• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia dikaitkan dengan Judicial Review Piagam ASEAN

PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL SERTA KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

B. Status Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia dikaitkan dengan Judicial Review Piagam ASEAN

Sebuah perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar negara yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah perjanjian internasional tercemin pada kehendak kedua belah pihak. Setiap negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili negara tersebut dan dari wakil itu pulalah pihak negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah.

Dalam filosofi pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional, baik Montesqiueu maupun L. Friedman menafsirkan bahwa ada hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dalam teori pemisahan kekuasaan, Montesqiueu dengan tegas memisahkan antara tugas legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, di dalam praktik ketatanegaraan, teori

308

ini tidak dapat diimplementasikan secara murni karena berbagai hal terkait dengan kepentingan-kepentingan nasional yang strategis dan kekuasaan.309

Terkait dengan perjanjian internasional, ada pembagian kewenangan yang nyata antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, dimana lembaga eksekutif yang diwakili oleh Presiden atau Perdana Menteri memiliki kewenangan dalam hal external affairs, sedangkan lembaga legislatif/parlemen lebih memiliki kewenangan di bidang internal affairs. Dengan kata lain, Presiden atau Perdana Menteri memiliki kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional, sedangkan untuk lembaga legislatif/parlemen berwenang untuk menyetujui atau menyetujui dengan syarat atau menolak perjanjian internasional yang dibuat dan telah diratifikasi oleh Presiden atau Perdana Menteri. Teori Montesquieu ini sejalan dengan pemahaman sistem hukum yang diungkapkan oleh L. Friedman, yang mana ia menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu substansi, struktur dan kultur.310

Hukum internasional pun merupakan sebuah sistem hukum yang terdiri dari tiga komponen di atas. Hubungan kasualitas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif/parlemen dalam kaitannya dengan perjanjian internasional terimplikasi dalam komponen kedua, yaitu struktur, di mana secara struktur hukum internasional dan hukum nasional memiliki kedudukan yang sejajar atau koordinasi, bukan subordinasi, sehingga setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh lembaga eksekutif tidak serta merta dapat berlaku di dalam sistem

309

Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975) hlm. 15.

310

hukum nasional suatu negara sebelum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif/parlemen.311

Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presidenlah yang dapat menyatakan/membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak

negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa

yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya negara lain tersebut tidak perlu berhubungan dengan lembaga negara Indonesia yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang- undangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden.312

Pasal 11 UUD 1945 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah undang-undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan undang-undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila Presiden menyatakan perang,

311

Wisnu Aryo Dewanto, “Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia”, Opinio Juris Vol. 4, (Januari-April, 2012), hlm. 18.

312

Harjono, “Perjanjian Internasional Dalam Sistem UUD 1945”, Opinio Juris Vol. 4, (Januari-April, 2012), hlm. 10.

membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dalam bentuk hukum undang-undang.313

Apabila dilihat dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan perjanjian internasional diwadahi dalam bentuk undang-undang. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan di antara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak.314

Praktik pengesahan suatu perjanjian internasional dengan sebuah undang- undang menimbulkan persoalan. Undang-undang adalah bagian dari hukum nasional sedangkan perjanjian dengan negara lain merupakan kesepakatan antar negara yang berada di luar ranah urusan internal suatu negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh undang-undang apakah ini tidak berarti bahwa kehendak negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal negara lain karena digantungkan kepada pengesahan undang-undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan undang-undang.315 313 Ibid. 314 Ibid., hlm. 11. 315 Ibid.

Praktik pengesahan perjanjian internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebelum disahkan melalui undang-undang perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya.316

Paham monisme dan dualisme tidak dapat dipisahkan dalam pemberlakuan suatu perjanjian internasional. Pembahasan kedua aliran ini hingga saat ini belum berakhir, bahkan semakin melebar. Jika melihat praktik di negara-negara dunia, pada kenyataannya kebanyakan negara-negara tersebut tidak melaksanakan kedua paham tersebut secara kaku tetapi lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi nasional dan kepentingan rakyat serta tradisi hukum yang telah berkembang lama di negara-negara tersebut.317

Amerika Serikat selalu menganggap dirinya sebagai negara monisme karena Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat menyatakan: “...all Treaties... shall be the supreme law of the land.” Namun demikian, pada praktiknya Amerika Serikat cenderung dualisme karena ketika menyetujui keinginan Presiden untuk

meratifikasi perjanjian internasional, Senat selalu mencantumkan RUDs

(reservations, understandings and declarations) yang salah satunya menyatakan bahwa perjanjian internasional tersebut bersifat non-self-executing sehingga tidak dapat berlaku di pengadilan nasional Amerika Serikat. Hal ini dilakukan untuk

316

Ibid. 317

melindungi peraturan-peraturan federal yang telah dibuat sebelumnya dan menjaga tradisi hukum telah berkembang lama di Amerika Serikat.318

Perancis, Belanda dan Rusia juga merupakan negara-negara monisme karena kedudukan hukum internasional dengan jelas diatur di dalam konstitusi- konstitusi negaranya. Pasal 55 Konstitusi Perancis 1958 menentukan “Treaties or agreements duly ratified or approved shall upon publication, prevail over Acts of Parliament, subject, with respect to each agreement or treaty, to its application by the other party”.319

Selanjutnya, Pasal 94 Konstitusi Belanda (Grundwet) menyatakan “Statutory legislations in force within the Kingdom shall not be applicable if such application is in conflict with provisions of the treaties that are binding on all persons or resolutions by international organizations.”320

Demikian pula dengan Konstitusi Rusia, di mana Pasal 15 Ayat 4

menetapkan bahwa: “The general recognized principles and norms of

international law and the international treaties of the Russian Federation shall constitute part of its legal system. If an international treaty of the Russian Federation established other rules than those stipulated by the law, the rules of international treaty shall apply.”321

Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ke-monisme-an keempat negara tersebut terlihat dari adanya pengaturan kedudukan hukum

318

Lori Fisler Damrosch, “The Role of the U.S. Senate concerning ‘Self-Executing and Non-Self-Executing’ Treaties”, 67 Chi-Kent L. Rev (1991)., hlm. 520.

319

James Crawford, Brownlie’s Principles of Public International Law, 8th Edition, (UK: Oxford University Press, 2012), hlm. 94.

320

Malcolm N. Shaw, International Law, 7th Edition, (UK: Cambridge University Press, 2014), hlm. 124.

321

internasional di dalam konstitusi masing-masing negara, yang mana keutamaan diberikan pada hukum internasional.

Sebaliknya, ada negara-negara yang memang tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka karena keutamaan diberikan kepada hukum nasional, seperti Australia, Kanada dan Jerman, namun hakim tetap diberi keleluasaan menggunakan kaidah-kaidah hukum internasional sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang secara substansial tidak jelas atau bertentangan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh perjanjian internasional yang telah diratifikasi.322

Bagi negara-negara ini, pemberlakuan perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus melalui proses transformasi, di mana hukum internasional ditransformasikan ke dalam hukum nasional terlebih dahulu sebelum dapat digunakan di pengadilan. Istilah lain yang sering digunakan adalah

pemberlakuannya harus menggunakan implementing legislation. Makna

implementing legislation itu sendiri berupa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif/parlemen yang merupakan hasil dari proses transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.323

Baik di Australia, Kanada dan Jerman, hasil transformasi dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan disetujui oleh lembaga legislatif/parlemen adalah berupa peraturan hukum federal. Secara umum, keutamaan hukum di

322

Wisnu Aryo Dewanto, Memahami Arti…, Op.Cit., hlm. 21. 323

ketiga negara ini adalah hukum nasional, bukan hukum internasional, sehingga hukum internasional tidak dapat digunakan oleh para hakim sebagai sumber hukum langsung dalam memutus perkara, kecuali ada implementing legislation-

nya. Proses transformasi dan penggunaan implementing legislation tersebut

merupakan ciri khusus dari ke-dualisme-an negara-negara tersebut di atas. Selain itu pula, ketiadaan pengaturan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka juga menjadi ciri lain dari sifat dualisme ketiga negara tersebut.324

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak mencantumkan hukum internasional di dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan Pasal 7 dari Undang-Undang ini hanya menetapkan UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi dan

Pada UUD 1945, sama sekali tidak dijelaskan apakah Indonesia menganut paham monisme ataukah dualisme. Ketentuan Pasal 11 UUD 1945 sama sekali tidak memberikan pernyataan apapun terkait dengan kedudukan hukum internasional di dalam sistem hukum nasional. Pasal 11 UUD 1945 hanya mengatur tentang hubungan antara Presiden dan DPR dalam hal membuat perjanjian internasional dengan negara lain, di mana Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR ketika membuat perjanjian internasional dengan negara- negara lain.

324

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.325

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dan Perubahan UUD 1945, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa bahwa kecenderungan Indonesia menganut aliran monisme dengan primat hukum internasional. Pengamatannya menyimpulkan bahwa sistem hukum Indonesia lebih condong kepada negara-negara Eropa Kontinental yang menganggap negara terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi

yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi implementing legislation

(perundang-undangan pelaksanaan).326

Pada masa yang sama, Syahmin A.K berpendapat bahwa praktik ratifikasi Indonesia kurang menentu. Bukan saja tidak terdapat pembagian perjanjian- perjanjian dalam golongan mana yang memerlukan dan tidak memerlukan persetujuan parlemen, bahkan di dalam UUD 1945 sendiri tidak terdapat perbedaan mengenai tahap persetujuan dan pengesahan. Ia menyatakan perlunya penertiban dan penegasan mengenai ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia didasarkan sistem hukum nasional Indonesia.327

Kemudian setelah lahirnya lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dan setelah Perubahan UUD 1945, Hikmahanto Juwana berpendapat: “Dalam praktiknya, tidak perlu dipermasalahkan apakah Indonesia menganut

325

Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

326

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 93. 327

Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), (Bandung: Armico, 1985), hlm. 113-114.

paham monisme atapun dualism karena yang paling penting adalah kepentingan nasional.”328

Ia menyatakan bahwa transformasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional tidak terkait dengan monisme ataupun dualisme. Teori monisme dan dualisme berlaku apabila ada pertentangan antara hukum nasional dan hukum internasional. Kemudian yang harus dipertanyakan adalah mana yang harus diberlakukan ketika terjadi situasi yang demikian.329

Tidak adanya ketentuan yang secara tegas mengatur status ataupun kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia secara eksplisit pada UUD 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebenarnya telah menjelaskan ke- dualisme-an Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa keutamaan hukum yang digunakan sebagai sumber hukum formal bagi hakim adalah hukum nasional, bukan hukum internasional.330 Hal ini juga diperkuat dengan adanya pemisahan antara hukum internasional dan hukum nasional yang apabila dilihat dari primatnya maka hukum nasional lebih diutamakan.331

Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia sama sekali tidak berhubungan langsung dengan pemberlakuan norma-norma hukum internasional ke dalam bagian hukum nasional Indonesia karena jika dilihat Pasal

11 UUD 1945 juncto Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

Undang-Undang Pengesahan ini hanyalah bentuk formal dari persetujuan DPR 328

Hikmahanto Juwana, “Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional”,

Jurnal Hukum Internasional Vol. 5 Nomor 3, (April, 2008), hlm. 443. 329

Ibid. 330

Wisnu Aryo Dewanto, Memahami Arti…, Op.Cit., hlm. 23. 331

kepada Presiden dalam kaitannya dengan treaty-making power, bukan Pasal 20 UUD 1945 dalam hal legislative power.332

Kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional mutlak dimiliki oleh Presiden. Tetapi ketika Presiden akan meratifikasi, Presiden wajib mendapat persetujuan dari DPR. Persetujuan ini memiliki implikasi yang besar karena DPR pasti tidak hanya menyetujui keinginan Presiden begitu saja, namun DPR dapat mengajukan persetujuan dengan syarat, seperti reservations, understandings dan declarations (RUDs), atau bahkan DPR dapat menolak keinginan Presiden tersebut.333

Kata “berlaku” di sini menimbulkan berbagai macam interpretasi akademik di kalangan akademisi, khususnya hukum tata negara dan hukum internasional. Ada yang beranggapan bahwa kata “berlaku” menunjukkan bahwa Undang-Undang Pengesahan ini yang memberikan kekuatan hukum pada perjanjian internasional sehingga dengan dilampirkannya perjanjian internasional di dalam Undang-Undang Pengesahan tersebut maka hakim-hakim dapat

Substansi dalam Undang-Undang Pengesahan perjanjian internasional di Indonesia sangat singkat, hanya terdiri dari dua pasal, kemudian di dalam UU Pengesahan tersebut terdapat lampiran berupa perjanjian internasional. Hal yang menarik di dalam UU Pengesahan ini adalah substansi Pasal 2 yang menyatakan bahwa UU ini berlaku pada saat tanggal diundangkan.

332

Ibid., hlm. 337. 333

menggunakan perjanjian internasional tersebut sebagai dasar hukum untuk memutus perkara, dengan kata lain, Indonesia adalah negara monisme.334

Selanjutnya, kata “berlaku” ada yang memaknai bahwa UU Pengesahan ini baru berlaku bagi Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi pada tanggal yang ditetapkan tersebut, dengan kata lain, setelah disahkan maka UU Pengesahan tersebut dijadikan legal basis bagi Presiden untuk membuat dokumen ratifikasi.335

Filosofi sistem ketatanegaraan Indonesia dalam hubungannya dengan perjanjian internasional sebenarnya sangat jelas dan tegas bahwa praktik yang dianut oleh Indonesia adalah sistem dualisme sehingga perjanjian internasional apapun yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat diberlakukan secara langsung oleh hakim di pengadilan karena harus ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diakui di Indonesia, dalam hal ini adalah undang-undang. Dengan kata lain, semua perjanjian

internasional bersifat non-self-executing sehingga pemberlakuannya harus

menggunakan implementing legislation yang berupa undang-undang.336

334 Ibid., hlm. 26. 335 Ibid. 336 Ibid., hlm. 27.

Dengan demikian, kata “berlaku” yang terdapat di dalam Pasal 2 UU Pengesahan sebenarnya ditujukan kepada Pemerintah dan DPR, yang mana ketika kedua lembaga tinggi negara ini berkolaborasi dalam pembuatan rancangan undang-undang, mereka harus mengingat kembali dan melihat bahwa ada norma- norma hukum internasional yang telah mereka setujui bersama yang harus diberlakukan di Indonesia.

Sebagai contoh adalah ketentuan-ketentuan dari Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 yang kemudian dijabarkan di dalam UU Nomor

19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan materi-materi dalam UN Convention on

Climate Change yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 6 Tahun 1994 mulai berlaku efektif setelah diundangkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.337

Proses penandatanganan saja telah cukup untuk membuat suatu perjanjian internasional dapatberlaku jika perjanjian tersebut memang mensayratkan demikian. Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Schwarzenberger, dimana ratifikasi bukan merupakan suatu kewajiban dalam hal perjanjian tersebut tidak memerlukan proses ratifikasi. Namun demikian, hal yang perlu diingat seperti yang dikatakan oleh Kaczorowska, bahwa perjanjian internasional yang diratifikasi ini merupakan retifikasi dalam konteks hukum internasional yang bertujuan agar perjanjian ini dapat berlaku dan mengikat negara-negara. Pada level nasional, perjanjian tersebut belum tentu dapat diterapkan karena setiap negara memiliki cara tersendiri untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut Dari kedua contoh tersebut maka semakin jelas ke-dualisme-an Indonesia bahwa perjanjian internasional tidak dapat digunakan secara langsung di pengadilan tetapi implementing legislation-nya yang digunakan oleh para hakim untuk memutus perkara.

337

dalam hukum domestik mereka untuk dapat berlaku di pengadilan nasional. Hal ini disebut dengan ratifikasi dalam konteks hukum nasional.338

Berlakunya Piagam ASEAN di Indonesia tidak ditentukan oleh Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008. Melainkan ditentukan sendiri oleh Piagam ASEAN, yaitu hari ke 30 sejak tanggal penyimpanan instrument of ratification ke 10 oleh Sekretaris Jenderal ASEAN, seperti yang diatur dalam Pasal 47 ayat (4) Piagam ASEAN Fakta hukum menyatakan bahwa Piagam ASEAN efektif berlaku dan mengikat Indonesia secara internasional pada tanggal 15 Desember 2008, bukan pada saat disahkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 pada tanggal 13 November 2008.339

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tidak membuat ketentuan- ketentuan dalam Piagam ASEAN menjadi bagian hukum dari hukum nasional indonesia. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 adalah bentuk persetujuan formal dari DPR kepada presiden dalam rangka menjalankan fungsinya seperti yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945. Norma-norma hukum dalam Piagam ASEAN bukan norma-norma yang dapat diuji oleh pengadilan nasional karena belum ditranformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.340

Apapun yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada dasarnya tidak akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban internasional yang diemban oleh

Indonesia terhadap Piagam ASEAN. Pasal 56 ayat (1) Vienna Convention on the

Law of Treaties 1969 menegaskan bahwa negara tidak dapat menarik diri dari 338

Wisnu Aryo Dewanto, Status Hukum Internasional…, Op.Cit., hlm. 337. 339

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 132. 340

perjanjian internasional jika tidak ada pasal yang membolehkan atau mengatur, kecuali disetujui oleh semua contracting states. Pasal 27 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dengan tegas melarang negara untuk menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar atas kegagalannya dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional.

Keterikatan Indonesia dalam Piagam ASEAN tidak ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetapi ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri melalui penyerahan instrument of ratification. Ketentuan- ketentuan dalam Piagam ASEAN adalah norma-norma hukum internasional sehingga tidak dapat dibatalkan melalui mekanisme hukum nasional. Piagam ASEAN bukan merupakan suatu undang-undang nasional yang dapat diuji karena ketentuan-ketentuan Piagam ASEAN tidak termasuk dalam materi normatif Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 merupakan instrumen hukum yang fungsi, maksud dan tujuannya adalah hanya memberi persetujuan kepada Pemerintah untuk mengikatkan diri kepada Piagam ASEAN. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 sama sekali tidak dimaksudkan untuk melakukan inkorporasi/transformasi ketentuan-ketentuan yang terkandung

dalam Piagam ASEAN sebagai bagian sistem hukum nasional.341

Pada kenyataannya, UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi tidak membedakan undang-undang pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang pada umumnya sebagai domain kewenangan Mahkamah Kontitusi. Piagam ASEAN sebagai

341

lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi memang berwenang untuk mengadili permohonan judicial review terhadap undang-undang tersebut.342

342

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Suatu negara hanya dapat terikat oleh perjanjian internasional jika telah