• Tidak ada hasil yang ditemukan

COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA DI DESA SAIBI SAMUKOP DAN SALIGUMA

3.1.1. Tingkat Kabupaten

Komponen CBM

Seperti telah disinggung pada uraian yang terdahulu, COREMAP II merupakan program penyelamatan terumbu karang dengan menggunakan pendekatan kombinasi antara top-down dan bottom-up, atau dari atas ke bawah dan sebaliknya. Pendekatan yang bersifat top-down dapat diketahui dari keberadaan program yang direncanakan dan diimplementasikan oleh pemerintah pusat melalui National Project Implementation Unit (NPIU) di bawah koordinasi Departemen Kelautan dan Perikanan Pusat (DKP) atau sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pelaksana di daerah dilakukan oleh PIU di bawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di tingkat masyarakat/ desa pelaksana program

kegiatan COREMAP II dilakukan oleh LPSTK dengan melibatkan sejumlah pokmas yang tergabung dalam masing-masing kegiatan. Hubungan yang harmonis di antara lembaga — lembaga tersebut dibangun berdasarkan persepsi yang sama atas potensi yang ada dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Harapannya hubungan yang dibangun atas dasar persepsi yang sama antar lembaga mulai dari tingkat kabupaten sampai desa melahirkan program-program kegiatan yang disepakati oleh dua belah pihak.

Dalam realitasnya ketidaksetaraan kemampuan dan belum berhasilnya instansi pemerintah dalam hal ini DKP dalam mereposisi diri sebagai fasilitator masyarakat, telah melahirkan corak hubungan yang bersifat subordinatif antara PIU, LSM, LPSTK, dan Pokmas. Keberadaan LSM, LPSTK, dan Pokmas hanya diposisikan sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Pihak PIU menempatkan sebagai pihak yang membina, LPSTK dan Pokmas sebagai pihak yang dibina. Dalam pola hubungan yang demikian, maka tidak ada ruang belajar bersama. Pola hubungan subordinatif telah mengukuhkan bentuk pendekatan yang bersifat top-down. Program-program kegiatan yang bersifat “paket program” memang sudah ditentukan dari atas. Program-program tersebut ditawarkan oleh Fasilitator Lapangan (FL) kepada masyarakat. Kepada warga masyarakat yang tertarik dengan program yang ditawarkan petugas FL, diminta untuk segera membentuk wadah kelompok dan mengajukan usulan program yang diminati melalui petugas FL

Di Desa Saibi Samukop, tanpa sepengetahuan pengurus LPSTK, petugas FL membentuk pokmas dan menyusun proposal sesuai dengan format usulan yang sudah ditetapkan dari PIU. Setelah proposal dibuat dan ditandatangani oleh seluruh anggota Pokmas, barulah Ketua LPSTK menanda tangani proposal yang diajukan pokmas. LPSTK itu sendiri dibentuk belakangan setelah pokmas dan proposal selesai dibuat petugas FL. Belum sempat

jajaran pengurus LPSTK mempelajari isi proposal, proposal tersebut sudah diminta petugas FL untuk selanjutnya disampaikan kepada petugas verifikasi di tingkat kabupaten.

Demikian juga jajaran pengurus LPSTK pun tidak mengerti mengenai hal-hal menyangkut apa tugas dan fungsi yang harus dilakukannya. Mereka juga belum sempat mempelajari apa isi buku Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) yang dibuat orang lain, dan panduan tupoksi (tugas pokok aksi) yang semestinya merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki untuk dapat menjalankan tugas lembaga ini. Hingga tahun 2009 buku tersebut tidak berada di Pondok Informasi.

Di Desa Saliguma, program-program kegiatan dibawa oleh petugas FL ke LPSTK, selanjutnya program-program tersebut diumumkan kepada masyarakat. Warga masyarakat yang berminat diminta untuk segera membentuk wadah pokmas dan segera mengajukan permohonan kegiatan kepada LPSTK. Pokmas yang datang lebih dahulu bisa memilih program kegiatan yang memiliki dana yang lebih besar, dan yang datang belakangan tinggal sisa yang belum diambil. Dengan terpaksa pokmas yang datang belakangan terpaksa menerima program kegiatan yang masih tersisa, meskipun tidak diminati, dengan pertimbangan dari pada tidak mendapat bantuan sama sekali. Contoh : Pokmas itik di Desa Saliguma ini sesungguhnya yang diminati adalah usaha penyulingan minyak nilam, tetapi karena yang tersisa adalah untuk usaha ternak itik, terpaksa program tersebut diambil.

Di tingkat kabupaten, proposal-proposal tersebut secara formalitas diseleksi oleh tim verifikasi yang terdiri dari unsur PIU, LSM Kirekat, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan tim Coral Reef Information and Training Center (CRITIC) tingkat kabupaten. Dari seluruh proposal yang masuk, tidak satu pun proposal yang ditolak. Mekanisme penyusunan program kegiatan COREMAP II terasa jauh dari nuansa PSPBM, hampir semua

program kegiatan dirumuskan tanpa melalui proses dialog publik baik dari masyarakat setempat sebagai calon penerima program kegiatan maupun pihak luar yang memiliki keahlian menyangkut bidang kegiatan yang akan ditangani, sehingga mendapatkan pembahasan yang mendalam guna penyempurnaan dan ketepatan program kegiatan yang dirumuskan. Pertanyaan dari mana inisiatif PSPBM, memang tidaklah terlalu penting, sepanjang diterima dan dapat diimplementasikan oleh masyarakat. Kendatipun demikian, akan lebih baik kalau inisiatif pengelolaan berasal dari masyarakat, karena dengan cara demikian masyarakat akan merasa memiliki program PSPBM tersebut. Masyarakat juga akan merasa dihargai atas pengakuan terhadap kemampuannya, dan sikap demikian akan menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat.

Implikasi dari pendekatan yang bersifat top-down, banyak ditemukan program kegiatan yang tidak sesuai dengan kondisi setempat, aspirasi masyarakat, dan kebutuhan setempat. Contoh : program peternakan usaha ternak itik ternyata terhenti karena di Desa Saliguma tidak tersedia pakan berupa dedak dan bekatul, program penangkapan ikan ramah lingkungan dengan memberikan bantuan mesin robin tidak digunakan untuk mencari ikan tetapi dipakai sebagai sarana transportasi pergi ke kebun, budidaya kepiting bakau ternyata jenisnya lain yang bibitnya tidak dapat diketemukan di perairan setempat. Program pengolahan ikan asin di Desa Saibi Samukop tidak dapat berjalan karena hasil tangkapan nelayan setempat sangat terbatas, tidak ada sisa ikan yang dapat diolah. Program-program yang diinginkan masyarakat sesungguhnya adalah program-program pengembangan sektor pertanian, seperti pengembangan tanaman cokelat, kelapa, ternak sapi dan babi. Hampir semua program yang ada sebelumnya tidak dilakukan melalui studi kelayakan terlebih dahulu menyangkut kesesuaian ekologi, ekonomi, dan kesiapan SDM-nya.

Sebelumnya Departemen Kehutanan telah menerapkan program hutan kemasyarakatan dengan mengintroduksi tanaman-tanaman perkebunan komersial, seperti : cokelat, kelapa, pinang, cengkih, rambutan, rotan, terbukti cukup berhasil dilakukan di Desa Saibi Samukop. Masyarakat kini sudah dapat menikmati hasil program tersebut. Banyak waktu dicurahkan pergi ke kebun merawat dan memetik hasil kebunnya. Hal ini jelas dapat ikut berperan untuk mengurangi tekanan ekosistem perairan pesisir.

Kendatipun program - program pengembangan sektor pertanian lebih dapat diterima oleh masyarakat dan lebih dapat menjamin upaya penyelamatan terumbu karang, tetapi bila program ini diusulkan menurut pengakuan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai, tetap akan ditolak oleh DKP Pusat.

Di tingkat kabupaten, implementasi program kegiatan COREMAP II juga dihadapkan pada kendala, lemahnya komitmen dari sejumlah instansi terkait, seperti : Bappeda, Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata, Dinas Kehutanan, Polairud, Kamla, Dinas Pendidikan Nasional, dan sebagainya. Rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pihak PIU sering hanya diwakili oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan. Mereka datang hanya sekedar memenuhi undangan.

Adapun berbagai kegiatan yang telah dilakukan di tingkat kabupaten antara lain:

1. Pelatihan budidaya ikan kerapu dan rumput laut yang diselenggarakan di Balai Benih Lampung pada bulan Juli 2008 yang diikuti oleh perwakilan dari masing-masing desa penerima program COREMAP II di seluruh Kabupaten Kepulauan Mentawai.

2. Kegiatan pelatihan kerajinan souvenir di Kota Situbondo tahun 2006 yang diikuti oleh masing-masing ketua pokmas penerima program COREMAP II di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

3. Penguatan Kelembagaan COREMAP II di Tingkat Propinsi, Kabupaten dan Desa Lokasi Kegiatan. Kegiatan ini telah dilaksanakan pada tanggal 27 — 29 Nopember 2008 bertempat di Hotel Ambacang. Diselenggarakan oleh CV. SANARI. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi para stakeholders program COREMAP II di Provinsi Sumatera Barat. Upaya tersebut ditempuh dengan menyamakan persepsi di antara pihak pengambil kebijakan dari instansi terkait serta stakeholders pelaksana program kegiatan COREMAP II. Diantaranya yaitu Provincial Advisory Commite (PAC), Regional Coordinating Unit (RCU) Regional Advisory Committee (RAC), Project Implementation Unit (PIU) daerah yang mempunyai potensi terumbu karang, LSM, perguruan tinggi pada lokasi COREMAP II di Propinsi Sumatera Barat. Kegiatan ini diikuti oleh 35 orang dari instansi terkait dan LSM. Dari hasil kegiatan, diperoleh rumusan sebagai berikut : (1). Perlu peningkatan kerja sama, koordinasi dan keterlibatan secara aktif antar lembaga dan masyarakat di dalam pengawasan dan peningkatan penegakan hukum; (2). Perlu kejelasan dan peningkatan peran dan fungsi kelembagaan pada masing-masing tingkat dari pusat, provinsi, kabupaten, sampai ke tingkat desa/ lokasi COREMAP II; (3). Perlu peningkatan program dan kegiatan kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan didukung oleh semua stakeholders; (4). Perlu peningkatan peran serta masyarakat dalam mensukseskan pelaksanaan program COREMAP II; (5). Perlu peningkatan monitoring, controlling dan

pengelolaan terumbu karang apabila program COREMAP telah selesai.

4. Pelatihan pengenalan Ekosistem Terumbu Karang bagi para aparat desa di Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan pelatihan ini telah diselenggarakan pada tanggal 14 — 16 Agustus 2008, bertempat di Hotel Ambacang, diselenggarakan oleh Yayasan PERCA. Tujuan dari penyelenggaraan pelatihan ini adalah untuk : (1). Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta pelatihan dalam mengenal lebih banyak tentang ekosistem terumbu karang; (2). Menyiapkan peserta pelatihan untuk menjadi motivator dalam penyebaran konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang; (3). Membekali peserta pelatihan agar memiliki kemampuan dalam menyampaikan kampanye program COREMAP II dalam kaitannya dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang kepada masyarakat; (4). Menciptakan keserasian gerak dan langkah dalam pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat serta berwawasan lingkungan.. Adapun sasaran utamanya adalah peningkatan pengetahuan dan wawasan para aparat desa mengenai pentingnya program penyelamatan terumbu karang. 5. Pelatihan Muatan Lokal Bidang Kelautan dan Perikanan

Bagi Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumatera Barat. Pelaksana kegiatan ini CV Wahana Lautan Sejati Consultan (CV. WALASE). Kegiatan dilakukan pada tanggal 24 — 26 Nopember 2008 bertempat di Hotel Ambacang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperkenalkan tentang pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan serta Program COREMAP II kepada guru SD yang akan mengajarkan kepada siswa didiknya serta dapat memberikan mata pelajaran sesuai dengan buku yang telah disusun. Peserta kegiatan pelatihan ini

berjumlah 40 orang guru SD se Provinsi Sumatera Barat. Adapun hasil yang diharapkan dari kegiatan pelatihan ini adalah : (1) Efektifnya pengajaran muatan lokal; (2) Peserta training terlatih dan mampu menyajikan pengajaran muatan lokal kepada anak didik dan menyampaikan informasi program COREMAP II kepada masyarakat.

6. Sosialisasi Muatan Lokal Bidang Kelautan dan Perikanan ke Sekolah di Kabupaten Penerima Program COREMAP II. Kegiatan sosialisasi ini dilakukan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Ekasakti Padang. Kegiatan ini selama 50 hari, dengan jumlah peserta masing-masing kabupaten 40 murid, dilakukan secara bergantian yakni dari Kabupaten Agam, Pasaman Barat, dan Kepulauan Mentawai.

7. Pengadaan Buku Muatan Lokal Bidang Kelautan dan Perikanan untuk Sekolah Dasar. Kegiatan ini telah dilaksanakan oleh CV. Pilar Pratama. Tujuan pengadaan buku muatan lokal adalah untuk memberikan pengetahuan pada siswa/i pada Sekolah Dasar yang ada di wilayah penerima Program COREMAP II.

Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak PIU, sungguhpun demikian implementasi program COREMAP II hasilnya belum sebagaimana yang diharapkan.

Komponen Monitoring Controlling and Surveilance (MCS) Di dua desa penelitian telah dibentuk Pokmaswas yang bertugas mengelola dan mengawasi kawasan perairan Daerah Perlindungan Laut (DPL) khususnya dan upaya penyelamatan ekosistem perairan pantai pada umumnya. Untuk memperlancar kegiatan tersebut, di Desa Saibi Samukop kepada Pokmaswas

telah diberikan pelatihan keterampilan mengemudikan perahu motor pompong, pelatihan penyelaman, keterampilan membuat rambu-rambu batas zonasi kawasan perairan DPL, memasang rambu-rambu zonasi, keterampilan melakukan patroli laut, keterampilan membuat pemberkasan laporan pengawasan, menyimpan barang bukti, menangkap pelaku tindak kejahatan dan pelanggaran hukum di laut. Kegiatan pelatihan ini diselenggarakan di Desa Saibi Samukop pada tahun 2008, dengan melibatkan tenaga Kepolisian setempat, Polairud, TNI AL (Kamla), Dinas Perhubungan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kepada Pokmaswas juga telah diberikan bantuan peralatan berupa perahu pompong dengan kekuatan mesin 40 PK, lengkap dengan peralatannya seperti, jangkar, kompas, radio pantai (HT), GPS, dan biaya operasional melaut sebesar Rp 12.000.000. per tahun.

Menurut pengakuan Ketua Pokmaswas, direncanakan patroli laut akan dilakukan tiga kali dalam sebulan, tetapi praktiknya tidak pernah dilakukan, dengan alasan biaya operasional terlalu tinggi. Dalam satu kali pengoperasian menghabiskan sebanyak 35 liter minyak premium, dengan harga rata-rata per liter Rp 8.000. di tingkat pedagang eceran. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen Pokmaswas dalam melakukan pengawasan laut. Sementara itu, belum terjangkaunya pengawasan patroli laut dari tingkat kabupaten, turut andil terhadap lemahnya pengawasan perairan pantai.

Kendala lain yang dihadapi Pokmaswas dalam menjalankan tugasnya adalah tidak dibekali dengan surat tugas dari instansi terkait, sehingga saat ditanya oleh pihak pelanggar Pokmaswas tidak dapat berbuat apa-apa. Pengalaman ini membuat Pokmaswas merasa tidak memiliki kewenangan dan kekuatan bertindak dalam menghadapi pihak pelanggar. Menyangkut status kawasan juga dihadapkan dengan klaim wilayah perairan DPL oleh Suku Sabatiliakek. Hal ini

menunjukkan lemahnya pendekatan sosial budaya dalam menentukan kawasan perairan DPL.

Di Desa Saliguma, kegiatan MCS telah dilakukan melalui pelatihan pengawasan laut, membuat tanda batas zonasi, memasang tanda batas zonasi kawasan DPL, membuat pemberkasan laporan pengawasan, sosialisasi menyangkut pelarangan kegiatan yang dapat merusak ekosistem terumbu karang, melakukan pelatihan penangkapan kepada pihak pelanggar, menyimpan barang bukti, melakukan penyelaman dan melakukan teknik pemantauan terumbu karang. Kegiatan pelatihan ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Saliguma tahun 2007 yang diikuti oleh pengurus dan anggota Pokmaswas. Kegiatan pelatihan ini melibatkan petugas keamanan polisi setempat, TNI AL (Kamla), SKP Kabupaten Kepulauan Mentawai, Perhubungan, Petugas Motivator Desa, dan petugas Fasilitator Desa (FL).

Kendatipun pembekalan sudah diberikan kepada Pokmaswas, namun materi pelatihan tidak dapat optimal terserah oleh peserta pelatihan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan Pokmaswas, yang rata-rata hanya tamat SD (Wawancara dengan petugas Motivator Desa). Kendala lain yang dihadapi Pokmaswas berupa tidak adanya kapal yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan pengawasan. Dari tahun 2006 — 2009, telah dua kali pengadaan kapal dilakukan. Tahun 2006 sudah diberikan bantuan kapal pompong, namun sampai di lokasi, kapal sudah dalam keadaan rusak. Kapal tersebut ditarik ke Muara Siberut untuk diperbaiki, tetapi tidak kunjung selesai. Tahun 2009 didatangkan lagi kapal pengawasan yang ukurannya lebih besar dari pada yang diterima sebelumnya, tinggi sekitar 3 m, panjang bodi 12 m, lebar sekitar 2 m, dengan kekuatan mesin 23 PK. Setiba di pantai Saliguma, kapal tersebut sudah dalam

kondisi rusak, terdampar di pantai, dan mesinnya terendam di air.

Eksistensi kawasan DPL sendiri menghadapi kendala berupa perusakan papan nama DPL dan pencurian tanda batas zonasi DPL, hingga saat ini belum diketahui pelaku dan motivasinya. Awalnya penentuan kawasan DPL hanya dilakukan oleh Kepala Desa dan FL, tanpa melibatkan masyarakat. Tanda batas dan papan nama tersebut sampai sekarang belum ada rencana untuk memperbaikinya. Praktis dari sejak dibentuknya Pokmaswas kegiatan pengawasan perairan pantai tidak pernah dilakukan.

Di tingkat kabupaten, DKP telah melengkapi sarana patroli laut dengan pengadaan kapal patroli laut berkekuatan 400 PK pada bulan Desember 2009. Patroli laut dilakukan sebulan sekali dengan melibatkan instansi terkait, antara lain Kepolisian, TNI AL, Dishub, dan petugas PPNS dari DKP. Kapal patroli ini dioperasikan dengan melibatkan satu orang tenaga teknisi, satu orang tenaga kelasi, dan satu orang nakoda. Tenaga teknisi dan nakoda direkrut dari Dishub, dan tenaga kelasi direkrut dari pemuda setempat.

Beberapa kendala teknis dalam mengoperasikan kapal patroli ini, antara lain : biaya pengoperasian kapal terlalu tinggi terutama untuk beli bahan bakar minyak premium dan belum dikenalinya konstruksi kapal terutama pada bagian lapisan lambung kapal. Karena itu nakoda hanya berani mengoperasikan kapal pada siang hari, karena takut menabrak benda keras yang mengapung di permukaan laut yang dapat berakibat fatal yakni bocornya lambung kapal. Selama ini kapal patroli baru dioperasikan di sekitar perairan Desa Tua Pejat.

Komponen Coral Reef Information and Training Center (CRITIC)

Pada tahun 2008 Tim CRITIC dari kabupaten telah melakukan kegiatan pemantauan kondisi terumbu karang di perairan pantai Saliguma, hasilnya belum diketemukan adanya perbaikan yang signifikan sejak dilaksanakannya program kegiatan COREMAP II, kondisi terumbu karang masih sangat memprihatinkan. (Laporan Pemantauan CRITIC Kabupaten Kepulauan Mentawai, tahun 2008). Hal ini mengindikasikan masih berlangsungnya praktik-praktik eksploitasi sumberdaya laut dengan menggunakan alat yang dapat merusak terumbu karang, seperti pengambilan bia lola dan penggunaan racun potasium dalam aktivitas penangkapan ikan. Demikian juga aktivitas penambangan pasir laut dan terumbu karang masih tetap dilakukan. Ironisnya pelaku penambang terumbu karang menumpuk batu karang persis di depan papan pengumuman yang berbunyi “Kita lestarikan terumbu karang untuk anak cucu”. Hal ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk resistensi secara terang-terangan terhadap program kegiatan penyelamatan terumbu karang.

Selain kegiatan pemantauan terumbu karang, Tim CRITIC kabupaten juga telah melakukan survei kegiatan yang dilakukan pokmas. Hasil survei menunjukkan tidak optimalnya kegiatan program COREMAP II. Hal ini disebabkan lemahnya pengawasan, kurangnya pelatihan, dan tidak berkelanjutannya kegiatan pendampingan. Kendala lain juga diakui, masih rendahnya kemampuan sumberdaya manusia para petugas yang terlibat dalam kegiatan COREMAP II. Tidak berjalannya secara optimal kegiatan COREMAP II, telah berakibat belum dirasakannya perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Laporan Hasil Survei Sosial Ekonomi Tim CRITIC Kabupaten Kepulauan Mentawai 2008).

3.2. TINGKAT DESA

Uraian mengenai implementasi program kegiatan COREMAP II di tingkat desa, akan mencakup : proses pembentukan, kinerja dan kegiatan LPSTK; pembentukan, kinerja dan kegiatan pokmas; kegiatan sosialisasi dan pelatihan, kegiatan pengawasan, dan terakhir kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP).

Pembentukan, kinerja dan kegiatan LPSTK

Seperti telah diketahui bersama bahwa berjalannya program kegiatan COREMAP II sangat ditentukan oleh kinerja LPSTK. Untuk melaksanakan tugas yang harus dipikul oleh LPSTK, maka LPSTK harus dibekali dengan buku acuan berupa Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). Di dalam buku ini antara lain dimuat mengenai potensi sumber daya laut, pemanfaatan, permasalahan dan solusi alternatif penanganan masalah kerusakan ekosistem terumbu karang. Agar kegiatan LPSTK lebih focus, LPSTK dibekali dengan lembar khusus yang memuat daftar tugas pokok dan fungsi LPSTK (Tupoksi). Sesuai dengan konsep Pengelolaan Sumber Daya Laut Berbasis Masyarakat (PSPBM), seharusnya LPSTK terlibat langsung dalam melakukan survei RPTK. Kenyataan survei ini dilakukan oleh pihak Universitas Bung Hatta, dan keterlibatan masyarakat hanya sebatas dimintai informasi menyangkut potensi, pemanfaatan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Demikian juga dalam merumuskan tugas pokok dan fungsi LPSTK, masyarakat tidak terlibat, sehingga sampai sekarang jajaran pengurus LPSTK di Desa Saibi Samukop mengaku tidak tahu persis apa sesungguhnya yang menjadi tugas pokok dan fungsi organisasi yang dipimpinnya.

Adapun tugas pokok dan fungsi LPSTK meliputi: (1) Menyusun RPTK terpadu; (2) Mengimplementasikan RPTK terpadu; (3) Menyusun usulan-usulan kegiatan berdasarkan usulan-usulan dari pokmas-pokmas dan kelompok pengawas terumbu karang; (4) Melakukan verifikasi terhadap usulan proposal pokmas; (5) Mengawasi, mengkoordinir, dan mensinergikan kegiatan pokmas; (6) Menerima dan mengeluarkan dana pengembangan usaha (income generation fund) dan menyalurkan dana bentuan desa (Village Grand fund); (7) Membantu melakukan identifikasi potensi ekonomi dan pengembangan investasi usaha pokmas; (8) Melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan petugas COREMAP II, LSM, konsultan dalam melaksanakan keseluruhan program pengelolaan berbasis masyarakat; (9) Mengembangkan lembaga keuangan mikro yang akan melaksanakan Unit Simpan Pinjam; (10) Melaksanakan kegiatan administrasi pembukuan keuangan dan meminta pembukuan keuangan pokmas; (11) Melakukan pemantauan dan evaluasi RPTK secara terpadu.

Bila dicermati, temuan penelitian menunjukkan bahwa kehadiran LPSTK dibentuk hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan administrasi. Lembaga tersebut belum diberdayakan dan difungsikan secara sungguh-sungguh sesuai dengan tupoksinya. Mulai dari menyusun RPTK, menyusun program kegiatan, melakukan evaluasi kegiatan, mengumpulkan laporan kegiatan pokmas, menyusun laporan perkembangan kegiatan pokmas untuk kemudian disampaikan kepada PIU, menyalurkan bantuan dan mengelola keuangan.

Secara kelembagaan, keberhasilan program COREMAP II juga sangat ditentukan oleh bekerjanya pokmas binaan LPSTK. Hal ini mensyaratkan kemampuan manajerial yang harus dimiliki oleh jajaran pengurus LPSTK. Keterampilan ini bisa diperoleh melalui bangku pendidikan, pelatihan, pengalaman kerja, maupun pengalaman berorganisasi. Syarat inilah yang

tidak dimiliki oleh jajaran pengurus LPSTK maupun Pokmas. Sebagai contoh jajaran pengurus LPSTK Desa Saibi Samukop, Ketua LPSTK dijabat oleh Pontius dengan latar belakang pendidikan tamat SLTA melalui program kejar paket C. Sementara itu, Sekretaris dijabat oleh Tastian, yang secara kebetulan merangkap sebagai Sekretaris Desa, berpendidikan tamat SMA. Bendahara sendiri berpendidikan tamat SMA. Kendatipun tingkat pendidikan jajaran pengurus LPSTK di Desa Saibi Samukop sudah tergolong tinggi untuk ukuran setempat,

Dokumen terkait