliguma merupakan gabungan 4 dusun, yaitu Sarabua, Limo, Guluk dan Malabagbag. Saat ini Desa Saliguma saat ini terdiri dari 6 dusun, yaitu Matamiang, Sukaibukat, Malabagbag, Guluk, Gatab dan Limo. Desa ini dapat ditempuh perjalanan laut selama kurang lebih 1 jam dengan menggunakan perahu motor dari kota Muara Siberut. Jarak antara Desa Saliguma- Kota Muara Siberut adalah sekitar 35 km.

Letak Desa Saliguma daratan tidak persis di pinggir pantai Pulau Siberut melainkan berada masuk di Teluk Sabarua. Wilayah pantainya masih penuh ditumbuhi tanaman hutan

(28)

bakau yang kondisinya masih cukup bagus. Teluk Sabarua merupakan pintu masuk menuju pemukiman penduduk Desa Saliguma yang ditandai dengan keberadaan Pulau Bulau Bugey atau Pulau Pasir Putih.

Desa Saliguma dan Saibi Samukop memiliki iklim tropis, yaitu suhu dingin dan panas yang sedang (sumber data dari PMDH Koperasi Unand Madani Subelen). Dua desa tersebut resmi terpilih sebagai sasaran lokasi COREMAP II di Kabupaten Kepulauan Mentawai pada tahun 2005. Pemilihan lokasi tersebut mendasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai No:52 tanggal 14 Mei 2005.

2.2. POTENSI SUMBER DAYA ALAM DAN PENGELOLAANNYA

2.2.1. Keadaan Sumber Daya Alam

Sumber Daya Laut

Sumber daya laut di Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 78.018,43 km2 dan panjang garis pantai 1.402,7 km, Potensi sumber daya laut masih besar, namun penduduk di dua desa ini belum mampu memanfaatkan secara optimal. Hal ini tercermin dari fakta bahwa selama ini belum banyak keluhan nelayan lokal terhadap keadaan sumber daya ikan. Para nelayan lokal tidak pernah risau atau merasa khawatir bahwa hasil tangkapan makin menurun akibat kehadiran nelayan luar. Dengan peralatan yang masih sederhana penduduk di dua desa ini menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau hanya dijual ke tetangga di dalam desa sendiri. Tidak ada keluhan terhadap kondisi sumber daya kelautan tersebut juga karena kondisi hutan bakau yang masih baik. Hutan bakau merupakan kawasan ekosistem yang berfungsi mempertahankan kelangsungan hidup dari sejumlah biota laut. Sejumlah jenis ikan karang, seperti : kuret (ikan teger lumpur), garapu minyak, jining

(29)

Gambar 2.2 : Rawa & Hutan Bakau

atau ikan ikan jenihin, bailegget (ikan janang merah dan berbintik kuning, malaimiang atau ikan saway, somay, bulu kalalaipet atau ikan kwaci) masih dapat ditangkap di perairan sekitar Desa Saliguma. Selain jenis ikan karang, terdapat juga ikan hias dengan berbagai jenis.

Ikan karang merupakan jenis ikan yang telah memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama sejak adanya penampung ikan karang yang menaruh kerambanya di perairan teluk di dua desa tersebut (Pulau Buggey). Selain jenis - jenis ikan, potensi sumber daya laut lain adalah kepiting yang mereka tangkap dengan tangguk dan udang jenis lopster. Lokasi penangkapan ikan yang dilakukan di Saliguma adalah di sekitar daerah Teluk Sarabua, dan daerah sekitar Pulau Buggey. Namun demikian, adakalanya juga mereka menangkap ikan di luar Teluk Sarabua, yaitu daerah tengah laut, dengan jarak ± 5 km dari Teluk Sarabua, dengan menggunakan kapal bagan.

Sumber Daya Darat

Secara topografis wilayah Pulau Siberut terdiri dari dataran rendah dan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 0 - 275 meter di atas permukaan laut. Lahan wilayah Pulau Siberut termasuk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma yang paling dekat dengan laut adalah lahan rawa pasang-surut. Lahan ini ditumbuhi berbagai tanaman rawa, seperti tanaman sagu dan tanaman bakau. Hutan bakau, jenis flora yang paling banyak dijumpai di daerah penelitian.

(30)

Gambar 2.3 : Kebun Kelapa Rakyat

Rawa-pasang surut adalah lingkungan alam yang menghubungkan laut dengan permukiman penduduk. Di wilayah Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma masih memiliki hutan bakau yang cukup baik. Kondisi hutan bakau yang masih baik tersebut merupakan indikator bahwa ekosistem wilayah pesisir masih lestari.

Rawa pasang surut sangat penting bagi kehidupan penduduk, yakni selain untuk lalu-lintas penduduk yang akan pergi ke kota kecamatan atau ke desa-desa sekitar, juga merupakan sumber kehidupan penduduk di desa-desa daerah penelitian. Ekosistem bakau menghasilkan sumber daya ikan dan biota air, seperti kepiting yang dapat dimanfaatkan penduduk. Tanaman sagu merupakan tanaman pangan yang tumbuh secara alami belum dibudidayakan. Sumber daya darat lainnya yang berasal dari hutan alam adalah rotan (manoa). Rotan adalah sumber daya hutan non kayu yang biasa dimanfaatkan/ dipanen penduduk dan merupakan salah satu sumber mata pencaharian. Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma tersebut memiliki wilayah yang berdekatan dengan Taman Nasional Siberut. Kondisi hutan di sekitar desa-desa tersebut masih alami, sehingga memungkinkan banyak jenis pohon hutan terdapat di sekitar desa penelitian.

Sumber daya daratan lainnya adalah sumber daya perkebunan. Sumber daya perkebunan sebagai salah satu bentuk penggunaan lahan untuk sumber kehidupan. Salah satu sumber daya perkebunan di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah kebun kelapa/ nyiur (cocos

(31)

Gambar 2.4 : Kebon Cokelat

nucifera). Kebun tanaman kelapa hampir dijumpai di semua daratan di daerah penelitian dan dimiliki hampir semua rumah tangga. Tanaman kelapa adalah tanaman komoditi bagi penduduk karena menghasilkan kopra. Kopra adalah salah satu hasil utama daerah penelitian. Hasil kelapa juga banyak dimanfaatkan penduduk untuk pengolahan minyak manis (minyak goreng). Dengan adanya pengolahan kelapa menjadi minyak goreng tersebut menyebabkan penduduk dua desa penelitian tidak tergantung pada pasokan minyak goreng dari luar.

Sumber daya darat lainnya yang dikembangkan penduduk desa penelitian adalah kebun cokelat. Kebun cokelat merupakan tanaman komoditi walaupun potensinya tidak sebesar komoditi kopra yang sudah lama diusahakan di daerah penelitian. Di beberapa rumah tangga banyak dijumpai tanaman cokelat yang masih muda, baru berbuah satu kali dan bahkan tanaman cokelat di beberapa rumah tangga yang lain ada yang belum berbuah sama sekali. Di Desa Saliguma dan Desa Saibi Samukop tanaman alam lainnya adalah nilam (pogosteman cablin). Tumbuhan yang daunnya berbau harum dimanfaatkan penduduk sebagai sumber penghasilan. Tanaman nilam merupakan sumber daya pertanian rakyat yang dapat memberikan penghasilan bagi penduduk. Panen tanaman nilam dapat dilakukan hingga mencapai 6 kali setiap tahun. Namun beberapa tahun terakhir tanaman nilam di desa-desa ini sedang terserang hama, sehingga sudah tidak menghasilkan lagi.

(32)

Gambar 2.5: Perladangan Penduduk

Di Saliguma terdapat kawasan hutan yang memiliki potensi yang masih besar. Hutan ini dahulu pernah diusahakan oleh perusahaan kayu, namun saat ini sudah tidak ada perusahaan kayu yang beroperasi di Saliguma. Selain kayu, hutan di wilayah Saliguma juga memiliki potensi manao (rotan). Di sepanjang garis pantai Teluk Sarabua + 3 km ditumbuhi oleh hutan bakau yang lebat dan kondisinya relatif masih baik. Di Desa Saibi Samukop tanaman kebun lain yang sudah dikembangkan dan merupakan sumber pendapatan rumah tangga yang cukup baik adalah tanaman pinang. Pengembangan tanaman pinang ini atas bantuan dan bimbingan dari Departemen Kehutanan. Pemanenan buah pinang tidak mengenal musim, apabila ada buah yang sudah tua dapat dipanen kapan saja. Buah pinang dapat dipanen dan dijual sebagai komoditi yang dapat digunakan untuk obat-obatan.

Subsektor pertanian tanaman pangan dengan membuka persawahan dan

perladangan juga merupakan potensi sumber

alam darat yang sedang dikembangkan di lokasi penelitian. Tanaman ubi, jagung, keladi adalah tanaman palawija yang dikembangkan penduduk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma. Namun umumnya hasil tanaman pangan tersebut hanya untuk konsumsi sendiri.

(33)

2.2.2. Wilayah Pengelolaan

Wilayah tangkap nelayan di Desa Saibi Samukop dan Saliguma hanya berada di sekitar perairan Teluk Sabarua. Wilayah pengelolaan selama ini belum sampai di perairan yang jauh dari pantai karena armada yang digunakan masih cukup kecil (umumnya menggunakan mesin dengan kapasitas 5 PK) dan alat tangkap sebagian besar masih berupa pancing dan jaring tangguk. Selain itu, nelayan di dua desa tersebut belum mempunyai wilayah tangkap yang diakui sebagai hak ulayat laut. Dengan adanya wilayah perairan di sekitar desa yang dijadikan Daerah Perlindungan Laut (DPL), maka desa telah diperkenalkan konsep pemilikan wilayah tangkap yang sebelumnya tidak dikenal. Proses memperkenalkan pemilikan wilayah tangkap tidak sekedar mengintroduksi konsep kepemilikan sumber daya laut melainkan pula kelembagaan sosial atau pranata sosial yang melekat pada konsep kepemilikan.

2.2.3. Teknologi Penangkapan

Gambar 2.6: Alat tangkap kepiting

Gambar 2.7: Teknologi Budidaya Kepiting

(34)

Teknologi penangkapan SDL yang digunakan pada umumnya adalah jaring (jaring tangguk) dan pancing. Sementara keramba dan bubu sangat jarang. Dua jenis alat tangkap ini adalah teknologi pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Sebagai contoh adalah jaring kepiting, alat tangkap ini berkembang karena di daerah ini terdapat ekosistem hutan bakau pasang surut. Salah satu sumber daya yang terdapat di lingkungan seperti ini adalah kepiting. Belakangan ini terutama sejak adanya program COREMAP di desa ini, diperkenalkan teknologi budidaya kepiting bakau. Pengembangan teknologi ini bisa dimengerti karena di lokasi ini banyak dijumpai kepiting. Introduksi teknologi budi daya kepiting ini pernah dilakukan, namun kegiatan budi daya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat banyak yang gagal. Menurut informasi dari berbagai sumber termasuk para anggota kelompok disebabkan kurangnya pendampingan yang serius dan dilakukan oleh ahlinya.

Jaring adalah jenis teknologi penangkapan yang sebatas untuk menangkap berbagai jenis ikan (utamanya ikan tamban) yang berada di pinggiran sungai, muara sungai atau pantai. Jadi jenis jaring yang berkembang adalah jenis jaring gill-net (jaring tangguk). Penduduk belum bisa mengembangkan jaring seperti purse seine yang dioperasikan di tengah laut, seperti yang dilakukan nelayan dari Sibolga atau Padang. Sedangkan pancing juga termasuk jenis alat tangkap yang dikategorikan sederhana karena untuk mengoperasikannya cukup menggunakan perahu sampan-perahu tanpa motor. Jenis pancing seperti ini dikenal pancing jenis pull-line.

Teknologi alat tangkap yang sederhana untuk pemanfaatan sumberdaya laut yang berupa aktivitas penangkapan ikan di daerah ini tidak hanya menjadi monopoli kaum lelaki, melainkan pula kaum perempuan. Kaum perempuan menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap

(35)

Gambar 2.8 : Bagan

pancing dan jaring tangguk yang berukuran besar untuk menangkap ikan di sekitar pantai. Gambaran ini lebih nyata dilakukan oleh kaum perempuan di Desa Saibi Samukop dari pada di Desa Saliguma. Kaum perempuan biasanya menangkap ikan dua kali sehari, yaitu pagi hari jam 5.00 sampai jam 8.00 dan sore antara jam 15.00 sampai jam 17.00.

Bagan adalah termasuk teknologi pemanfaatan sumber daya laut yang telah dikembangkan di daerah ini. Bagan dikembangkan di daerah ini terkait dengan besarnya potensi jenis-jenis ikan karang yang merupakan komoditi ekspor di bidang perikanan laut. Sayangnya nelayan yang menggunakan/ memiliki bagan sangat sedikit. Bagan hanya dilakukan oleh para pedagang-penampung ikan karang. Namun demikian bagan jenis ini dioperasikan bukan untuk budi daya pembesaran ikan melainkan sebagai tempat penampungan sementara sebelum diangkut atau dibawa oleh kapal-kapal perikanan besar yang singgah di Seberut Selatan. Jenis teknologi budi daya bagan keramba ini merupakan salah satu teknologi budi daya yang diperkenalkan kepada penduduk di desa ini pada kegiatan program COREMAP. Namun saat ini program tersebut belum berhasil.

2.2.4. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut Secara umum ada dua faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di dua desa penelitian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah penyebab terjadinya kerusakan yang berasal dari masyarakat itu sendiri,

(36)

dan faktor eksternal adalah kerusakan yang penyebabnya berasal dari luar masyarakat.

Faktor internal yang berpengaruh terhadap rusaknya terumbu karang di wilayah ini adalah terkait dengan praktik penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, terutama potasium, untuk menangkap kerapu. Penggunaan potasium untuk menangkap kerapu itu dianggap lebih efektif, karena umumnya kerapu bersembunyi di dalam goa yang tidak dapat ditangkap dengan pancing. Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh potasium tergolong tinggi, karena bahan potasium dapat menyebar terbawa arus air. Kerusakan yang terjadi akibat potasium adalah terumbu karang memutih di ujungnya, dan semakin lama akan mati. Beberapa orang setempat diduga sering menggunakan potasium untuk menangkap ikan sebetulnya sudah diketahui identitasnya, namun sulit ditangkap, karena tidak adanya bukti secara langsung.

Penggunaan potasium untuk menangkap ikan itu dimulai sekitar tahun 2003, seiring dengan beroperasinya perusahaan “PT. Hiu Raksa”, yang menampung penjualan ikan hidup (kerapu) dari nelayan. Untuk meningkatkan jumlah ikan kerapu tangkapan nelayan, sehingga jumlah ikan yang diperoleh perusahaan juga semakin banyak, maka perusahaan itu mengajarkan kepada para nelayan cara menangkap kerapu dengan menggunakan potasium. Sejak saat itu hampir semua nelayan menggunakan potasium untuk menangkap kerapu.

Perilaku penangkapan kerapu secara masal menggunakan potasium itu tidak berlangsung lama, karena hal itu berakibat pada menurunnya populasi kerapu secara drastis. Akibatnya saat ini nelayan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan ikan kerapu. Dengan menurunnya populasi kerapu, maka PT. Hiu Raksa juga tidak beroperasi di kawasan itu, karena produksinya tidak banyak lagi. Pada saat ini memang masih ada

(37)

beberapa penampung ikan hidup, namun jumlah produksinya tidak banyak.

Untuk meminimalkan penangkapan ikan menggunakan potasium, pihak Tripika (Tiga Pimpinan Kecamatan) Kecamatan Siberut Selatan (Pemerintah Kecamatan, Koramil dan Polsek) pada tahun 2003 itu telah berhasil mengumpulkan para nelayan yang berada di wilayahnya. Hasil dari pertemuan itu diperoleh kesepakatan bahwa menangkap ikan menggunakan potasium tidak diperbolehkan. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan diberikan sanksi denda sebesar Rp 500.000,-. Ketentuan lainnya adalah pelarangan penggunaan peralatan kompresor. Larangan penggunaan kompresor ini karena alat ini disalahgunakan sebagai alat bantu dalam penyelaman menangkap ikan dengan menggunakan potasium. Jadi dengan demikian, penggunaan kompresor dianggap sebagai indikasi penangkapan menggunakan potasium.

Penggunaan potasium untuk menangkap ikan bisa diberlakukan dengan ketat, namun larangan penggunaan kompresor dalam kenyataannya tidak bisa diberlakukan seperti itu. Hal itu karena kompresor juga merupakan alat bantu untuk menangkap teripang, yaitu digunakan sebagai alat bantu menyelam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa nelayan yang menggunakan kompresor, namun mereka bisa berkelit dengan menyatakan bahwa alat tersebut digunakan untuk menangkap teripang.

Pada saat ini penggunaan potasium untuk menangkap ikan sudah jarang terjadi. Mereka yang menggunakan, umumnya melakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal itu karena mereka takut atas ancaman sanksi yang diberlakukan, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2003. Pada saat itu ada sembilan unit perahu nelayan dari desa lain yang beroperasi di kawasan perairan dekat Desa Saliguma. Mereka kemudian ditangkap dan didenda sebesar Rp 1.250.000,- per unitnya. Sebelum denda itu

(38)

dibayarkan, perahu dan kompresor yang digunakan ditahan, sampai mereka melunasi pembayarannya. Menurut informasi dari beberapa informan, penahanan perahu dan kompresor saat itu mencapai 12 hari, karena pada hari ke 13 denda itu dibayarkan. Sejak saat itu penggunaan potasium di kawasan ini menurun secara drastis.

Selain penggunaan potasium untuk menangkap ikan, faktor lain yang menjadi penyebab rusaknya terumbu karang di wilayah ini adalah pengambilan karang oleh penduduk untuk bahan bangunan, terutama untuk pondasi rumah. Akan tetapi, penggunaan terumbu karang untuk pondasi saat ini pengaruhnya tidak banyak bagi kelestarian terumbu karang, karena jumlah warga yang membangun rumah permanen masih belum banyak. Meskipun demikian hal itu tetap perlu diwaspadai, karena dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa ada kebanggaan tersendiri bagi masyarakat untuk bisa memiliki rumah dengan dinding tembok. Untuk membuat dinding tembok dan pondasinya penduduk menggunakan batu karang. Jika tingkat kesejahteraan penduduk meningkat, dikhawatirkan mereka akan beramai-ramai membangun rumah permanen, yang berakibat pada penggunaan batu karang secara besar-besaran.

Menurut penduduk, batu karang yang diambil adalah terumbu karang yang mati. Akan tetapi, hal itu sulit dipercaya, sehingga diperkirakan karang hidup pun banyak yang diambil untuk bahan bangunan. Kasus yang dikemukakan oleh seorang informan paling tidak memperkuat dugaan itu. Menurutnya, penggunaan karang mati hanyalah sebagai kamuflase untuk membohongi orang lain. Pada saat pengambilan karang mereka tidak memilih karang yang sudah mati, melainkan semua karang yang mudah diambil. Dengan demikian banyak karang yang sebetulnya masih hidup yang juga ikut diambil. Bahkan menurut sumber itu, persentase antara karang hidup dan karang mati yang diambil lebih besar dari karang hidup. Karang mati hanyalah

(39)

sebagian kecil, karena jika hanya memilih karang yang mati, selain membutuhkan waktu yang lebih lama juga memilihnya tidak mudah. Penduduk sebetulnya bukan tidak mengetahui fungsi terumbu karang, terutama untuk perlindungan ikan. Akan tetapi, penggunaan karang untuk bahan bangunan tetap saja dilakukan, karena potensi bahan pengganti tidak tersedia di sekitar desa mereka.

Selain faktor internal, faktor eksternal juga ikut berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan perairan laut Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, yaitu penggunaan trawl dan bom untuk menangkap ikan. Hasil wawancara mendalam dengan para informan mengungkapkan bahwa pengguna bom untuk menangkap ikan di kawasan ini umumnya banyak berasal dari luar daerah, terutama dari Sibolga. Hal itu berbeda dengan penangkapan menggunakan potasium, karena penggunaan trawl dan bom itu sama sekali tidak melibatkan nelayan lokal.

Penduduk sangat memusuhi pengoperasian trawl dan penggunaan bom di kawasan perairan mereka, karena pengoperasian trawl dan bom telah mengakibatkan hancurnya terumbu karang di wilayah ini. Selain itu, walaupun tanpa menggunakan trawl ataupun bom, pengoperasian kapal Sibolga di wilayah mereka juga dianggap merugikan masyarakat, karena perahu Sibolga itu umumnya dilengkapi dengan lampu-lampu yang sangat terang untuk daya tarik ikan. Keberadaan lampu-lampu itulah yang dianggap merugikan nelayan lokal, karena dianggap menyedot ikan sehingga para nelayan sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan.

Akibat pengoperasian kapal Sibolga yang menggunakan banyak lampu tersebut, mengakibatkan terjadinya konflik dengan nelayan lokal tidak bisa dihindari. Kasus yang pernah terjadi adalah pengejaran yang dilakukan oleh sekitar 30 nelayan dari Desa Saibi Saibi Samukop terhadap kapal Sibolga, karena

(40)

melakukan pengeboman di sekitar desa mereka. Akan tetapi, pengejaran itu tidak berhasil menangkapnya, karena sesudah dekat warga mereka diancam akan ditembak. Kasus yang terjadi pada tahun 2003 itu menurut penduduk memiliki dampak yang positif, karena sejak saat itu kapal Sibolga tidak ada lagi yang berani merapat ke perairan pantai.

Tuntutan pasar juga merupakan faktor eksternal yang secara tidak langsung ikut berpengaruh terhadap perusakan terumbu karang di kawasan ini. Adanya perusahaan penampung ikan hidup sebagai tempat penjualan hasil tangkapan ikan kerapu dari para nelayan, lebih-lebih jika perusahaan itu mengajarkan cara menangkap kerapu yang lebih efisien dengan menggunakan potasium, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh PT. Hiu Raksa tersebut, jelas sangat berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan perairan Desa Saibi Saibi Samukop dan Desa Saliguma ini.

Pada saat ini PT. Hiu Raksa sudah tidak ada di kawasan ini. Akan tetapi, di kawasan ini masih ada beberapa pedagang yang menampung ikan hidup, yang kemudian dibeli oleh kapal ikan dari Hongkong. Akan tetapi, hal itu tidak banyak berpengaruh bagi perusakan terumbu karang di kawasan ini, karena masyarakat sudah tidak berani lagi menangkap ikan kerapu dengan menggunakan potasium, kecuali secara sembunyi-sembunyi. Itupun saat ini sudah jarang penduduk yang mengkhususkan diri menangkap kerapu, karena populasinya tidak banyak. Jadi umumnya saat ini kerapu yang tertangkap adalah hanya terjadi secara kebetulan, bersama dengan penangkapan jenis ikan yang lain.

(41)

2.2.5 . Sarana dan prasarana sosial-ekonomi

Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan di lokasi penelitian saat ini masih terbatas pada tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pertama. Di Desa Saibi Samukop pada tahun 2009 terdapat 4 unit SD, tersebar di 4 dusun. Rata-rata satu kelas 40 orang murid, rata-rata satu sekolah ada 6 ruang kelas dan 6 orang guru. Sementara di Saliguma hanya memiliki tiga unit SD. Rata-rata satu kelas sekitar 30 orang murid dan jumlah guru per kelas kurang dari 6 orang. Di lokasi penelitian bangunan SD umumnya milik pemerintah. Sementara sekolah TK (Taman Kanak-kanak) dikembangkan oleh yayasan swasta di Desa Saibi Samukop ada 3 unit TK, dengan murid sebanyak 75 orang dan 3 orang guru. Di Desa Saliguma ada 2 unit TK, jumlah murid sekitar 50 orang dengan 2 orang guru. Sejak tahun 2008 di Desa Saibi Saliguma sudah ada SMP Negeri, dengan demikian bagi lulusan SD bisa melanjutkan SMP di desanya sendiri, tidak harus ke kota Muara Siberut lagi dan harus kos di kota tersebut. Pada tahun 2009 jumlah murid SMP di desa tersebut telah mencapai sekitar 120 orang murid, dan memiliki 8 orang guru. Sedangkan di Desa Saliguma sampai sekarang belum memiliki sekolah setingkat SLTP. Lulusan SD Desa Saliguma jika ingin melanjutkan ke sekolah lanjutan, SLTP dan SLTA harus di kota Muara Siberut, yang tidak mungkin ditempuh ulang — alik setiap hari melalui transportasi laut. Oleh sebab itu, dengan kondisi seperti itu tidak semua lulusan SD dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, karena memerlukan biaya tambahan, yakni biaya makan dan indekos. Pada umumnya mereka yang dapat melanjutkan ke SLTP atau SLTA penduduk yang mampu atau sekurang-kurangnya mereka yang memiliki famili di Muara Siberut. Ada juga fasilitas indekos yang lebih murah, yakni asrama milik Yayasan Katolik di Muara Siberut, namun tidak

(42)

semua siswa memiliki kesempatan untuk mendapat fasilitas ini karena keterbatasan kamar.

Kesehatan

Fasilitas kesehatan sampai tahun 2009 yang terdapat di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah Puskesmas. Tenaga medis masing-masing Puskesmas hanya ada seorang bidan. Di Desa Saibi Samukop juga telah dibangun lagi 2 Puskesmas Pembantu, namun belum memiliki tenaga medis. Di samping itu, juga telah ada Balai Pengobatan Yayasan Lemarsepur — bantuan dari Negeri Belanda, dengan tenaga medis seorang perawat. Di Desa Saliguma, di samping memiliki Puskesmas juga telah dibangun satu Balai Pengobatan Masyarakat dan satu Puskesmas pembantu. Namun keduanya belum memiliki tenaga medis. Walaupun Puskesmas tersebut di atas belum memiliki tenaga dokter dan hanya menyediakan tenaga bidan. Mereka telah disediakan rumah dinas. Pelayanan Puskesmas dilakukan setiap saat, sebab tenaga bidan rumah tinggalnya berdekatan dengan Puskesmas tempat praktek. Tenaga dokter hanya berada di Muara Siberut, ibukota kecamatan. Sebenarnya sarana kesehatan yang disediakan pemerintah tersebut hanya merupakan salah satu pilihan untuk berobat.

Di samping itu, ada pilihan lain, yakni pengobatan tradisional. Di setiap desa ada sekitar 20 orang tenaga kesehatan tradisional yang dipercaya mampu mengobati penyakit. Namun demikian, agak sulit mengetahui kapan warga desa berobat ke Puskesmas dan berobat ke tenaga kesehatan tradisional, atau sering disebut sikere/ dukun kampung. Wawancara mendalam dengan informan diperoleh informasi bahwa penduduk yang berobat ke sikere biasanya orang yang menderita sakit tidak sembuh-sembuh karena dipercaya kemasukan roh jahat atau dibikin orang. Penyakit yang sering diderita masyarakat adalah

(43)

Gambar 2.9 : Dermaga Kapal Penumpang

diare dan ispa, penyakit ini disebabkan kondisi lingkungan — kekurangan air bersih dan kurang menjaga kebersihan makanan. Penyakit para nelayan umumnya adalah gastritis — penyakit perut yang disebabkan oleh sering terlambat makan; rematik — sering menyelam di laut dalam untuk mencari tripang; asma — bergadang di laut; luka harus dioperasi - terkena mata pancing. Fasilitas yang dikeluhkan oleh tenaga medis di Pustu tersebut adalah belum tersedianya oksigin dan inkubator.

Sosial - ekonomi

Prasarana sosial-ekonomi yang dimaksud di sini adalah infrastruktur yang digunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan aktivitas

sosial-ekonomi, seperti pasar, dermaga, kedai/ warung dll. Sedangkan, pengertian sarana sosial - ekonomi adalah perlengkapan yang

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi. Berdasarkan dari pengertian tersebut, maka prasarana sosial ekonomi di daerah penelitian dapat dikatakan sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat di dua desa lokasi penelitian, tidak ada dermaga (permanen) desa yang dibangun pemerintah untuk mobilitas sosial-ekonomi perdesaan. Dermaga yang ada hanya dermaga non-permanen yang tersebar di masing-masing permukiman penduduk. Dermaga perahu di desa pada dasarnya dibangun dari swadaya masyarakat. Masing-masing masyarakat cenderung membangun dermaga - tempat bersandar perahu sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan kedekatan

(44)

Gambar 2.10: Sarana Transpor dengan tempat tinggal dan kondisi pasang-surut air laut. Namun baik di Desa Saibi Samukop dan Desa Saiguma telah dibuatkan dermaga baru dari kayu yang dibangun melalui dana program COREMAP pada tahun 2007. Bangunan tersebut kondisinya sampai saat ini masih cukup bagus dan masih digunakan oleh penduduk, terutama di Desa Saibi Samukop. Sementara dermaga di Desa Saliguma dibangun diujung perkampungan penduduk, sehingga jarang digunakan. Dermaga tersebut hanya digunakan apabila air laut surut, sebab dermaga yang dibangun program COREMAP di pantai yang agak dalam. Sehingga ketika air laut surut masih tetap dapat digunakan untuk berlabuh perahu nelayan.

Prasarana sosial-ekonomi terpusat di kota Muara Siberut. Di Muara Siberut terdapat pasar tingkat kecamatan yang cukup ramai terutama pada hari pasar, yaitu tiap hari selasa. Prasarana sosial-ekonomi lainnya adalah pelabuhan yang digunakan tempat perahu yang

bersandar dari berbagai desa dan tempat bersandar kapal penumpang yang datang dari Padang dan Tua Pejat. Prasarana dermaga ini juga tempat berlabuh kapal-kapal yang mengangkut hasil bumi yang dibawa ke kota Padang. Di semua desa-lokasi penelitian belum terdapat pasar desa. Prasarana ekonomi yang ada hanya berupa kedai-kedai/ warung. Kedai tersebut melayani kebutuhan pokok penduduk, seperti sembako (sembilan bahan pokok dan kebutuhan rumah tangga lainnya, termasuk menyediakan BBM).

(45)

Gambar 2.11: Sarana mobilitas antar

rumah/kampung

Sarana transportasi dari Desa Saibi Samukop ke kota Muara Siberut (pasar kecamatan) reguler berupa perahu motor dengan mesin 15 PK tiap hari selasa. Ongkos transpor adalah sebesar Rp 60.000,-/PP per orang dan waktu yang ditempuh 4 jam PP. Di Desa Saliguma, sarana transportasi yang digunakan ke kota Muara Siberut adalah jenis perahu motor dengan kemampuannya 15 PK tiap hari selasa. Karena jaraknya lebih pendek ongkos hanya Rp 40.000,-PP/ orang dengan waktu tempuh hanya satu jam atau 2 jam PP.

Sarana sosial-ekonomi yang paling banyak digunakan penduduk adalah jenis perahu motor berukuran besar - jenis perahu yang dapat menampung sekitar 6-7 orang. Jenis perahu motor ini sebagai sarana angkutan mobilitas penduduk desa ke desa lain atau ke Muara Siberut. Jenis perahu motor ini belum dimiliki oleh setiap penduduk. Jenis perahu ini biasanya hanya dimiliki penduduk yang mengusahakan warung kebutuhan bahan pokok di desa. Jadi perahu motor tersebut selain untuk mengangkut barang dagangan, juga sebagai sarana transportasi penduduk.

Sarana sosial-ekonomi lainnya adalah jenis perahu sampan yang digunakan untuk memancing ikan di sungai, muara sungai atau tepi pantai. Perahu sampan ini dimiliki hampir setiap rumah tangga penduduk di desa penelitian. Perahu sampan pada umumnya digunakan untuk mobilitas jarak pendek dari rumah ke rumah atau pergi ke kebun. Perahu sampan juga digunakan para nelayan perempuan untuk mencari ikan di dekat pantai atau dekat hutan bakau. Pada umumnya para nelayan perempuan

(46)

Gambar.2.12 : Kelembagaan Pokmas

tersebut menangkap ikan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk rumah tangga sendiri.

Kelembagaan sosial-ekonomi

Selain kelembagaan sosial-kemasyarakatan yang berkembang di lokasi penelitian, seperti kelompok

Ibu-ibu PKK, kelompok Pemuda Karang Taruna, kelompok Pemuda Protestan, dan kelompok Muda-mudi Katolik (Mudika), terdapat pula kelompok

yang merupakan himpunan warga berdasarkan kegiatan mata pencaharian (Daliyo dkk, 2007). Dibandingkan dengan kelembagaan sosial —kemasyarakatan, kelembagaan sosial— ekonomi berkembang berhubungan dengan program pemberdayaan di desa ini, seperti program COREMAP. Dari program ini telah disiapkan pembentukan kelembagaan pengelolaan terumbu karang. Berbentuk beberapa kelompok masyarakat akan terlibat langsung dalam kegiatan COREMAP di Desa Saliguma. Kelompok-kelompok tersebut, misalnya Kelompok Nelayan Pancing Sikebbukat, Kelompok Nelayan Pancing Simatoiming, Kelompok Nelayan Pancing Suka Maju dan Kelompok Tani Cokelat.

(47)

2.3. KONDISI KEPENDUDUKAN

2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk

Jumlah penduduk

Penduduk Desa Saibi Samukop pada tahun 2006 telah mencapai sebanyak 2.836 orang dan pada 2009 telah meningkat menjadi 3.215 orang. Pada tahun 2006, mereka terdiri dari 1.453 orang laki-laki dan 1.383 orang perempuan dan pada tahun 2009 terdiri dari 1.647 orang laki-laki dan 1.568 orang perempuan. Dengan rasio jenis kelamin adalah 105, yang berarti tiap 100 orang perempuan ada sebanyak 105 orang laki-laki. Rasio tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Dalam penelitian lapangan memang tidak terungkap mengapa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dan fakta tersebut agak menyimpang dari data secara nasional atau yang terjadi di daerah-daerah lainnya yang biasanya jumlah penduduk perempuan lebih besar dari pada laki-laki. Penjelasan dari fakta tersebut kemungkinan lebih banyak penduduk perempuan daerah tersebut yang pindah ke luar. Alasan utamanya adalah karena mereka menikah dengan orang luar desa dan mereka terpaksa harus mengikuti suaminya tinggal di luar desa. Adanya anak-anak muda perempuan yang belajar ke lain daerah (perkotaan) dan setelah selesai belajar tidak kembali ke desa asalnya. Kemungkinan lain adalah adanya migrasi masuk penduduk laki-laki. Alasan yang terakhir tersebut nampaknya kecil kemungkinannya sebab dari hasil wawancara dan observasi jumlah pendatang ke desa ini relatif kecil. Jumlah rumah tangga di Desa Saibi Saliguma tahun 2006 ada sebanyak 590. Dengan demikian rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga adalah 4,8 atau sekitar 5 orang. Rata-rata jumlah anak per rumah tangga dapat diperkirakan sekitar 3 orang anak. Jumlah penduduk dan rumah tangga tersebut tersebar di 8 dusun, yaitu Dusun Saibi

(48)

Muara, Simasonggunei, Pangasaat, Samoilalak, Saibi Hulu, Sibudda’qinan, Totoet, dan Dusun Sua. Sedangkan kepadatan penduduk secara umum hanya 3 orang/ km2. Tingkat kepadatan penduduk yang masih jarang, sebab masih banyak areal hutan dan perladangan yang cukup luas yang menyebabkan kepadatannya penduduik masih rendah.

Jumlah penduduk di Desa Saliguma jauh lebih sedikit dibandingkan di Desa Saibi Samukop, yaitu tahun 2006 hanya 1.821 orang dan tahun 2009 menjadi 2.278 orang . Pada tahun 2006, mereka terdiri dari 930 orang penduduk laki-laki dan 891 orang penduduk perempuan. Sementara tahun 2009, mereka terdiri dari 1.180 orang laki-laki dan 1.098 orang perempuan Rasio jenis kelamin adalah 104, berarti setiap 100 orang penduduk perempuan ada sekitar 104 orang penduduk laki-laki. Sama seperti di Desa Saibi Samukop penduduk laki-laki lebih banyak dari pada penduduk perempuan. Penjelasannya kemungkinan tidak berbeda dengan di Desa Saibi Samukop. Jumlah rumah tangga di Desa Saliguma adalah sebanyak 403. Ini berarti rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,5. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Desa Saliguma sedikit lebih rendah dari pada Desa Saibi Samukop. Kemungkinan tingkat fertilitas di Desa Saliguma lebih rendah dari pada di Desa Saibi Samukop. Jumlah penduduk dan rumah tangga tersebut tersebar di 4 dusun, yaitu Dusun Simatoimiang, Sikebbukat Uma, Malibagbag, dan Limu.

Komposisi penduduk menurut umur

Subbagian ini membahas tentang komposisi penduduk menurut umur, yaitu komposisi penduduk menurut kelompok umur untuk seluruh penduduk sampel tahun 2007(Tabel 2.3.1) dan komposisi penduduk menurut umur untuk responden (kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga dewasa yang dapat

(49)

mewakili) (Tabel 2.3.2). Sementara data penduduk menurut komposisi umur untuk tahun 2009 belum tersedia.

Tabel 2.3.1. menunjukkan bahwa secara umum komposisi penduduk di daerah kajian masih termasuk struktur penduduk muda. Proporsi kelompok penduduk usia muda di bawah 15 tahun masih mencapai di atas 40 persen. Di Desa Saliguma kelompok penduduk muda tersebut bahkan masih berada di atas 50 persen. Sedangkan di Desa Saibi Samukop proporsi kelompok penduduk usia muda tersebut berada di bawahnya, namun masih berada pada angka 43,2 persen. Hal ini mencerminkan bahwa tingkat fertilitas penduduk di desa-desa ini selama 15 tahun terakhir masih cukup tinggi. Di lain pihak proporsi kelompok penduduk usia dewasa atau usia produktif secara umum masih rendah, hanya 52,6 persen. Tingkat rasio beban ketergantungan (dependency ratio) di daerah kajian masih cukup tinggi, yakni sekitar 90 persen. Ini berarti bahwa tiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 90 orang penduduk usia belum produktif, di samping harus menanggung dirinya. Di Desa Saliguma proporsi penduduk usia dewasa/ usia produktif masih sangat rendah, yakni hanya sebesar 48,6 persen. Sehingga rasio ketergantungan penduduk mencapai 106, yang berarti tiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 106 orang penduduk usia belum produktif dan dirinya sendiri. Di Desa Saibi Samukop proporsi penduduk usia produktif adalah 56,8 persen. Tingkat rasio ketergantungan penduduk lebih rendah dari Desa Saliguma, namun masih dalam klasifikasi tinggi, yaitu 76.

(50)

Tabel 2.3.1.

Komposisi Penduduk Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan Saliguma,Kecamatan Siberut Selatan,

Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) No Kelompok Umur Desa Saibi Samukop Desa Saliguma Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 10. 11. 0 - 4 5 — 9 10 — 14 15 — 19 20 — 24 25 — 29 30 — 34 35 — 39 40 — 44 45 — 49 50 + 18,5 15,5 9,2 10,9 6,9 11,2 8,5 9,3 6,1 3,1 0,8 12,0 23,3 16,1 5,2 8,1 8,8 8,4 9,3 4,4 2,4 2,0 15,3 19,4 12,7 8,0 7,5 10,0 8,4 9,3 5,2 2,8 1,4 Jumlah (N) 100,0 (259) 100,0 (249) 100,0 (508)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

Komposisi menurut umur bagi responden semuanya adalah penduduk usia dewasa/ produktif, yaitu umur 20 tahun ke atas. Sekitar 75 persen di antara mereka adalah kelompok penduduk usia 30 — 50 tahun. Kelompok penduduk ini termasuk kelompok penduduk usia produktif penuh. Di Desa Saibi Samukop kelompok penduduk usia 30 — 50 tahun tersebut adalah 86 persen dan Desa Saliguma hanya mencapai 64 persen.

(51)

Tabel 2.3.2

Komposisi Responden Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan Saliguma,Kecamatan Siberut Selatan,

Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) No Kelompok Umur Desa Saibi Samukop Desa Saliguma Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 20 — 24 25 — 29 30 — 34 35 — 39 40 — 44 45 — 49 50 + 2,0 8,0 24,0 28,0 22,0 12,0 4,0 8,0 18,0 14,0 28,0 16,0 6,0 10,0 5,0 13,0 19,0 28,0 19,0 9,0 7,0 Jumlah (N) 100,0 (50) 100,0 (50) 100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Muara Siberut, 2007

2.3.2. Pendidikan dan Ketrampilan

Kualitas sumber daya manusia dapat direfleksikan dari tingkat pendidikan yang dicapai penduduk dan tingkat ketrampilan yang dimiliki penduduk. Peningkatan kualitas sumber daya manusia memudahkan penduduk dalam mengadopsi teknologi yang disosialisasikan atau diperkenalkan untuk peningkatan hasil tangkapan, budidaya, pendapatan dan pelestarian sumber daya laut. Tabel 2.3.3 menggambarkan tingkat pendidikan penduduk sampel (tahun 2007) yang berusia 10 tahun ke atas di Desa Saibi Somukap dan Desa Saliguma.

Tabel 2.3.3 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di daerah kajian hanya berpendidikan rendah. Secara umum sekitar 78 persen penduduk usia 10 tahun ke atas hanya berpendidikan SD ke bawah dan sekitar 49 persen tidak pernah tamat SD dan tidak pernah duduk di bangku sekolah. Hanya sekitar 22 persen penduduk yang mampu menamatkan SLTP ke atas. Dari dua desa

(52)

yang dikaji, pendidikan penduduk yang paling parah di Desa Saliguma, di mana 83,4 persen hanya berpendidikan tamat SD ke bawah dan yang terbanyak tidak pernah tamat SD dan tidak pernah sekolah. Sedangkan yang mencapai tamat SLTP ke atas hanya 16,6 persen. Di Desa Saibi Samukop mereka yang berpendidikan rendah tersebut adalah 72,5 persen dan yang berpendidikan tamat SLTP ke atas sebanyak 27,5 persen. Banyaknya penduduk yang berpendidikan rendah ini menghambat dalam peningkatan pendapatan, terutama yang berkaitan dengan mengetrapan teknologi yang baru dan inovasi-inovasi baru dalam pengembangan sumber daya laut, pemanfaatan dan pelestariannya.

Ketrampilan yang dimiliki penduduk di daerah kajian tidak terlepas dari kondisi lingkungan, sumber daya alam yang ada dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan. Kaitan dengan kegiatan kenelayanan, ketrampilan yang dimiliki penduduk daerah kajian adalah kemampuan menjalankan armada perahu untuk menangkap ikan. Namun sebagian besar penduduk adalah menjalankan perahu sampan dan hanya sebagian kecil yang memanfaatkan perahu motor. Hal ini berkaitan kemampuan permodalan/ ekonomi untuk membeli mesin perahu. Kemampuan lain yang terkait dengan kenelayanan adalah ada sebagian kecil penduduk yang mampu membuat armada perahu dari kayu untuk berbagai ukuran, yaitu dari sampan yang berukuran kecil 4 x 0,4 m sampai yang ukuran besar 9 x 1m. Ketrampilan membuat perahu ini umumnya dimiliki oleh para tukang kayu, yang jumlahnya sedikit di masing-masing desa, yakni masih di bawah 10 orang. Kaitan dengan kenelayanan lagi adalah ketrampilan dalam pengolahan ikan pasca panen, namun di dua desa penelitian pengolahan ikan pasca panen tersebut belum berkembang. Pada umumnya hasil tangkapan ikan yang biasanya tidak banyak langsung dijual ke pengumpul atau pembeli (rumah tangga) dalam bentuk ikan segar, tanpa melalui proses pengolahan. Ketrampilan dalam kaitannya dengan

(53)

kenelayanan tersebut umumnya diperoleh secara turun-menurun dari orang tua ke anak.

Tabel 2.3.3

Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan Ditamatkan di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Muara Siberut,

Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) No Kelompok Umur Desa Saibi Samukop Desa Saliguma Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) 1. 2. 3. 4. 5. Belum/tak sekolah Belum tak tamat SD

SD tamat SLTP tamat SLTA tamat ke atas

6,6 30,1 35,7 17,3 10,2 6,4 54,0 23,0 9,1 7,5 6,5 42,1 29,3 13,2 8,9 Jumlah (N) 100,0 (259) 100,0 (249) 100,0 (508)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Muara Siberut, 2007 Ketrampilan yang berkaitan dengan kegiatan bertani adalah menanam ubi-ubian, jagung, mengolah sagu, menanam cokelat, kelapa, cengkeh dsb. Ketrampilan tersebut juga diperoleh secara turun-menurun. Oleh karena itu, belum dilakukan cara penanaman dan pemeliharaan dengan teknologi baru yang lebih produktif. Karena dilola secara tradisional, maka jumlah hasil dan kualitas dari usaha pertanian masih cukup rendah. Kemudian ketrampilan untuk pengolahan lebih lanjut hasil pertanian dan perkebunan tersebut juga belum begitu nampak. Hanya untuk hasil pertanian tanaman pangan dari panen langsung dimasak dan dikonsumsi sendiri atau dijual mentah ketetangga terdekat.

Gambar

Tabel 3. 2.2 :   Persentase  Responden  Menurut  Pengetahuan, Keterlibatan dan Manfaat  Program COREMAP II di Desa
Gambar 2.3 :   Kebun Kelapa   Rakyat
Gambar  2.5:  Perladangan  Penduduk
Gambar 2.6: Alat tangkap  kepiting

Referensi

Dokumen terkait

dilarang untuk menjadi anggota Pembina karena peraturan perundang-undangan yang berlaku;- (3) Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan atau

Akta asli yang dibuat di kepaniteraan dikecualikan penyimpanan akta catatan sipil dan pemasukan atau pemindahan sesuatu akta tersebut begitu pula segala keterangan-keterangan

• Permasalahan lain di bidang penegakan Qanun jinayat di Aceh adalah terhambatnya pelaksanaan eksekusi putusan MS yg telah berkuatan hukum tetap. • Hal ini juga antara lain

Dengan adanya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 1614 Nomor 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Pengusahaan Pertambangan Batu

Salah satu BP3K yang terpilih sebagai Model CoE adalah BP3K Talang Padang (Zakaria, 2011). Penerapan Model CoE pada BP3K akan diukur apakah telah efektif atau tidak efektif.

Akibat hukum lahirnya UU Keuangan negara terhadap kepailitan BUMN adalah harta pailit yang harus dibayarkan kepada kreditor tidak hanya berasal dari harta kekayaan

halaman 13, mengenai Cakupan Kerja untuk Sektor Minyak dan Gas Bumi, informasi mengenai lifting pemerintah atas minyak dan gas bumi dan DMO minyak direvisi menjadi: Lifting

Berdasarkan uraian diatas, akan dilakukan perancangan dan simulasi reaktor tangki alir berpengaduk atau juga sering disebut CSTR pada kondisi non adiabatis untuk reaksi