• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase Luas Lahan Rehabilitasi Dalam Hutan Terhadap Lahan Kritis Hutan merupakan paru-paru bumi tempat berbagai satwa hidup,

Indikator reformasi birokrasi dan tata kelola dalam mengevaluasi kinerja pembangunan daerah adalah:

2.9 Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana

2.9.1 Persentase Luas Lahan Rehabilitasi Dalam Hutan Terhadap Lahan Kritis Hutan merupakan paru-paru bumi tempat berbagai satwa hidup,

pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai sumberdaya lainnya yang bisa kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai harganya bagi manusia. Hutan juga merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi.

Keberadaan hutan, dalam hal ini daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk

hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan .

Mengingat pentingnya arti hutan bagi masyarakat, maka peranan dan fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Pemanfaatan sumberdaya alam hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata dengan dukungan kemampuan pengembangan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, akan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai.

Dengan semakin menipisnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan telah menjadi perhatian banyak pemimpin negara seperti yang terjadi dalam KTT BUMI di Rio de Janeiro pada tahun 1991. Untuk menghindari dampak pembangunan yang semakin parah terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, perlu dianut suatu paradigma baru yaitu bahwa pembangunan harus berwawasan lingkungan, sehingga pembangunan itu dapat bersifat berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.

Sejak tahun 2003 pemerintah dan berbagai komponen masyarakat di Indonesia menyelenggarakan Gerakan Nasional Rahabilitasi Hutan dan Lahan (GN- RHL/Gerhan) yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan, sehingga dapat berfungsi kembali sebagai perlindungan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan pantai, mencegah terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan abrasi sekaligus untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan lahan serta melestarikan keanekaragaman hayati.

Penyelenggaraan GN-RHL/Gerhan dilatar belakangi oleh keprihatinan atas kerusakan hutan dan lahan yang semakin meningkat yang diindikasikan oleh semakin luasnya lahan kritis, baik dalam maupun di luar kawasan hutan, dan pada gilirannya berbagai bencana hidrometeorologis seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan makin meningkat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sementara itu berdasar pengalaman sebelumnya, penyelenggaraan berbagai program rahabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang ada, belum mampu mengimbangi laju kerusakan hutan dan lahan, sehingga perlu dilakukan percepatan RHL, peningkatan keberhasilan, serta keberlanjutan pengelolaan hasil-hasilnya.

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)/Gerhan) dimaksudkan sebagai gerakan moral berskala nasional yang terencana dan terpadu sesuai pendekatan teknis RHL yang didukung keterlibatan berbagai pihak (multi stakeholder), yaitu pemerintah (pusat dan daerah), lembaga legislatif, badan usaha miliki negara, dunia usaha, lembaga pendidikan, TNI, LSM, masyarakat pengguna lahan, dan berbagai komponen masyarakat lainnya, melalui koordinasi, sinkronisasi, integrasi, dan sinergi. Secara formal, kegiatan GN-RHL/Gerhan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Koordinator No. 09/Kep/menko/Kesra/III/2003, Kep. 16/M.Ekon/03/2003 dan Kep. 08/Menko/ Polkam/III/2003 tentang Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui rehabilitasi dan Reboisasi Nasional. Penyelenggaraan kegiatan tersebut dilakukan secara bertahap sejak tahun 2003 yang pelaksanaannya diprioritaskan pada DAS yang merupakan kawasan tangkapan air yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekologi, khususnya dalam penyedia sumber air, pencegah banjir, tanah longsor, dan sedimentasi. Kegiatan GN-RHL/Gerhan yang dilaksanakan antara lain meliputi pengadaan bibit bermutu, pembuatan tanaman reboisasi dan hutan rakyat, penanaman mangrove, penghijauan lingkungan, penanaman turus jalan, pembuatan bangunan konservasi tanah, dan pengembangan kelembagaan pelaksanaan RHL.

Pencanangan GN-RHL/Gerhan tersebut tidak terlepas dari semakin luasnya jumlah hutan dan lahan kritis di Indonesia. Perkembangan atau kecepatan kegiatan reboisasi serta rehabilitasi hutan dan lahan tidak dapat mengimbangi laju kerusakan hutan dan lahan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah merasa perlu menetapkan rehabilitasi hutan dan lahan menjadi suatu gerakan moral yang bersifat nasional. Sebagai suatu gerakan moral, GN-RHL/Gerhan diharapkan mampu melakukan percepatan dalam rangka memulihkan keberadaan dan fungsi hutan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Awal pelaksanaan perencanaan terkait RHL di Provinsi Bali adalah dengan ditetapkannya MP-RHL (Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) dengan adanya Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 180/03-N/HK/2004 tertanggal 29 April 2004. Dokumen tersebut telah menerangkan bahwa visi RHL Provinsi Bali adalah “terwujudnya kondisi sumberdaya hutan dan lahan guna tercapainya daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) yang optimal untuk melestarikan fungsi hutan dan lahan sebagai sistem penyangga kehidupan sesuai peruntukannya dan masyarakat

sebagai pelestari sumberdaya alam”. Visi tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam Misi “mengembangkan kegiatan RHL yang partisipatif, teknologi tepat guna, dan kelembagaan masyarakat sebagai bagian sistem dari pengelolaan hutan dan lahan lestari yang berbasis pada masyarakat”.

Untuk mencapai visi dan misi tersebut dijabarkan dalam program dan kegiatan yang meliputi: program rehabilitasi hutan dan lahan; program perlindungan hutan dan konservasi alam; program pengembangan agribisnis kehutanan; dan program pengembangan kelembagaan, sumberdaya manusia dan IPTEK Kehutanan.

Rehabilitasi hutan dan lahan dalam pengertian memperbaiki dan memulihkan kondisi hutan dan lahan melalui penanaman kembali. Program ini merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi kerusakan hutan di Indonesia yang dikhawatirkan berdampak pada masalah ekologi dan sosial ekonomi terutama masyarakat di sekitar hutan.

Rehabilitasi lahan kritis melalui program reboisasi dalam kawasan hutan di Provinsi Bali selama tahun 2009 sampai dengan bulan Agustus tahun 2011 berdasarkan data yang dikompilasi oleh Departemen Kehutanan Wilayah Bali disajikan pada Tabel 2.16.

Tabel 2.16

Luas Rehabilitasi Lahan Kritis Dalam Hutan di Provinsi Bali, Tahun 2009 - 2011 No Kabupaten/kota Lahan 1) Rehabilitasi (ha) Kritis (ha) Luas lahan Rehabilitasi (%) 2009 2010 2011 2) Total 1 Jembrana 680 425 - 30 455 66,93 2 Buleleng 8.258 100 536 - 636 7,70 3 Tabanan 117 - - - - - 4 Badung 180 - - - - - 5 Denpasar 133 - - - - - 6 Gianyar - - - - 7 Klunqkung 635 10 - - 10 1,57 8 Bangli 3.749 - 100 170 270 7,20 9 Karangasem 4.698 - - - - - Jumlah 18.450 535 636 200 1.371 7,43

Sumber: BP DAS Unda Anyar, Dirjen Rehabilitasi Lahan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan Wilayah Bali, 2011 (diolah)

Keterangan: 1 Lahan kritis yang ditetapkan tahun 2008 2) Data sampai dengan bulan Agustus 2011

Berdasarkan Tabel 2.16 dapat diketahui bahwa lahan kritis dalam kawasan hutan yang direhabilitasi selama periode di atas hanya sekitar 7,43 persen, yang tersebar di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Jembrana, Buleleng, Klungkung, dan Bangli. Apabila dilihat dari segi upaya rehabilitasi, dari tahun 2009 ke tahun 2010 sudah kelihatan terdapat kemajuan, yaitu dari 535 hektar menjadi 636 hektar. Upaya rehabilitasi lahan kritis di kawasan hutan di Provinsi Bali hampir semua dilakukan oleh pemerintah melalui dana APBN. Berbeda halnya dengan rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan, banyak sekali gerakan-gerakan yang peduli lingkungan dan penanaman pohon melakukan upaya rehabilitasi.