Keputusan ada pada Sub-Komisi mengenai bagaimana aspek-aspek studi di atas akan ditindak lanjuti Studi dapat menggunakan laporan
B. Persidangan, oleh pengadilan militer, atas personel militer yang didakwa melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia
17. Di banyak negara, personel militer yang didakwa melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia terus saja diadili oleh pengadilan militer. Praktik ini, yang merupakan salah satu penyebab utama impunitas, cenderung melanggar hak, yang dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak‐Hak Sipil dan Politik, bagi setiap orang atas pemulihan yang efektif [Pasal 2, paragraf 3 (a)], atas sebuah pemeriksaan yang adil oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak (Pasal 14, paragraf 1) dan atas perlindungan dalam hukum (Pasal 26). Dalam hal ini, sebuah putusan yang menjadi preseden awal dan sangat terkenal, diputuskan pada tanggal 29 Maret 2001, oleh Pengadilan Tinggi Afrika Selatan memutuskan bahwa tindakan membentuk sebuah pengadilan militer adalah tidak sesuai dengan konstitusi yang baru. Pengadilan Tinggi ini mengambil posisi yang tidak menyediakan kesempatan untuk mendua/ambigu sedikitpun.xxxiii
Standar referensi internasional yang relevan dengan studi ini
(a) Yang dicakup oleh traktat
18. Konvensi Inter‐Amerika mengenai Penghilangan Paksa mengandung sebuah ketentuan (pasal IX) yang mana sesuai dengan pasal tersebut, pelaku penghilangan paksa “hanya boleh diadili dalam yurisdiksi yang kompeten menurut undang‐undang biasa di tiap negara, dengan mengecualikan yurisdiksi khusus lainnya, terutama yurisdiksi militer”.
(b) Yang tidak dicakup oleh traktat
19. Deklarasi Perlindungan bagi Setiap Orang Terhadap Penghilangan Paksa, diadopsi oleh Majelis Umum dalam resolusinya 47/133 tanggal 18 Desember 1992 mengandung ketentuan serupa (Pasal 16, paragraf 2), seperti halnya Deklarasi Universal mengenai Kemandirian Peradilan (lihat atas, paragraf 11).
20. Indikasi lain dari kecenderungan semacam itu ada pada dua standar, yang saat ini sedang dalam proses perancangan, yang berurusan secara eksplisit dengan masalah tribunal militer dan pelanggaran hak asasi manusia. Kedua standar tersebut adalah: Serangkaian Prinsip Untuk Penegakan Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Melalui Tindakan Memerangi Impunitas (prinsip 31) [lihat E/CN.4/Sub.2/1997/20/Rev.1, tambahan II] dan Prinsip dan Panduan Dasar Mengenai Hak Atas Reparasi Bagi Para Korban Pelanggaran [Berat] Hak Asasi Manusia Dan Hukum Humaniter Internasional (prinsip 25) [lihat E/CN.4/1997/104, lampiran]. Perlu juga dicatat bahwa, dalam resolusinya No 1994/67, berjudul “Kelompok Pertahanan Sipil ”, Komisi HAM menyatakan bahwa “Pelanggaran yang melibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh kelompok semacam itu berada di bawah yurisdiksi pengadilan sipil”. Sub‐Komisi telah mendorong negara‐ negara untuk memastikan bahwa pemeriksaan mengenai pembunuhan terhadap pembela hak asasi manusia, serta tindakan hukum lain yang terkait, dilakukan oleh tribunal sipil (lihat, terutama, resolusi Sub‐Komisi No 1998/3).
2. Kasus-kasus hukum dari badan perjanjian internasional (treaty bodies)
21. Dalam pertimbangannya mengenai laporan‐laporan periodik dari negara‐ negara tertentu (Bolivia, Brasilia, Cili, Kolombia, Kroasia, Republik Dominika, Ekuador, Mesir, El Salvador, Guatemala, Guinea, Lebanon, Peru dan Venezuela), Komite HAM telah secara bertahap sampai pada kesimpulan bahwa pengadilan
militer tidak boleh memiliki kompetensi untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata atau polisi, dan bahwa tindakan semacam itu harus diselidiki dan dituntut oleh pengadilan biasa. Pendekatan yang sama juga dapat ditemukan dalam kesimpulan observasi Komite Anti Penyiksaan (Kolombia, Guatemala, Yordania, Peru, Portugal dan Venezuela) dan Komite Hak Anak (Kolombia).
3. Posisi mekanisme Komisi Hak Asasi Manusia
22. Saat ini juga sedang tumbuh konsensus mengenai perlunya mengecualikan pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata atau polisi dari yurisdiksi pengadilan militer, dan untuk tidak menganggap pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan dan penghilangan paksa sebagai pelanggaran militer atau tindakan‐tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas. Inilah posisi yang dipegang oleh orang‐orang yang bertanggung jawab atas prosedur khusus sebagai berikut: Pelapor Khusus untuk pembunuhan di luar proses hukum, pembunuhan singkat dan sewenang‐wenang, Pelapor Khusus untuk penyiksaan, Pelapor Khusus untuk kemandirian para hakim dan pengacara, Perwakilan Khusus Sekretaris Jendral untuk El Salvador, Kelompok Kerja untuk Penghilangan Paksa, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang‐Wenang, Perwakilan Khusus Sekretaris Jendral untuk situasi pembela hak asasi manusia, Perwakilan Khusus Komisi Hak Asasi Manusia untuk pengawasan situasi hak asasi manusia di Equatorial Guinea dan para pakar independen mengenai situasi hak asasi manusia di Guatemala dan Somalia.
4. Evolusi standar nasional
23. Saat ini semakin banyak negara yang mengadopsi legislasi yang mengecualikan yurisdiksi pengadilan militer dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata atau polisi. Di beberapa negara, konstitusi dan undang‐undang fundamental menyatakan bahwa hanya
pengadilan sipil yang memiliki kompetensi untuk mengadili personel militer yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, seperti halnya di Bolivia (pasal 34), Haiti (pasal 42.3) dan Venezuela (pasal 29). Di negara‐negara lain, pengecualian ini dibuat di bawah undang‐undang biasa atau undang‐undang militer: Kolombia (Militer Penal Code dan Act on Genocide, Enforced Disappearances, Torture and Illicit Displacement of Populations), Guatemala (Dekrit No 41 Tahun 1996) dan Nikaragua.
II. TIPOLOGI KOMPOSISI PENGADILAN MILITER DAN EVOLUSINYA
24. Studi terhadap perkembangan dalam bidang ini didasarkan pada analisa komparatif yang dilakukan dengan referensi atas kuesioner yang ditambahkan pada laporan pendahuluan yang diserahkan oleh Mr. Joinet kepada Sub‐Komisi pada sesinya yang kelimapuluh tiga (E/CN.4/Sub.2/2001/WG.1/CRP.3), dengan mengambil sampel negara‐negara Eropa (Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, Swiss dan Inggris) yang baru‐baru ini melakukan reformasi di bidang tersebut.
A. Sebagian besar yurisdiksi militer
25. Ini merupakan kasus di Swiss, yang tiga tingkatan yurisdiksinya (identik baik di masa damai maupun di masa perang) terdiri dari komposisi personel militer (pengadilan pertama, naik banding dan kasasi). Namun demikian, harus ditekankan bahwa tribunal ini merupakan “quasi‐sipil” karena angkatan bersenjata Swiss hampir secara eksklusif terdiri dari warga sipil yang melakukan wajib militer mereka dalam beberapa tahap. Di sisi lain, presiden dan anggota pengadilan militer kasasi tidak ditunjuk oleh Menteri Pertahanan melainkan dipilih untuk periode empat tahun oleh Majelis Federal. Di Spanyol, pengadilan militer, yang identik baik di masa damai maupun di masa perang, terdiri dari personel militer yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan. Sejak tahun 1987, yurisdiksi dari tingkatan terakhir ada pada Mahkamah Agung Dewan Militer, yang terdiri dari empat hakim sipil (termasuk presiden) dan empat hakim militer yang, untuk menjamin kemandirian mereka, mendapatkan status hukum yang serupa dengan pensiunan dan tidak dapat lagi ditarik ke dalam angkatan bersenjata. Di Italia, di mana yurisdiksi di masa damai dan masa perang tidaklah sama, posisi dominan militer tetap ada kecuali pada tingkatan tertinggi sejak, pada tahun 1987, sebuah reformasi menghapuskan legalitas peninjauan oleh tribunal militer tertinggi dan memberikan kompetensi tersebut kepada Pengadilan Kasasi.