• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 Karakteristik Desa dan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gunung

V.1.4 Sosial Budaya Masyarakat Desa Sekitar Kawasan

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kawasan hutan Gunung Lumut telah didiami oleh 13 generasi Suku Paser yang tersebar di tiga belas desa di sekitar kawasan. Meskipun saat ini mulai banyak penduduk pendatang yang bermukim di desa-desa sekitar kawasan tersebut, namun kebudayaan dan adat Suku Paser masih mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Di setiap desa, selain kepala desa dan pengurus desa lainnya, terdapat juga lembaga adat yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa sekitar kawasan peran ketua adat dirasakan lebih berpengaruh bila dibandingkan peran kepala desa. Kepala desa dan perangkat desanya hanya berperan sebagai penghubung masyarakat dengan pemerintah kabupaten dan kecamatan, seperti pengurusan kartu identitas atau penerimaan subsidi dari pemerintah. Penyelesaian sengketa atau setiap masalah yang dihadapi masyarakat, seperti rebutan tanah, perusakan pohon buah atau penentuan lokasi ladang, lebih dipercayakan kepada ketua adat.

Lembaga adat di suatu desa pada umumnya terdiri dari seorang ketua adat dan wakilnya, sebagaimana yang ditemui di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy. Lembaga adat yang berada di Desa Blimbing sudah jauh lebih lengkap dengan adanya sekertaris dan bendahara adat, selain wakil ketua adat, untuk meringankan pekerjaan

ketua adat. Hal ini dikarenakan letak Desa Blimbing yang lebih mudah dijangkau dengan kendaraan bermotor sehingga interaksi mereka dengan lembaga adat, seperti Persatuan Masyarakat Adat Paser (PeMA Paser) lebih intensif, sehingga lembaga adat mereka lebih berkembang bila dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya.

Pengangkatan dan pemberhentian ketua adat ditentukan oleh masyarakat. Pengetahuan mengenai sejarah desa serta hukum-hukum adat sangat berperan dalam pemilihan ketua adat. Pada umumnya ketua adat yang dipilih adalah kerabat dekat dari ketua adat sebelumnya, baik itu anak laki-laki, adik atau keponakan dari ketua adat sebelumnya. Menurut keterangan warga Rantau Layung, lembaga adat di desa tersebut sempat vakum selama dua puluh tahun setelah meninggalnya ketua adat yang terdahulu. Baru pada tahun 1999, ketika PeMA Paser mulai aktif melakukan kegiatan di Desa Rantau Layung, lembaga adat di desa tersebut juga mulai aktif lagi. Pada waktu itu yang dipilih menjadi ketua adat adalah adik dari ketua adat yang sebelumnya, karena dianggap paling mengetahui mengenai sejarah desa dan aturan adat yang berlaku. Karena tidak berfungsinya lembaga adat tersebut selama beberapa tahun, maka banyak generasi muda di desa ini yang tidak mengetahui mengenai peraturan adat mereka secara mendalam. Mereka hanya mengetahui mengenai peraturan adat yang umum, seperti tidak boleh merusak atau menebang pohon buah dan madu dan batas-batas kebun milik masyarakat.

Peranan ketua adat sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muluy. Sikap ketua adat menentukan sikap masyarakat Muluy ketika menghadapi suatu permasalahan. Ketika ketua adat mereka menolak suatu hal maka masyarakat Muluy juga akan menolak hal tersebut. Hal ini terjadi karena Dusun Muluy merupakan suatu Dusun yang hanya dihuni oleh masyarakat Suku Paser. Meskipun mereka secara administrasi pemerintahan berada di dalam wilayah Desa Swanslutung, namun sejak awal mereka telah menolak untuk bersatu dengan warga pendatang dari suku lain yang berada di desa tersebut.

Ketua adat di Desa Blimbing baru menjabat selama setahun setelah ayahnya, ketua adat sebelumnya meninggal dunia. Usianya masih tergolong muda, sehingga untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat dia banyak berkonsultasi dengan wakilnya yang jauh lebih tua dan para sesepuh desa yang lebih berpengalaman. Berbeda dengan di dua lokasi penelitian lainnya, ketentuan adat yang berlaku di desa ini telah terdokumentasikan dengan baik, sehingga mempermudah penyelesaian permasalahan. Meskipun di desa ini terdapat warga transmigran, ketentuan adat Paser diberlakukan juga kepada warga transmigran tersebut meskipun mereka bukan dari Suku Paser. Namun karena keberadaan warga transmigran itu pula, peranan kepala desa di desa ini lebih terasa bila dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya.

Kebudayaan dan adat yang masih dipertahankan diantaranya adalah pelaksanaan syukuran sebelum membuka ladang dan setelah pelaksanaan panen. Ada

juga acara bayar hajat untuk penyembuhan orang sakit. Peraturan mengenai lingkungan terdapat juga dalam aturan adat mereka. Di antaranya larangan untuk menebang pohon buah dan pohon tempat lebah membuat sarang, serta larangan untuk memburu binatang yang masih muda atau induk binatang yang sedang bunting. Hukuman untuk pelanggar peraturan ini bisa berupa denda uang atau barang yang ditentukan oleh ketua adat dalam suatu acara semacam rembuk desa.

Seperti pada umumnya masyarakat desa di Indonesia, masyarakat desa di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut juga bermata pencaharian utama sebagai petani. Pada umumnya mereka membuka lahan hutan untuk dijadikan ladang. Sistem pengelolaannya dilakukan secara tradisional dengan sistem perladangan berpindah. Lahan yang mereka gunakan sebagai ladang akan digunakan selama 2 atau 3 tahun, untuk kemudian mereka akan membuka lahan baru untuk ladang mereka. Hal ini dikarenakan pada tahun ke dua atau ke tiga hasil pertanian dari lahan tersebut akan menurun kuantitasnya karena penurunan kesuburan tanah di lahan ladang tersebut.

Kegiatan berladang dilakukan secara gotong royong oleh semua warga desa yang tidak memiliki kesibukan lain. Mereka menyebut gotong royong dengan istilah

sempolo. Kegiatan berladang dimulai dengan membuka lahan dengan menebang pohon- pohon di lokasi ladang. Ladang dipilih sendiri oleh warga yang hendak mengolah ladang dengan persetujuan ketua adat, untuk menghindari agar ladang yang dibuka tidak

overlap dengan ladang miliki kebun atau ladang warga yang lain. Pembukaan lahan ini mereka sebut nebas. Setelah 2-3 minggu, ladang yang telah ditebas lalu dibakar. Sebelum dibakar, mereka membersihkan sekeliling lahan sekitar 1-2 meter dari kayu kering atau bahan yang mudah terbakar, untuk menghindari agar api tidak menjalar ke lahan lain.

Setelah kegiatan pembakaran lahan telah berlalu seminggu, kegiatan selanjutnya membersihkan lahan dari kayu-kayu besar yang tidak habis terbakar. Mereka menyebutnya dengan manduk untuk kegiatan ini. Setelah manduk selesai barulah mereka menanaminya dengan padi (menugal). Kegiatan berladang ini mulai dari membuka lahan hingga panen memakan waktu 8-10 bulan. Setiap kegiatan berladang ini selalu dilakukan secara gotong royong, mulai dari anak kecil hingga orang tua.

Sejak dahulu masyarakat Suku Paser telah membagi wilayah desa mereka menjadi beberapa peruntukan lahan. Peruntukan lahan yang umum berada dalam setiap desa adalah Strat/kampong (pemukiman), umo (ladang), kebun, lati pengramu, alas,

sunge (sungai) dan sipung bua. Karena banyaknya interaksi dengan dunia luar dan semakin jarangnya penggunaan istilah-istilah tradisional dalam kehidupan sehari-hari, saat ini penduduk desa, terutama generasi mudanya, mulai melupakan istilah-istilah dan pengertian dari peruntukan lahan tersebut.

Dokumen terkait