V. 4.1 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan
V.4.2. c Persepsi Masyarakat Desa
Berbeda dengan dua desa tempat penelitian lainnya, penduduk Blimbing kurang menaruh perhatian terhadap pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Jarak pemukiman mereka yang relatif jauh dari Gunung Lumut menyebabkan mereka kurang menaruh perhatian terhadap keberadaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Interaksi warga Blimbing dengan kawasan hutan lindung pun sangat jarang. Hanya para warga transmigran yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap burung di kaki Gunung Lumut, yang termasuk dalam wilayah Desa Pinang Jatus.
Meskipun dari segi kebudayaan, masyarakat Desa Blimbing dengan masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung tidak jauh berbeda, namun masyarakat Desa Blimbing sudah tidak terlalu menggantungkan hidup mereka dari kegiatan memungut hasil hutan. Kegiatan ladang bergulir masih tetap dilakukan oleh penduduk Blimbing, namun mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari kegiatan berkebun daripada memungut hasil hutan. Lahan di wilayah Desa Blimbing sebagian besar diperuntukkan untuk kebun masyarakat. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 masyarakat Belimbing telah berhasil mengembangkan budidaya pisang yang hasilnya bisa mereka ekspor sampai ke Pulau Jawa dan Bali. Hasil dari perkebunan pisang ini sangat membantu meningkatkan perekonomian Desa Blimbing. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada waktu itu sebagian besar lahan masyarakat desa diperuntukan sebagai kebun pisang.
Para aparat desa dan pengurus adat mengatakan bahwa wilayah desa tidak termasuk ataupun berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Sebagian besar penduduk bahkan baru mengetahui mengenai status Gunung Lumut sebagai hutan lindung ketika kami menanyakannya. Diakui oleh Kepala Desa Blimbing, bahwa Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir pernah menyinggung mengenai status Hutan Lindung Gunung Lumut. Namun sepanjang ingatannya, kawasan hutan lindung tidak disebutkan
berada dalam wilayah Desa Blimbing. Semua penduduk Blimbing yang kami tanyai menyatakan bahwa sebagian wilayah Desa Pinang Jatus-lah yang berbatasan dan masuk dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Hal ini dikarenakan, kaki Gunung Lumut yang berada di sebelah timur merupakan wilayah adat Desa Pinang Jatus. Dari kaki Gunung Lumut hingga pemukiman Desa Pinang Jatus berjarak kira-kira 25 km. Sedangkan pemukiman Desa Blimbing berjarak 5 km dari pemukiman Desa Pinang Jatus. Dengan jauhnya jarak antara Desa Blimbing dengan Gunung Lumut, penduduk Desa Blimbing meyakini bahwa wilayah desa mereka tidak termasuk dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut.
Dinas Kehutan Kabupaten Pasir memiliki proyek rehabilitasi lahan kritis seluas 500 ha di Desa Blimbing. Letak lahan yang direhabilitasi tersebut berada di daerah Gunung Kondis. Meskipun dikatakan rehabilitasi lahan kritis, namun kenyataannya lahan di Gunung Kondis tersebut masih ditumbuhi dengan pepohonan yang besar-besar. Di bawah naungan pohon-pohon besar itulah ditanami dengan tanaman mahoni, kemiri, durian dan rambutan. Lahan yang dijadikan lahan rehabilitasi ini oleh penduduk Blimbing disebut sebagai kawasan hutan lindung milik desa. Di sekeliling lahan rehabilitasi ini dipasangi dengan papan pengumuman yang berisi jenis-jenis tanaman yang ditanam di lahan tersebut dan tahun penanamannya. Papan pengumuman ini berfungsi juga sebagai batas lahan rehabilitasi tersebut. Pandangan penduduk Blimbing yang beranggapan bahwa lahan rehabilitasi tersebut adalah hutan lindung, maka penduduk Blimbing beranggapan bila memang wilayah desa mereka berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Lumut maka seharusnya ada papan pengumuman yang menerangkan mengenai batas tersebut. Namun karena selama ini mereka tidak menemukan adanya papan pengumuman yang menjelaskan mengenai batas tersebut maka mereka beranggapan bahwa desa mereka tidak berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Lumut.
Mengenai kegiatan pengelolaan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengamanan kawasan, hampir semua penduduk Blimbing mengambil sikap tidak peduli. Letak Hutan Lindung Gunung Lumut yang berada di luar batas wilayah desa mereka menyebabkan mereka tidak merasa perlu bertanggung jawab mengenai keamanan dan perlindungan Hutan Lindung Gunung Lumut. Ketidakpedulian ini terutama ditunjukkan oleh warga asli Desa Blimbing. Penduduk transmigran justru lebih peduli dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan Hutan Lindung Gunung Lumut.
Ketidak pedulian warga asli Blimbing dalam hal perlindungan dan pengamanan Hutan Lindung Gunung Lumut dikarenakan mereka beranggapan bahwa daripada memusingkan keamanan wilayah desa lain, lebih baik mereka mengurus kebun-kebun sawit mereka yang baru mereka tanam untuk menggantikan tanaman pisang yang terserang oleh virus. Karena akibat serangan virus maka perekonomian Desa Blimbing menjadi lesu. Dengan adanya bantuan kredit bibit sawit dari Dinas Perkebunan,
penduduk mulai aktif lagi melakukan kegiatan di kebun-kebun mereka, dan perekonomian Desa Blimbing secara perlahan-lahan mulai bergerak lagi. Sedangkan penduduk transmigran di desa Blimbing lebih peduli terhadap pengamanan dan perlindungan Hutan Lindung Gunung Lumut karena beberapa dari mereka menggantungkan perekonomian keluarga mereka dari kegiatan menangkap burung di sekitar kaki Gunung Lumut. Mereka khawatir bila kondisi hutan Gunung Lumut menjadi rusak maka burung-burung menjadi enggan untuk hidup di wilayah tersebut, sebagaimana yang terjadi di Desa Blimbing yang sebagian besar hutannya telah diubah menjadi kebun oleh masyarakatnya. Penduduk transmigran di Desa Blimbing mendapat jatah tanah seluas 2 ha untuk mereka olah. Namun tanah seluas 2 ha tersebut, menurut pengakuan para transmigran, tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Menurut penduduk Blimbing, perlindungan dan pengamanan hutan lindung baru dapat terjamin bila ada petugas khusus yang melaksanakan kegiatan pengamanan tersebut. Selain itu batas kawasan yang jelas juga dapat mengurangi kemungkinan perusakan oleh masyarakat. Sebab dengan batas yang jelas, masyarakat tidak bisa lagi berdalih bahwa mereka tidak mengetahui mengenai status kawasan tersebut. Persepsi mereka mengenai kegiatan pengamanan kawasan ini didasarkan pada pengalaman desa mereka dalam melindungi dan mengamankan lahan rehabilitasi di desa mereka. Aparat desa secar rutin memeriksa kondisi lahan rehabilitasi tersebut, sehingga masyarakat tidak berani melakukan kegiatan yang merusak di lahan rehabilitasi tersebut karena takut di denda atau di hukum.
Kegiatan inventarisasi potensi kawasan sangat jarang dilakukan di Desa Blimbing. Menurut kepala desa, kegiatan penelitian yang dilakukan di Desa mereka baru dilakukan sebanyak tiga kali, termasuk dengan kegiatan yang kami lakukan. Semua penduduk Blimbing yang kami wawancara mempunyai persepsi bahwa kegiatan inventarisasi potensi desa, baik itu potensi lingkungan ataupun masyarakatnya, memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan kebutuhan masyarakat desa kepada para pengambil kebijakan, baik itu di tingkat kabupaten, propinsi ataupun dari pusat. Oleh sebab itu, ketika kami mewawancarai mereka, sebagian besar dari mereka mengeluarkan keluhan-keluhan mereka mengenai kondisi ekonomi desa yang memburuk sejak kebun pisang mereka terkena virus. Kegiatan penyuluhan, diakui oleh masyarakat Blimbing, cukup sering dilakukan. Namun menurut mereka, selama kondisi jalan menuju desa mereka tidak mengalami perbaikan maka kesejahteraan masyarakat akan sulit untuk ditingkatkan.