• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persalinan 1. Pengertian

Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presenteasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi pada ibu maupun pada janin (Prawirohardjo, 2009. hal;109).

Persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu (Varney, 2008. hal; 672).

Persalinan adalah proses dimana janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan lahir (Sumarah dkk, 2008. hal; 1).

Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu (JNPK-KR, 2008. hal;39).

Jadi, persalinan adalah masa pengeluaran hasil konsepsi dimulai dari kala I sampai kala IV.

2. Sebab-sebab mulainya persalinan

Bagaimana terjadinya persalinan belum diketahui dengan pasti, sehingga menimbulkan beberapa teori yang berkaiatan dengan mulainya kekuatan his. Dengan demikian dapat dikemukakan beberapa teori sebab mulainya persalianan antara lain (Sumarah dkk, 2008. hal;3).

a. Teori keregangan

Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu. Setelah melewati batas waktu tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat mulai.

b. Teori penurunan progesteron

Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28 minggu, dimana terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu. Produksi progesteron mengalami penurunan, sehingga otot rahim lebih sensitif terhadap oksitosin, akibat otot rahim mulai berkontraksi setelah tercapai tingkat penurunan progesteron tertentu.

c. Teori oksitosin internal

Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofise parst posterior, perubahan keseimbangan esterogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot rahim, sehingga sering terjadi kontraksi Braxton hiks. Menurunnya konsentrasi progesteron akibat tuanya kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga persalinan dimulai.

d. Teori prostaglandin

Konsentrasi prostaglandin meningakat sejak umur kehamilan 15 minggu, yang dikeluarkan oleh desidua. Pemberian prostaglandin pada saat hamil dapat menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga terjadi persalinan.

e. Teori hipotalamus-pituitari dan galandula suprarenalis

Teori ini merupaka pada kehamilan dengan anensefolus sering terjadi keterlambatan persalinan karena tidak terbentuk hipotalamus.

f. Teori berkurangnya nutrisi

Berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan oleh hippokrates untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka hasil konsepsi akan segera dikeluarkan.

g. Faktor lain

Tekanan pada ganglion servikal dari pleksus framkenhauser yang terletak dibelakang serviks. Bila ganglion ini tertekan, maka kontraksi uterus dapat dibangkitkan.

3. Tanda dan gejala persalinan

Tanda dan gejala persalinan yaitu sebagai berikut: a. Penipisan dan pembukaan serviks

c. Keluar cairan lendir bercampur darah melalui jalan lahir (JNPK- KR, 2008. hal; 39).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan

Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan sebagai berikut: a. Passage (jalan lahir)

Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat, dasar panggul, vagina, dan introitus (lubang luar vagina).

b. Passenger (janin dan plasenta)

Janin bergerak sepanjang jalan lahir merupakan akibat interaksi beberapa faktor, yakni ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap dan posisi janin.karena plasenta juga melewati jalan lahir, maka dianggap juga sebagai bagian dari passenger yang menyertai janin.

c. Power (kekuatan)

Kekuatan terdiri dari kekuatan ibu melakukan kontraksi involunter, secara bersama untuk mengeluarkan kekuatan primer, menandai dimulainya persalinan (Sumarah dkk, 2008. hal;23).

5. Tahapan Persalinan

Tahapan persalinan dibagi menjadi 4 tahap yaitu: a. Kala I

Kala I adalah kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan nol sampai lengkap (10 cm). Proses ini berlangsung kurang lebih 18-24 jam, yang terbagi menjadi 2 fase (Sumarah dkk, 2008. hal;4).

1). Fase laten

Fase laten (8 jam) dari pembukaan 0 sampai pembukaan 3 cm 2). Fase aktif

Fase aktif ini masih dibagi menjadi 3 fase yaitu:

a) Fase akselerasi, dimana dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm

b) Fase dilatasi maksimal, yakni dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat, dari pembukaan 4 cm menjadi 9 cm c) Fase deselerasi, dimana pembukaan menjadi lambat kembali,

Penanganan/asuhan

1).Bantulah ibu dalam persalinan jika ia tampak gelisah, ketakukan, dan kesakitan :

a) Berilah dukungan dan yakinkan dirinya

b) Berikan informasi mengenai proses dan kemajuan persalinan c) Dengarkan keluhan ibu dan cobalah untuk lebih sensitif

terhadap perasaannya

2). Jika ibu tersebut tampak kesakitan, dukungan/asuhan yang dapat diberikan :

a) Lakukan perubahan posisi

b) Lakukan sesuai dengan keinginan ibu, tetapi jika ibu ingin ditempat tidur sebaiknya dianjurkan miring ke kiri

c) Sarankan ibu untuk berjalan

d) Ajaklah orang yang menemaninya (keluarga) untuk memijat atau menggosok punggungnya, membasuh mukanya diantara kontraksi

e) Ibu diperbolehkan melakukan aktivitas sesuai dengan kesanggupannya

f) Ajarkan kepadanya teknik bernapas, ibu diminta untuk menarik napas panjang, menahan napasnya sebentar kemudian dilepaskan dengan cara meniup udara keluar sewaktu terasa kontraksi

3). Penolong tetap menjaga hak privasi ibu dalam persalinan, antara lain menggunakan penutup atau tirai, tidak menghadirkan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizin pasien

4). Menjelaskan kemajuan persalinan dan perubahan yang terjadi serta prosedur yang akan dilaksanakan dan hasil-hasil pemeriksaan

5). Membolehkan ibu untuk mandi dan membasuh sekitar kemaluannya setelah BAK/BAB

6). Ibu bersalin biasanya merasa panas dan banyak keringat, atasi dengan cara: gunakan kipas angin atau AC dalam kamar, gunakan kipas angin biasa, dan menganjurkan ibu untuk mandi sebelumnya

7). Untuk memenuhi kebutuhan energi dan mencegah dehidrasi, berikan cukup minum

8). Sarankan ibu untuk berkemih sesering mungkin (Prawirohardjo, 2011. hal;N-8)

Pemantauan

Tabel 2.3 Frekuensi minimal penilaian dan intervensi dala persalinan normal

Parameter Frekuensi pada fase laten

Frekuensi pada fase aktif Tekanan darah Suhu badan Nadi Denyut jantung Kontraksi Pembukaan serviks Penurunan Setiap 4 jam Setiap 4 jam Setiap 30-60 menit Setiap 1 jam Setiap 1 jam Setiap 4 jam Setiap 4 jam Setiap 4 jam Setiap 2 jam Setiap 30-60 menit Setiap 30 menit Setiap 30 menit Setiap 4 jam Setiap 4 jam Sumber : Prawirohardjo. Buku Panduan Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2011

b. Kala II

Kala II ini dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada multi. Tanda dan gejala kala II yaitu sebagai berikut (Sumarah dkk, 2008. hal;6).

1) Gejala dan tanda kala II persalinan:

a) Ibu merasakan ingin meneran bersama terjadinya kontraksi. b) Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada vagina. c) Perineum menonjol.

d) Vulva-vagina membuka.

e) Meningkatnya pengeluaran lender bercampur darah. 2) Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam adalah:

a) Pembukaan serviks telah lengkap

b) Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina (JNPK-KR, 2008. hal;78).

Penanganan/asuhan

1) Memberikan dukungan terus menerus kepada ibu dengan: mendampingi ibu agar merasa nyaman dan menawarkan minum, mengipasi, serta memijati ibu.

2) Menjaga kebersihan diri : ibu tetap dijaga kebersihannya agar terhindar dari infeksi, dan jika ada darah lendir atau cairan ketuban segera dibersihkan.

3) Mengipasi dan masase untuk manambah kenyamanan bagi ibu. 4) Memberikan dukungan mental untuk mengurangi kecemasan atau

ketakutan ibu dengan cara: menjaga privasi ibu, penjelasan tentang proses dan kemajuan persalinan, dan penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan dan keterlibatan ibu.

5) Mengatur posisi ibu dalam mengedan dapat dengan posisi sebagai berikut: jongkok, menungging, tidur miring, dan setengah duduk.

6) Menjaga kandung kemih tetap kosong, ibu dianjurkan berkemih sesering mungkin

7) Memberikan cukup minum : memberi tenaga dan mencegah dehidrasi.

3) Kelahiran kepala bayi

a) Mintalah ibu mengedan atau memberikan sedikit dorongan saat kepala bayi lahir

b) Letakkan satu tangan ke kepala bayi agar defleksi tidak terlalu cepat

c) Menahan perineum dengan satu tangan lainnya jika diperlukan d) Mengusap muka bayi untuk membersihkannya dari kotoran

lendir/darah

e) Periksa tali pusat :

(1) Jika tali pusat mengelilingi leher bayi dan terlihat longgar, selipkan tali pusat melalui kepala bayi

(2) Jika lilitan tali pusat terlalu ketat, tali pusat diklem pada dua tempat kemudian digunting diantara klem tersebut, sambil melindungi leher bayi.

4) Kelahiran Bahu dan Anggota Seluruhnya

a) Biarkan kepala bayi berputar dengan sendirinya

b) Tempatkan kedua tangan pada sisi kepala dan leher bayi c) Lakukan tarikan lembut kebawah untuk melahirkan bahu depan d) Lakukan tarikan lembut kebawah untuk melahirkan bahu

belakang

e) Selipkan satu tangan ke bahu dan lengan bagian belakang bayi sambil menyangga kepala dan selipkan satu tangan lainnya ke punggung bayi untuk mengeluarkan tubuh bayi seluruhnya f) Letakkan bayi tersebut diatas perut ibu

g) Secara menyeluruh keringkan bayi, bersihkan matanya, dan nilai pernapasan bayi :

(1) Jika bayi menangis atau bernapas (dada bayi terlihat naik turun paling sedikit 30x/menit) tinggalkan bayi tersebut bersama ibunya

(2) Jika bayi tidak bernapas dalam waktu 30 detik, mintalah bantuan, dan segera mulai resusitasi bayi

h) Klem dan potong tali pusat

i) Pastikan bahwa bayi tetap hangat dan memiliki kontak kulit dengan dada si ibu. Bungkus bayi dengan kain yang halus dan kering, tutup dengan selimut, dan pastikan kepala bayi terlindung dengan baik untukmenghindari hilangnya panas tubuh (Prawirohardjo, 2011. hal;N-15 dan N-17).

c. Kala III

Kala II ini dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak lebih dri 30 menit (Sumarah dkk, 2008. hal;7).

1) Manajemen aktif kala III

Penatalaksanaan aktif pada kala III membantu menghindarkan terjadinya perdarahan pascapersalinan.

Penatalaksanaan aktif kala III meliputi : a) Pemberian oksitosin dengan segera b) Pengendalian tarikan pada tali pusat

c) Massase uterus segera setelah plasenta lahir. Penanganan:

a) Memberikan oksitosin untuk merangsang uterus berkontraksi yang juga mempercepat pelepasan plasenta: oksitosin dapat diberikan dalam 2 menit setelah kelahiran bayi secara IM

b) Lakukan penegangan tali pusat terkendali (PTT) dengan cara: (1) Satu tangan diketakkan pada korpus uteri tepat diatas simfisis

pubis. Selama kontraksi tangan mendorong korpus uteri dengan gerakan dorso cranial kearah belakang dan ke arah kepala ibu

(2) Tangan yang satu memegang tali pusat dengan klem 5-6 cm didepan vulva

(3) Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat (2-3 menit)

(4) Selama kontraksi, lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang terus menerus, dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus.

c) PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan pada uterus merasakan kontraksi, ibu dapat juga memberi tahu petugas ketika ibu merasakan kontraksi. Ketika uterus tidak sedang berkontraksi, tangan petugas dapat tepat berada pada uterus, tetapi bukan melakukan PTT. Ulangi langkah-langkah PTT pada setiap kontraksi sampai plasenta terlepas.

(1) Begitu plasenta terasa lepas, keluarkan dengan menggerakkan tangan atau klem pada tali pusat mendekati plasenta, keluarkan plasenta dengan gerakan kebawah dan keatas sesuai dengan jalan lahir. Kedua tangan dapat memegang plasenta dan perlahan memutar plasenta searah jarum jam untuk mengeluarkan selaput ketuban.

(2) Segera setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan, massase fundus agar menimbulkan kontraksi. Hal ini dapat mengurangi pengeluaran darah dan mencegah perdarahan postpartum. Jika uterus tidak berkontraksi kuat selama 10-15 detik, atau jika perdarahan hebat terjadi segera lakukan

kompresi bimanual dalam. Jika atonia uteri tidak teratasi dalam waktu 1-2 menit , ikuti prosedur untuk perdarahan postpartum.

d) Jika mengguankan manajemen aktif dan plasenta belum juga lahir dalam waktu 15 menit, berikan oksitosin 10 unit IM, dosis kedua dalam jarak waktu 15 menit dari pemberian oksitosin dosis pertama.

e) Jika menggunakan manajemen aktif dan plasenta belum juga lahir dalam waktu 30 menit:

(1) Periksa kandung kemih dan lakukan kateterisasi jika kandung kemih penuh

(2) Periksa adanya tanda-tanda pelepasan plasenta

(3) Berikan oksitosin 10 IU dosis ketiga, dalam jarak waktu 15 menit dari pemberian oksitosin dosis pertama

(4) Siapkan rujukan jika tidak ada tanda-tanda pelepasan plasenta

f) Periksa wanita tersebut secara seksama dan jahit semua robekan pada serviks atau vagina atau perbaiki episiotomi (Prawirohardjo, 2011. hal;N-19 – N-20).

d. Kala IV

Pada kala IV ini dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama postpartum (Sumarah dkk,2008.hal;8).

Penanganan :

1) Periksa fundus setiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 20-30 menit selama jam kedua. Jika kontraksi tidak kuat, massase uterus sampai menjadi keras.

2) Periksa tekanan darah, nadi, kandung kemih, dan perdarahan setiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 30 menit pada jam kedua.

3) Anjurkan ibu makan, minum untuk mencegah dehidrasi.

4) Bersihkan perineum dan kenakan pakaian ibu yang bersih dan kering.

5) Biarkan ibu beristirahat, ia telah bekerja keras melahirkan bayinya. Bantu ibu pada posisi nyaman.

6) Biarkan bayi berada pada ibu untuk meningkatkan hubungan ibu dangan bayi, sebagai permulaan menyusui bayinya

7) Bayi sangat siap segera setelah kelahiran. Hal ini sangat tepat untuk memulai memberikan ASI, menyusui juga membantu uterus berkontraksi.

8) Jika ibu ingin ke kamar mandi, ibu boleh bangun, pastikan ibu dibantu karena masih dalam keadaan lemah dan pusing setelah persalinan. Pastikan ibu sudah BAK dalam 3 jam postpartum 9) Ajari ibu atau keluarga tentang: bagaimana memeriksa fundus

dan menimbulkan kontraksi, dan tanda-tanda bahaya bagi ibu dan bayi (Prawirohardjo, 2011. hal;N-21).

6. Kelainan pada Persalinan

Persalinan lama disebut juga “ distosia “, didefinisikan sebagai

persalinan yang abnormal/sulit. Sebab-sebabnya dapat dibagi dalam 3 golongan berikut ini.

a. Kelainan tenaga (kelainan his)

His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.

Jenis - jenis kelainan His 1). Inersia uteri

Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih kuat dan lebih dahulu dari pada bagian-bagian lain, peranan fundus tetap menonjol. Kelainannya terletak dalam hal kontraksi uterus lebih aman, singkat, dan jarang dari pada biasa. Keadaan umum pada penderita biasanya baik dan rasa nyeri tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak berbahaya, baik bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan berlangsung terlalu lama, dalam hal terakhir ini morbiditas ibu dan mortalitas janin baik. Keadaan ini dinamakan inersia uteri primer. Kalau timbul setelah berlangsung his

kuat untuk waktu yang lama, dan hal itu dinamakan inersia uteri sekunder.

Diagnosis inersia uteri paling sulit ditegakkan pada masa laten. Kontraksi uterus yang disertai dengan rasa nyeri, tidak cukup untuk menjadi dasar utama diagnosis bahwa persalinan sudah dimulai. Untuk sampai pada kesimpulan ini diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat kontraksi itu terjadi perubahan pada serviks yakni pendataran dan atau pembukaan. Kesalahan yang sering dibuat ialah mengobati seorang penderita untuk inersia uteri padahal persalinan belum mulai (fase labour).

2). His terlampau kuat

His terlampau kuat atau disebut juga hypertonic uterine contraction. Walaupun golongan coordinated hypertonic uterine contraction bukan merupakan penyebab distosia. His yang terlalu kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang sangat singkat. Partus yang sudah selesai kurang dari 3 jam dinamakan partus presipitatus yang ditandai oleh sifat his yang normal, tonus otot diluar his juga biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his, khususnya vagina dan perineum. Bayi bisa mengalami perdarahan dalam tengkorak karena bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam waktu yang singkat.

3). Incoordinate uterine action

Disini sifat his berubah, tonus otot uterus meningkat, juga diluar his, dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi kontraksi bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah, dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.

b. Kelainan janin

Persalinan dapar mengalami gangguan atau kemacetan karena kelainan dalam letak atau dalam bentuk janin.

c. Kelainan jalan lahir

Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan.

Sebelum membicarakan kelainan his, ada baiknya diperhatikan kontraksi uterus pada persalinan biasa. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa his yang normal mulai dari salah satu sudut di fundus uteri yang kemudian menjalar merata simetris keseluruh korpus uteri dengan adanya dominasi kekuatan pada fundus uteri dimana lapisan otot uterus paling dominan, kemudian mengadakan relaksasi secara merata dan menyeluruh hingga tekanan dalam ruang amnion balik ke asalnya ± 10 mmHg.

d. Kelainan kala I

1). Fase laten memanjang

Friedman dan Sachtleben mendefinisikan fase laten

berkepanjangan apabila lama fase ini lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada ibu multipara. Durasi rata-ratanya adalah 8,6 jam (+2 SD 20,6 jam) rentangnya dari 1 sampai 44 jam. Dengan demikian, lama fase laten sebesar 20 jam pada ibu nulipara mencerminkan nilai maksimum secara statistik.

2). Fase aktif memanjang

Kemajuan persalinan pada ibu nulipara memiliki makna khusus karena kurva-kurva memperlihatkan perubahan cepat dalam kecuraman pembukaan serviks antara 3-4 cm. Dalam hal ini, fase aktif persalinan dari segi kecepatan pembukaan serviks tertinggi, secara konsistensi berawal saat serviks mengalami pembukaan 3-4 cm. Dengan demikian, pembukaan serviks 3-4 cm atau lebih, disertai adanya kontraksi uterus dapat secara meyakinkan digunakan sebagai batas awal persalinan aktif.

Secara spesifik ibu nulipara yang masuk ke fase aktif dengan pembukaan 3-4 cm dapat diharapkan mencapai pembukaan 8 sampai 10 cm dalam 3 sampai 4 jam. Pengamatan ini mungkin bermanfaat. Sebagai contoh, apabila pembukaan serviks mencapai 4 cm, dapat diperkirakan bahwa pembukaan lengkap akan tercapai

dalam 4 jam apabila persalinan spontan berlangsung normal. Namun, kelainan persalinan fase aktif sering dijumpai.

Keterkaitan atau faktor lain yang berperan dalam persalinan yang berkepanjangan dan macet adalah sedasi berlebihan, anestesia regional dan malposisi janin, misalnya oksiput posterior persisten.

Pada persalinan berkepanjangan dan macet, Friedman

menganjurkan pemeriksaan fetopelvik untuk mendiagnosis disproporsi sefalopelvik. Terapi yang dianjurkan untuk persalinan

yang berkepanjangan adalah penatalaksanaan menunggu,

sedangkan oksitosin dianjurkan untuk persalinan yang macet tanpa disproporsi sefalopelvik.

Hauth dkk, melaporkan bahwa agar induksi atau akselerasi persalinan dengan oksitosin efektif, 90 persen ibu mencapai 200 sampai 250 satuan Montevideo, dan 40 persen mencapai paling sedikit 300 satuan Montevideo. Hasil- hasil ini mengisyaratkan bahwa terdapat batas-batas minimal tertentu pada aktivitas uterus yang harus dicapai sebelum dilakukan seksio cesaria atas indikasi distosia. Oleh karena itu, American College of Obstetricians and Gynecologists menyarankan bahwa sebelum ditegakkan diagnosis kemacetan pada persalinan kala I, kedua kriteria ini harus terpenuhi. a) Fase laten telah selesai, dengan serviks membuka 4 cm atau lebih b) Sudah terjadi pola kontraksi uterus sebesar 200 satuan

Montevideo atau lebih dalam periode 10 menit selama 2 jam tanpa perubahan pada serviks (Prawirohardjo, 2009. Hal;562-574).

e. Kala II memanjang

Upaya mengedan ibu menambah risiko pada bayi karena mengurangi jumlah oksigen ke plasenta. Dianjurkan mengedan secara spontan (mengedan dan menahan nafas terlalu lama tidak dianjurkan). 1) Jika malpresentasi dan tanda-tanda obstruksi bisa disingkirkan,

berikan infus oksitosin

2) Jika tidak ada kemajuan penurunan kepala: jika kepala tidak lebih dari 1/5 diatas sympisis pubis, atau bagian tulang kepala di stasion (0), lakukan ekstraksi vakum atau cunam. Jika kepala diantara

1/5-3/5 diatas sympisis pubis, atau bagian tulang kepala diantara stasion (0) – (-2), lakukan ekstraksi vakum. Jika kepala lebih dari 3/5 diatas sympisis pubis, atau bagian tulang kepala diatas stasion (-2), lakukan seksio cesaria (Prawirohardjo, 2011. hal; M-56).

7. Induksi Persalinan

Induksi persalinan yaitu merangsang uterus untuk memulai terjadinya persalinan.

a. Penilaian serviks

Keberhasilan induksi persalinan bergantung pada skor pelvis. Jika skor

≥ 6, biasanya induksi cukup dilakukan dengan oksitosin. Jika ≤ 5,

matangkan serviks lebih dahulu dengan prostaglandin atau kateter foley.

Tabel 2.4 penilaian serviks untuk induksi persalinan (Skor Bishop)

Faktor Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3

Bukaan (cm) Tertutup 1-2 3-4 Lebih dari 5

Panjang serviks (cm) > 4 3-4 1-2 < 1

Konsistensi Kenyal Rata-rata Lunak -

Posisi Posterior Tengah Anterior -

Turunnya kepala (cm dari spina iskiadika)

-3 -2 -1 +1, +2

Turunnya kepala (dengan palpasi abdominal menurut

sistem perlimaan)

4/5 3/5 2/5 1/5

Sumber : Prawirohardjo. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011

b. Oksitosin

1) Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari hiperstimulasi. Walaupun jarang, ruptura uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada multipara. Senantiasa lakukan observasi ketat pada pasien yang mendapat oksitosin.

2) Dosis efektif oksitosin bervariasi. Infus oksitosin dalam dekstrose atau garam fisiologik, dengan tetesan dinaikkan secara gradual sampai his adekuat. Pertahankan tetesan sampai persalinan.

3) Pantau tekanan darah, denyut nadi, dan kontraksi ibu, dan periksa denyut jantung janin (DJJ)

5) Baringkan ibu hamil miring kiri 6) Catat semua pengamatan

a) Kecepatan infus oksitosin

b) Frekuensi dan lamanya kontraksi

c) Denyut jantung janin (DJJ) tiap 30 menit, dan selalu setelah kontraksi. Apabila DJJ kurang dari 100x/menit, segera hentikan infus

7) Infus oksitosin 2,5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau gram fisiologik) mulai dengan 10 tetes per menit

8) Naikkan kecepatan infus 10 tetes per menit tiap 30 menit sampai

kontraksi adekuat (3x/10’/40”) dan pertahankan sampai terjadi

kelahiran.

Tabel 2.5 Kecepatan infus oksitosin untuk induksi persalinan Waktu sejak induksi (jam) Konsentrasi oksitosin Tetes per menit Dosis (mIU/menit)

Volume infus Total volume infus 0,0 2,5 unit dalam 500 ml dekstrose atau gram fisiologik (5mIU/ml) 10 3 0 0 0,5 Sama 20 5 15 15 1,0 Sama 30 8 30 45 1,5 Sama 40 10 45 90 2,0 Sama 50 13 60 150 2,5 Sama 60 15 75 225 3,0 5 unit dalam 500 ml dekstrose atau garam fisiologik (10 mIU/ml) 30 15 90 315 3,5 Sama 40 20 45 360 4,0 Sama 50 25 60 420 4,5 Sama 60 30 75 495 5,0 10 unit dalam 500 ml dekstrose atau gram fisiologik (20 mIU/ml) 30 30 90 585 5,5 Sama 40 40 45 630 6,0 Sama 50 50 60 690 6,5 Sama 60 60 75 765 7,0 Sama 60 60 90 856

Sumber : Prawirohardjo. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011

9) Jika tidak terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi lebih dari 60 detik) atau lebih dari 4 kali kontraksi dalam 10 menit, hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan:

a) Terbutalin 250 mcg IV pelan-pelan selama 5 menit, ATAU

b) Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan (garam fisiologik atau Ringer Laktat) 10 tetes per menit.

Tabel 2.6 Eskalasi cepat pada primigravida. Kecepatan infus oksitosin untuk `induksi persalinan Waktu sejak induksi (jam) Konsentrasi oksitosin Tetes per menit Dosis (mIU/menit) Volume

Dokumen terkait