• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keputusan ada pada Sub-Komisi mengenai bagaimana aspek-aspek studi di atas akan ditindak lanjuti Studi dapat menggunakan laporan

REKOMENDASI NO 2: Batasan atas kerahasiaan militer

 

31.  Seringkali, peraturan yang memungkinkan pengajuan kerahasiaan informasi  militer  diselewengkan  dari  tujuan  aslinya  dan  digunakan  untuk  menghambat  jalannya keadilan. Kerahasiaan militer tentunya dibenarkan ketika ia diperlukan  untuk melindungi kerahasiaan informasi yang mungkin dicari oleh intelijen asing.  Akan tetapi, kerahasiaan militer ini tidak boleh dikabulkan apabila terdapat hal‐hal  yang melibatkan perampasan kebebasan seseorang; dalam kondisi apapun hal‐hal  semacam itu tidak boleh dirahasiakan. Dari sudut pandang ini, hak atas petisi untuk  habeas corpus atau pemulihan amparo harus dianggap sebagai hak pribadi, yang  mana jaminan terhadapnya, dalam kondisi apapun, termasuk dalam kompetensi  eksklusif  pengadilan biasa. Karenanya, kerahasiaan militer tidak boleh diajukan  apabila terdapat  petisi  semacam  itu,  baik  di  masa  damai  atau masa perang.   Konsekuensi lain dari kerahasiaan militer yang tidak dapat diajukan ini, hakim harus  dapat memiliki akses ke tempat di mana tahanan ditahan, dan tidak boleh ada  kemungkinan mengajukan kerahasiaan militer dengan alasan menyangkut fasilitas  militer. 

 

REKOMENDASI NO. 3:

Publisitas pemeriksaan harus merupakan aturan, bukan pengecualian  

32.  Batasan lain yang dibutuhkan untuk mengangkat atmosfer kerahasiaan yang  seringkali  melingkupi  kerja  sistem  keadilan  militer  adalah  bahwa  pemeriksaan  terbuka haruslah dijadikan aturan, dan sesi menggunakan kamera hanya boleh  diadakan pada kondisi luar biasa dan disahkan melalui sebuah putusan yang spesifik  dan beralasan kuat, yang legalitasnya dapat ditinjau. 

 

REKOMENDASI NO. 4:

Akses korban atas tindakan hukum  

33.  Di banyak negara, para korban tidak dilibatkan dalam penyelidikan dan  pemeriksaan ketika kompetensi dipegang oleh yurisdiksi militer. Ini merupakan kasus  ketidaksetaraan yang terang‐terangan di hadapan hukum. Ketidaksetaraan semacam  ini harus dihapuskan atau, sebelum hal tersebut bisa dilakukan, dibatasi secara  ketat.  Kehadiran para korban  haruslah  merupakan  suatu  kewajiban, atau para  korban harus diwakili apabila mereka meminta demikian, setidaknya pada saat  pembacaan putusan, dengan akses terlebih dahulu atas seluruh barang bukti dalam  berkasnya. 

 

REKOMENDASI NO. 5:

Penguatan hak-hak atas pembelaan, terutama melalui penghapusan pengacara militer

 

34.  Karena penghormatan terhadap hak atas pembelaan memainkan peranan  yang sangat penting  dalam  mencegah  pelanggaran  hak asasi manusia, praktik  penyediaan bantuan hukum dengan menugaskan pengacara militer, terutama ketika  pengacara  militer  tersebut  ditunjuk  oleh  pengadilan,  memunculkan  berbagai  keraguan, yang mungkin tidak terbukti, mengenai efektifitas jaminan yang dapat  mereka  tawarkan,  meski  hanya  sekadar  didasarkan  pada  teori  yang  disebut  “kehadiran”.  Dari  sudut  pandang  ini,  kehadiran  seorang  pengacara  militer  nampaknya  lebih  terbuka  terhadap  kritik  daripada  hakim  militer  karena  kehadirannya  jelas  membatalkan  kredibilitas  yurisdiksi  ini.    Karenanya,  posisi  pengacara militer harus dihapuskan. 

 

REKOMENDASI NO. 6:

Prosedur permintaan bantuan pada pengadilan biasa  

35.  Pada setiap kasus di mana terdapat pengadilan militer, kompetensi mereka  harus  dibatasi  sampai  dengan  yurisdiksi  tingkat  pertama.  Dengan  demikian,  prosedur permohonan bantuan, terutama naik banding, harus dibawa ke hadapan  pengadilan  sipil.  Dalam  setiap  situasi,  pertikaian  mengenai  legalitas  harus 

diselesaikan oleh mahkamah agung sipil, sesuai dengan perkembangan yang telah  dicatat.  Prosedur permohonan banding semacam ini juga harus tersedia bagi para  korban, dengan asumsi awal bahwa para korban tersebut diijinkan ikut serta dalam  tindakan hukum (lihat atas, paragraf 27), terutama selama tahap persidangan. 

            REKOMENDASI NO. 7:

Interpretasi terbatas mengenai prinsip “ wajib taat” (due obedience)  

36.   Karena militer pada dasarnya memiliki hierarki kaku, prinsip wajib taat, yang  seringkali diajukan di pengadilan, terutama pengadilan militer, dalam kasus apapun  harus ditinjau oleh mahkamah agung sipil, dan harus memiliki batasan‐batasan  sebagai berikut: 

 

  (a)  Di satu sisi, kenyataan bahwa seseorang didakwa bertanggung  jawab atas sebuah pelanggaran yang dilakukannya atas perintah seorang atasan  tidaklah  membebaskan  dirinya  dari  tanggung  jawab  kriminal  atas  pelanggaran  tersebut.  Kemungkinan terbesar adalah bahwa hal tersebut dapat dipertimbangkan  sebagai dasar, bukan untuk “kondisi yang meringankan” tetapi untuk pengurangan  hukuman; 

 

(b) Sebaliknya, pelanggaran yang dilakukan oleh bawahan tidak membebaskan atasan-hierarki mereka dari tanggung jawab kriminal apabila sang

atasan mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa bawahan mereka melakukan, atau hendak melakukan, pelanggaran berat, dan apabila sang atasan tidak mengambil langkah-langkah yang berada dalam kekuasaan mereka untuk mencegah pelanggaran tersebut atau untuk meringkus si pelaku.

REKOMENDASI NO. 8:

Penghapusan kompetensi pengadilan militer dalam mengadili anak-anak dan anak di bawah usia 18 tahun

 

37.  Ini menyangkut baik prajurit anak (lihat laporan Pelapor Khusus untuk  pembunuhan di luar proses hukum, pembunuhan serentak atau sewenang‐wenang:   E/CN.4/2002/74, paragraf 108), anak‐anak yang menjadi anggota kelompok musuh  bersenjata (lihat laporan Perwakilan Khusus Komisi Hak Asasi Manusia mengenai  situasi  hak  asasi  manusia  di  Bosnia  dan  Herzegovina  dan  Republik  Federasi  Yugoslavia:   E/CN.4/2002/41) maupun, terakhir, anak‐anak yang memiliki status  hukum sebagai warga sipil (lihat laporan Pelapor Khusus  Komisi Hak Asasi Manusia  mengenai situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel  sejak  1967:  E/CN.4/2002/32;  dan  laporan  Perwakilan  Khusus  Komisi  untuk  pengawasan situasi hak asasi manusia di Equatorial Guinea:  E/CN.4/2002/40).  Anak  di bawah umur, yang termasuk dalam kategori kelompok rentan, harus dituntut dan  diadili dengan penghormatan ketat terhadap jaminan yang disediakan oleh Konvensi  Hak Anak dan oleh Standar Peraturan Minimum PBB untuk Administrasi Peradilan  Anak di Bawah Umur (Peraturan Beijing) [resolusi Majelis Umum No 40/33 tanggal  29 November 1985, tambahan].   Karenanya, anak di bawah umur, tidak boleh  berada di bawah kompetensi tribunal militer. 

 

REKOMENDASI NO. 9:

Penghapusan hukuman mati dan, sebagai langkah transisi, menunda eksekusinya

 

38.  Kecenderungan  yang  mendukung  penghapusan  hukuman  mati  secara  bertahap harus diperluas, dalam segala kondisi, ke pengadilan militer, terutama  karena  pengadilan  semacam  itu  hanya  memberikan  lebih  sedikit  jaminan  dibandingkan apa yang diberikan oleh pengadilan biasa ketika, sesuai sifatnya, 

kesalahan hukum, dalam situasi semacam ini, tidak akan dapat diperbaiki. Sebagai  langkah transisi, pelaksanaan hukuman mati harus ditunda, terutama berkaitan  dengan orang‐orang dari kelompok lemah, yang mencakup anak di bawah umur. 

              Catatan        i

Lihat catatan seminar berjudul “Hukum pidana dan pembelaan”, yang diadakan di Paris tanggal 27 dan 28 Maret 2001 oleh Kementerian Pertahanan, terutama intervensi Ms. S. Apik mengenai “sejarah keadilan militer”, tersedia di Internet pada web site www.defense.gouv.fr. ii CCPR/C/79/Add.1, paragraf 5 (25 September 1992).

iii

CCPR/C/79/Add.2, paragraf 5 (25 September 1992). iv A/47/40, paragraf 58 (23 Oktober 1991).

v A/47/40, paragraf. 482 and 497 (15 Juli 1992). vi CCPR/C/79/Add.13, paragraf 8 (28 Desember 1992). vii CCPR/C/79/Add.104, paragraf 9 (30 Maret 1999). viii CCPR/C/79/Add.23, paragraf 9 (9 Agustus 1993). ix CCPR/CO/69/KWT, paragraf 10 (27 Juli 2000). x CCPR/C/79/Add.78, paragraf 14 (5 Mei 1997). xi CCPR/C/79/Add.110, paragraf 21 (29 Juli 1999). xii CCPR/C/79/Add.54, paragraf 25 (26 Juli 1995). xiii CCPR/C/79/Add.79, paragraf 20 (4 Agustus 1997).

xiv CCPR/CO/71/SYR and Add.1, paragraf 17 (24 April 2001 and 28 Mei 2002). xv CCPR/CO/71/UZB, paragraf 15 (26 April 2001).

xvi

CCPR/C/79/Add. 67, paragraf 12 (25 Juli 1996). xvii A/49/44, paragraf 88 (1994).

xviii

A/55/44, paragraf 62 (1999).

xix CRC/C/15/Add.120, paragraf 11 (22 Februari 2000). xx

CRC/C/15/Add.153, paragraf 74 (9 Juli 2001). xxi CRC/C/15/Add.152, paragraf 65 (9 Juli 2001).

       xxii A/48/18, paragraf 313 (15 September 1993).

xxiii E/CN.4/1998/39/Add.1, paragraf 78 (19 Februari 1998). xxiv E/CN.4/1999/63, paragraf 80 (18 Desember 1998). xxv E/CN.4/1994/7/Add.2, paragraf 98 (15 November 1993).

xxvi Dikutip dalam Opini No. 35/1999 (Turki) dari Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-Wenang mengenai kasus Abdullah Öcalan [E/CN.4/2001/14/Add.1, paragraf 5 (f) (9 November 2000)].

xxvii Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, 1997.I, vol. 30, putusan tanggal 25 Februari 1997 (Kantor Panitera Pengadilan, Dewan Eropa, Strasbourg, 1997), paragraf 74-77.

xxviii Putusan tanggal 30 Mei 1999, Castrillo Petruzzi et al. v. Peru. Lihat juga putusan tanggal 17 September 1997, Loayza v. Peru, Seri C, No. 33, paragraf 61.

xxix

Dikutip dalam E/CN.4/Sub.2/1992/Add.2, paragraf 103.

xxx Lihat laporan tahunan Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika tahun 1994 (OAS/Ser.L/V/II.88, doc. 9 rev., 1995).

xxxi Lihat laporan-laporan Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika mengenai situasi hak asasi manusia di Nikaragua (OAS/Ser.L/V/II.53, dok. 25, 1981, paragraf 18 ff.; di Kolombia (OAS/Ser.L/II.106, dok. 59 rev., 2000, paragraf. 210 ff.; di Guatemala (OAS/Ser.L/V/II.61, dok. 47, 1983, paragraf. 31 ff.; di Cili (OAS/Ser.L/V/II.66, dok. 17, 1985); di Uruguay (OAS/Ser.L/V/II.43, dok. 10, corr.1, 1978, bab VI); dan di Argentina (OAS/Ser.L/V/II.49, dok. 19, 1980, bab VI).

xxxii Lihat www.cidh.oas.org/res.terrorism/htm.

xxxiii Andries Diphapang Potsane/Menteri Pertahanan: “Telah muncul sebuah gebrakan radikal yang melepaskan diri dari masa lalu […] Militer tidak lagi kebal terhadap perubahan demokratis. Menjaga disiplin dalam pasukan pembela negara tidaklah merupakan pembenaran bagi pelanggaran atas hak-hak prajurit, dengan memaksakan disiplin militer melalui sebuah struktur penuntutan yang tidak sesuai dengan konstitusi” (paragraf 14.6)

      

PERSATUAN