• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Terhadap Pembangunan HTR Terhadap Pembangunan HTR

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.6 Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Terhadap Pembangunan HTR Terhadap Pembangunan HTR

5.6 Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Terhadap Pembangunan HTR

Persepsi terkait dengan pembangunan HTR di terusan sialang yang diukur adalah persepsi terhadap alokasi lahan HTR, pemanfaatan hasil HTR, pola pembangunan HTR, jenis tanaman HTR, persyaratan Perijinan HTR, proses perijinan HTR, jangka waktu dan luas pengusahaan HTR, pewarisan ijin HTR, hak dan kewajiban HTR, pasar hasil HTR, kelembagaan HTR, kegiatan sosialisasi HTR dan kegiatan pendampingan dan penyuluhan HTR.

5.6.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Alokasi Lahan HTR

Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2001 menyebutkan bahwa areal yang dicadangkan untuk pembangunan HTR adalah hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain. Ketentuan alokasi lahan yang ditanyakan kepada responden adalah ketentuan umum tentang lahan yang ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR yaitu apakah lahan

tersebut sudah tepat untuk dijadikan sebagai lahan HTR dari segi aksesibilitas, kepemilikan (bebas konflik) maupun kondisi lahan.

Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai persepsi yang tinggi terhadap alokasi lahan HTR (84,87%), sedangakan sebagain lainnya memliki persepsi yang sedang (9,25%) dan rendah (5,88%) (Tabel 34).

Tabel 34 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap alokasi lahan HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <5 5 – 7 >7 7 11 111 5,88 9,25 84,87 Jumlah 119 100,00

Akses masyarakat ke lahan calon lokasi HTR sangat mudah karena pada umumnya mereka tinggal di lahan tersebut. Akses ke kawasan tersebut juga sangat mudah karena kawasan tersebut terletak di jalur perlintasan jalan lintas timur sumatera yang merupakan jalan trans nasional. Jaringan jalan di dalam kawasan juga sudah teratur dan pada umumnya sudah mengalami perkerasan sehingga dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 walaupun pada musim penghujan.

Pengaturan pembagian lahan juga sudah jelas. Walaupun tidak mempunyai surat tanah resmi namun batas-batas tanah mereka sudah jelas dan tidak ada lagi tumpang tindih kepemilikan diantara mereka. Bahkan mereka sudah memperjualbelikan lahan mereka dan kuitansi yang diketahui oleh koordinator masyarakat perambah tersebut diakui sebagai tanda bukti kepemilikan tanah di dalam komunitas tersebut.

5.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Pola Pembangunan HTR

Pola pembangunan HTR menurut Peraturan Menteri Kehutanan terdiri dari tiga pola yaitu perorangan, kemitraan dan developer. Dalam penelitian ini persepsi terhadap pola pengelolaan HTR didasarkan pada bagaimana pilihan masyarakat dalam mengelola HTR, pandangan terhadap program kemitraan dan juga pandangan terhadap asal usul mitra. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat cenderung untuk memilih untuk mengajukan ijin secara perorangan (67,23%) dibandingkan dengan dengan pengajuan ijin melalui koperasi (21,01%) dan sisanya masih ragu-ragu (11,76%). Pilihan masyarakat yang memilih untuk

mengajukan ijin secara perorangan dilatar belakangi oleh keinginan mereka untuk mendapatkan status lahan atas nama mereka sendiri. Dalam pandangan mereka dengan memiliki ijin atas nama mereka sendiri mereka memiliki kebebasan dalam menentukan komoditas, melakukan jual beli lahan dan mengatur penggunaan lahan. Selain itu mereka juga memiliki pengalaman mengajukan ijin melalui koperasi Kopkarinhut V yang akhirnya gagal dan menimbulkan sedikit kesalahpahaman diantara masyarakat.

Sedangkan pandangan terhadap mitra sebanyak 70,59% masyarakat tidak memerlukan mitra, 26,89% memerlukan mitra dan sisanya 2,52% menjawab ragu-ragu. Sikap masyarakat terhadap mitra ini dilatarbelakangi kondisi perekonomian mereka yang memang relatif sudah mantap. Dengan harga komoditas karet yang semakin membaik, mereka merasa sudah cukup berhasil dalam mengelola lahan mereka dan tidak memerlukan mitra yang belum mereka kenal. Kalaupun memerlukan mitra mereka cenderung memilih mitra yang telah mereka kenal (warga sekitar). Tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 35.

Tabel 35 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <12 12 – 17 >17 0 36 83 0 30,25 69,75 Jumlah 119 100,00

5.6.3 Persepsi Masyarakat Terhadap kegiatan Pemanfaatan HTR

Kegiatan pemanfaatan HTR yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan HTR, tujuan pemanfaatan HTR dan juga tentang pemanfaatan hasil sampingan (HHBK). Dari hasil survey didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat setuju dengan tahapan dalam kegiatan pemanfaatan HTR (85,71%) dan hanya sebagaian kecil saja yang tidak atau kurang setuju (14,29%). Sedangkan terhadap tujuan pemanfaatan HTR untuk produksi kayu saja sebanyak 47,06% responden setuju, 3,36% kurang setuju dan 49,58% tidak setuju. Tingginya tingkat ketidaksetujuan masyarakat terhadap tujuan pemanfaatan HTR ini dikarenakan selama ini mereka terbiasa dengan komoditas karet yang lebih menekankan pada produksi getah (HHBK) dibandingkan dengan produksi kayu. Selain itu mereka juga belum

melihat adanya contoh nyata keberhasilan budidaya kayu di daerah mereka. Hasil ini sejalan dengan persepsi mereka tentang HHBK yaitu sebagian besar masyarakat tidak setuju apabila HHBK tidak boleh dimanfaatkan dalam pemanfaatan HTR (94,96%) dan sisanya setuju dan kurang setuju/ragu-ragu (5,04%). Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan pemanfaatan HTR dapat dilihat pada Tabel 36.

Tabel 36 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan pemanfaatan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <5 5 – 7 >7 62 54 3 2,10 45,38 2,52 Jumlah 119 100

5.6.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman HTR

Jenis tanaman yang dikembangkan dapat dikembangkan di areal HTR adalah kayu pertukangan berdasarkan peraturan Direktur Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 tentang petunjuk teknis pembangunan HTR Jenis tersebut adalah tanaman hutan berkayu yang terdiri dari: (1) kayu pertukangan (meranti, keruing, non dipterocarpaceae: jati, sengon, sonokeling, mahoni, kayu hitam, akasia, rajumas, sungkai dan kayu serat) dan (2) tanaman budidaya tahunan berkayu (karet, durian, nangka, mangga, duku, rambutan, kemiri, pala). Tanaman tersebut dapat ditanam secara monokultur atau campuran dengan komposisi 60% tanaman hutan berkayu dan 40% tanaman budidaya tahunan berkayu.

Budidaya tanaman berkayu kehutanan tidak dikenal oleh masyarakat di dalam kawasan. Mereka saat ini merasa jenis tanaman karet yang sudah mereka budidayakan sangat sesuai dengan keinginan mereka (94,12%). Ketentuan tentang tanaman pokok yang harus tanaman kehutanan masih belum diterima oleh masyarakat dan mereka masih menginginkan tanaman karet untuk wilayah mereka sedangkan sisanya merasa tanaman mereka kurang/tidak sesuai (5,88%). Mayoritas masyarakat juga tidak menginginkan jenis tanaman yang boleh mereka tanam ditentukan oleh Menteri Kehutanan (95,80%), sedangkan yang setuju dengan ketentuan tersebut 3,36% dan sisanya ragu-ragu (0,84%). Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jenis tanaman HTR dapat dilihat pada Tabel 37.

Tabel 37 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap jenis tanaman HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <5 5 – 7 >7 98 20 1 82,35 16,81 0,84 Jumlah 119 100,00

5.6.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Persyaratan Perijinan HTR

Tingkat persepsi masyarakat terhadap persyaratan perijinan HTR yang berada pada level tinggi sebesar 48,74%, level sedang 48,74% dan level rendah 2,52 (Tabel 38). Sebagian masyarakat merasa kesulitan untuk mendapatkan salah satu persyaratan dalam perijinan HTR berupa KTP, surat keterangan domisili dan sketsa (50,42%) sedangkan sisanya merasa tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan persyaratan tersebut (49,58%).

Tabel 38 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap persyaratan perijinan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <5 5 – 7 >7 3 58 58 2,52 48,74 48,74 Jumlah 119 100,00

Kesulitan masyarakat dalam mendapatkan KTP dan surat keterangan domisili karena status kependudukan mereka yang belum diakui sepenuhnya oleh desa di sekitar mereka. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini mereka mulai mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan. Dalam pembuatan sketsa atau peta mayoritas masyarakat juga mengalami kesulitan. Namun kesulitan tersebut dapat diatasi dengan adanya pendamping HTR dan juga asistensi yang dilakukan oleh koperasi walaupun masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk membuat sketsa/peta tersebut.

5.6.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Proses Perijinan HTR

Persepsi masyarakat masyarakat terhadap proses perijinan pada umumnya berada pada tingkat rendah (57,98%). Hal ini tidak terlepas dari pengalaman mereka dalam mengajukan ijin HTR. Masyarakat pernah memproses untuk mengajukan ijin pada tahun 2010 dengan difasilitasi oleh Kopkarinhut V. Namun proses tersebut mengalami kegagalan pada tahapan verifikasi oleh BPPHP wilayah V Palembang. Dalam melaksanakan verifikasi,

BPPHP Wilayah V Palembang menggunakan kebijakan kawasan hijau dan kawasan putih. Kawasan hijau artinya kawasan tersebut telah ditanami dengan tanaman berkayu (karet) sedangkan kawasan putih adalah kawasan yang belum ditanami dengan tanaman berkayu. Dalam verifikasi hanya kawasan hijau yang diloloskan sedangkan kawasan putih tidak diloloskan. Akibat dari kebijakan tersebut dari sekitar 400-an masyarakat yang mengajukan ijin hanya 88 orang yang lolos verifikasi. Hasil verifikasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Dinas Kehutanan Kabupaten OKI karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di dalam kawasan tersebut.

Tabel 39 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap proses perijinan HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <5 5 – 7 >7 69 45 5 57,98 37,82 4,20 Jumlah 119 100,00

Pada tahun 2011 Masyarakat dengan difasilitasi oleh tenaga pendamping HTR berusaha mengajukan lagi ijin HTR. Untuk mempermudah dibentuklah lima kelompok tani (KTH) hutan yaitu KTH Jelutung, KTH Gelam, KTH Karet, KTH Rengas dan KTH Wana Krida. Pengukuran dan pembuatan sketsa juga sudah dilakukan. Pemenuhan syarat administrratif juga sudah dilaksanakan. Namun ketika diajukan ke BPPHP Wilayah V untuk diverifikasi berkas tersebut dikembalikan dengan keterangan bahwa syarat administrsi belum lengkap. Selain itu Kopkarinhut V memfasilittasi lagi untuk pengajuan ijin HTR atas nama koperasi. Namun dalam proses pengajuan keluar ketentuan bahwa luas lahan maksimal untuk koperasi adalah 700 ha sehingga menyebabkan kopkarinhut mundur.

Pada tahun 2012 masyarakat mencoba mengajukan kembali ijin HTR melalui 4 kelompok tani tersebut dan membentuk satu koperasi baru yaitu Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan (Komasperhut). Berkas pengajuan dari 4 kelompok tani dan koperasi tersebut pada bulan Mei sudah disampaikan ke BPPHP Wilayah V namun sampai sekarang belum ada kejelasan untuk verifikasi.

Pengalaman tersebut menyebabkan persepsi masyarakat terhadap proses pengajuan ijin rendah. Selain itu kepercayaan masyarakat terhadap

BPPHP Wilayah V dan dinas kehutanan Kabupaten OKI mengalami penurunan. Apabila pada proses pengajuan yang terakhir ini kembali mengalami kegagalan maka dikhawatirkan masyarakat tidak antusias lagi dalam melaksanakan program pembangunan HTR.

5.6.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Jangka waktu dan Luasan Usaha HTR

Jangka waktu ijin usaha HTR diberikan selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali selama 35 tahun. Luas pengusahaan yang diberikan untuk ijin perorangan adalah seluas maksimal 15 ha. Persepsi masyarakat terhadap jangka waktu ijin dan luasan ijin usaha berapa pada level tinggi (84,03%) dan sedang (115,97%) (Tabel 40).

Tabel 40 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <5 5 – 7 >7 0 19 100 0,00 15,97 84,03 Jumlah 119 100,00

Tingginya tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin ini dikarenakan masyarakat merasa cukup dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang sampai 35 tahun apalagi dalam ketentuan yang baru terdapat klausul pengutamaan ahli waris untuk melanjutkan ijin tersebut.

Pemilikan lahan di kawasan ini sudah tidak merata dikarenakan telah terjadinya proses jual beli diantara masyarakat sehingga beberapa masyarakat mempunyai lahan lebih dari 15 ha. Hal ini telah menjadi perhatian dari Dinas Kehutanan Kabupaten OKI dikarenakan dalam proses verifikasi terhadap usulan ijin HTR Kopkarinhut V, pemilikan lahan yang melebihi 15 ha oleh seorang petani menjadi salah satu penyebab tidak diloloskannya usulan tersebut. Ketentuan perijinan HTR dalam Peraturan Menteri Kehutanan tidak menyebutkan batasan pemilikan lahan perorangan apabila usulan ijin disampaikan melalui koperasi. Hal ini menyebabkan sejumlah responden tidak setuju dengan ketentuan pembatasan lahan tersebut (12,60%).

5.6.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Pewarisan Ijin HTR

Ketentuan dalam peraturan Menteri Kehutanan tentang perijinan HTR menyatakan bahwa HTR tidak dapat diwariskan. Hal ini tidak disetujui oleh masyarakat walaupun terdapat klausul bahwa ahli waris diutamakan untuk mendapatkan ijin di lahan tersebut (Tabel 41). Klausul ini dinilai masyarakat tidak cukup.

Tabel 41 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pewarisan ijin HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi ≤ 3 4 – 5 > 5 112 5 2 94,12 4,20 1,68 Jumlah 119 100,00

Ketentuan tentang hak pewarisan ini dikeluarkan oleh pemerintah untuk menegaskan bahwa kawasan tersebut bukanlah hak milik dari petani HTR tetapi merupakan lahan milik negara yang pengelolaannya dipercayakan kepada petani penggarap. Secara hukum hal tersebut dipandang logis namun permasalahan yang dikhawatirkan muncul adalah kemungkinan adanya pihak yang akan mencoba mengambil keuntungan dari celah tersebut. Permasalahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: misalnya petani HTR berumur 30 tahun mulai menanam karet pada lahan usahanya. Maka dengan asumsi rotasi karet 25 tahun dan umur petani tersebut 65 tahun maka pada saat dia meninggal akan ada tanaman karet berumur 10 tahun di lahan tersebut dan masih ada sisa jangka waktu ijin 25 tahun lagi. Bila ketentuan bahwa lahan tersebut harus dikembalikan kepada negara apabila pemiliknya meninggal diberlakukan maka akan banyak pihak yang berebut untuk mendapatkan ijin di lahan tersebut. Tentu hal ini tidak adil bagi ahli waris pemegang ijin.

Untuk itu diperlukan jalan keluar untuk menghindari hal tersebut. Misalnya dibuat ketentuan bahwa apabila pemegang ijin meninggal maka ahli waris yang ditunjuk oleh pemegang ijin secara otomatis akan melanjutkan ijin tersebut sampai habis jangka waktunya. Kemudian apabila sudah habis jangka waktunya dilakukan evaluasi lagi untuk menerbitkan ijin baru atas nama ahli waris tersebut. Ketentuan-ketentuan kompromistis seperti ini perlu dilakukan karena tidak ada gunanya pemerintah membuat ketentuan yang tidak akan ditaati oleh masyarakat.

5.6.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Hak dan Kewajiban

Hak dan kewajiban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan hak mendapatkan pinjaman, hak mendapatkan pendampingan dan kewajiban menyusun rencana kerja baik Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR (RKUPHHK-HTR) maupun Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR (RKTUPHHK-HTR). Ketentuan dalam perijinan HTR memberikan masyarakat pemegang ijin hak untuk mendapatkan bantuan berupa pinjaman lunak untuk pembangunan HTR yang dalam persyaratan pencairannya mewajibkan pemegang ijin untuk membuat RKUPHHK-HTR dan RTKUPHHK-HTR. Pembuatan RKTUPHHK-HTR dan RKUPHHK-HTR difasilitasi oleh BPPHP setempat.

Persepsi masyarakat terhadap hak dan kewajiban tersebut sebagain besar berada pada level yang tinggi (Tabel 42). Tingginya persepsi masyarakat terhadap hak dan kewajiban HTR tersebut dikarenakan mereka merasa mampu untuk memenuhi kewajiban sebagai pemegang ijin yaitu menyusun RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-RKUPHHK-HTR dan memandang hak mereka untuk mendapatkan pinjaman HTR bukanlah sebagai faktor utama yang mendorong mereka untuk mendapatkan ijin HTR. Keyakinan tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian mereka yang sudah membaik. Apalagi dengan adanya fasilitasi oleh BPPHP dalam pembuatan RKU dan RKT HTR

Tabel 42 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap hak dan kewajiban No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi ≤ 6 7 – 9 ≥ 10 3 8 108 2,52 6,72 90,76 Jumlah 119 100,00

5.6.10 Persepsi Masyarakat Terhadap Pasar Kayu Hasil HTR

Yang dimaksud dengan pasar kayu hasil HTR disini adalah industri kayu, kejelasan pemasaran hasil kayu dan juga mekanisme penentuan harga kayu. Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR pada umumnya berada pada level sedang dan rendah (Tabel 43).

Tabel 43 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pasar kayu hasil HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <5 5 – 7 >7 47 67 5 39,50 56,30 4,20 Jumlah 119 100,00

Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR yang relatif rendah ini disebabkan pengetahuan mereka tentang pasar hasil hutan kayu yang kurang. Selama ini mereka tidak terbiasa dengan budidaya tanaman yang bertujuan untuk menghasilkan kayu. Sedangkan dalam hal penentuan harga jual komoditas baik kayu maupun non kayu mereka pada umumnya tidak setuju apabila harga jual ditentukan oleh Menteri Kehutanan. Mereka menginginkan harga jual komoditas ditentukan oleh mekanisme pasar yang adil.

5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kelembagaan HTR

Kelembagaan yang ada di masyarakat dalam pengurusan ijin HTR ini adalah KTH dan koperasi. Terdapat 5 (lima) KTH dan 1 (satu) koperasi yang didirikan untuk mempermudah pengurusan ijin HTR. Persepsi masyarakat terhadap kelembagaan KTH dan koperasi untuk mempermudah pengurusan HTR sangat tinggi (Tabel 44). Mereka menaruh harapan yang besar terhadap KTH dan koperasi tersebut dalam mempermudah pengurusan ijin HTR mereka.

Tabel 44 Sebaran tingkat perepsi responden terhadap kelembagaan HTR No. Kategori tingkat persepsi Selang

Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <5 5 – 7 >7 2 7 110 1,68 5,88 92,44 Jumlah 119 100,00

Tidak semua masyarakat yang terdapat di dalam Kawasan merupakan anggota KTH atau koperasi tersebut. Namun mereka tetap merasa bahwa keberadaan KTH dan koperasi penting dalam pengurusan HTR. Mereka yang tidak menjadi anggota KTH dan koperasi saat ini dalam posisi wait and see. Mereka menunggu dan mengamati proses pengajuan ijin HTR oleh KTH dan koperasi yang sedang berjalan. Apabila proses tersebut berhasil dan ijin HTR keluar meraka akan segera ikut mendirikan KTH atau koperasi di tempat mereka.

Peran KTH dan koperasi sampai saat ini baru sampai pada tahap pengajuan ijin. Mereka belum berperan dalam peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani HTR. Hal ini terjadi karena memang mereka baru dibentuk dalam rangka untuk mempermudah pengajuan ijin HTR. Untuk selanjutnya diharapkan mereka dapat lebih berperan banyak dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani HTR sehingga dapat menjadi katalisator dalam peningkatan kesejahteraan petani HTR.

5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Sosialisasi HTR

Kegiatan sosialisasi HTR dikawasan tersebut dilakukan sejak tahun 2008 oleh BPPHP Wilayah V Palembang sejak kawasan tersebut masuk dalam peta indikatif calon lokasi pencadangan HTR. Sosialisasi dilaksanakan hanya sekali dalam setahun dan hanya menjangkau tokoh masyarakat dan instansi terkait. Namun sejak tahun 2011 dengan adanya kegiatan fasilitasi yang dilakukan pendamping HTR kegiatan sosialisasi intens dilakukan oleh pendamping HTR dengan pendekatan lebih interpersonal. Akan tetapi terbatasnya jumlah tenaga pendamping HTR menyebabkan kegiatan sosialisasi tidak dapat menjangkau masyarakat secara optimal. Hal ini yang menyebabkan persepsi masyarakat terhadap kegiatan sosialisasi HTR rendah (Tabel 45).

Tabel 45 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan sosialisasi HTR No.

Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi <8 9 – 12 >12 85 34 0 71,43 28,57 0,00 Jumlah 119 100,00

Kendala utama yang dihadapi oleh instansi pemerintah baik di BPPHP Wilayah V, Dinas Kehutanan OKI ataupun aparat pemerintahan setempat dalam melaksanakan sosialisasi HTR adalah masalah anggaran. Alokasi anggaran untuk program HTR ini termasuk didalamnya kegiatan sosialisasi HTR di Dinas Kehutanan OKI baru dianggarkan pada tahun 2011 dengan jumlah yang sangat terbatas yaitu Rp75.000.000 sedangkan di BPPHP anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan HTR lebih besar yaitu Rp.960.000.000 untuk 4 wilayah di 2 Propinsi. Namun mulai tahun 2011 ini terdapat perubahan dalam pola sosialisasi

yang mulai dilakukan sampai pada tingkat tapak, artinya sosialisasi dilakukan langsung kepada calon-calon petani HTR.

Peran pendamping dalam sosialisasi selama ini juga sangat terbatas dikarenakan jumlah mereka yang juga terbatas (3 orang). Dengan luas areal 8.000 ha dan jumlah penduduk 2.837 KK, 3 orang pendamping ini tidak akan cukup untuk memfasilitasi mereka dalam pembangunan HTR. Selain itu latar belakang pendidikan pendamping yang bukan berasal dari bidang kehutanan menyebabkan mereka mengalami kesulitan ketika masyarakat mulai menanyakan dan meminta bimbingan teknis kepada pendamping.

Faktor lain yang menghambat dalam sosialisasi ini adalah kurangnya peran LSM. Hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat terhadap LSM rendah yang tidak terlepas dari pengalaman masyarakat dalam berhubungan dengan LSM yang pada akhirnya hanya merugikan mereka. Oleh karena itu diperlukan adanya peran aktif LSM yang benar-benar berusaha untuk membantu masyarakat dalam membangun HTR di wilayah tersebut.

5.6.13 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penyuluhan dan Pendampingan HTR

Untuk menunjang kegiatan HTR maka dibutuhkan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat berupa pendampingan. Pendampingan merupakan hak yang diperoleh setiap pemegang ijin HTR (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 Pasal 20). Pendamping HTR bertugas memfasilitasi pengembangan organisasi pemegang izin HTR, transfer pengetahuan dan keterampilan kehutanan, perencanaan dan pelaksanaan HTR, peluang kerja dan peluang berusaha, partisipasi dan sikap dalam pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

Pendampingan HTR dapat bersifat teknis dan bersifat penguatan kelembagaan. Pendampingan yang bersifat teknis dilakukan oleh penyuluh kehutanan dan teknisi kehutanan lainnya sedangkan pendampingan yang bersifat penguatan kelembagaan dilakukan oleh LSM, tenaga kerja sarjana terdidik, tenaga kerja sosial, tenaga kerja sarjana kehutanan dan pertanian, organisasi peduli lingkungan (kelompok pecinta alam, kader konservasi alam), penyuluh kehutanan lapangan dan organisasi lain yang dipandang perlu dilibatkan dalam pendampingan, dimana yang bersangkutan telah berpengalaman atau telah mendapatkan pelatihan pemberdayaan masyarakat.

Persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan HTR berapa pada tingkat yang sedang (Tabel 46). Tingkat persepsi masyarakat yang cenderung kurang baik pada kegiatan penyuluhan ini tidak terlepas dari kurangnya dukungan terhadap kegiatan tersebut dari pihak pemerintah (Dinas kehutanan, BPPHP V dan aparat pemerintah) dan pihak LSM. Selain itu kekurangan jumlah tenaga pendamping juga menyebabkan tidak semua masyarakat mendapatkan pendampingan dan penyuluhan yang memadai.

Tabel 46 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan dan pendampingan HTR

No. Kategori tingkat persepsi Selang Skor persepsi