• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODAL SOSIAL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODAL SOSIAL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

   

MODAL SOSIAL DAN PERSEPSI MASYARAKAT

DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR

AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)
(3)

   

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Agus Wibowo Dwi Saputro NRP E151100081

(4)
(5)

   

ABSTRACT

AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO. Social Capital and Perception of the Community in the Development of Community Plantation Forest (HTR) in Ogan Komering Ilir Regency. Supervised by LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

A successful of community plantation forest development needs to include a social capital as readiness factors of the people to accept a development program from the government and community perception on the program regulation. The research objectives were (1) to assess the individual characteristics, social capital and community perception on HTR regulation, (2) to analyze the relationship between the individual characteristics and the constituent elements of social capital and perception on HTR regulation, between social capital and its constituent elements as well as between social capital and community perception on HTR regulation (3) to obtain the most appropriate HTR development strategy. The study was conducted at the Terusan Sialang State Forest Area in Ogan Komering Ilir Regency from Maret to Mei 2012. Data were analyzed using a descriptive analysis, Rank Spearman correlation , SWOT and QSPM. The individual characteristics based on the assesment of age categories, education (formal dan non formal), income, size of land ownership, level of health, length of stay, social status, ethnics, and domicile of origin were in medium category. The social capital of community is in the high category with the identified elements of social capital involving trust, social networks, social norms, proactive actions and caring. The individual characteristics significantly related to the constituent elements of social capital are age, formal and non-formal education, income, wide of land ownership, health level, social status and ethnic. The individual characteristic significantly related to perception of HTR regulation are formal education, income, land area, social status and ethnic. The social capital was significantly corelated with the perception of HTR regulation. The selected and prioritized strategy was to build multi stakeholders forum to strengthten coordination, communication, information services, searching solution on HTR development problem, partnership and marketing development, and as center of excelent for HTR development program in Ogan Komering Ilir regency. Keywords: social capital, perception, individual characteristic, community

(6)
(7)

   

RINGKASAN

AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO. Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) belum memberikan hasil yang memuaskan. Keberhasilan program pembangunan kehutanan tidak saja ditentukan oleh aspek biofisik dan finansial saja tetapi memerlukan collective action yang tinggi dari masyarakat. Oleh karena itu unsur modal sosial dan persepsi masyarakat sebagai salah satu faktor pendorong munculnya collective action perlu dimasukkan dalam pertimbangan pembangunan HTR di Kabupaten OKI. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat; mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat; dan mendapatkan strategi yang paling sesuai dalam rangka pembangunan HTR di lokasi pencadangan HTR di kawasan hutan produksi Terusan Sialang.

Karakteristik individu pada masyarakat di areal pencadangan HTR Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang sebagai komponen modal sosial berada pada kategori sedang. Umur masyarakat didominasi oleh masyarakat usia produktif dengan kategori rendah untuk tingkat pendidikan non formal, kategori sedang untuk tingkat pendidikan formal, pendapatan, luas lahan, lama tinggal, status sosial dan asal domisili, serta kategori tinggi untuk tingkat kesehatan dan asal suku bangsa. Unsur-unsur modal sosial yang diidentifikasi adalah kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian dengan tingkat modal sosial yang tinggi/sangat kuat. Modal sosial pada taraf ini akan sangat membantu untuk keberhasilan pembangunan HTR. Persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR secara umum berada pada pada kategori sedang kecuali persepsi pada pemanfatan HTR, proses perijinan HTR, Jenis tanaman HTR, Pewarisan ijin HTR dan Kegiatan sosialisasi HTR yang berada pada kategori rendah.

Berdasarkan korelasi spearman maka karakteristik individu yang berhubungan nyata dengan unsur modal sosial adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan, tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, status sosial dan suku bangsa. Karakteristik individu yang berhubungan nyata dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR adalah tingkat pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas lahan status sosial dan suku bangsa. Unsur-unsur modal sosial yang berhubungan dengan modal sosial adalah kepercayaan, jaringan, norma sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian. Karakteristik individu dan modal sosial juga berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR di Kabupaten OKI.

Berdasarkan analisis SWOT terhadap evaluasi faktor internal dan eksternal, maka direkomendasikan untuk melaksanakan strategi kompetitif yang didasarkan pada pemanfaatan kekuatan untuk menanggulangi ancaman-ancaman yang ada. Hasil analis matriks QSPM menunjukkan bahwa strategi terpilih adalah membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR.

Kata kunci: modal sosial, persepsi masyarakat, karakteristik individu, Hutan Tanaman Rakyat

(8)
(9)

   

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)
(11)

   

MODAL SOSIAL DAN PERSEPSI MASYARAKAT

DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR

AGUS WIBOWO DWI SAPUTRO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(12)
(13)

   

Judul : Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir

Nama : Agus Wibowo Dwi Saputro NIM : E151100081

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop.

Ketua Anggota

 

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 30 Agustus 2012 Tanggal Lulus:

(14)
(15)

   

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini banyak bantuan yang telah penulis terima. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada: Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini; Bapak Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc. selaku penguji luar komisi dan Bapak Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo, M.S selaku pimpinan sidang pada ujian tesis; Kementerian kehutanan yang telah memberikan bantuan biaya pendidikan; Aparat pemerintahan di Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, BPPHP Wilayah V Palembang; Aparat dan masyarakat Desa Lubuk Makmur, Muara Burnai II dan Lubuk Seberuk yang telah memberikan bantuan; Bapak Rico, Bapak Sarimo dan Bapak Nyoman Sunatra atas bantuannya selama penelitian dilapangan; Teman-teman IPH khususnya angkatan 2010 serta keluarga atas segenap dukungan dan doanya.

Semoga karya ilmiah dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2012

(16)
(17)

   

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blora pada tanggal 28 Januari 1977 sebagai

putera kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Heri Sukiyana dan Ibu

Suwarsi. Penulis menikah dengan Zaraqo S.Hut pada tanggal 16 April

2006 dan telah dikaruniai tiga orang anak yaitu Farah Adiba, Farah Aqila

dan Hanif Zahran.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Jepon III, SMP

Negeri Jepon I dan SMA Negeri I Blora. Penulis mendapatkan gelar

Sarjana Kehutanan dari Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas

kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2001.

Penulis bekerja di Kementerian Kehutanan sebagai Pejabat

Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan sejak tahun 2003. Pada Tahun

2010 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

1 PENDAHULUAN1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 5 1.5 Kerangka Pemikiran ... 6 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9 2.1 Modal Sosial ... 9

2.1.1 Konsep Modal Sosial ... 9

2.1.2 Tipologi dan tingkatan Modal Sosial ... 11

2.1.3 Unsur-Unsur Modal Sosial... 14

2.2 Persepsi 2.2.1 Pengertian Persepsi ... 18

2.2.2 Mekanisme Pembentukan Persepsi ... 19

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 20

2.3 Hutan Tanaman Rakyat ... 21

2.3.1 Definisi dan pola Pembangunan HTR ... 21

2.3.2 Lokasi dan Proses Perijinan HTR... 22

2.3.3 Jenis Tanaman dan Tahapan Pembangunan HTR ... 24

2.3.4 Hambatan-Hambatan Pembangunan HTR ... 26

3 METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 27

3.3 Jenis Data dan Instrumen Penelitian ... 28

3.4 Penentuan Responden ... 31

3.5 Variabel Pengamatan dan Definisi Operasional ... 32

3.6 Metode Pengolahan Data dan Analisi Data... 36

3.6.1 Analisis Deskriptif Kualitatif ... 36

3.6.2 Analisis Kuantitatif ... 36

(20)

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 37

4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ... 37

4.2 Kondisi Biofisik Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ... 38

4.2.1 Letak dan Luas ... 38

4.2.2 Penggunaan Lahan Kawasan ... 38

4.2.3 Iklim ... 39

4.2.4 Topografi ... 39

4.2.4 Jenis Tanah ... 39

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat ... 40

4.3.1 Kependudukan ... 40

4.3.2 Pendidikan, Agama dan Asal Penduduk ... 40

4.3.3 Sarana dan Prasarana ... 41

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

5.1 Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Komunitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ... 43

5.2 Karakteristik Individu Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ... 48

5.2.1 Umur ... 48

5.2.2 Tingkat Pendidikan Formal ... 48

5.2.3 Tingkat Pendidikan Non Formal ... 49

5.2.4 Tingkat Pendapatan ... 50

5.2.5 Tingkat Kesehatan ... 51

5.2.6 Luas Lahan Garapan ... 52

5.2.7 Lama Tinggal ... 53

5.2.8 Status Sosial ... 53

5.2.9 Suku Bangsa ... 55

5.2.10 Asal Domisili ... 55

5.3 Penilaian Karakteristik Individu ... 55

5.4 Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial ... 57

5.4.1 Kepercayaan ... 57

5.4.2 Jaringan Sosial ... 60

5.4.3 Norma Sosial ... 63

5.4.4 Tindakan Yang Proaktif ... 65

(21)

5.5 Modal Sosial Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang ... 67

5.6 Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Terhadap Pembangunan HTR ... 69

5.6.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Alokasi Lahan HTR ... 69

5.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Pola Pembangunan HTR ... 70

5.6.3 Persepsi Masyarakat Terhadap kegiatan Pemanfaatan HTR .... 71

5.6.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman HTR ... 72

5.6.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Persyaratan Perijinan HTR... 73

5.6.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Proses Perijinan HTR ... 73

5.6.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Jangka Waktu dan Luasan Ijin Usaha HTR ... 75

5.6.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Pewarisan Ijin HTR ... 76

5.6.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Hak dan Kewajiban HTR ... 78

5.6.10 Persepsi Masyarakat Terhadap Pasar Kayu Hasil HTR ... 77

5.6.11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kelembagaan HTR ... 78

5.6.12 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Sosialisasi HTR ... 79

5.6.13 Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penyuluhan dan Pendampingan HTR ... 80

5.6.14 Penilaian Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR ... 82

5.7 Hubungan Karakteristik Individu dengan Unsur-Unsur Modal Sosial Masyarakat ... 84

5.8 Hubungan Modal Sosial Dengan Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat ... 87

5.9 Hubungan Karakteristik Individu Dengan Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR ... 88

5.10 Hubungan antara Modal Sosial Masyarakat Terhadap Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan HTR ... 90

5.11 Dukungan Infrastruktur ... 92

5.12 Strategi Pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ... 94

5.12.1 Faktor SWOT ... 95

5.12.2 Tahap Analisis Data ... 100

(22)

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 107 6.1 Kesimpulan ... 107 6.2 Saran ... 107 DAFTAR PUSTAKA ... 109 LAMPIRAN

(23)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Definisi, maksud/tujuan dan analisis modal sosial ... 10 2 Kategori modal sosial ... 13 3 Tingkatan modal sosial ... 13 4 Tahapan dan tata waktu kegiatan HTR ... 26 5 Penggunaan lahan di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ... 38 6 Tingkat pendidikan masyarakat di Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang ... 39 7 Asal domisili masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang . 40 8 Perubahan penggunaan lahan Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang ... 46 9 Sebaran kelompok umur responden ... 48 10 Sebaran tingkat pendidikan formal responden ... 49 11 Tingkat pendidikan formal masyarakat di Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang tahun 2001 ... 49 12 Sebaran tingkat pendidikan non formal responden ... 50 13 Sebaran tingkat pendapatan responden ... 50 14 Sebaran tingkat kesehatan responden ... 51 15 Sebaran luas lahan garapan responden ... 52 16 Sebaran lama tinggal responden ... 53 17 Sebaran status sosial responden ... 54 18 Sebaran suku bangsa responden ... 54 19 Sebaran asal domisili responden ... 55 20 Penilaian karakteristik individu responden ... 56 21 Sebaran karakteristik individu responden ... 57 22 Tingkat kepercayaan masyarakat ... 59 23 Sebaran tingkat kepercayaan responden ... 60 24 Tingkat jaringan sosial responden ... 61 25 Sebaran tingkat jaringan sosial responden ... 61 26 Tingkatan norma sosial masyarakat Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang ... 63 27 Sebaran tingkatan norma sosial responden ... 64 28 Tingkat tindakan proaktif masyarakat Kawasan Hutan Produksi

(24)

Terusan Sialang ... 65 29 Sebaran tingkat tindakan proaktif responden ... 66 30 Tingkat kepedulian masyarakat di Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang ... 66 31 Sebaran tingkat kepedulian responden ... 67 32 Skor modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan Produksi

terusan Sialang ... 67 33 Sebaran tingkat modal sosial masyarakat di Kawasan Hutan produksi

Terusan Sialang ... 68 34 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap alokasi lahan HTR ... 70 35 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan

HTR ... 71 36 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan

pemanfaatan HTR ... 72 37 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap jenis tanaman HTR ... 73 38 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap persyaratan perijinan

HTR ... 73 39 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap proses perijinan HTR ... 74 40 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan

luasan ijin HTR ... 75 41 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pewarisan ijin HTR ... 76 42 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap hak dan kewajiban ... 77 43 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pasar kayu hasil HTR .... 78 44 Sebaran tingkat perepsi responden terhadap kelembagaan HTR ... 78 45 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan

sosialisasi HTR ... 79 46 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan

dan pendampingan HTR ... 81 47 Skor persepsi masyarakat terhadap pembangunan HTR ... 82 48 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap HTR ... 83 49 Hubungan antar komponen pada karakteristik individu ... 84 50 Hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal

sosial ... 85 51 korelasi antara modal sosial dengan unsur-unsur modal sosial ... 88 52 Korelasi karakteristik individu dengan persepsi masyarakat terhadap

(25)

pembangunan HTR ... 90 53 Hubungan antara karakteristik individu, modal sosial dan persepsi

responden terhadap pembangunan HTR ... 91 54 Ketersediaan dan pelayanan infrastruktur pendukung pembangunan .... 93 55 Matrik IFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ... 97 56 Matrik EFE dalam pembangunan HTR di Kabupaten OKI ... 99 57 Matrik SWOT Pembangunan HTR di Kabupaten OKI ... 103 58 Rekapitulasi matriks QSPM pada pembangunan HTR

(26)
(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran... 7 2 Kerangka Konseptual Modal Sosial ... 12 3 Bagan alir proses pencadangan HTR ... 23 4 Kerangka formulasi strategis ... 38 5 Perbandingan nilai TAS stakeholders terhadap alternatif kebijakan

(28)
(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pokok penelitian, jenis data, sumberdata dan metode pengumpulan

data ... 117 2. Variabel dan definisi operasional ... 119 3. Data responden, karakteristik individu, modal sosial dan persepsi

masyarakat dalam pembangunan HTR di Terusan Sialang ... 122 4. Korelasi rank spearman antara karakteristik individu dengan

modal sosial... 126 5. korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu dengan persepsi

masysrakat terhadap pembangunan HTR ... 127 6. Korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu, modal sosial

dan persepsi masyarakat terhadap Pembangunan HTR ... 128 7. Nilai rata-rata bobot dan rata rating pada faktor strategis analisis

SWOT ... 129 8. Prioritas alternatif strategi terpilih berdasarkan QSPM ... 131 9. Dokumentasi penelitian ... 133 10. Peta lokasi penelitian... 137

   

(30)
(31)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial sampai dengan Orde Baru masih menempatkan para pengusaha dengan modal besar sebagai pemain utama dan membatasi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan. Akibatnya masyarakat di sekitar hutan tetap berada dibawah garis kemiskinan (Awang 2003). Selain itu, sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia telah menyebabkan terjadinya alienasi masyarakat terhadap sumber daya alam yang akhirnya menimbulkan berbagai macam konflik dalam pengelolaan sumber daya alam (Kartodihardjo 2006a).

Kegiatan eksploitasi hutan juga menyebabkan terjadinya peningkatan laju deforestrasi hutan di Indonesia. Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan rata-rata laju deforestrasi hutan di Indonesia tahun 2000 ― 2005 mencapai 1,174 juta hektar (Dephut 2009). Selain disebabkan oleh eksplotasi hutan, deforestrasi hutan di Indonesia juga disebabkan oleh kegiatan illegal logging, pembukaan hutan untuk pertanian/perkebunan rakyat dan perkebunan swasta, kebakaran hutan, perebutan kekuasaan atas lahan hutan antara HPH dan masyarakat adat (Awang 2003). Darusman (2002) menyatakan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia bukanlah semata-mata disebabkan oleh kelemahan manajemen tetapi juga karena ketidakpuasan sosial, ekonomi dan politik masyarakat di sekitar hutan.

Dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia dari State Based Forest Management (SBFM) menjadi Community Based Forest Management (CBFM). Pergeseran paradigma pembangunan kehutanan ini ditandai dengan munculnya program-program pembangunan kehutanan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Roslinda 2008), salah satunya adalah program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 telah memberikan masyarakat kesempatan untuk dapat mengelola kawasan hutan produksi melalui skema Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan

(32)

Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR). Dalam IUPHHK-HTR ini pemerintah memberikan akses hukum, kelembagaan, modal dan pasar kepada masyarakat dalam mengelola kawasan hutan produksi dengan kerangka kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan hutan lestari (Emilia & Suwito 2007).

Kementerian kehutanan sudah menetapkan target alokasi lahan untuk pembangunan IUPHHK-HTR sampai dengan tahun 2010 sebesar 5,4 juta hektar dengan melibatkan 360.000 kepala keluarga (Emilia & Suwito 2007). Namun realisasi pencadangan lahan IUPHHK-HTR sampai dengan bulan Juli 2009 baru mencapai 310.542,73 hektar atau 5,75% dari target sampai dengan tahun 2010, sedangkan perizinan IUPHHK-HTR yang sudah dikeluarkan baru 8 izin pada 8 kabupaten/kota yang tersebar pada 5 Provinsi dengan luas total ijin 155.305,95 ha atau sekitar 4,9% dari total areal pencadangan IUPHHK-HTR (BPK 2009).

Rendahnya realisasi baik pencadangan maupun perizinan IUPHHK-HTR yang telah dikeluarkan mengindikasikan adanya permasalahan baik dari pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan pembangunan IUPHHK-HTR tersebut. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya: status kawasan dan masalah tenurial masyarakat, terbatasnya akses masyarakat untuk mendapatkan faktor-faktor produksi, terbatasnya akses masyarakat terhadap pasar dan informasi, regulasi pemasaran hasil hutan yang terlalu ketat, kurangnya penghargaan terhadap jasa-jasa lingkungan, kurang memadainya institusi HTR (Noordwijk et al. 2007). Berbagai permasalahan di atas menyebabkan hasil program pembangunan HTR tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Secara umum Kartodiharjo (2006a) menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan di Indonesia ditentukan oleh dua hal yaitu kepastian hak tenurial dan keputusan-keputusan kolektif (collective action) yang tinggi. Salah satu faktor yang menentukan munculnya collective action yang positif dalam masyarakat adalah tingkat modal sosial yang terdapat dalam masyarakat (Hasbullah 2006). Perbedaan tingkat unsur modal sosial seperti kepercayaan dan posisi dalam jaringan/organisasi akan menimbulkan tingkat collective action yang berbeda (Fukuyama 2001). Hasbullah (2006) menyatakan bahwa ketidakberhasilan pembangunan di Indonesia selama ini dikarenakan hilangnya energi tidak tampak yaitu kebersamaan dalam mengatasi masalah yang dibangun oleh modal sosial yang kuat.

(33)

Uraian diatas memberikan gambaran bahwa keberhasilan program pembangunan kehutanan juga ditentukan oleh faktor kultural masyarakat yang bermanifestasi dalam bentuk modal sosial. Pembangunan di Indonesia selama ini telah mengabaikan unsur modal sosial tersebut, bahkan telah terjadi penghancuran modal sosial akibat program-program pembangunan yang tidak tepat dan mengesampingkan aspek pembangunan kultural. Padahal modal sosial merupakan sine qua non1 bagi pembangunan manusia, ekonomi, sosial, politik dan demokrasi (Hasbullah 2006).

Oleh karena itu, pembangunan HTR sebagai salah satu terobosan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada rakyat dalam mengelola hutan negara perlu memasukkan pertimbangan unsur modal sosial. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengetahui tingkat modal sosial masyarakat yang akan ikut dalam pembangunan HTR. Hasil kajian tersebut dapat menjadi acuan bagi pemegang kebijakan untuk melakukan langkah-langkah pembangunan HTR sesuai dengan tingkat modal sosial yang ada pada masyarakat. Keberadaan modal sosial yang kuat diharapkan akan menimbulkan collective action yang positif. Adanya collective action yang tinggi dari masyarakat akan memperbesar tingkat keberhasilan pembangunan HTR di wilayah tersebut.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK 357/Menhut-II/2009 tanggal 8 Juni 2009 di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) telah dicadangkan areal untuk pembangunan HTR seluas 8.000 ha pada Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang. Sampai tahun 2010 izin IUPHHK-HTR yang telah dikeluarkan oleh Bupati OKI baru seluas 301,5 ha atau 3,8% dari luas areal pencadangan.

Kondisi areal pencadangan HTR tersebut merupakan kawasan yang sudah dijarah oleh masyarakat. Sampai dengan tahun 2010 telah terdapat 2.837 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami kawasan tersebut (Dishut OKI 2010). Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang sebagai areal pencadangan HTR diharapkan mampu mengatasi permasalahan penjarahan di kawasan tersebut dan mengembalikan potensi serta fungsi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataannya program HTR di kawasan tersebut belum memberikan hasil yang positif.

1   Mengacu pada suatu tindakan yang sangat diperlukan dan penting, kondisi, atau rumusan. Awalnya istilah hukum bahasa Latin untuk "[kondisi] yang tanpanya tidak bisa," atau "tetapi untuk ..." atau “yang tanpanya tidak akan ada apa-apa." 

(34)

Kegagalan implementasi program pembangunan oleh pemerintah dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah paradigma perencanaan pembangunan yang masih sentralistik dan kurang melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan. Padahal keberhasilan program pembangunan memerlukan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan program pembangunan kurang mendapat respon masyarakat karena kurang sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat.

Untuk menyukseskan pembangunan HTR ini, pemerintah telah menyiapkan infrastruktur penunjang dari segi permodalan, teknis, dan pendampingan yang secara umum masuk dalam kategori modal ekonomi (economic capital) dan modal sumber daya manusia (human capital). Namun sekali lagi aspek kultural berupa modal sosial masyarakat setempat kurang mendapat perhatian. Padahal pengalaman pembangunan di berbagai negara telah memberikan gambaran yang jelas bahwa dengan economic capital dan human capital yang sama ternyata memberikan hasil pembangunan yang berbeda apabila diterapkan pada negara atau masyarakat yang berbeda, dan yang membedakannya adalah modal sosial (Hasbullah 2006).

Penelitian tentang program pengelolaan hutan serupa yang melibatkan masyarakat menyebutkan perlunya mengetahui pandangan masyarakat terhadap program yang akan dilaksanakan terutama jika program tersebut merupakan program baru (Mehta & Kellert 1998). Penelitian Robertson dan Lawes (2005) menyimpulkan bahwa sikap dan pandangan masyarakat sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut serta dalam beberapa skema pengelolaan hutan yang ditawarkan di Afrika Selatan. Dengan demikian untuk mengetahui kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka diperlukan pandangan atau kajian terhadap ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR dari perspektif masyarakat sebagai pelaku utama.

Untuk menunjang keberhasilan pembangunan HTR diperlukan pengetahuan yang jelas tentang karakteristik sosial budaya individu dan masyarakat setempat, persepsi masyarakat serta tingkatan modal sosial masyarakat setempat untuk menyusun rencana strategi pelaksanaan pembangunan HTR. Diharapkan dengan strategi pelaksanaan HTR yang mempertimbangkan karakteristik masyarakat, persepsi masyarakat dan juga tingkatan modal sosial masyarakat akan dapat meningkatkan keberhasilan program pembangunan HTR di Kabupaten OKI.

(35)

Dari uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik sosial, ekonomi dan budaya komunitas

masyarakat dan individu di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?

2. Seberapa besar tingkatan modal sosial masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?

3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap program pembangunan HTR? 4. Apakah ada hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat dan persepsi masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?

5. Apakah strategi pembangunan HTR yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat lokal di area pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang;

2. Mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan persepsi masyarakat dan unsur-unsur modal sosial pada masyarakat di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang;

3. Mendapatkan strategi yang paling sesuai dalam rangka pembangunan HTR di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang persepsi masyarakat serta tingkatan modal sosial masyarakat sebagai informasi penunjang dalam merumuskan strategi pelaksanaan pembangunan HTR di lokasi pencadangan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan.

(36)

1.5 Kerangka Pemikiran

Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang yang terletak di Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten OKI Provinsi Sumatera Selatan merupakan kawasan hutan produksi yang telah dirambah seluruhnya oleh masyarakat. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengatasi perambahan tersebut dan yang terakhir adalah dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai lokasi pencadangan pembangunan HTR. Tujuan pembangunan HTR di lokasi tersebut adalah untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk menyukseskan program pembangunan HTR tersebut diperlukan adanya collective action yang tinggi dari masyarakat. Sedangkan untuk membangun collective action ini diperlukan tingkatan modal sosial yang cukup dari masyarakat. Selain itu, keberhasilan program pembangunan juga ditandai dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat diperlukan pengetahuan yang cukup tentang karakteristik ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat, karakteristik individu dalam masyarakat dan unsur-unsur modal sosial yang ada dalam masyarakat.

Tingkatan modal sosial dalam masyarakat dapat ditentukan dengan melakukan penilaian terhadap unsur-unsur modal sosial yang terdapat dalam masyarakat. Setelah itu dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat dengan karakteristik individu yang ada dalam masyarakat. Karakteristik individu yang diduga berhubungan dengan modal sosial adalah umur, pendidikan formal dan non-formal, pendapatan, luas lahan garapan, kesehatan, lama tinggal dan status sosial. Karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, serta bentuk-bentuk dukungan baik dari pemerintah desa, tokoh masyarakat/adat dan LSM pada kegiatan pembangunan HTR dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif.

Selain modal sosial, tingkat partisipasi masyarakat juga ditentukan oleh persepsi masyarakat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa persepsi seseorang akan mempengaruhi perilaku dan partisipasinya. Jika persepsi seseorang terhadap program HTR positif maka ia akan bersedia berpartisipasi dalam program tersebut dan sebaliknya.

Berdasarkan karakteristik masyarakat, karakteristik individu, persepsi masyarakat dan hasil analisis modal sosial kemudian dilakukan analisis strength, weakness; opportunity and threat (SWOT) untuk mengetahui faktor-faktor internal

(37)

dan eksternal yang berpengaruh pada pembangunan HTR. Untuk menentukan strategi pilihan dalam pembangunan HTR digunakan metode Quantitave Strategic Planning Matrix (QSPM). Skema kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran

  SWOT dan QSPM Komunitas masyarakat dengan karakteristik sosekbud Kegiatan Pembangunan HTR Karakteristik individu (X) • Umur (X1) • Pendidikan formal (X2) • Pendidikan non-formal (X3) • Pendapatan (X4) • Kesehatan (X5) • Luas lahan (X6) • Lama tinggal (X7) • Status sosial (X8) • Asal suku bangsa (X9) • Asal domisili (X10) Tingkatan modal sosial: • minimum, • rendah, • sedang, • tinggi Skenario prioritas

strategi dalam pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan

Sialang

Modal sosial masyarakat Unsur modal sosial (Y 1): • Kepercayaan (Y 1.1) • Norma (Y 1.2) • Jaringan (Y 1.3)

• Tindakan Proaktif (Y 1. 4) • Kepedulian (Y 1.5)

Rekomendasi strategi pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi

Terusan Sialang

Kebijakan dan dukungan pembangunan HTR Persepsi Masyarakat terhadap

HTR • Alokasi lahan (Y 2.1) • Pola HTR (Y 2.2) • Manfaat HTR (Y 2.3) • Jenis tanaman (Y 2.4) • Persyaratan Perijinan (Y 2.5) • Proses perijinan (Y 2.6) • Jangka waktu dan luas

pengusahaan (Y 2.7) • Pewarisan ijin (Y 2.8) • Hak dan kewajiban (Y 2.9) • Pasar (Y 2.10)

• Kelembagaan (Y 2.11) • Sosialisasi (Y 2.12) • Pendampingan dan

(38)
(39)

2.1.1 Konsep Modal Sosial

Kohen dan Prusak (2002) yang diacu dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa konsep modal sosial pertama kali dikembangkan oleh Hanifan sejak tahun 1916 di daerah bagian Barat Virginia. Beberapa konsep modal sosial muncul pada periode berikutnya dengan berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan oleh ahli-ahli sosial diantaranya Bourdieu, Coleman, Putnam dan Fukuyama. Namun demikian Boudieu dan Coleman yang dianggap menjadi pencetus dari teori modal sosial ini karena mereka yang pertama kali secara sistematis memperkenalkan istilah modal sosial walaupun diantara keduanya memiliki konsep yang berbeda (Häuberer 2011).

Bourdieu (1986) menyatakan bahwa modal sosial merupakan wujud nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial merupakan jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah. Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga, teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan antar famili.

Lebih lanjut Bourdieu (1983) menggambarkan bahwa modal sosial merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap keanggotaan dalam suatu kelompok yang digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, ketersediaan jaringan sosial dalam masyarakat dapat membantu peningkatkan produksi dan ekonomi anggota melalui pemanfaatan koneksi sosial (pemasaran hasil). Menurut Bourdieu, modal ekonomi merupakan sumberdaya dasar, namun modal sosial berperan besar dalam meningkatkan modal ekonomi seseorang (individu).

Coleman (1988) menyatakan bahwa modal sosial didefinisikan oleh fungsinya. Modal sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi terdiri dari berbagai entitas dengan dua karakteristik umum yaitu terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan mereka memfasilitasi tindakan tertentu dari individu yang berada dalam struktur. Definisi diatas menunjukkan bahwa modal sosial merupakan bagian dari struktur sosial yang membantu tindakan anggota dari struktur sosial tersebut. Menurut Häuberer (2011) Coleman menekankan konsep modal sosial dalam konteks teori pilihan rasional. Ketergantungan sosial muncul karena

(40)

adanya ketertarikan seseorang untuk ikut memanfaatkan sumberdaya yang dikontrol oleh orang lain sehingga pilihan-pilihan rasional muncul untuk memaksimalkan manfaat bagi semua pihak.

Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai “fitur dari organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama”. Menurut Häuberer (2011) Putnam mengembangkan konsep modal sosial mengikuti konsep Coleman. Ide utamanya adalah bahwa jaringan sosial mengandung nilai bagi individu. Seperti modal fisik dan manusia, modal kontrak sosial juga mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok. Modal fisik tetap dalam benda fisik, modal manusia adalah properti individu dan modal sosial melekat dalam hubungan antar individu.

Fukuyama (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai “kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam masyarakat atau bagian-bagain tertentu darinya”. Konsep ini melihat modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kelompok yang memfasilitasi kerjasama diantara mereka. Norma-norma dan hubungan-hubungan tersebut berfungsi sebagai perekat sosial yang menjaga kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama.

Berbagai definisi tentang modal sosial yang disampaikan oleh beberapa ahli dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Definisi, Maksud/tujuan dan Analisis Modal Sosial

Definisi Maksud tujuan Analysis

Bourdieu Sumberdaya sosial yang menyediakan akses untuk kepentingan kelompok Untuk menjamin tercapainya modal ekonomi Individual dalam kelompok

Coleman Melihat aspek struktur sosial , setiap aktor dapat Memanfaatkan sumber daya tersebut untuk mencapai kepentingan bersama Untuk menjamin tercapainya sumberdaya manusia yang berkualitas Individual dalam keluarga dan masyarakat Putnam Jaringan/hubungan, kepercayaan, dan norma norma merupakan fasilitas

bersama dan dapat dimanfaatkan bersama Untuk menjamin tercapainya sistem ekonomi dan demokrasi yang efektif Region dan negara Sumber: Winter (2000).

(41)

2.1.2 Tipologi dan Tingkatan Modal Sosial

Woolcock (1998) yang diacu dalam LP UNPAD (2008) menyatakan bahwa modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh seperti: teman kerja, dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan lebih renggang lagi dibandingkan kedua ikatan hubungan diatas. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal (formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas. Berkenaan dengan itu, Edward (2004) dalam Suandi (2007) menyatakan bahwa modal sosial dapat berkontribusi dalam meningkatkan keakraban dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi seorang individu atau kelompok masyarakat dalam menjalinkan interaksi sosial dapat mengembangkan nilai-nilai atau norma-norma yang mereka miliki di masyarakat baik antar sistem jaringan bonding, bridging maupun sistem jaringan linking dengan struktur yang terbuka dan komunikatif. Namun demikian, Edward menambahkan bahwa keefektifan proses komunikasi antar individu atau kelompok masyarakat harus didukung oleh kondisi politik yang kondusif, menegakkan supremasi hukum, adanya kelembagaan yang good governance dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Kerangka konseptual modal sosial tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Uphoff (2000) menyebutkan bahwa unsur modal sosial terbagi dalam dua kategori yaitu modal sosial struktural yang merupakan hubungan sosial yang mengakibatkan tindakan bersama saling menguntungkan dan kategori modal sosial kognitif yang merupakan proses-proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideologi dan budaya dengan unsur-unsur norma, nilai, sikap, keyakinan, kepercayaan solidaritas, kerjasama dan kedermawanan. Unsur-unsur modal sosial berdasarkan kategori struktural dan kognitif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

(42)

Modal sosial

Gambar 2 Kerangka Konseptual Modal Sosial (Edwards 2004 diacu dalam Suandi 2007) Tipe jaringan: Bonding, Bridging dan linking Komposisi jaringan: keluarga, teman, tetangga, kolega, organisasi/ kelompok.   Transaksi jaringan: - Memperkuat dukungan, - Meningkat pengetahuan, - negosiasi, -penerapan sanksi  Kualitas jaringan: - Norma-norma: # kepercayaan, # imbalan, # efikasi # kebersamaan, - partisipasi sosial - partisispasi Struktur jaringan: - jumlah, - keterbukaan, - komunikasi, - mobilitas,dan - tingkat hubungan.   Kebudayaan - Bahasa, - Sejarah, - Gender, - Agama, - Seni, dan - sport   Politik: - Peran UU, - Transparansi proses politik, - Good governance Kelembagaan: - Implementasi kebijakan, - Stabilitas ekonomi  

Dampak Negatif:

- Adanya hubungan tidak seimbang (unbalance bonding),

- Menurunkan fungsi keluarga (unbalance bridging), - Korupsi (unbalance linking) - Kekacauan dalam masyarakat 

Dampak Positif:

- Pengembangan jaringan kerja, - Peningkatan pengetahuan,

- Peningkatan kepercayan masyarakat, - Kebahagiaan masyarakat,

- Kepuasan mengontrol diri, - transaction cost, - Pemecahan masalah. Supremasi Hukum: - Independensi pengadilan, - Transparansi proses hukum, - Kebebasan berpendapat.

(43)

Tabel 2 Kategori modal sosial

Kategori Struktural Kognitif Sumber dan manifestasi Peranan dan aturan jaringan

dan hubungan interpersonal lainnya

Prosedur dan preseden

Norma, nilai, sikap dan keyakinan

Domain Organisasi sosial Budaya sipil

Faktor dinamis Hubungan/keterkaitan horizontal dan vertikal

Kepercayaan, solidaritas, kerjasama dan

kedermawanan

Unsur-unsur umum Ekspektasi yang mengarah pada perilaku kooperatif dan memberi manfaat untuk semua

Sumber: Uphoff (2000)

Uphoff (2000) membagi modal sosial dalam empat tingkatan (kontinuum) yaitu minimum, rendah, sedang dan tinggi sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3 Tingkatan modal sosial

Tingkatan modal sosial

Minimum Rendah Sedang Tinggi

Tidak mementingkan kesejahteraan orang lain; memaksimalkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain Hanya mengutamakan kesejahteraan sendiri; Kerjasama terjadi sejauh menguntungkan sendiri Komitmen terhadap upaya bersama; kerjasama terjadi bila memberi keuntungan kepada orang lain

Komitmen terhadap kesejahteraan oranglain;Kerjasama tidak terbatas pada kemanfaatan sendiri tetapi juga untuk kebaikan bersama

Nilai-nilai: Hanya menghargai kebesaran diri sendiri

Nilai-nilai: Efisiensi kerjasama Nilai-nilai: Efektifitas kerjasama Nilai-nilai: Altruism dipandang sebagai hal yang baik Isu-isu pokok:

Selfisness: Bagaimana sifat seperti ini bisa dicegah agar tidak merusak masyarakat secara keseluruhan

Isu-isu pokok: Biaya transaksi: Bagaimana biaya ini bisa dikurangi untuk meningkatkan manfaat bersih bagi masing-masing orang Isu-isu pokok: Tindakan kolektif: Bagaimana kerjasama (penghimpunan sumberdaya) bisa berhasil berkelanjutan Isu-isu pokok: Pengorbanan diri: Sejauh mana hal-hal seperti patriotisme dan pengorbanan demi fanatisme agama perlu dilakukan Strategi: Jalan sendiri Strategi: Kerjasama teknis Strategi: Kerjasama Strategis Strategi: Bergabung atau melarutkan kepentingan individu Kepentingan bersama: Tidak jadi pertimbangan Kepentingan bersama: Instrumental Kepentingan bersama: Intitusional Kepentingan bersama: Transedental

(44)

Lanjutan

Tingkatan modal sosial

Minimum Rendah Sedang Tinggi

Pilihan:

Keluar: bila tidak puas

Pilihan: Bersuara: berusaha untuk memperbaiki syarat pertukaran Pilihan: Bersuara: mencoba memperbaiki keseluruhan produktifitas Pilihan: Setia: menerima apapun jika hal itu baik untuk kepentingan bersama secara keseluruhan Teori permainan: Zero-sum kompetisi tanpa adanya hambatan pilihan akan menghasilkan negative-sum Teori permainan: Zero-sum Pertukaran yang memaksimalkan keuntungan sendiri bisa menghasilkan positive-sum Teori permainan: Positive-sum Ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan sendiri dan kepentingan untuk mendapatkan manfaat bersama Teori permainan: Positive-sum Ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan bersama dengan mengesampingkan kepentingan sendiri Fungsi utilitas: Independent Pendekatan diberikan bagi utilitas sendiri

Fungsi utilitas: Independent Dengan utilitas bagi diri sendiri diperbesar melalui kerjasama Fungsi utilitas: Interdependent positive Dengan sebagaian penekanan diberikan bagi kemanfaatan orang lain Fungsi utilitas: Interdependent positive Dengan lebih banyak penekanan diberikan bagi kemanfaatan orang lain daripada keuntungan diri sendir

Sumber : Uphoff (2000)

2.1.3 Unsur-Unsur Modal Sosial

Beberapa ahli telah menyebutkan berbagai unsur-unsur pembentuk modal sosial misalnya Putnam (1993) menyebutkan kepercayaan, norma-norma dan jaringan-jaringan, Flassy et al. (2009) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan unsur utama dalam modal sosial, sedangkan unsur lainnya yaitu partisipasi dalam jaringan, resiprocity, norma sosial, nilai-nilai sosial dan tindakan proaktif merupakan syarat kecukupan dari mosal sosial.

Hasbullah (2006) membagi unsur modal sosial menjadi enam yaitu partisipasi dalam jaringan, resiprocity, kepercayaan, norma sosial, nilai-nilai dan tindakan yang proaktif.

1. Partisipasi dalam jaringan

Putnam (1993) menyatakan bahwa jaringan kerjasama antar manusia merupakan wujud dari infrastruktur dinamis modal sosial. Wujud nyata dari jaringan adalah adanya interaksi sehingga jaringan itulah yang disebut modal sosial (Coleman 1998).

Modal sosial yang kuat sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan tidak dibangun oleh satu individu tetapi terletak pada jaringan

(45)

sosial yang kuat yang dibangun dengan prinsip-prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Tipologi dari jaringan sosial yang terbentuk di dalam masyarakat tergantung dari karakteristik dan orientasi kelompok. Kelompok sosial yang membangun jaringan atas dasar keturunan, pengalaman sosial dan kesamaan kepercayaan dan agama cenderung akan membentuk jaringan dengan kohesifitas yang tinggi namun rentang jaringan maupun kepercayaan yang sempit, sedangkan kelompok masyarakat yang membangun jaringan dengan dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan ciri pengelolan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi dan rentang jaringan yang lebih luas. Tipologi jaringan yang kedua inilah yang akan memberikan dampak positif bagi kemajuan kelompoknya dan masyarakat secara luas (Hasbullah 2006).

2. Resiprocity

Lenggono (2004) menyebutkan bahwa hubungan timbal balik adalah terjadinya pertukaran sumber daya dengan menyediakan pelayanan pada orang lain. Rudito dan Fabiola (2008) menambahkan bahwa modal sosial terbentuk dari adanya dua macam solidaritas yaitu solidaritas mekanik yang mengikat masyarakat karena adanya rasa kebersamaan dan aturan dalam kelompok serta solidaritas organik yang mengikat masyarakat karena adanya perbedaan keahlian antar individu sehingga saling membutuhkan antara individu satu dengan yang lainnya.

Modal sosial senantiasa diwarnai dengan kecenderungan untuk saling tukar kebaikan antar individu dalam kelompok maupun antar kelompak dengan nuansa altruism. Namun masyarakat dengan tingkat resiprositas yang kuat belum tentu memberikan dampak positif yang cukup besar bagi kelompok lainnya tergantung dari derajad keterbukaan masyarakat tersebut (Hasbullah 2006).

3. Kepercayaan

Kepercayaan adalah atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam 1993). Fukuyama (2007) berpendapat bahwa

(46)

kepercayaan adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Kepercayaan merupakan warna dari suatu sistem kesejahteraan bangsa yang merupakan karakteristik yang menjadi prakondisi dari terciptanya kemampuan berkompetisi

Qianhong Fu (2004) dalam Hasbullah (2006) membagi kepercayaan dalam tiga tingkatan yaitu (1) tingkatan individual yang merupakan kekayaan individu, variabel personal dan karakteristik individu, (2) tingkatan relasi sosial yang merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan kelompok dan (3) tingkatan sistem sosial yang merupakan nilai publik yang perkembangannya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada.

Nahapit & Ghosal (1998) dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan pada tingkat individu berasal dari nilai-nilai yang yang bersumber pada kepercayaan dan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah menjadi norma-norma di dalam masyarakat, sedangkan pada tingkat komunitas kepercayaan bersumber dari norma sosial yang telah melekat pada struktur sosial yang ada. Putnam (1993) memandang kepercayaan terkait dengan perilaku dan ada atau tidaknya resiprocity dalam masyarakat. Pada tingkatan institusi sosial kepercayaan akan bersumber dari karakteristik sistem tersebjut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap anggota kelompok.

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan memberikan nilai positif yang besar apabila memiliki rentang (the radius of trust) yang luas sehingga kelompok yang hanya berorientasi inward looking akan sulit untuk mengembangkan modal sosialnya. Sedangkan kelompok yang lebih terbuka akan mempunyai potensi yang lebih baik untuk mengembangkan modal sosialnya.

4. Norma sosial

Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006). Norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan oleh sekelompok orang (Suharto 2007). Norma sosial ini sangat berperan dalam mengontrol perilaku yang masyarakat.

(47)

Norma-norma ini biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan tingkah laku dalam konteks hubungan sosial.

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa norma merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang berlangsungnya kohesifitas sosial yang hidup dan kuat. Fukuyama (2007) menyatakan bahwa modal sosial dibentuk dari norma-norma informal yang medukung kerjasama antar individu. Lawang (2005) juga memandang bahwa norma merupakan bagian penting dari modal sosial.

5. Nilai-nilai (values)

Menurut Hasbullah (2006) nilai adalah “suatu ide yang telah turun menurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok”. Dalam kebudayaan manusia terdapat nilai-nilai yang akan mendominasi ide-ide yang berkembang. Ide-ide tersebut akan mempengaruhi aturan-aturan bertindak dalam masyarakat (the rules of conducts) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang secara bersama-sama akan membentuk pola-pola kultural (cultural pattern). Kekuatan modal sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh konfigurasi nilai yang yang ada di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena sifat nilai yang memiliki konsekuensi ambivalen, misalnya nilai harmoni yang dianggap menciptakan kerukunan akan menghalang kompetisi. Padahal nilai-nilai kompetisi dalam masyarakat dapat memicu perkembangan dan kemajuan yang lebih cepat pada bidang-bidang tertentu (Hasbullah 2006).

6. Tindakan yang proaktif

Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi mencari senantiasa jalan bagi keterlibatan mereka dalam kegiatan masyarakat (Hasbullah 2006). Lawang (2005) menyatakan bahwa keberadaan modal sosial baik yang bersifat proses, pelumas maupun perekat tidak akan terjadi tanpa ada tindakan dari masyarakat. Lenggono (2004) menyebutkan bahwa proaktif sebagai bagian dari modal sosial merupakan kerelaan warga sebagai subyek dalam suatu pembangunan.

(48)

2.2 Persepsi

2.2.1 Pengertian Persepsi

Sarwono (2003) mengemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses kategorisasi. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek di luar, peristiwa, dan lain-lain) dan organisme itu berespons dengan menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori (golongan) obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa. Proses menghubungkan ini adalah proses yang aktif di mana individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti kepada masukan tersebut. Dengan demikian, persepsi juga bersifat inferensial (menarik kesimpulan).

Dalam terminologi psikologi Lindsay dan Norman (1977) menyebutkan bahwa “Perception is the process by which organisms interpret and organize sensation to produce a meaningful experience of the world”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa persepsi merupakan pandangan akhir seseorang setelah memproses semua input dan sensasi yang diperolehnya melalui panca indera. Vredentbergt (1974) dalam Sattar (1985) memiliki pendapat bahwa persepsi adalah sebagai proses selektif untuk membangun kesan dan membuat penilaian.

Persepsi (perception) juga diartikan sebagai penglihatan atau tanggapan daya memahami/menanggapi (Echols & Shadily 1989). Persepsi merupakan cara bagaimana seseorang melihat dan menaksirkan suatu obyek atau kejadian. Seseorang akan melakukan tindakan sesuai persepsinya, sehingga persepsi memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang (Chartrand & Bargh 1999). Beberapa definisi persepsi menurut para ahli, antara lain:

1. Menurut Grice (1964), persepsi merupakan proses sebab akibat. Proses pemberian arti oleh seseorang sebagai akibat atas berbagai rangsangan atau stimulus yang diterimanya, dan dari proses tersebut seseorang mempunyai opini tertentu mengenai apa yang diamatinya.

2. Menurut Krech (1962), persepsi merupakan integrasi dari individu dan rangsangan yang diterimanya. Apa yang dipersepsikan individu dalam suatu saat tertentu tidak hanya dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima, namun dipengaruhi juga oleh apa yang ada dalam diri individu tersebut, misalnya pengalaman, perasaan, prasangka, keinginan, sikap dan tujuan.

(49)

3. Menurut Lindsay dan Norman (1977), persepsi merupakan suatu proses dari seseorang dalam menyeleksi, mengorganisir dan menginterpretasikan rangsangan ke dalam sesuatu yang berarti dan koheren dengan dunia. Dengan demikian orang yang berbeda bisa jadi akan melihat sesuatu yang sama secara berbeda.

4. Menurut Hufman (1987), persepsi merupakan proses penyeleksian, pengorganisasian, dan penyampaian data yang dapat dipahami oleh mental

2.2.2 Mekanisme Pembentukan Persepsi

Proses pembentukan persepsi menurut Asngari (1984) diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan. Informasi tersebut selanjutnya disusun menjadi suatu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman tehadap obyek yang diamati. Informasi yang sampai pada seseorang merupakan suatu stimulus yang diteruskan ke syaraf sensoris, sehingga orang akan menyadari dan memahami stimulus tersebut. Pada akhirnya, orang tersebut melakukan tindakan.

Obyek persepsi dapat berada di dalam maupun di luar individu. Jika obyek persepsi berada di dalam individu yang mempersepsi, berarti individu tersebut mempersepsi dirinya sendiri, sehingga ia dapat mengerti dan mengevaluasi keadaan dirinya sendiri. Namun jika persepsi berada di luar individu yang mempersepsi, maka obyek persepsi dapat berupa benda-benda, situasi atau manusia (Swanky 2006). Selama proses mempersepsi suatu obyek, individu dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang ada dalam diri individu, seperti pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi. Faktor eksternal berupa rangsangan itu sendiri dan faktor lingkungan di mana persepsi itu berlangsung.

Asngari (1984) menyatakan bahwa Litterer membagi mekanisme pembentukan persepsi menjadi 3 yaitu selectivity, interpretation dan closure. Dalam proses ini, pengalaman masa lalu memegang peranan sangat penting dalam proses interpretasi informasi. Namun Asngari (1984) menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi persepsi tidak hanya pengalaman masa silam tetapi juga karakteristik seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan

(50)

status kependudukan karena persepsi merupakan proses pengamatan serapan yang berasal dari kemampuan kognitif seseorang.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Weaver (1978) dalam Susiatik (1998) menyatakan bahwa umumnya terjadi perbedaan persepsi antara individu satu dengan yang lain terhadap suatu obyek yang sama. Persepsi individu terhadap suatu obyek atau gejala dapat bersifat positif atau negatif, benar atau salah serta dapat berubah. Hal ini terjadi karena perbedaan karakteristik setiap individu yang bersifat pribadi dan unik. Ruch (1964) menyebutkan bahwa persepsi setiap individu terhadap obyek yang sama dapat berbeda tetapi persepsi dari individu yang sama terhadap suatu obyek yang sama juga dapat berbeda dalam waktu yang berbeda, dan disimpulkan bahwa perbedaan persepsi dipengaruhi oleh faktor tingkat intelejensia, pengharapan terhadap obyek yang dipersepsikan dan pengalaman masa lalu.

Sadli (1976) menyatakan ada empat faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu:

1. Faktor obyek rangsangan seperti nilai, arti emosional, familiaritas dan intensitas suatu obyek.

2. Faktor individu seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional, dll

3. Faktor pengaruh kelompok, bahwa respon orang lain dalam suatu kelompok akan memberikan arah terhadap tingkah laku seseorang

4. Faktor latar belakang kultural seperti adat istiadat dan kebudayaan seseorang akan mempengaruhi tingkah lakunya.

Dalam penelitiannya mengenai persepsi masyarakat terhadap kegiatan reboisasi dan penghijauan, Sattar (1985) menyimpulkan bahwa karakteristik individu yang mempengaruhi persepsi adalah pendidikan, sosial ekonomi, sosial budaya serta karakteristik penyuluhan yang dilakukan. Penelitian lain yang dilakukan Yuwono (2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap program hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten Musi Rawas adalah umur, pendidikan, penyuluhan dan pemahaman program. Hasil penelitian Susiatik (1998) menyimpulkan bahwa selain umur dan pendidikan, pengalaman berusaha tani dan kekosmopolitan individu juga memiliki hubungan yang erat dengan persepsi masyarakat terhadap program Pembangunan Masyararakat Desa Hutan Terpadu di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.

(51)

2.3 Hutan Tanaman Rakyat

2.3.1 Definisi dan Pola Pembangunan HTR

Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (Dephut 2011). Program pembangunan HTR ini dilatar belakangi oleh:

1. Upaya pemerintah untuk mempercepat revitalisasi sektor kehutanan guna meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan.

2. Untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih kuat kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi (Ditjen BPK 2007).

Prinsip-prinsip penyelenggaraaan HTR ini antara lain: (1) masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people organized

themselves based on their necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta

masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat, (2) kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya (labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab, (3) pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar (Ditjen BPK 2007).

Pemerintah telah menetapkan sasaran dalam pembangunan HTR sebagaiman tercantum dalam petunjuk teknis pembangunan HTR sebagai berikut :

1. Masyarakat yang menjadi sasaran program HTR adalah masyarakat yang berada di dalam atau sekitar hutan yang bergantung pada hutan dalam hal mata pencaharian, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam kelembagaan.

(52)

2. Kawasan hutan yang menjadi sasaran lokasi adalah kawasan hutan produksi yang tidak produktif, yang tidak dibebani hak dan diutamakan yang terletak dekat dengan industri hasil hutan dan telah ditetapkan pencadangannya sebagai lokasi HTR.

3. Kegiatan yang menjadi sasaran program HTR berupa fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kewengannya antara lain melakukan pengakuan status, legalitas, penguatan kelembagaan, bimbingan dan penyuluhan teknis, pendidikan dan latihan, akses ke pembiayaan dan akses pasar.

4. Kegiatan IUPHHK HTR adalah pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman yang meliputi tahapan kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil hutan (BPK 2007).

Pola pengembangan HTR direncanakan mengikuti 3 pola, yaitu (1) Pola Mandiri, (2) Pola Kemitraan dengan HTI, BUMN/S, dan (3) Pola Developer. Pengertian darimasing-masing pola adalah sebagai berikut:

1. Pola Mandiri dimana masyarakat setempat membentuk kelompok, Pemerintah mengalokasikan areal dan SK IUPHHKHTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/pemda.

2. Pola Kemitraan dengan HTI BUMN/S dimana masyarakat setempat membentuk kelompok diajukan oleh Bupati ke Menhut. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK-HTR ke individu dan menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar. 3. Pola Developer dimana BUMN/S sebagai developer membangun hutan

tanaman rakyat dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.

2.3.2 Lokasi dan Proses Perijinan HTR

Alokasi areal untuk HTR ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai lokasi pencadangan HTR pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak/izin lainnnya. Bagan alir proses pencadangan tersebut serta

(53)

pihak-pihak yang terkait dengan proses pencadangan tersebut dapat dilihat pada gambar 3.

Pemerintah dalam Dephut (2011) telah memberikan beberapa ketentuan terkait dengan ijin IUPHHK-HTR diantaranya:

1. Luasan ijin IUPHHK-HTR untuk perorangan maksimal 15 ha dan untuk koperasi maksimal 700 ha.

2. Ijin IUPHHK-HTR berlaku selama 60 tahun dan dapat diperpanjang selama 35 tahun.

3. Ijin IUPHHK-HTR tidak dapat diperjual belikan, dipindahtangankan tanpa izin dan diwariskan namun apabila pemegang ijin perorangan meninggal maka salah satu ahli warisnya diutamakan untuk menjadi pemegang ijin IUPHHK-HTR untuk melanjutkan pembangunan HTR.

Gambar 3 Bagan alir proses pencadangan HTR (Dephut 2011)

Proses perijinan HTR mengikuti mekanisme sebagai berikut :

1. Pemohon IUPHHK-HTR dari perorangan mengajukan ijin kepada bupati/walikota melalui kepala desa, sedangkan permohonan dari koperasi diajukan kepada Bupati dengan tembusan kepada kepala desa

Peta arahan indikatif dari Baplan A.n Menteri

Tembusan : -Dirjen BPK -Sekjen Dephut -Gubernur -Kadishut Provinsi -BPKH   Menteri Bupati ‐Dirjen BPK -Baplan Usulan pencadangan HTR Kadishut Kabupaten Menyiapkan pertimbangan

teknis kawasan, areal tumpang tindih perizinan,

tanaman reboisasi dan rehabilitasi dan program

daerah Peta usulan 1:50.000 SK Pencadangan Tembusan  Tembusan

(54)

2. Berdasarkan permohonan dari perorangan dan tembusan permohonan dari koperasi, kepala desa melakukan verifikasi atas keabsahan persyaratan permohonan

3. Kepala desa menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi tersebut kepada Bupati/Walikota sekaligus menyampaikan berkas permohonan untuk pemohon perorangan. Tembusan rekomendasi Kepala Desa disampikan kepada Camat dan BPPHP dilampiri foto kopi berkas permohonan.

4. Berdasarkan rekomendasi dari Kepala Desa, Kepala BPPHP berkoordinasi dengan Kepala BPKH melakukan verifikasi atas persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang dimohon dan hasilnya disampaikan kepada Bupati/Walikota sebagai pertimbangan teknis.

5. Berdasarkan rekomendasi dari kepala desa dan pertimbangan teknis Kepala BPPHP, kepala dinas kabupaten/kota yang membidangi kehutanan melakukan penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR.

6. Hasil penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR disampaikan Kepala Dinas Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota.

7. Dalam hal Bupati/Walikota menyetujui permohonan IUPHHK-HTR, Kepala Dinas menyiapkan konsep keputusan dan peta kerja IUPHHK-HTR.

8. Bupati/Walikota menerbitkan keputusan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi.

2.3.3 Jenis Tanaman dan Tahapan Kegiatan Pembangunan HTR

Jenis tanaman yang dapat dikembangkan dalam pembangunan HTR ini terdiri dari tanaman pokok dan tanaman tumpang sari. Tanaman pokok adalah tanaman berkayu yang dapat sejenis atau berbagai jenis yang terdiri dari kelompok jenis meranti, jenis keruing non dipterocarpaceae, kelompok kayu serat dan Kelompok Multi Purpose Tree Species/MPTS. Sedangkan tanaman tumpang sari adalah tanaman pangan setahun/musiman yang ditanam untuk memperoleh hasil tambahan selama masa menunggu waktu penebangan tanaman pokok antara lain jagung, padi, palawija dan lain-lain (Ditjen BPK 2008).

Budidaya HTR dikembangkan sesuai dengan kondisi tapak, sosial ekonomi dan budaya setempat. Dalam pembangunan HTR, tanaman pokok dapat sejenis maupun tidak sejenis. Apabila tanaman pokok tidak sejenis maka komposisinya adalah tanaman hutan berkayu dan tanaman budidaya tahunan misalnya karet, tanaman buah, tanaman penghasil pangan dan energi dengan

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tabel 1 Definisi, Maksud/tujuan dan Analisis Modal Sosial
Gambar 2 Kerangka Konseptual Modal Sosial (Edwards  2004 diacu dalam Suandi 2007) Tipe jaringan: Bonding, Bridging dan linkingKomposisi jaringan: keluarga, teman, tetangga, kolega, organisasi/ kelompok
Tabel   2  Kategori modal sosial
+7

Referensi

Dokumen terkait

Memang tepat kiranya jika fenomena ini kita sebut dengan istilah ‘lokalisasi agama’, karena lokalisasi memang identik dengan pelacuran, dan tawar-menawar dengan ‘aqidah

Segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kemudahan, berkah dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Pengaruh Kualitas

Sedangkan response time pada MySQL cluster load balancing dengan nilai 147,55 ms lebih cepat dibandingkan MySQL cluster default yang bernilai 335,00 ms.. Kata kunci: load

• Untuk mengetahui pengaruh biaya promosi yang dikeluarkan perusahaan dan seberapa besar pengaruhnya terhadap tingkat penjualan.. • Untuk mengetahui pengaruh biaya

penelitian dengan judul, “ Pengaruh Harga,kualitas produk dan Lokasi Terhadap Keputusan Pembelian untuk berbelanja fashion di Toko Sakola Yogyakarta”.. Berikut ini disajikan

Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah hilang sama sekali, hal ini menunjukkan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyarankan kepada guru, calon guru matematika, pengamat matematika, dan peneliti-peneliti matematika

2.2.2 Struktu Struktur r Organisasi Organisasi Proy Proyek Revi ek Review RTRW Kab ew RTRW Kabupat upaten Ku en Kulon Progo lon Progo Struktur organisasi yang dibentuk