• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANCANGAN PRINSIP-PRINSIP PENGATURAN ADMINISTRASI PERADILAN MELALUI PENGADILAN

MILITER

Oleh Pelapor Khusus Emmanuel Decaux kepada Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan HAM PBB

(UN Doc. E/CN.4/2006/58, 13 Januari 2006, Bahasa Asli dalam Bahasa Prancis)

Prinsip No 1

Pembentukan pengadilan militer berdasarkan konstitusi atau undang-undang Pengadilan militer, bila ada, bisa dibentuk hanya berdasarkan konstitusi atau undang undang, harus menghargai prinsip pemisahan kekuatan. Hal ini harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan secara umum. Prinsip dasar independensi pengadilan, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1985, menyatakan bahwa “Independensi pengadilan harus dijamin oleh negara dan termaktub dalam konstitusi atau undang undang negara tersebut. Adalah kewajiban bagi pemerintah dan institusi lainnya untuk menghormati dan memantau independensi pengadilan” (para.1). Prinsip pemisahan kekuasaan bersamaan dengan keharusan adanya jaminan tertulis yang tertera di ketentuan hukum dengan hierarki yang tertinggi, yaitu konstitusi atau undang-undang, untuk menghindari intervensi oleh eksekutif atau oleh institusi militer dalam administrasi peradilan.

Isu doktrin mengenai legitimasi pengadilan militer tidak akan ditentukan di sini. Sebagaimana tercantum dalam laporan sebelumnya (E/CN.4/Sub.2/2003/4, para. 71, E/CN.4/Sub.2/2004/7, para. 11 and E/CN.4/Sub.2/2005/9, para. 11), mengacu pada laporan Mr. Joinet (E/CN.4/Sub.2/2002/4, para. 29). Persoalan yang mencuat adalah legalitas pengadilan militer. Dalam hal ini, “pengkonstitusian” pengadilan militer yang hadir di sejumlah negara tidak selayaknya ditempatkan di luar cakupan ketentuan hukum umum atau di atas ketetentuan hukum tersebut, atau sebaliknya, seharusnya memasukannya dalam prinsip supremasi hukum, dimulai dari yang berkaitan dengan pemisahan kekuasan dan hierarki peraturan hukum. Dalam hal ini, prinsip pertama tidak terpisahkan dari semua prinsip yang mengikutinya. Penekanan diarahkan pada keutuhan keadilan. Sebagaimana Mr. Stanislav Chernenko dan Mr. William Treat katakan di laporan akhir pada Sub-Komisi pada hak peradilan yang adil (fair trial), pada 1994, “Tribunal yang tidak menggunakan prosedur mekanisme peradilan yang sudah ditetapkan, seharusnya tidak membuat yang baru untuk menggantikan yurisdiksi peradilan umum atau peradilan pengadilan” dan “peradilan harus independen dari cabang eksekutif. Eksekutif dari suatu negara seharusnya tidak

       bisa campur tangan pada proses peradilan dan peradilan tidak boleh bertindak sebagai kepanjangan tangan dari eksekutif dalam menghadapi warga negara”.xxxiii

Prinsip No. 2

Penghormatan pada standar-standar hukum internasional

Peradilan militer dalam segala situasi harus menerapkan standar dan prosedur yang diakui secara internasional sebagai jaminan atas peradilan yang adil (fair trial), termasuk aturan hukum humaniter internasional.

Pengadilan militer, bila ada, dalam segala situasi harus menghormati prinsip prinsip hukum international yang berkaitan dengan peradilan yang adil. Hal ini berkaitan dengan jaminan minimum; bahkan di masa masa krisis, terutama yang berdasarkan Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pembatasan/derogasi dari Negara Pihak (State Party) terhadap ketentuan hukum umum seharusnya tidak

“inkonsisten dengan kewajiban lainnya di bawah hukum internasional” atau tidak melibatkan “diskriminasi yang dilandaskan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan asal usul”. Jika Pasal 14 dari Kovenan itu tidak secara eksplisit memasukkan inti dari hak-hak yang tidak bisa dibatasi (non-derogable rights),

eksistensi peradilan yang efektif menjamin dihormatinya elemen-elemen yang terkandung dalam kovenan, khususnya isi Pasal 4, sebagaimana Komite HAM tekankan dalam Komentar Umumnya No 29.xxxiii

Tanpa jaminan tersebut, kita bisa menghadapi penyangkalan keadilan. Penjaminan ini dibuat jelas dengan prinsip- prinsip di bawah ini.

Prinsip No 3 Penerapan Hukum Perang

Pada masa krisis, penerapan hukum perang atau rezim khusus tidak boleh mengurangi jaminan atas peradilan yang adil. Setiap pembatasan “yang terbatas berdasarkan kekhususan situasi” harus konsisten dengan prinsip administrasi yang layak untuk keadilan. Secara khusus, pengadilan militer tidak boleh menggantikan pengadilan umum, sebagai pembatasan dari hukum biasa. Prinsip baru ini diperkenalkan sebagai landasan dari sesi ke 57 Sub-Komisi, berdasarkan usul dari Francoise Hampson. Tujuannya adalah agar mempertimbangkan situasi krisis internal yang muncul setelah bencana alam atau “darurat umum” berdasarkan pemahaman Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, ketika hukum perang atau rezim sejenisnya, seperti negara dalam keadaan bahaya, dideklarasikan. Ini adalah area abu-abu, di mana derogasi/pengurangan serius bisa dibuat dari jaminan yang berkaitan dengan ‘rule of law’ akan tetapi pengamanan yang disediakan berdasarkan hukum humaniter

       internasional tidak diterapkan. Sebagaimana ditekankan oleh Komite HAM dalam Komentar Umumnya No 29, merujuk ke atas, “Sebagaimana beberapa elemen dari hak untuk peradilan yang adil secara eksplisit dijamin di bawah hukum humaniter internasional pada masa konflik bersenjata, Komite menemukan tidak adanya justifikasi untuk menderogasi jaminan ini pada situasi situasi bahaya. Komite berpendapat bahwa prinsip legalitas dan ‘rule of law’ mensyaratkan persyaratan dasar peradilan yang adil harus dihormati pada masa negara dalam keadaan bahaya” (para. 16). Setiap pembatasan “terbatas hanya pada kekhususan situasi” harus konsisten dengan prinsip administrasi peradilan yang layak. Konsekuensinya, semua prinsip yang berkaitan dengan administrasi peradilan oleh peradilan militer harus diterapkan sepenuhnya. Secara khusus, pengadilan militer tidak boleh menggantikan pengadilan umum, sebagai pembatasan dari hukum biasa.

Prinsip No 4

Penerapan hukum humaniter

Pada masa konflik bersenjata, prinsip-prinsip hukum humaniter, khususnya ketentuan Konvensi Jenewa tentang Penanganan Tahanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War), bisa diaplikasikan secara penuh pada peradilan militer.

Hukum humaniter internasional juga menerapkan jaminan minimum dalam persoalan yudisial. Pasal 75, paragraf 4, Protokol I dari Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949 menyediakan jaminan dasar dalam persoalan yudisial yang harus dihormati termasuk pada masa konflik internasional, merujuk pada “Pengadilan yang dibentuk secara imparsial dan reguler”, sebagaimana dinyatakan oleh Komite Palang Merah Internasional/the International Committee of the Red Cross (ICRC), “penekanan pada kebutuhan menjalankan keadilan seimparsial mungkin, bahkan dalam keadaan ekstrem konflik bersenjata, ketika harga nyawa manusia terkadang sangat murah”.xxxiii Pasal 6, paragraf 2, dari Protokol II mengacu pada “suatu peradilan menawarkan jaminan dasar berupa independensi dan imparsialitas”. Menurut ICRC, “kalimat ini menegaskan prinsip bahwa siapa pun yang dituduh memiliki pelanggaran berkaitan dengan konflik, berhak atas peradilan yang adil. Hak ini hanya efektif jika penilaian yang diberikan oleh pengadilan, menawarkan jaminan dasar berupa independensi dan imparsialitas”.xxxiii Jika penghormatan atas jaminan yudisial ini wajib semasa

konflik bersenjata, tidak jelas bagaimana jaminan tersebut dihormati dalam kondisi tidak adanya konflik bersenjata. Perlindungan hak-hak pada masa damai seharusnya lebih besar, atau sama dengan, yang diakui pada masa perang.

Pasal 84 dari Konvensi Jenewa berkaitan dengan Penanganan Tahan Perang, tertulis: “Tahanan perang harus diadili hanya oleh peradilan militer, kecuali hukum yang

      

berlaku dari pihak penahan mengijinkan pengadilan sipil untuk mengadili anggota angkatan bersenjata dari pihak penahan dalam rangka pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh tahanan perang. Dalam keadaan apapun tidak diperbolehkan tahanan perang diadili oleh pengadilan yang tidak menawarkan jaminan dasar berupa independensi dan imparsialitas yang di akui secara umum, dan khususnya, tidak boleh diadili tanpa prosedur yang menjamin perlakuan yang adil bagi tertuduh berdasarkan Pasal 105.” Semua provisi dari konvensi ini dirancang untuk menjamin penanganan yang adil “Oleh pengadilan yang sama, berdasarkan prosedur yang sama dengan kasus yang dihadapi oleh anggota angkatan bersenjata pihak penahan” (Pasal.102). Ketika muncul keraguan apakah “seseorang berniat melakukan tindakan bermusuhan dan telah jatuh ke tangan musuh” adalah tahanan perang, “orang tersebut berhak menikmati perlindungan dari konvensi ini hingga status mereka ditentukan oleh peradilan yang kompeten” (Pasal. 5).

Lebih lanjut, di bawah Konvensi Jenewa terkait dengan Perlindungan Warga Sipil pada Masa Perang pada 12 Agustus 1949, dalam situasi okupasi/pendudukan militer, “dalam kasus penerobosan unsur unsur perdata berdasarkan paragraf kedua Pasal 64, Kekuatan okupasi bisa menyerahkan tertuduh pada peradilan militer non-politis sesuai konstitusi yang layak, dengan kondisi peradilan tersebut berada di negara terokupasi. Peradilan banding sebaiknya berkedudukan di negara terokupasi (Pasal 66). Konvensi menjelaskan bahwa “Pengadilan hanya menerapkan unsur unsur hukum yang bisa diaplikasikan sehubungan dengan dakwaan, dan yang sesuai dengan prinsip umum hukum, khususnya prinsip hukuman harus proporsinal dengan pelanggarannya” (Pasal 67). Referensi pada “prinsip-prinsip umum hukum”, bahkan dengan penerapan lex specialis, layak dicatat secara khusus.xxxiii

Prinsip No 5

Yurisdiksi peradilan militer untuk mengadili warga sipil

Pengadilan militer, pada prinsipnya tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili warga sipil. Dalam segala keadaan, negara harus menjamin warga negara yang didakwa dengan dakwaan kriminal dalam segala keadaan, harus diadili di pengadilan sipil.

Pada paragraf 4 Komentar Umum No 13 pada Pasal 14 Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik, Komite HAM menulis, “keberadaannya, di banyak negara, pengadilan militer atau pengadilan khusus yang mengadili warga negara sipil. Hal ini adalah persoalan serius, berkaitan dengan administrasi peradilan yang independen, imparsial, dan setara. Kerap kali alasan menggunakan peradilan itu agar bisa menjalankan prosedur khusus yang tidak sejalan dengan standar peradilan normal. Sementara itu Kovenan ini tidak melarang peradilan semacam itu, namun