• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Para Aktivis Gender terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS 2:1

C. Persepsi Para Aktivis Gender terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:

1. Zaitunnah Subhan

Tentang pembagian warisan dalam Islam telah ditegaskan oleh Tuhan dalam al- Qur’an satu prinsip pokok, yaitu pria dan wanita52 sama-sama berhak mendapatkan warisan dari peninggalan kedua orang tua atau kerabat masing- masing.

51

Ibid.

52

Penegasan al-Qur’an bahwa wanita mendapat warisan sebagaimana pria adalah merupakan suatu koreksi terhadap sistem pembagian warisan yang berlaku pada masyarakat arab (wanita dan anak-anak tidak diberi hak waris). Mereka beralasan wanita tidak pernah memanggul senjata, berperang melawan musuh dan sebagainya. Islam memberi hak waris kepada pria dan wanita, tersebut di dalam al- Qur’an surat al- Nisaa’ 4:7 ”bagi pria ada hak dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya; dan bagi wanita ada hak dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit atau banyaknya, menurut bagian yang telah ditetapkan”.

Kewarisan wanita (yang semula tidak mendapat bagian) bahkan menjadi barang warisan, telah dibenarkan dan dipraktekkan dengan ketentuan formula dua berbanding satu adalah firman Allah SWT surat al- Nisa/4:11,

”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu; bahagian anak pria sama dengan dua anak wanita...”

Istilah yang digunakan oleh al- Qur’an berkaitan dengan kewarisan ini dengan kata (zakar= pria) dan (untsa= wanita). Dua kata ini merupakan pasangan. Kata zakar mempunyai makna fakkara, iftikara, fatana = berpikir, cerdas. Sedangkan untuk kata untsa mempunyai arti lemah lembut dan halus.

Menurut tafsir Departemen Agama, hikmah diberikannya kepada anak pria dua bagian dan kepada anak wanita satu bagian, adalah karena pria memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah isteri serta anak-anaknya, sedangkan wanita hanya memerlukan biaya untuk dirinya sendiri dan bila telah menikah, keperluannya ditanggung oleh suami. Karena itu, wajar bila wanita mendapatkan satu bagian saja. Menurut Hamka hal ini menunjukkan bahwa pria tidak boleh lepas tanggung jawabnya terhadap wanita.

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa hikmah pembagian tersebut (perbandingan 2:1 bagi pria dan wanita) karena akal wanita itu kurang dan hanya separuh dari akal pria. Demikian juga, nafsu wanita lebih keras daripada pria sehingga bila wanita itu diberi warisan banyak, hanya akan dipergunakan untuk membeli perhiasan untuk bersolek dan bergaya. Pendapat ini ditolak oleh Hamka dengan mengatakan bahwa akal yang dimiliki wanita sama dengan akal yang

dimiliki oleh pria, kedua-duanya kurang, baru akan cukup bila kedua akal (pada wanita dan pria) digabungkan. Pengalaman-pemgalaman di dalam rumah tangga yang bahagia membuktikan hal itu. Beliau beri contoh bahwa seringkali tidak mendapat keputusan yang tepat sebelum mendapat petunjuk dari isterinya. Sebaliknya, isterinya pun sering salah dalam mengambil keputusan karena tidak bermusyawarah dengan suaminya.

Demikian pula alasan bahwa nafsu syahwat wanita lebih besar daripada pria, suka memboroskan uang bila mendapatkan warisan yang banyak. Justru pria yang lebih banyak menghamburkan uang baik dari waris atau dari yang lain guna merayu dan membujuk wanita agar mau menyerahkan kehormatan kepadanya. Cukup banyak wanita yang akan rela menanggalkan perhiasannya untuk membantu suami saat kesusahan. Mahmud Yunus dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat di atas merupakan tuntunan bagaimana membagikan harta pada pusaka mayat yang harus diikuti orang-orang Islam.53

2. Syafiq Hasyim

Bentuk lain dari tersubordinasinya perempuan dalam fikih ada dalam kasus pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sebanding. Dalam fiqih dinyatakan bahwa perempuan memperoleh separo dari bagian yang diperoleh laki-laki. Ketentuan ini memang bersumber dari al- Qur’an surah al- Nisa; (4) ayat 11 yang bunyi harfiahnya adalah:

53

Zaitunnah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h.42-55

Ìx.©%#Ï9…..

ã

≅÷VÏΒ

Åeáym

È

⎦÷⎫u‹sVΡW{$#

……

li dzakari mitslu hazhzh al- untsayain (bagi seorang laki-laki seperti bagian dua orang perempuan). Menurut sebagian ulama fiqih, ayat tersebut masuk ke dalam kategori ayat qath’i, yang keberlakuannya bersifat absolut dan tidak terbantahkan. Menurut pendapat ini, orang yang menolak kepastian makna ayat ini dapat dianggap telah kafir.

Sebenarnya wacana mengenai warisan ini telah mengalami perkembangan sejak kehadiran Islam dan karena itu harus dilihat secara historis. Pada masa jahiliah, wacana tentang warisan hanya menjadi wacana kaum laki-laki. Pelaku, penentu dan penerima warisan adalah kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan dijadikan sebagai objek warisan. Wacana warisan ini berubah total setelah kedatangan Islam. Apabila sejarah sebelumnya menjadikan warisan hanya sebagai hak kaum laki-laki, setelah Islam, perempuan diizinkan atau bahkan diberi hak untuk mendapatkan warisan. Dengan demikian, Islam sebenarnya menghendaki perempuan kuat secara ekonomi.

Di negara kita, beberapa tahun lalu telah terjadi diskusi yang cukup panas mengenai pemaknaan ayat ini. Persoalannya berkisar apakah komposisi 1:2 ini merupakan kepastian hukum yang tidak bisa diganggu gugat atau sangat fleksibel sesuai ruang dan waktu.

Munawwir Sjadzali, Menteri Agama saat itu, mengemukakan gagasannya mengenai reaktualisasi Islam. Menurut Munawwir, kepastian 1:2 ini seharusnya

direaktualisasikan dan disesuaikan dengan perekembangan ruang dan waktu.54 Pada masa awal Islam di tanah Arab, komposisi pembagian 1:2 ini sebenarnya tidak menjadi masalah. Namun, pada akhir-akhir ini, komposisi ini mendapat gugatan dari berbagai kalangan, terutama kalangan pejuang hak-hak perempuan, pada saat ruang dan waktu menuntut adanya penyesuaian- penyesuaian. Perubahan ruang dan waktu inilah yang pada dasarnya menyebabkan komposisi 2:1 dianggap sebagai bentuk diskriminasi fiqih terhadap perempuan. Pertanyaannya selalu, mengapa perempuan mendapat hanya separo dari yang didapatkan kaum laki-laki? Bukankah keduanya sama-sama makhluk Tuhan? Apakah perbedaaan perolehan tersebut dibedakan oleh gender atau biologis?

Akan tetapi, baiklah, sebenarnya banyak jalan keluar yang ditawarkan oleh Islam mengenai persoalan ini. Pertama, sebagaimana kita memahami kasus- kasus lain, ayat tentang warisan ini pada dasarnya merupakan respons al- Qur’an tehadap sejarah sosial yang berkembang pada masanya. Sebagaimana diketahui, perempuan pada masa itu tidak memiliki hak untuk memiliki apapun yang diberikan kepadanya. Apabila mereka diberi sesuatu, pemberian itu hanya numpang lewat. Pemberian itu biasanya diserahkan kepada kakak atau orang tua

54

Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001) h.236

mereka. Secara historis-sosiologis, ayat ini sebenarnya merupakan bentuk dari penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki hak untuk mempunyai harta. Islam memberikan dua alternatif cara memperoleh harta, yaitu melalui warisan dan melalui mas kawin. Dengan cara pemahaman yang demikian, berarti realitas 2:1 sebenarnya adalah cerminan realitas historis- sosiologis yang sangat bergantung pada ruang dan waktu.55

Kedua, secara teologis-sosiologis jumlah warisan laki-laki dilebihkan dari jumlah warisan perempuan karena Islam tidak menuntut perempuan memberikan mas kawin dan nafkah kepada keluarga mereka. Meskipun demikian, Islam tetap memberikan jalan keluar apabila orang tua ingin memberikan bagian yang sama kepada anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Jalan yang ditawarkan adalah pembagian harta di luar mekanisme warisan, entah itu hibah atau pembagian warisan ketika orang tua masih hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah menyatakan, ”samakanlah di antara anak-anakmu pemberianmu. Jikalau aku boleh melebihkan pada salah satunya, sungguh aku akan melebihkan anak perempuan.”

Dua alasan di atas sebenarnya cukup logis untuk menjelaskan mengapa laki-laki memperoleh bagian yang lebih dibandingkan perempuan. Dua alasan ini pula yang menuntun kita kepada kesimpulan bahwa perbedaan perolehan bagian warisan itu bukan disebabkan oleh faktor biologis (kodrati), tetapi semata-mata

55

disebabkan oleh persoalan sosial budaya, atau, dengan kata lain persoalan gender. Oleh karena gender, hukum atas persoalan ini pun bisa mengalami perubahan berdasarkan perubahan peranan gender. Bukankah peranan gender semata-mata didasarkan pada konstruksi sosial budaya dan karena itu ia tidak alergi pada perubahan.56

3. Abdul Wahid Maryanto (aktifis PUAN57)

Aturan tentang hukum kewarisan Islam ialah aturan qath’i yang sudah tidak perlu diubah-ubah lagi. Mengenai aturan pembagian dua berbanding satu bagi anak laki-laki terhadap perempuan, sudah merupakan ketentuan yang sifatnya mutlak dan mesti dijalankan.58

Sebenarnya, yang menjadi permasalahan bukanlah pada ketentuan pembagiannya, melainkan proses pengelolaannya yang masih sering berjalan tidak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai saham diatas 60 % di sebuah perusahaan mewariskan harta berupa saham kepada tiga orang anaknya, kemudian anak-anak dari pewaris ini selaku ahli waris yang sah membagi saham tersebut sesuai ketentuan yang ada dalam hukum waris. Tentunya setelah pembagian saham tersebut, saham pewaris yang tadinya menguasai perusahaan karena memiliki prosentase di atas 50%

56

Ibid. h.238

57

PUAN adalah sebuah yayasan yang aktif dalam memperjuangkan masalah perempuan dengan nama lengkap Yayasan Puan Amal Hayati.

58

akan menjadi saham yang lebih kecil dan akan berdampak bahwa ahli waris tidak lagi menjadi pemilik saham terbesar dalam perusahaan tersebut. Padahal, jika ahli waris mau bermusyawarah untuk menentukan bahwa harta waris itu sebenarnya tidak mesti dibagikan secara langsung, melainkan hanya secara kekeluargaan bahwa sahamnya tetap dalam kondisi utuh sedangkan yang dibagikan adalah keuntungannya, tentu harta waris itu akan menjadi lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan bagi para ahli waris. 59

Maka dari itu, alangkah baiknya jika pengelolaan dari harta waris ini dikelola sedemikian rupa. Bahkan kalau perlu di Negara ini diatur tentang pengelolaan dari harta waris sehingga bukan hanya pengelolaan harta zakat saja yang diatur melainkan harta waris yang juga sering menimbulkan polemik dalam kehidupan masyarakat.

4. M. Taufik Damas (aktifis JIL60)

Dalam menanggapi permasalahan kewarisan dua berbanding satu antara anak laki-laki dan anak perempuan, sudah sepatutnya dihadapi dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kekeluargaan. Hal ini karena masalah kewarisan dalam masyarakat indonesia tidak menjadi permasalahan serius selama diselesaikan dengan cara kekeluargaan.61

59

Ibid.

60

JIL adalah singkatan dari Jaringan Islam Liberal

61

Adapun ketentuan yang digariskan al- Qur’an itu bisa diinterpretasikan berbeda, artinya tidak harus diartikan secara harfiyah melainkan merespons kondisi zaman dengan melihat keadaan sosial dan budaya dalam masyarakat yang ada. Sebagai contoh, pada masyarakat saat ini, beban dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan relatif sama. Laki-laki bekerja dan perempuan pun bekerja, sehingga akan terjadi kecemburuan sosial bilamana laki-laki yang sudah mapan kehidupannya diberikan porsi yang lebih banyak ketimbang saudara perempuannya yang ekonominya masih butuh bantuan namun diberikan porsi yang lebih sedikit. Maka di sinilah prinsip keadilan dan kekeluargaan yang mesti ditekankan terlebih dahulu.

Adapun dalam masalah kewarisan ini apabila kita berbeda penafsiran dengan kebanyakan orang kita tidak perlu serta merta menentang al- Qur’an. Artinya, dalam memahami sebuah ayat dalam al- Qur’an kita mesti memahami betul asbabun nuzul bagaimana ayat itu diturunkan, begitupun dalam hal pembagian harta waris ini. Sebagai contoh dapat kita ambil dari kisah pembagian Ghanimah pada masa Umar Bin Khattab, yang pada intinya dia tidak menggunakan pemahaman kebanyakan orang mengenai ketentuan

ghanimah yang sudah diatur, melainkan melihat kondisi pada saat itu.

Untuk itu perlu dipahami bahwa ayat kewarisan ini bukanlah ayat yang harus diterapkan seperti kebanyakan ayat lain, melainkan jalan terakhir

yang ditempuh dan digunakan apabila sudah tidak bisa lagi diselesaikan secara kekeluargaan.62

5. Masdar F. Mas’udi

Menurut Masdar, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu semangat utamanya bukan untuk menyatakan keputusan yang positif dan pasti tentang bagaimana membagi warisan secara adil antara pria dan wanita. Akan tetapi, semangat ayat itu lebih kepada keinginan untuk menggaris bawahi suatu prinsip bahwa “tuntutan tanggung jawab lelaki dalam kehidupan keluarga adalah lebih berat dibanding dengan yang harus dipikul oleh wanita, paling tidak secara kuantitatif seperti pada simbol angka 2:1’’.

Bahwa kalau kita benar-benar tersentuh pada soal keadilan, yang akan mengguggah concern kita pastilah bukan pertama kali pada pertanyaan bagaimana mengubah/memodifikasi pola perbandingan waris, tapi mestinya jatuh pada kenyataan bahwa di kalangan masyarakat berbagai negeri, satu pihak kita lihat sekelompok kecil orang yang jika ditinggal mati orang tuanya, mereka dalam keadaan sulit dan serba kekurangan. mereka bukan berpikir “bagaimana warisan akan dibagi’’, melainkan “manakah warisan yang bisa dibagi’’. 63

62

Ibid.

63

M. Wahyuni Nafis. Et.al..(ed), kontekstualisasi ajaran islam 70 tahun Prof. Dr. Munawwir Sjadzali, MA. (Jakarta: Paramadina dan Ikatan persatuan haji indonesia (IPHI), 19995). Cet. Ke-1 h.327

6. Munawwir Sjadzali

Menurutnya, dalam pembagian harta warisan anak laki-laki dan perempuan yaitu membagi sama besar kepada ahli waris anak laki-laki dan perempuan. Gagasan ini dilatar belakangi oleh, pertama: banyaknya sikap mendua di masyarakat Islam. Kedua: adanya pembagian waris dengan memberikan hibah kepada anak laki-laki dan perempuan sebelum orang tua meninggal dunia, ketiga: mengenai konsep keadilan yang berarti pembagian waris sama besar antara anak laki-laki dan perempuan.

Adapun argumen yang mendukung gagasannya adalah, pertama, penyimpangan terhadap nash yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Contohnya dalam masalah pembagian rampasan perang dan dalam masalah hukum potong tangan. Kedua, adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnya penahapan dalam penetapan hukum khamar dan dalam menetapkan hukum ziarah kubur. ketiga, mengenai dalil qath’i.64

7. Komaruddin Hidayat

Menurutnya, bahwa secara historis-sosiologis, al- Qur’an sangat membela hak-hak dan martabat kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki. Jika semangatnya dipegang, maka menjadi Qur’ani jika mengikuti tradisi minang yang memberikan harta waris lebih banyak bagi wanita daripada bagi kaum laki-laki. Dengan demikian ia menawarkan formulasi berbanding terbalik dengan formulasi al- Qur’an, yaitu 1:2 bagi laki-laki dan perempuan.

64

Karena rumus 2:1 yang dirumuskan al- Qur’an merupakan respons sosiologis terhadap situasi sosial masyarakat Arab waktu itu yang menganggap wanita sebagai “sesuatu’’, bukannya “seseorang’’.65

Demikianlah persepsi para aktivis gender Indonesia mengenai konsep pembagian harta waris 2:1 terhadap anak laki-laki dan perempuan yang penulis jadikan bahan penelitian.

65

Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama Dan Krisis Modernisme, (Jakarta: paramadina, 1999) h.121

Dokumen terkait