PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL MENGENAI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT,
KALIMANTAN TIMUR
SANTUN MUH. PAMUNGKAS
E34101083
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN
EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur
Nama Mahasiswa : Santun Muhammad Pamungkas
NRP : E34101083
Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas : Kehutanan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Ir. Haryanto R. Putro, MS
NIP : 131 476 561
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F
NIP : 131 760 834
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
NIP : 131 430 799
PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL MENGENAI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT,
KALIMANTAN TIMUR
SANTUN MUH. PAMUNGKAS
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan
Santun Muhammad Pamungkas. E34101083. Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan: Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F
RINGKASAN
Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung berdasarkanSurat Keputusan Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983. Sebelum kegiatan kehutanan beroperasi di kawasan HLGL, daerah ini telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Gunung Lumut juga merupakan daerah tangkapan air untuk sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dan masyarakat desa sekitar kawasan merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan dalam pengelolaan HLGL, masing-masing sebagai pihak yang diberikan wewenang untuk mengelola kawasan tersebut dan pihak yang paling sering berinteraksi dan memanfaatkan sumber daya dari HLGL. Kegiatan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dikhawatirkan menjadi ancaman bagi kelestarian HLGL. Hal ini dikarenakan persepsi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan sulit dipahami oleh berbagai pihak di luar masyarakat tersebut. Seberapa dalam persepsi masyarakat harus diketahui terlebih dahulu agar persepsi mereka terhadap hutan dapat dibangun secara tepat dan terarah (Tungabdi, 1997). Hal ini dikarenakan persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya (Toch&McLean dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995). Sedangkan menurut McKinnon et al. (1993), keberhasilan pengelolaan suatu kawasan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui bentuk-bentuk interaksi masyarakat lokal dan kontribusi mereka terhadap usaha pelestarian HLGL; 2) Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap HLGL dan; 3) Mengetahui persepsi masyarakat mengenai pengelolaan HLGL.
pustaka akan dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 14 November 1983 sebagai putra terakhir dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ahmad Syamsuddin Suryana
dan Ibu Nanan Kursiani. Penulis mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Inpres
Baraya I Makassar sejak tahun 1989 hingga tahun 1995, kemudian melanjutkan ke
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 6 Makassar hingga tahun 1998. Tahun
1998 hingga tahun 2001, penulis menempuh pendidikAN di Sekolah Menengah Umum
Negeri (SMUN) 17 Makassar. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut
Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2001 melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN) pada Fakultas Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Selama melaksanakan studi di IPB, penulis pernah melakukan Praktek Umum
Kehutanan di KPH Banyumas Barat dan di KPH Banyumas Timur, Praktek Umum
Pengelolaan Hutan di KPH Ngawi, Getas. Selain itu penulis menempuh Praktek Kerja
Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon, Propinsi Banten.
Sebagai salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini
merupakan karya ilmiah hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2005
sampai dengan bulan Januari 2006, dengan Judul ”Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur”.
Penelitian ini merupakan bagian dari program Lembaga Penelitian Tropenbos
Internasional Indonesia (TBI-Indonesia) ”Trade-off between biodiversity values and forest exploitation in selected forest area of the Gunung Lumut Untir-Beratus extention area”.
Penelitian ini berusaha menggali bentuk-bentuk interaksi masyarakat sekitar kawasan dan persepsi mereka mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut.
Dengan diketahuinya persepsi masyarakat sekitar kawasan, bentuk dan kegiatan
pengelolaan yang akan dilakukan diharapkan dapat lebih baik dan ikut melibatkan
masyarakat. Sehingga dukungan masyarakat terhadap keberadaan Hutan Lindung
Gunung dapat dicapai.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih kepada
pembimbing skripsi Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F; seluruh staf Lembaga Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia yang telah
membiayai penelitian dan membantu pengumpulan data dan informasi di lapangan,
lembaga swadaya masyarakat PeMA Paser, pihak instansi pemerintah Kabupaten Pasir,
serta masyarakat Desa Rantau Layung, Dusun Muluy dan Desa Blimbing atas
kerjasamanya dan kesediaannya untuk memberikan data dan informasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Bogor, September 2006
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkah dan karunia-Nya lah maka
penulis dapat merampungkan penulisan skripsi.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi sebagai dosen penguji dari Departemen
Hasil Hutan dan Bapak Ir. Muhdin, MSc.F sebagai dosen penguji dari
Departemen Manajemen Hutan atas masukan dan sarannya dalam
penyempurnaan skripsi.
2. Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Bapak Dr. Ir Rinekso Soekmadi, MSc.F
selaku dosen pembimbing atas segala ilmu, nasihat, arahan serta kesabarannya
selama penulis melaksanakan kegiatan penelitian hingga terselesaikannya penulisan skripsi.
3. Bapak Iden, Ibu Nanan dan saudara-saudaraku di Makassar atas do’a, kasih
sayang dan motivasi tiada henti beserta seluruh Om, Bibi, Sepupu dan
Keponakan yang selalu mendukung penulis.
4. Lembaga Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia yang telah mendanai
penelitian ini, Bapak Dr. Dicky Simorangkir, Alfan Subekti, Sutan Lubis, Tunggul,
Kak Alfa, Indrawan Suryadi, Yana Suryana, Santi, Alice, Ibu Widya, Elisabeth,
Deni, Devi, Ninu’, Alda, Pak Sariman, Bang Pijar, pak Alfred dan seluruh staf TBI Indonesia atas keramahan, kebersamaan dan seluruh bantuannya dalam
pelaksaanan penelitian.
5. Seluruh dosen pendidik Fakultas Kehutanan, khususnya Dosen Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas semua ilmu yang diberikan.
6. Staf KPAP DKSHE: Ibu Evan, Ibu Titin, Pak Acu, Ibu Eti, Ibu Fifi, Pak Hasan, Bibi
dan seluruh staf Fakultas Kehutanan yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu,
7. Keluarga Besar KSH Ceria angkatan 38 atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini.
8. Rekan-rekan peneltian Hutan Lindung Gunung Lumut; Edith, Irma dan Sony.
9. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, September 2006
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...i
DAFTAR TABEL...iv
DAFTAR GAMBAR...v
DAFTAR LAMPIRAN...vi
I. PENDAHULUAN...1
I.1 Latar Belakang...1
I.2 Tujuan...2
I.3 Manfaat...2
II. TINJAUAN PUSTAKA...3
II.1 Persepsi...3
II.2 Persepsi Terhadap Lingkungan...5
II.3 Masyarakat Desa...5
II.4 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan...6
II.5 Hutan Lindung...7
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN...9
III.1 Sejarah dan Status Kawasan...9
III.2 Kondisi Fisik...9
III.2.1 Letak dan Luas...9
III.2.2 Iklim...10
III.2.3 Hidrologi...10
III.2.4 Tanah dan Geologi...10
III.2.5 Bentuk Lahan dan Topografi...11
III.3 Kondisi Biologi...11
III.3.1 Keanekaragaman Flora...11
III.3.2 Keanekaragaman Fauna...11
III.4 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat...12
IV. METODE PENELITIAN...14
IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian...14
IV.2 Bahan dan Peralatan...14
IV.3. Kerangka Pemikiran...14
IV.4 Metode Pengumpulan Data...15
IV.5 Analisis Data...17
V. HASIL DAN PEMBAHASAN...18
V.1.1 Desa Rantau Layung...18
V.1.1.a Sejarah...18
V.1.1.b Letak dan Luas...18
V.1.1.c Aksesibilitas...19
V.1.1.d Kependudukan...20
V.1.1.e Ekonomi...20
V.1.1.f Fasilitas Umum...22
V.1.1.g Pendidikan...22
V.1.2 Dusun Muluy...23
V.1.2.a Sejarah...23
V.1.2.b Letak dan Luas...24
V.1.2.c Aksesibilitas...25
V.1.2.d Kependudukan...25
V.1.2.e Ekonomi...25
V.1.2.f Fasilitas Umum...26
V.1.2.g Pendidikan...26
V.1.3 Desa Blimbing...27
V.1.3.a Sejarah...27
V.1.3.b Letak dan Luas...27
V.1.3.c Aksesibilitas...28
V.1.3.d Kependudukan...28
V.1.3.e Ekonomi...29
V.1.3.f Fasilitas Umum...29
V.1.3.g Pendidikan...30
V.1.4 Sosial Budaya Masyarakat Desa Sekitar Kawasan...30
V.2 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan Lindung Gunung Lumut...33
V.2.1 Hasil Hutan Kayu...34
V.2.2 Perburuan Satwa...35
V.2.3 Buah dan Madu...36
V.2.4 Pemanfaatan Lahan...37
V.3 Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...40
V.3.1 Penataan Batas Hutan Lindung...41
V.3.2 Perlindungan dan Pengamanan Kawasan...42
V.3.3 Inventarisasi Potensi Kawasan...43
V.3.4 Rehabilitasi Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat...43
V.4 Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...44
V.4.2. Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu Terhadap
Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung
Gunung Lumut...47
V.4.2.a. Persepsi Masyarakat Desa Rantau Layung...50
V.4.2.b. Persepsi Masyarakat Dusun Muluy...54
V.4.2.c. Persepsi Masyarakat Desa Blimbing...58
VI. KESIMPULAN DAN SARAN...61
VI.1 Kesimpulan...61
VI.2 Saran...62
DAFTAR PUSTAKA...63
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi Informan...16
2. Data Kependudukan di Tiga Desa Sekitar HLGL...20
3. Interaksi Masyarakat Desa dengan HLGL...33
4. Hasil Hutan dari HLGL yang Dijual oleh Masyarakat...33
5. Jenis Satwa yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat...36
6. Tipe Lahan dan Hutan Desa Menurut Masyarakat Suku Pasir...37
7. Pengetahuan Masyarakat Mengenai HLGL...45
8. Pengetahuan Masyarakat Mengenai Fungsi HLGL...46
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Proses pembentukan persepsi model Litterer dalam Wibowo (1987)...4
2. Dasar pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan...5
3. Kerangka pemikiran penelitian persepsi masyarakat mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...15
4. Jembatan penghubung menuju Desa Rantau Layung...19
5. Bangunan SD di Desa Rantau Layung...22
6. Sejarah pemukiman Dusun Muluy...23
7. Perumahan Dusun Muluy...25
8. Kondisi Jalan Menuju Desa Blimbing...28
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Hutan Lindung Gunung Lumut...65
2. Daftar Informan dan Responden yang diwawancarai di desa/dusun sekitar
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Hutan Lindung Gunung Lumut merupakan salah satu dari empat kawasan hutan
lindung yang berada di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini
ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung berdasarkanSurat Keputusan Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983. Pada mulanya kawasan ini merupakan areal konsesi HPH Telaga
Mas, yang telah beroperasi sejak tahun 1970-an.
Sebelum kegiatan kehutanan beroperasi di wilayah ini, kawasan hutan Gunung
Lumut telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser secara turun temurun. Mereka telah
sejak zaman dahulu memenuhi kebutuhan hidupnya dari wilayah hutan Gunung Lumut,
baik itu kebutuhan pangan, papan ataupun lahan.
Dengan dibukanya kawasan hutan Gunung Lumut untuk kegiatan kehutanan,
dalam hal ini sebagai areal konsesi HPH PT. Telaga Mas, pemerintah mengharapkan agar perekonomian dan tingkat kesejahteraan penduduk sekitar kawasan dapat
meningkat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Nasib penduduk sekitar kawasan tidak
mengalami perubahan, sedangkan areal hutan di kawasan tersebut justru menjadi rusak.
Padahal daerah Gunung Lumut merupakan daerah tangkapan air untuk sungai-sungai
kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Dengan pertimbangan
tersebut maka kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya oleh pemerintah ditunjuk
menjadi kawasan hutan lindung sejak tahun 1983.
Banyak pihak yang terkait dan berkepentingan dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut, namun Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dan masyarakat desa sekitar
kawasan merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan dalam pengelolaan Hutan
Lindung Gunung Lumut. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir sebagai pihak yang diberikan
wewenang untuk mengelola kawasan tersebut, sedangkan masyarakat desa sebagai
pihak yang paling sering berinteraksi dan memanfaatkan sumber daya dari Hutan
Lindung Gunung Lumut.
Masyarakat desa membuka lahan untuk pemukiman dan ladang serta kebun.
Kayu yang mereka ambil dari hutan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, pembuatan perabot rumah tangga dan alat perkakas, serta sebagai bahan pembuat alat transportasi.
Madu, gaharu, dan rotan merupakan sumberdaya hutan yang mereka pungut untuk
menunjang perekonomian keluarga. Beberapa jenis hewan mamalia mereka buru
sebagai sumber protein mereka, selain terkadang mereka jual sebagai tambahan
penghasilan.
Namun dengan ditetapkannya kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya
sebagai kawasan hutan lindung, kegiatan masyarakat desa yang telah dilakukan sejak
menjadi ancaman bagi kelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut. Hal ini dikarenakan
persepsi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan sulit dipahami oleh berbagai pihak di
luar masyarakat tersebut. Hal ini bisa menimbulkan konflik antar berbagai pihak,
kurangnya dukungan masyarakat terhadap kegiatan pembangunan, dan tidak dapat
dirasakannya manfaat dari status hutan lindung itu oleh masyarakat.
Seberapa dalam persepsi masyarakat harus diketahui terlebih dahulu agar
persepsi mereka terhadap hutan dapat dibangun secara tepat dan terarah (Tungabdi, 1997). Hal ini dikarenakan persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap
lingkungannya (Toch&McLean dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995). Sedangkan menurut McKinnon et al. (1993), keberhasilan pengelolaan suatu kawasan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada
kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya.
I.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bentuk-bentuk interaksi masyarakat lokal dan kontribusi mereka
terhadap usaha pelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut
2. Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap Hutan Lindung Gunung
Lumut
3. Mengetahui persepsi masyarakat mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung
Lumut
I.3 Manfaat
Data dan informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang dan dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan sistem pengelolaan Gunung Lumut,
terutama menyangkut pemberdayaan masyarakat desa sekitar kawasan Hutan Lindung
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan (Walgito,
2002). Penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui
alat penerima yaitu alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Woodworth & Marquis, 1957; Branca, 1964 dalam Walgito, 2002). Pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan
syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Stimulus yang mengenai
individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan sehingga individu menyadari
tentang apa yang diinderanya itu. Sedangkan menurut Wibowo (1987), persepsi adalah
suatu gambaran pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu obyek,
terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi itu dengan dirinya dan
lingkungan ia berada. Sehingga dengan persepsi, individu dapat menyadari serta dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang terdapat di sekitarnya, dan juga tentang
keadaan diri individu yang bersangkutan (Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2002).
Persepsi ditentukan oleh faktor-faktor dalam diri individu baik, faktor internal
meliputi kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas alat indera dan
jenis kelamin. Maupun faktor eksternal seperti pengaruh kelompok, pengalaman masa
lalu dan perbedaan latar belakang sosial-budaya (Surata, 1993). Hal ini juga didukung
oleh Wibowo (1987), bahwa persepsi seseorang tergantung kepada seberapa jauh suatu
obyek membuat impresi (kesan) bagi seseorang. Persepsi juga melibatkan derajat pengertian kesadaran, suatu arti atau suatu penghargaan terhadap obyek tersebut.
Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Objek dan
lingkungan yang melatarbelakangi persepsi merupakan kebulatan atau kesatuan yang
sulit dipisahkan. Objek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda, dapat
menghasilkan persepsi yang berbeda (Walgito, 2002).
Pembentukan persepsi menurut Litterer dalam Wibowo (1987) terbagi kedalam tiga fase yaitu selektivitas, penutupan (closure) dan interpretasi. Pada fase pertama yaitu seleksi, informasi tertentu dipisahkan oleh pertimbangan yang jauh dengan batas awal persepsi. Kemudian pada fase penutupan (closure), informasi yang telah diseleksi disusun menjadi satu kesatuan. Dan pada fase interpretasi, informasi dinilai kemudian
terbentuklah persepsi. Dalam model pembentukan persepsi menurut Litterer dalam
Wibowo, pengalaman-pengalaman masa silam sangat berpengaruh terhadap interpretasi
Pembentukan Pengalaman
Persepsi masa silam
Mekanisme pembentukan persepsi
Informasi
Persepsi
Sampai ke
individu
Perilaku
Gambar 1 Proses pembentukan persepsi model Litterer dalam Wibowo (1987)
Vandemarkn dan Leth (1977) dalam Surata (1993), menyebutkan persepsi indivi du dibatasi oleh perbedaan pengalaman, motivasi dan keadaan, perbedaan kapasitas alat indera dan perbedaan sikap, nilai dan kepercayaan. Perbedaan inilah yang
akhirnya menimbulkan perbedaan dalam memberikan makna terhadap stimuli, seperti
kecenderungan mempersepsi apa yang sesuai dengan sikap, nilai-nilai dan kebutuhan
seseorang (selective perception), kecenderungan hanya menerima stimuli yang konsisten dengan sikap, nilai dan kepercayaan (selective retention). Hal ini sejalan dengan pernyataan Jauhari (1993) ) dalam Surata (1993), bahwa tingkat pengertian atau pemahaman seseorang sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu hal
yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku sehubungan dengan apa yang dipahami tersebut.
Karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang dapat
mempengaruhi persepsi menurut Osley (1972) dalam Sadli (1976)adalah:
1. Faktor ciri khas dari obyek stimulus yang terdiri dari nilai, arti, familiaritas dan
intensitas.
2. Faktor pribadi, termasuk didalamnya ciri khas individu seperti tingkat
kecerdasaan, minat dan emosinya.
Interpretasi
Selektivitas
3. Faktor pengaruh kelompok, artinya respon orang lain dapat memberi arahan
sesuatu tingkah laku yang sesuai.
4. Faktor perbedaan latar belakang kultural.
II.2 Persepsi Terhadap Lingkungan
Persepsi seseorang terhadap lingkungan mencerminkan cara melihat,
kekaguman, kepuasan serta harapan-harapan yang diinginkan dari lingkungannya (Edmund & Letey, 1973 dalam Surata, 1993). Persepsi terhadap lingkungan meliputi berbagai aspek yang luas, selain persepsi sensoris individual yaitu penglihatan dan
pendengaran, persepsi terhadap lingkungan juga meliputi kesadaran dan pengalaman
manusia terhadap lingkungan. Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang
terhadap lingkungannya karena tidak ada perilaku tertentu tanpa persepsi; perilaku
adalah hasil persepsi masa lalu dan permulaan persepsi berikutnya (Toch & McLean
dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995).
Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai konservasi maka kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian
lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh Pranowo (1985), bahwa persepsi
masyarakat dalam memandang hutan akan dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat
seperti kebutuhan akan kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak dan lain-lain serta
budaya yaitu kepercayaan, adat istiadat, cerita rakyat dan sebagainya. Sehingga agar
persepsi masyarakat terhadap lingkungan dapat dibangun secara tepat dan terarah maka
seberapa dalam persepsi masyarakat terhadap sesuatu hal harus diketahui terlebih
dahulu. Pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan berupa satu kesatuan yang saling mendukung (Gambar 2).
Mengamati
Mendengarkan Mengajukan pertanyaan
Gambar 2 Dasar pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan (Whyte, 1971 dalam Surata, 1993)
II.3 Masyarakat Desa
Masyarakat adalah kelompok atau himpunan orang-orang yang hidup bersama
dan terjalin satu sama lainnya sehingga menghasilkan kebudayaan. Sedangkan
pengertian dari desa merupakan himpunan penduduk yang cenderung homogen dengan
sifat kegotongroyongan dan kekeluargaan yang tinggi serta bermata pencaharian utama
himpunan penduduk agraris cenderung homogen yang menempati wilayah tertentu dan
memiliki kebudayaan dengan sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang tinggi.
Masyarakat desa umumnya bermata pencaharian dari sektor pertanian sehingga
pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian hanya merupakan sambilan saja, sehingga di
saat masa panen atau masa menanam padi tiba maka pekerjaan-pekerjaan sambilan
tersebut ditinggalkan (Soekanto, 1982).
Kehidupan masyarakat desa yang pada umumnya bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam disekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakaian dan tempat
tinggal dalam mempertahankan hidupnya terhadap setiap ancaman yang datang dari
dalam maupun luar lingkungan hidupnya. Hal ini demi mencapai dan menciptakan
kemajuan dalam hidupnya (Hasansulama et al., 1983).
II.4 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan
Interaksi adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara dua faktor atau lebih
yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi. Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan
hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 1994).
Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya;dalam hal ini adalah hutan
merupakan hubungan sirkuler, yang mengandung arti bahwa interaksi yang terjadi antara
manusia dan hutan bersifat kompleks, karena pada umumnya dalam hutan terdapat
banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur lain, sehingga
pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan segera dilihat dan dirasakan,
tetapi pada akhirnya cepat atau lambat akan berpengaruh kepada kehidupan manusia (Soemarwoto, 1994).
Interaksi antara masyarakat sekitar dengan kawasan hutan yang mengarah pada
kerusakan kawasan disebabkan oleh (Suratmo, 1974):
1. tingkat pendapatan masyarakat sekitar relatif rendah
2. terbatasnya lapangan pekerjaan dan sulit mencari tambahan penghasilan
3. kebutuhan hasil hutan yang tidak terpenuhi karena terbatasnya di pasaran
4. pekerjaan mencuri relatif lebih mudah dan memberikan penghasilan lebih besar
5. adanya tukang tadah hasil curian
6. kurangnya patroli keamanan kawasan hutan
7. masalah mental, kebiasaan dan seba-sebab khusus lainnya.
Kondisi sosial-ekonomi masyarakat adalah segala aspek yang berhubungan dengan
hidup kemasyarakatan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia
II.5 Hutan Lindung
Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat
khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan
kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air,
pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kriteria penetapan
kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah,
dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan-ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004).
Pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan Lindung menurut SK Menteri
Kehutanan 464/Kpts-II jo No. 140/Kpts-II/1998 dan SK Dirjen PHPA No. 129/
Kpts/DJ-VI/1996 meliputi (Ngadiono, 2004):
1. inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna, potensi
wisata, dan potensi sumberdaya air
2. pemancangan dan pemeliharaan batas
3. perlindungan dan pengamanan fungsi ekosistem dan kawasan 4. rehabilitasi hutan yang rusak
5. pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan, dan
6. peningkatan peran serta masyarakat.
Pasal 19 ayat (2) PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan menetapkan
bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam hutan lindung meliputi usaha
budidaya tanaman obat (herba), tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa
liar, dan usaha budidaya sarang burung wallet. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (3) meliputi usaha wisata alam,
olahraga tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon (carbon trade), serta usaha penyelamatan hutan dan lingkungan.
Sedangkan menurut Kittrodge dalam Manan (1998) pengertian hutan lindung adalah suatu kawasan yang ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu,
terutama dikelola atas dasar pengaruhnya yang menguntungkan terhadap pergerakan air
dan tanah, jadi tidak untuk menghasilkan kayu maupun makanan ternak.
Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Akan tetapi kawasan hutan
lindung dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan, bahkan kegiatan pertambangan pun diizinkan untuk dilaksanakan dengan
pola pertambangan tertutup dengan seizin Menteri Kehutanan. (UU No. 41 Tahun 1999).
Untuk pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan lindung dilakukan oleh
pemerintah daerah tingkat II (Kotamadya/Kabupaten) sebagaimana diatur dalam PP No.
62 Tahun 1998. Adapun urusan pengelolaan yang dimaksud adalah kegiatan
pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
III.1 Sejarah dan Status Kawasan
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) pada tahun 1970-an masih merupakan areal konsesi HPH PT Telaga Mas. Pada tanggal 15 Januari 1983, kawasan ini ditunjuk
sebagai hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
24/Kpts/Um/1983 tentang Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan propinsi
Kalimantan Timur. Walaupun demikian status HLGL masih penunjukkan belum
dikukuhkan. Sehingga secara legalitas, status HLGL masih lemah karena belum sah
secara hukum. Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan satu dari empat hutan
lindung yang berada di kabupaten Pasir propinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini terletak
di arah timur laut Tanah Grogot, ibukota kabupaten Pasir dan berjarak ± 84 km dari Penajam.
Luas keseluruhan kawasan HLGL adalah 35.350 Ha (UPTD Planologi Kehutanan
Balikpapan). Penataan batas pada kawasan HLGL telah dilakukan sebanyak tiga kali
oleh tim orientasi tata batas dari Baplan Balikpapan dan Dinas Kehutanan Pasir yaitu
pada tahun 1986, 1990 dan tahun 2003. Dengan panjang batas yang ditata batas
berturut-turut adalah 100.975 meter, 20.600 meter dan 121.575 meter. Di sekitar
kawasan hutan lindung terdapat 13 desa dengan 1 dusun berada dalam kawasan di 4
kecamatan.
Sampai saat ini kegiatan-kegiatan logging masih terjadi di dan sekitar kawasan HLGL, baik yang secara legal oleh beberapa HPH di areal konsesi dan yang memiliki
IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) maupun kegiatan illegal logging
yang semakin marak akhir-akhir ini. Kegiatan tersebut telah memberikan tekanan dan
gangguan bagi keberadaan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kesadaran dan
pengetahuan sebagian masyarakat di dan sekitar HLGL terhadap fungsinya masih
kurang. Umumnya mereka memanfaatkan hutan dengan mengambil rotan dan madu
yang merupakan produk hutan non-kayu. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun dijual (TBI Indonesia, 2004).
III.2 Kondisi Fisik III.2.1 Letak dan Luas
Hutan Lindung Gunung Lumut terletak pada koordinat geografis 116o 02’ 57’’- 116o 50’ 41’’ Bujur Timur dan 01o 19’ 18’’- 01o 49’ 33’’ Lintang Selatan. Hutan lindung ini secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan Batu Sopang, Muara Komam,
propinsi Kalimantan Timur. Peta kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Hutan Lindung Gunung Lumut memiliki luas sekitar 35.350 hektar (berdasar
UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan), dengan batas wilayah antara lain :
Sebelah Utara : Desa Kepala Telake
Sebelah timur : Desa Muara Lambakan, Desa Belimbing, Desa Tiwei, Desa
Rantau Layung, Desa Rantau Buta
Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, Desa Rantau Layung
Sebelah Barat
: Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa
Prayon, Desa Long Sayo, Desa Swanslutung
III.2.2 Iklim
Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL), berdasarkan data iklim tahun
1994-1998, berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk dalam
tipe iklim A atau sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika. Kawasan ini
memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan
8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38
mm/bulan dengan 10,36 hari hujan.
III.2.3 Hidrologi
Hutan Lindung Gunung Lumut merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan
sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan
tersebut. HLGL merupakan daerah tangkapan air untuk dua DAS besar di kabupaten
Pasir yaitu DAS Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (20 km) di Tanah Grogot dan
DAS Telake di kecamatan Long Kali. Kedua DAS tersebut memegang peranan penting
sebagai sumber persediaan air bagi 68 daerah di sekitarnya termasuk Tanah Grogot
ibukota kabupaten Pasir, Batu Sopang, Muara Komam dan Long Ikis.
Beberapa sungai yang terkait dengan kawasan HLGL antara lain: Sungai Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (panjang 20 km), Sungai Telewong (panjang 3,5 km)
Sungai Kesungai (panjang 54,5 km). Selanjutnya dijumpai pula anak-anak sungai yang
relatif banyak dari Sub DAS Kesungai dengan panjang bervariatif mulai dari 0,5 km – 2,0
km, diantaranya Sungai Semau, Sungai Sembinai, Sungai Prayan, Sungai Prayamlin,
Sungai Kelato, Sungai Buntut, Sungai Lempesu, Sungai Maridun, Sungai Belimbing,
Sungai Merurong, Sungai Apo, Sungai Sunna, Sungai Beleko, Sungai Punan, dan
sebagainya.
III.2.4 Tanah dan Geologi
Menurut peta tanah eksplorasi dalam laporan orientasi batas UPTD Planologi
podsolik merah-kuning, latosol dan litosol dari bahan induk batuan beku endapan
metamorf dengan fisiografi pegunungan patahan. Berdasarkan peta geologi propinsi
Kalimantan Timur, kawasan HLGL umumnya tersusun dari batuan paleogen, pra tersier
tak dibedakan dan batuan basah.
III.2.5 Bentuk Lahan dan Topografi
Secara fisiografik, kawasan HLGL terdiri dari bentuk lahan dataran berbukit dan
perbukitan, yang terbagi kedalam 6 subsistem lahan, yakni :
1. Dataran sedimen yang berbukit dengan punggung bukit curam, pada bagian barat,
mempunyai pola drainase trellis.
2. Dataran sedimen yang berbukit, terdapat pada bagian barat daya, mempunyai pola
drainase dendritik.
3. Perbukitan dengan punggung linear yang mempunyai lereng terjal di suatu sisi,
terdapat di bagian barat, mempunyai pola drainase trellis.
4. Perbukitan batuan beku bukan endapan yang tidak simetris atau teratur, terdapat di
bagian timur, mempunyai pola drainase dendritik.
5. Punggung bukit dan gunung karst yang curam, terdapat melintang dari arah timur laut
ke
barat daya, mempunyai pola drainase karstik.
6.Kelompok punggung gunung batuan bukan endapan, terdapat di bagian utara,
mempunyai
pola drainase rectangular.
Secara umum kawasan HLGL memiliki kondisi topografi lereng datar berombak
(0-8 %) dan bergelombang (8-15 %), yaitu dengan luas masing-masing 2.662 Ha (45.18 %) dan 1.160 Ha (19.69 %).
III.3 Kondisi Biologi
III.3.1 Keanekaragaman Flora
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman (1999) dalam
Aipassa (2004), menyatakan bahwa vegetasi yang ada pada kawasan HLGL terdiri dari
hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora mulai
dari tingkat pertumbuhan semai sampai dengan pohon. Jenis sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea indica) dan Buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa
jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (Bangkirai) dan jenis-jenis Keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis Mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, akar tunjuk, tumbuhan obat lainnya juga termasuk
sarang burung walet.
Kawasan HLGL memiliki keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi,
diantaranya dari kelompok mamalia adalah Babi jenggot (Sus barbatus), Kijang kuning (Muntiacus atherodes), Beruang madu (Helarctos malayanus), Pelanduk napu (Tragulus napu), Rusa sambar (Cervus unicolor), Tenggalung malaya (Viverra tangalunga), Landak raya (Hystrix brachyura), Sero ambrang (Aonys cinerea), Tupai tanah (Tupaia tana), Bajing kecil telinga-hitam (Nannosciurus melanotis), Bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis) dan masih banyak lagi. Untuk jenis mamalia primata antara lain Lutung dahi-putih (Presbytis frontata), Lutung merah (Presbytis rubicunda), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina), Kukang (Nycticebus coucang), Bekantan (Nasalis larvatus) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri). Owa kelawat ditemukan pada komunitas hutan primer dan merupakan jenis yang peka
terhadap gangguan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus
merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut (PPLH UNMUL,
1999 dalam Aipassa, 2004). Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat 2 jenis yang termasuk kategori Lower Risk (beresiko rendah) yaitu Babi jenggot (Sus barbatus) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri).
Untuk kelompok burung (aves), banyak sekali jenis-jenis yang terdapat dalam
kawasan HLGL diantaranya jenis yang endemik di Kalimantan; Bondol kalimantan
(Lonchura fuscans), Tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), Sikatan kalimantan (Cyornis superbus) dan Pentis kalimantan (Prionochilos xanthopygius), jenis-jenis Enggang; Julang emas (Aceros undulatus), Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Enggang jambul (Aceros comatus), Enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), Julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan Rangkong gading (Buceros vigil), Kacembang gading (Irena puella), Luntur diard (Harpactes diardii), Kucica hutan (Copsychus malabaricus), Tukik tikus (Sasia abnormis), Sempur hujan sungai (Cymbirhynchus macrorhynchos), Paok delima (Pitta granatina), Kuau raja (Argusianus argus), Elang ular (Spilornis cheela palidus), Seriwang asia (Tersiphone paradisi) dan lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di kawasan HLGL
diantaranya ular cincin emas (Boiga dendrophilia), Katak tanduk (Megophrys nasuta) dan lain sebagainya.
III.4 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat
Wilayah kawasan hutan Gunung Lumut sebelum ditetapkan menjadi kawasan
hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser secara turun
temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional sesungguhnya
wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional
(adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dan 1 dusun berada dalam kawasan
di 4 kecamatan. Dimana batas -batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam
sungai Tiwei, sungai Mului, Kesunge, dll (Saragih, 2004). Pada umumnya kepadatan
populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, terkecuali desa-desa yang
berada pada bagian selatan hutan lindung dan bersinggungan langsung dengan jalan
raya Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan (Wahyuni et al., 2004)
Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai
sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan,
perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air
minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil
dan besar disekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Masyarakat asli yang bertempat
tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah
hutan baik itu dari wilayah Hutan Lindung (HL) maupun dari hutan disekitar HL (hutan
adat). Seperti kebutuhan akan kayu bakar, perumahan, pangan (air, sayuran dan
daging/ikan), obat-obatan dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam di dan sekitar
kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan
protein hewani dipenuhi dengan cara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan
tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa
rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut.
Pada umumnya masyarakat desa-desa yang berada dalam dan di sekitar HLGL
bekerja dalam bidang pertanian dengan pengelolaan lahan pertanian yang masih
tradisional (Wahyuni et al., 2004). Jenis mata pencaharian lain yang digeluti oleh masyarakat adalah berdagang, PNS, TNI/POLRI, karyawan perusahaan serta bidang lainnya. Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan yang
dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah penyangga kawasan HLGL
(Wahyuni et al., 2004). Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah pendapatannya adalah dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini
IV. METODE PENELITIAN
IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung
Lumut , Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Ketiga desa tersebut adalah Desa
RantauLayung, Kecamatan Rantau Buta; Dusun Muluy (Desa Swanslutung), Kecamatan
Muara Komam; dan Desa Blimbing, Kecamatan Long Ikis. Pemilihan ketiga desa tersebut
sebagai lokasi penelitian karena dianggap mewakili desa-desa yang wilayahnya berada
di dalam kawasan (Dusun Muluy), setengah wilayah desanya berada dalam kawasan
tetapi pemukiman dan kebun serta ladang mereka berada diluar kawasan (Desa Rantau Layung), dan desa yang seluruh wilayah desanya berada diluar kawasan tapi masih
berbatasan dengan kawasan hutan lindung (Desa Blimbing).
Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 10 Oktober 2005 sampai dengan
tanggal 30 Januari 2006, dengan waktu efektif di lapangan 55 hari.
IV.2 Bahan da n Peralatan
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah
alat tulis, panduan wawancara, alat perekam suara (tape recorder) dan kamera. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa RantauLayung, Dusun
Muluy dan Desa Blimbing yang diasumsikan mewakili masyarakat desa sekitar Hutan
Lindung Gunung Lumut. Selain itu, sebagai data penunjang/pendukung bahan dan alat
yang dibutuhkan antara lain demografi/monografi desa yang bersangkutan, peraturan
pemerintahan yang menyangkut pengelolaan kawasan HLGL, peta kawasan HLGL, dan
segala informasi lainnya yang terkait dalam pengelolaan HLGL.
IV.3 Kerangka Pemikiran
Bentuk interaksi masyarakat lokal dengan kawasan hutan dipengaruhi oleh adat
dan kebudayaan mereka yang merupakan hasil dari pengalaman masa lalu. Informasi
yang diberikan oleh Dinas Kehutanan mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut akan
disusun menjadi satu kesatuan yang mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman serta
sikap mereka mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Informasi tersebut kemudian
akan dinilai berdasarkan pengalaman masa lalu masyarkat yang kemudian akan
membentuk persepsi mereka mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut.
Upaya penggalian persepsi ini dilakukan dengan mengetahui pemahaman dan sikap masyarakat mengenai status kawasan dan sistem pengelolaan kawasan. Tingkat
pengertian dan pemahaman masyarakat sangat mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku
Untuk mengetahui pemahaman dan sikap masyarakat ini digunakan metode wawancara
dan observasi lapang.
Hasil wawancara dan observasi ini kemudian dianalisis dengan mereduksinya
menjadi data yang lebih ringkas dan dilakukan penggolongan berdasarkan tingkat
pemahaman dan sikap. Dari hasil analisis ini diharapkan dapat diketahui persepsi
masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut.
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan
Hutan Lindung Gunung Lumut
IV.4 Metode Pengumpulan Data
Sebelum melakukan pengumpulan data di masyarakat terlebih dahulu dilakukan
klasifikasi terhadap masyarakat berdasarkan ketokohan mereka dalam masyarakat
(perangkat desa, tokoh adat, tokoh agama, masyarakat umum). Perangkat desa, tokoh adat dan tokoh agama menjadi informan kunci yang memberikan informasi mengenai
persepsi masyarakat desa secara umum.Untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh
dari para informan serta untuk melengkapi informasi yang masih kurang dipilih secara
acak beberapa orang responden dari masyarakat umum. Secara keseluruhan jumlah
informan dan responden dari ketiga desa itu berjumlah 50 orang. Klasifikasi informan dan
responden dapat dilihat pada Tabel 1. Pengalaman
masa lalu
Closure
Interpretasi Informasi
Kawasan Hutan Gunung Lumut
Masyarakat Lokal
Pemahaman dan sikap mengenai status dan pengelolaan kawasan
Peraturan Pengelolaan Hutan Lindung Pemerintah Daerah
Perilaku Masyarakat Persepsi mengenai
Tabel 1 Klasifikasi Informan
Pemilihan informan dari masyarakat umum dilakukan berdasarkan kesediaan
mereka untuk menjawab pertanyaan. Perangkat desa yang berada di Dusun Muluy (RT),
tidak bersedia untuk diwawancara. Luasnya wilayah desa, dan banyaknya masyarakat
yang tinggal di ladang, serta sebagian masyarakat lainnya ada yang bekerja di luar desa
selama menunggu masa panen juga menjadi kendala dalam memilih informan dari
masyarakat umum. Daftar informan dan responden selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.
Untuk kegiatan pengumpulan data metode yang digunakan adalah:
1. Studi Pustaka dan Literatur
Dilakukan di kantor desa dan dinas kehutanan kabupaten pasir untuk
mengetahui mengenai kondisi masyarakat dan kegiatan yang diperbolehkan di
kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL). Pustaka dan literatur lain yang
terkait dengan pengelolaan HLGL diperoleh dari pihak-pihak lain yang terkait
(Hasil penilitian perguruan tinggi, LSM atau instansi lainnya). 2. Metode wawancara (interview)
Yaitu dengan wawancara terhadap informan kunci (perangkat desa, tokoh adat,
tokoh masyarakat) untuk mendapatkan gambaran umum pemahaman
masyarakat desa mengenai pengelolaan HLGL. Wawancara terhadap
masyarakat desa juga dilakukan untuk melengkapi keterangan yang diberikan
oleh informan kunci. Wawancara juga dilakukan terhadap instansi pemerintahan
yang terkait dengan pengelolaan HLGL.
3. Metode pengamatan (observation)
Dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara informasi yang diberikan oleh
masyarakat dengan kegiatan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun data-data yang dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data penunjang,
yaitu:
1. Data Pokok
Merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan
§ Masyarakat lokal meliputi biodata (nama, umur, agama, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan mata pencaharian), lama tinggal, sejarah
Gunung Lumut, pengertian dan pemahaman mengenai pengelolaan dan status
Gunung Lumut, kegiatan yang mereka lakukan terkait dengan Gunung Lumut.
§ Pemda meliputi sejarah Gunung Lumut, pengelolaan Pemda (, visi&misi Pemda, program yang telah dan akan dilakukan di Gunung Lumut, dll.), persepsi mengenai
sistem pengelolaan dan status Gunung Lumut, interaksi dan kontribusi terhadap Gunung Lumut.
2. Data Penunjang
Data ini diambil untuk menunjang data pokok yang telah ada meliputi demografi
dan monografi desa sekitar Gunung Lumut, kondisi fisik dan biologi lingkungan Gunung
Lumut, data umum masing-masing pihak atau instansi yang berhubungan dengan
pengelolaan Gunung Lumut serta sejarah lokasi penelitian. Data dapat diperoleh dari
data umum yang dimiliki pihak terkait serta studi literatur.
IV.5 Analisis Data
Perolehan data yang berupa catatan-catatan dari hasil pengamatan langsung di
lapangan, wawancara mendalam dengan responden yang berkompeten dan studi
pustaka/literatur dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang
berlanjut, berulang dan terus-menerus.
Reduksi data dilakukan dengan menyederhanakan data yang diperoleh dari
lapangan dengan meringkas dan menggolongkannya. Kegiatan ini dilakukan untuk menajamkan dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga didapat data utama
yang menjadi pokok penelitian serta mendapatkan kesimpulan akhir.
Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif serta ditunjang dengan
bentuk-bentuk bagan dan tabel untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis data
yang telah diperoleh secara lebih terpadu. Terakhir, penarikan kesimpulan dengan
melakukan verifikasi data yaitu melakukan pemikiran ulang dan peninjauan ulang data
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Karakteristik Desa dan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut Kawasan hutan Gunung Lumut, jauh sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan
lindung telah didiami oleh masyarakat Suku Paser secara turun temurun. Menurut
Saragih (2004) masyarakat Dayak Paser yang mendiami kawasan hutan sekitar Gunung Lumut telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional wilayah hutan Gunung
Lumut dan sekitarnya telah terbagi ke dalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah
adat desa-desa sekitarnya. Batas antar desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam
yaitu daerah aliran sungai, punggung bukit atau gunung.
Akses transportasi menuju desa-desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung
Lumut relatif cukup sulit, kecuali untuk desa-desa yang berada di sebelah selatan
kawasan hutan lindung karena dilalui oleh jalan lintas propinsi. Untuk desa-desa yang
berada di sebelah barat, timur dan utara kawasan pada umumnya jalur transportasinya berupa jalan tanah yang diperkeras dengan batu, yang pada musim penghujan sulit
untuk dilalui oleh kendaraan bermotor.
Desa-desa dan dusun lokasi penelitian terletak di sebelah barat dan timur
kawasan hutan Lindung Gunung Lumut. Dusun Muluy terletak di sebelah barat, Desa
Blimbing dan Desa Rantau Layung berada di sebelah timur kawasan hutan lindung.
V.1.1 Desa Rantau Layung V.1.1.a Sejarah
Semula pemukiman penduduk Rantau Layung tersebar di muara Sungai Prayan dan sepanjang pinggiran Sungai Kesungai. Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah Kolonial memindahkan penduduk ke daerah Long Ikis dan Batu Kajang untuk mempermudah pengaturan penduduk karena kedua daerah tersebut relatif lebih mudah diakses. Pada tahun 1940-an warga Rantau Layung kembali ke daerah mereka, namun masih tersebar di sekitar muara Sungai Prayan dan sepanjang Sungai Kesungai
Penduduk mulai hidup secara berkelompok membentuk komunitas desa pada tahun 1940-an atas perintah pemerintah Hindia-Belanda. Pada mulanya pemukiman penduduk tersebar dari muara Sungai Prayan hingga ke hilir Sungai Kesungai di Batu Sopang. Pada tahun 1990-an warga desa mulai membentuk pemukiman yang berkelompok dalam satu kawasan yang merupakan lokasi pemukiman penduduk saat ini
V.1.1.b Letak dan Luas
Desa yang memiliki wilay ah seluas 18.914 hektar ini sebagian wilayah desanya berada dalam kawasan Hutan Lindung. Namun luas wilayah desa yang termasuk ke dalam kawasan hutan lindung belum diketahui secara pasti.
V.1.1.c Aksesibilitas
Akses tranportasi yang tersedia untuk menuju Desa Rantau Layung dapat ditempuh melalui jalur sungai dari Desa Batu Kajang melalui Desa Rantau Buta. Lama perjalanan dengan melalui sungai berkisar antara tiga hingga lima jam. Jalur transportasi darat juga dapat digunakan untuk mencapai desa ini melalui bekas jalan logging HPH PT. Telaga Mas yang menghubungkan desa ini dengan Simpang Pait, Kecamatan Long Ikis. Namun sejak PT. Telaga Mas tidak beroperasi lagi di desa ini jalan logging tersebut tidak terawat. Topografi jalan yang curam dan melewati beberapa sungai menyebabkan jalan sulit dilalui oleh kendaraan roda empat, terutama pada musim penghujan. Terdapat enam jembatan penyeberangan sungai yang terbuat dari kayu yang harus dilalui untuk mencapai desa ini. Kondisi jembatan-jembatan tersebut saat ini sudah rusak dan seringkali terputus sehingga desa sering terisolir, terutama pada musim penghujan. Kondisi jembatan menuju Desa Rantau Layung kami tampilkan pada Gambar 4
Gambar 4 Jembatan penghubung menuju Desa Rantau Layung
V.1.1.d Kependudukan
Berdasarkan data kependudukan desa, Desa Rantau Layung dihuni oleh 54
kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk mencapai 214 orang. Kepadatan
penduduk hanya 1,13 jiwa/km2. Suku Paser menjadi etnik yang dominan di Desa Rantau Layung. Dari 54 Kepala Keluarga yang mendiami desa ini, 47 keluarga diantaranya
merupakan Suku Paser asli. Keluarga hasil perkawinan Suku Banjar dan Suku Paser
sebanyak enam keluarga. Satu Keluarga lagi merupakan hasil perkawinan Suku Dayak Kapuas dengan Suku Paser. Seluruh penduduknya memeluk agama Islam, namun masih
sangat dipengaruhi oleh kepercayaan nenek moyang mereka. Tabel 2 Data Kependudukan di Tiga Desa Sekitar HLGL
No Desa/Dusun Luas
(km2)
Jumlah
KK
Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan
Penduduk
(jiwa/km2)
Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Rantau Layung 189,13 54 118 96 214 1,13
2. Muluy 129,53 21 64 49 113 0,87
3. Blimbing 132,00 109 691 646 1337 10,13
V.1.1.e Ekonomi
Mayoritas penduduk Rantau Layung berprofesi sebagai petani peladang. Setiap
tahunnya, tiap kepala keluarga membuka ladang seluas 0,25-2 ha untuk ditanami padi
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama setahun ke depan. Padi yang
dihasilkan hanya untuk dikonsumsi sendiri, tidak untuk dijual. Tidak setiap tahun
penduduk mengolah ladang. Beberapa keluarga yang merasa bahwa panen-panen
mereka tahun sebelumnya masih mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka
tahun berikutnya terkadang memilih untuk melakukan pekerjaan lainnya. Kepala desa Rantau Layung pada saat penelitian dilakukan memilih untuk tidak membuka ladang
karena merasa kebutuhan sehari-harinya dapat dipenuhi dari honor sebagai kepala desa,
selain itu hasil panen tahun-tahun sebelumnya masih mencukupi kebutuhan keluarganya.
Beberapa orang penduduk Rantau Layung membuka warung sebagai usaha sampingan
untuk menambah penghasilan. Dua dari pengusaha warung ini memilih untuk tidak
membuka ladang pada tahun ini karena mereka merasa kebutuhan berasnya masih
mencukupi, selain itu mereka ingin lebih serius untuk mengembangkan usaha dagang
mereka. Mereka bertindak sebagai pengumpul hasil kebun masyarakat desa lainnya, seperti rotan atau daging hewan buruan, untuk mereka jual ke Rantau Buta atau Batu
Kajang. Selain itu terdapat seorang penduduk Rantau Layung yang bermukim di Desa
Rantau Buta yang benar-benar berprofesi sebagai pedagang.
Sejak akhir dekade 1990-an masyarakat Desa Rantau Layung memanfaatkan
kayu yang berada di wilayah desanya, baik itu yang berasal dari kebun mereka ataupun
hasil tebangan itu, ada yang dijual oleh mereka ke Batu Kajang dan Rantau Buta dengan
cara mengangkutnya melalui jalur sungai ada juga yang mereka taruh di pinggir jalan
logging untuk kemudian diambil oleh para pembelinya langsung. Karena wilayah hutan
adat mereka termasuk dalam kawasan hutan lindung, maka sejak tahun awal tahun 2005
kegiatan penjualan kayu yang berasal dari hutan adat dihentikan oleh masyarakat.
Mantan kepala desa sebelumnya merupakan salah satu pelaku kegiatan penebangan
kayu yang paling aktif. Hasil dari kegiatannya itu mampu mencukupi kebutuhan keluarganya hingga saat ini sehingga dia merasa tidak perlu untuk membuka ladang.
Salah satu alasan pengunduran dirinya sebagai kepala desa adalah karena pernah
terlibat dalam kegiatan illegal logging di kawasan hutan lindung, namun tuduhan ini tidak dapat dibuktikan.
Selain dari hasil pertanian (ladang dan kebun) dan hasil hutan kayu, penduduk
Rantau Layung juga memungut hasil hutan non kayu untuk menambah penghasilan
mereka. Daging hewan buruan dan madu selain untuk dikonsumsi sendiri, juga mereka
jual ke desa-desa tetangga, atau tamu-tamu yang datang mengunjungi desa mereka (peneliti, pegawai dinas kabupaten, dll).
Hasil kebun penduduk Rantau Layung yang bisa mereka jual diantaranya adalah
rotan, karet, buah-buahan dan kopi. Saat ini karena harga kopi semakin rendah, dan
mutu kopi produksi desa ini kalah bersaing dengan kopi-kopi dari luar sehingga hampir
semua penduduk tidak merawat kebun kopi mereka lagi. Mereka beralasan tenaga yang
mereka keluarkan tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan. Rotan merupakan
komoditas utama mereka saat ini. Meskipun mereka mengeluhkan harganya yang rendah
(Rp. 7000/bal), namun mereka tetap memanen rotan-rotan dari kebun mereka karena itulah satu-satunya hasil kebun mereka yang dapat menghasilkan uang saat ini.
Budidaya karet baru mereka lakukan saat ini. Sebelum orang Banjar masuk ke Desa
Rantau Layung, penduduk asli belum memiliki kemampuan untuk menyadap karet.
Dengan bermukimnya beberapa orang Banjar di desa mereka, beberapa orang
penduduk sudah mulai bisa menyadap karetnya sendiri.
Pada musim-musim tertentu, ketika hasil pertanian mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, atau ketika mereka membutuhkan uang untuk
sesuatu yang sangat penting, penduduk Rantau Rayung terkadang menambang emas secara tradisional di sungai-sungai sekitar desa mereka. Penambangan emas ini
dilakukan harus dengan seizin dari ketua adar desa itu.
V.1.1.f Fasilitas umum
Fasilitas publik yang tersedia di desa ini antara lain masing-masing satu unit bangunan SD dan rumah dinas guru, mushalla, rumah dinas untuk ketua adat dan kepala desa, satu unit penggilingan padi dan yang sedang dibangun saat ini adalah kantor desa. Penggilingan padi hanya beroperasi pada akhir minggu. Tiap penduduk yang menggiling padi dikenai biaya sepersepuluh dari jumlah padi yang mereka giling untuk biaya operasional mesin. Listrik belum mencapai desa ini, kecuali yang berasal dari generator milik desa dan milik pribadi masing-masing penduduk. Jaringan listrik dibangun untuk menghubungkan antara generator desa dengan rumah-rumah penduduk. Namun rumah-rumah yang berada paling sebelah selatan desa belum tersambung dengan jaringan ini. Untuk memperoleh listrik setiap keluarga harus membayar Rp. 7000 per malamnya. Karena mahalnya iuran ini tidak setiap malam penduduk menyambung listrik ke rumahnya. Umumnya penduduk akan berkumpul pada malam hari di rumah-rumah penduduk yang memiliki TV dan parabola. Saat ini ada sepuluh keluarga yang sudah memiliki TV, tetapi hanya lima orang yang memiliki parabola. Fasilitas komunikasi tidak tersedia di desa ini.
Gambar 5 Bangunan SD di Desa Rantau Layung
Fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau posyandu tidak terdapat di desa ini. Pada musim-musim kering, ketika jalur transportasi darat dapat dilalui mobil, sebulan sekali Puskesmas Keliling dari Kecamatan Long Ikis mendatangi desa ini untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Sungai Kesungai merupakan sumber air utama bagi penduduk Rantau Layung. Mereka menggunakannya untuk mandi, mencuci sekaligus untuk air minum. Tidak terdapat fasilitas kakus di dusun ini, sehingga masyarakat membuang hajatnya di sungai ini juga. Ada beberapa sungai kecil yang mereka bendung sebagai sumber air minum, namun bila hujan tidak turun seminggu, sumber air ini mengering.
V.1.1.g Pendidikan
bergantian, namun sering juga bersamaan, sehingga sekolah sering diliburkan. Jumlah murid SD di Desa Rantau Layung tidak lebih dari 50 siswa yang tersebar di 6 kelas.
Salah seorang warga Rantau Layung saat ini sedang mengikuti pendidikan perguruan tinggi di Tana Grogot dengan bantuan biaya dari desa. Lulusan SMU ada lima orang, dan yang lulus SMP ada tiga orang. Selebihnya hanya mengenyam bangku pendidikan SD bahkan ada beberapa orang yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal. Bentuk bangunan SD yang berada di Desa Rantau Layung kami tampilkan pada Gambar 5.
V.1.2 Dusun Muluy V.1.2.a Sejarah
Gambar 6 Sejarah pemukiman Dusun Muluy
Menurut penuturan dari wakil ketua adat Dusun Muluy, Masyarakat Muluy pada mulanya hidup berpencar di kaki Gunung Lumut dan di pinggiran Sungai Muluy. Pada tahun 1970-an, ketika HPH PT. Telaga Mas mulai beroperasi di sekitar kawasan Gunung Lumut dibentuk pula suatu desa transmigrasi yang selain menampung para pekerja perusahaan juga menyediakan perumahan untuk Suku Paser. Desa ini terletak di KM 70 jalan logging HPH PT.
Telaga Mas
Namun tidak semua Suku Paser Muluy bersedia untuk menyatu dengan suku lainnya
yang ada di Desa Swanslutung. Akhirnya Suku Paser Muluy yang tidak mau bergabung
Dinas Sosial Kabupaten Pasir, dalam rangka program Komunitas Adat Terpencil,
menawarkan kepada masyarakat Muluy untuk membangun rumah dengan biaya yang
ditanggung oleh Pemerintah. Tujuannya adalah agar masyarakat Muluy dapat terkumpul
dalam satu lokasi, sehingga program penyuluhan kepada masyarakat dapat dilakukan
dengan lebih efektif.
Letak pemukiman ditentukan oleh keinginan penduduk. Pada waktu itu terdapat
dua pilihan lokasi, yang pertama terletak di tepi Sungai Muluy, yang merupakan kampung Muluy sebelumnya, namun jauh dari jalan transportasi utama. Pilihan yang kedua adalah
di bekas tempat penimbunan kayu milik HPH PT. Telaga Mas yang berada di pinggir
jalan logging, namun jauh dari sumber air. Berdasarkan hasil musyawarah antar
penduduk Muluy, mereka memlih untuk membangun pemukiman yang lebih dekat ke
jalur transportasi, di bekas tempat penimbunan kayu HPH PT. Telaga Mas, sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 7.
Letak lokasi pemukiman yang berada dalam kawasan hutan lindung tidak
diketahui oleh penduduk Muluy. Saat itu mereka belum mengetahui mengenai status hutan lindung. Dinas Sosial yang mengetahui bahwa lokasi penampungan tersebut
berada dalam kawasan hutan lindung tidak melakukan koordinasi ulang dengan pihak
Dinas Kehutanan karena beranggapan bahwa pembangunan perumahan untuk
masyarakat Muluy telah disetujui oleh Bupati.
Pada tahun 2001 penduduk Muluy telah menempati rumah baru mereka. Kayu
untuk bahan bangunan sebagian diambil dari hutan adat Muluy, sebagian lainnya
disediakan oleh pihak kontraktor. Penduduk Muluy juga dilibatkan dalam pembangunan
perumahan tersebut dengan upah Rp. 350 ribu untuk tiap unit rumah yang mereka bangun. Jumlah bangunan yang selesai pada waktu itu 52 unit. Namun saat ini dua unit
telah dibongkar untuk menambah luas unit bangunan lainnya. Dan dari 50 unit rumah
yang ada saat ini, hanya 48 unit yang dimanfaatkan, sedang 2 unit lainnya dibiarkan
kosong, karena pemilik sebelumnya telah meninggal dunia.
V.1.2.b Letak dan Luas
Secara administratif Dusun Muluy berada dalam wilayah pemerintahan Desa Swanslutung, Kecamatan Muara Komam. Dusun ini berbatasan dengan Desa Muarapayang dan Desa Kepala Telake di sebelah utara. Di sebelah baratnya berbatasan dengan Desa Swanslutung, desa induk dusun ini. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Layung dan Desa Long Sayo dan di sebelah timurnya berbatasan dengan Desa Pinang Jatus.
Gambar 7 Perumahan Dusun Muluy
V.1.2.c Aksesibilitas
Dusun Muluy terletak pada KM 61 jalan logging HPH PT. Telaga Mas. Jalan
logging ini menghubungkan Simpang Pait, Kecamatan Long Ikis dengan Desa
Swanslutung, yang merupakan desa induk daru Dusun Muluy. Kondisi jalan ini cukup baik dan terawat karena masih dimanfaatk oleh PT. Rizki Kacida Reana. Pada musim
penghujan jalan menjadi licin, tapi masih dapat dilalui oleh kendaraan bermotor.
Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai Dusun Muluy dari Kota
Balikpapan sekitar enam jam dengan menggunakan mobi. Dari Kecamatan Long Ikis
waktu yang dibutuhkan sekitar dua jam. Untuk mencapai desa induk Swanslutung waktu
yang dibutuhkan adalah satu setengah jam dengan menggunakan sepeda motor.
Penduduk Muluy umumnya menggunakan sepeda motor untuk menuju ke Desa
Swanslutung atau ke Kecamatan Long Ikis V.1.2.d Kependudukan
Berdasarkan data kependudukan yang dipegang oleh wakil ketua adat, Dusun
Muluy dihuni oleh 21 KK dengan jumlah penduduk mencapai 113 jiwa. Berdasarkan
administrasi pemerintahan, dusun ini terletak pada RT 8, Desa Swanslutung. Seluruh
penduduknya merupukan Suku Paser Muluy. Terdapat sepasang suami istri suku Banjar
yang menjadi guru di SD Muluy. Seluruh penduduknya memeluk agama Islam, namun
pengaruh kepercayaan nenek moyang mereka masih sangat kuat.
V.1.2.e Ekonomi
Seluruh penduduk Muluy bermatapencaharian sebagai petani ladang. Penduduk
yang telah berkeluarga biasanya membuka lahan untuk dijadikan ladang setiap 1-2 tahun
sekali. Kondisi topografi sekitar desa yang berbukit-bukit menyebabkan ladang penduduk
berada di lereng bukit sehingga hasilnya kurang maksimal. Penduduk yang belum
ladang. Beberapa orang pemuda bekerja sebagai pegawai kontrakan di perusahaan
kayu. Biasanya mereka bekerja untuk jangka waktu 4-8 bulan.
Hasil ladang mereka hanya untuk konsumsi mereka sendiri. Untuk mendapatkan
penghasilan mereka menjual binatang buruan, madu, gaharu dan buah-buahan. Namun
saat ini gaharu semakin sulit mereka temukan, sehingga mereka sudah sangat jarang
menjualnya. Rotan tidak termasuk dalam hasil kebun yang mereka jual karena usia
kebun rotan mereka masih sangat muda. Kebun rotan peninggalan orang-orang tua dulu telah hancur ketika pembangunan HTI untuk tanaman sengon mengambil lahan kebun
rotan mereka.
Binatang buruan sebagian besar mereka konsumsi sendiri. Bila mereka
benar-benar membutuhkan uang tunai, atau pada saat jebakan mereka menghasilkan banyak
buruan dan tidak mungkin untuk dihabiskan sendiri barulah mereka menjual daging
buruan. Pada musim paceklik, penduduk Muluy mencari emas di sungai-sungai sekitar
pemukiman mereka, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun hal itu perlu
dimusyarawahkan dulu oleh penduduk kampung dan atas seizin ketua adat. V.1.2.f Fasi litas umum
Fasilitas umum yang tersedia di Dusun Muluy antara lain satu unit gedung SD
bantuan dari Depdiknas, satu unit televisi dan parabola, dua unit kamar mandi/WC,
mushalla, balai pertemuan dan satu unit genset pembangkit listrik. Fasilitas TV dan
parabola diletakkan di gedung sekolah dan pada malam hari penduduk berkumpul di
sekolah untuk menonton acara tv. Untuk mengoperasikan genset, Dusun Muluy
mendapatkan bantuan satu drum solar tiap bulannya dari HPH PT. Rizki Kacida Reana.
Fasilitas kamar mandi/WC sangat jarang digunakan oleh penduduk Muluy. Air untuk WC hanya bersumber dari tadahan air hujan sehingga bila hujan tidak turun WC
tidak dapat digunakan. WC hanya dimanfaatkan oleh pengunjung yang datang ke desa
ini. Penduduk umumnya memanfaatkan Sungai Muluy dan Sungai Lelam sebagai
sumber air untuk mandi dan minum.
Saat ini, dengan bantuan dari PADI, sedang direncanakan untuk membangun
pembangkit listrik tenaga air yang memanfaatkan air terjun yang berada di Sungai Muluy.
Selain itu, dari pemerintahan kabupaten, Dusun Muluy mendapatkan bantuan program
air bersih. Namun bentuk programnya, hingga penelitian ini selesai dilakukan belum menemukan solusi yang tepat, apakah memompa dari Sungai Lelam atau menggunakan
bak-bak penampungan air untuk menampung air hujan.
V.1.2.g Pendidikan
Fasilitas pendidikan yang ada di Dusun Muluy hanya untuk tingkat SD saja. SD
ini baru beroperasi sekitar dua tahun yang lalu. Namun dengan program akselerasi, saat
ini SD tersebut telah memiliki empat tingkatan kelas. Jumlah murid 18 siswa, dengan dua