PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
E. Pengesahan dan Pelaksanaan Perjanjian Internasional didasarkan pada Pengaturan Hukum Internasional
3. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang Dinyatakan dengan Ratifikasi, Akseptasi, atau Persetujuan
Persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang dinyatakan dengan ratifikasi, akseptasi, atau persetujuan diatur dalam Pasal 14 VCLT 1969, sebagai berikut:
1. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by ratification when:
a) The treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification;
b) It is otherwise established that the negotiating States were agreed that ratification should be required;
c) The representative of the State has signed the treaty subject to ratification; or
d) The intention of the State to sign the treaty subject to ratification appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.
2. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by acceptance or approval under conditions similar to those which apply to ratification.112
Melalui ketentuan ini, diatur mengenai persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian dengan cara ratification (ratifikasi), sedangkan cara pengikatan diri dengan acceptance (akseptasi) atau approval (persetujuan) sebagaimana dinyatakan pada ayat (2), didasarkan pada kondisi/persyaratan yang sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian dengan cara ratifikasi.
Menurut hukum internasional, tidak ada perbedaan substantif di antara istilah tersebut dan masing-masing mempunyai dampak hukum yang sama seperti tindakan ratifikasi. Istilah akseptasi baru digunakan sejak beberapa dekade terakhir dimana formalitas akseptasi lebih sederhana dari formalitas ratifikasi. Namun demikian, tidak ada aturan tegas mengenai perbedaan pemakaian kedua
112
istilah tersebut karena tergantung pada sistem konstitusional masing-masing negara. Demikian juga dengan persetujuan, berasal dari kebiasaan internal suatu negara, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Konstitusi Perancis 1958 yang memakai kedua istilah tersebut.113
Jika dilihat dari segi substansinya, maka perjanjian internasional yang persetujuan terikatnya dilakukan dengan dengan cara ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), atau persetujuan (approval), tergolong sebagai perjanjian yang penting, baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun bagi masyarakat internasional pada umumnya.114
Damos Dumoli Agusman berpendapat bahwa ratifikasi berasal dari konsepsi hukum perjanjian internasional yang diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu negara terhadap perbuatan hukum utusan atau wakilnya yang telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu. Konfirmasi ini dibutuhkan karena pada era permulaan berkembangnya perjanjian internasional, masalah komunikasi serta jarak geografis antar negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang bagi setiap negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang telah ditandatangani oleh utusannya.
115
Tindakan pengesahan dan tandatangan yang dilakukan oleh wakil negara yang turut serta dalam perundingan berasal dari zaman dahulu, ketika kepala
113
Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 120-121. 114
I Wayan Parthiana, Op.Cit. 115
Damos Dumoli Agusman, Arti Pengesahan/Ratifikasi Perjanjian Internasional, dimuat
pada
negara perlu meyakinkan dirinya bahwa utusan yang telah diberi kuasa penuh olehnya tidak melampaui batas wewenangnya. Pada masa itu kepala negara atau pemerintah yang bersangkutan tidak dapat terus-menerus mengikuti langkah utusan yang dikirimnya, menyebabkan bahwa ratifikasi dirasakan perlu sebelum kepala negara dapat mengikat dirinya dengan perjanjian yang bersangkutan.116
Menurut Oppenheim, ratifikasi merupakan the final confirmation
(konfirmasi akhir)dari para pihak atau negara peserta atas perjanjian internasional yang sudah disepakati atau ditandatangani oleh para utusannya dan pada umumnya disertai dengan pertukaran dokumen sebagai perwujudan ungkapan konfirmasi tersebut.117
Meskipun ratifikasi dianggap sebagai sekedar konfirmasi suatu negara atas tindakan para utusannya dalam pembuatan perjanjian internasional, namun tindakan konfirmasi ini sangat menentukan ketentuan mengikatnya suatu perjanjian internasional. Pada dasarnya fungsi ratifikasi itu sendiri adalah untuk mengikatkan suatu negara peserta pada suatu perjanjian internasional. Selama ratifikasi belum diberikan oleh suatu negara maka perjanjian internasional tersebut walaupun sudah disepakati oleh para wakil negara peserta, belum sempurna sebagai instrumen hukum yang mengikat negara yang bersangkutan
sehingga kekuatan hukumnya pun belum sempurna.118
Selain sebagai suatu tindakan konfirmasi, ratifikasi juga diartikan sebagai tindakan yang bersifat formalitas, namun bukan berarti formalitas yang tidak penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Lard Stowell, ratifikasi walaupun dapat
116
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 130 117
J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 601. 118
dianggap sebagai formalitas, namun formalitas yang sangat esensial. Ratifikasi merupakan syarat esensial dan konfirmasi kuat karena wewenang para utusan
negara yang memiliki full powers (kuasa penuh) untuk melakukan pembuatan
perjanjian internasional dibatasi oleh adanya syarat ratifikasi tersebut.119
Pada praktik hukum internasional masa kini, ratifikasi diartikan bukan hanya sekedar tindakan konfirmasi suatu negara untuk membenarkan atau menguatkan apa yang sudah dilakukan utusannya dalam pembuatan perjanjian internasional, melainkan sekaligus sebagai pernyataan resmi suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.120
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa suatu negara yang telah mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional, maka persetujuan mengikatkan diri tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Penandatangan perjanjian yang dilakukan oleh wakil atau utusan negara hanya bersifat sementara dan masih harus disahkan. Pengesahan oleh badan yang berwenang tersebut yang kemudian dinamakan dengan ratifikasi.121
Berdasarkan pada praktik tersebut, persoalan ratifikasi bukan hanya merupakan persoalan hukum perjanjian internasional melainkan juga merupakan persoalan hukum tata negara. Hukum internasional hanya mengatur hal-hal yang termasuk pada persetujuan yang diberikan suatu negara pada suatu perjanjian yang memerlukan ratifikasi. Sedangkan pada tahap cara ratifikasinya, dilakukan menurut ketentuan hukum tata negara masing-masing negara.122
119
Ibid.
120
Ibid.
121
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Op.Cit. 122
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa ratifikasi yang dilakukan terhadap suatu perjanjian internasional mencakup dua prosedur yang terpisah namun saling terkait satu sama lain, yaitu prosedur eksternal yang didasarkan pada hukum internasional dan prosedur internal yang didasarkan pada hukum nasional.123
4. Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian yang dinyatakan dengan