LANDASAN TEORI
C. Perlindungan Hukum terhadap Korban Kerjahatan 1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan
3. Perspektif Restorative Justice Dalam Perlindungan Hukum Perhadap Korban
justicemengigat sekali lagi, konsep ini berorientasi pada pelaku tanpa memperhatikan kedudukan korban.38
3. Perspektif Restorative Justice Dalam Perlindungan Hukum Perhadap Korban
Sebagaimana diketahui bahwa kajian hukum pidana dalam kaitannya dengan korban berkaitan dengan pertanyaan dasar mengenai apakah ada kejahatan (pelangar hukum pidana ) terjadi, siapa pelakunya dan siapa yang menderita kerugian oleh suatu kejahatan, selanjutnya perlu ditambahkan lagi apa kerugian nya dan bagaiman kerugian tersebut dipulihkan.
Konsep kejahatan dan siapa yang menjadi korban kejahatan adalah pangakal-tolak untuk menjelaskan bagaimana posisi hukum korban. Ada dua konsep kejahatan, pertama kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap negara atau kepentingan publik yang diresepsikan oleh instrumen demokratik
38 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Korban Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, Hlm 185
negara dan kedua kejahatan dipahami sebagai pelanggratan terhadap kepentingan orang perseorangan dan juga melanggar kepentingan masyarakat , negara dan esensinya juga melanggar kepentingan pelakunya sendiri. Konsep yang pertama dilandasi oleh pemikiran yang berbasis pada konsep keadilan retributif (retributive justice) dan konsep yang kedua pada konsep keadilan restoratif (retorative justice).39
Posisi hukum korban kejahatan, yakni negara, dalam sistem peradilan memainkan peranan yang sentral dan dominan dalam mengambil keputusan-keputusan terhadap tersangka atau pelangar hukum pidana. Sebaliknya, pihak lainnya yang tidak dikonsep sebagai yang terlibat atau tercakup, sebagi pelaku atau korban, diposisikan sebagi instrumen pembuktian dalam proses pidana, yakni sebagai saksi. Sebgaimana salah satu alat bukti, saksi tidak mampunyai hubungan hukum dengan perkara pelangaran hukum pidana yang disaksikannya dan selanjutnya dijadikan instrumen dalam penjatuhan pidana.
Konsep kejahatan menurut konsep restorative justicen diberi pengertian yang lebih nyata, bahwa kejahatan adalah konflik antar orang perseorangan.
Kejahatan dipahami sebagai pelangaran, pertama dan terutama melanggar hak perseorangan dan juga sesungguhnya secara tidak langsung melanggar kepentingan pelanggar itu sendiri.
Sistem peradilan pidana sebagai sistem penyelesaian konflik di tempat mana korban, masyarakat, negara dan pelangar melakukan mediasi untuk menyelesaikan konflik karena adanya pelanggaran hukum pidana (kejahatan).
39"Muzakkir, “Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana”,
Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta 2001, Hlm 207
Negara tidak lagi diposisikan sebagai peran tunggal dan dominan dalam penyelengaraan peradilan pidana, karena negara bukanlah korban tunggal yang sesungguhnya dan perannya dibatasi dan lebih diperankan fungsinya sbagai mediator dan fasilitator. Hubungan antara pelanggar dan korban dalam proses peradilan dibangun berdasarkan hubungan dialogis, kemudian dikenal dengan hubungan antara manusia yang saling membutuhkan (humanisasi).
Falsafah retributif (pembalasan) yang mendasari perspektif retributive justice melanjutkan falsafah yang dianut oleh hukum pidana dan penyelengaraan peradilan pidana sebelumnya, bedanya kalau sebelumnya bahwa kejahatan adalah konflik antara pelanggaran dengan korban yang diwakili oleh negara kemudian berkembang kearah perspektif restorative justice yang menganggap kejahatan merupakan pelanggaran terhadap individu yang diakui sebagai konflik.40
Konsep hukum pidana menurt keadilan restoratif; orientasi kadilan ditujukan kepada orang yang terlanggat haknya yang dilindunggi oleh peraturan hukum (korban); pelangaran hukum pidana adalah pelangar hak perseorangan (korban);
korabn kejahatan adalah orang yang dirugikan akibat kejahatan/pelangaran hukum pidana, yaitu orang yang menderita langsung akibat kejahatan (korban), masyarakat, negara, dan juga pelangaran itu sendiri; sistem peradilan pidana dan penjatuhan pidana sebagai bentuk penyelesaian konflik bukan untuk membalas;
pidana dan pemidanaan adalah bentuk pertanggungajawaban pelanggar terhadap akibat (dampak) perbuatan melanggar hukum pidana; dan orang yang dirugikan
40 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Korban Terhadap Korban Kejahatan, Hlm 189
secara langsung akibat kejahatan (korban) bersifat aktif untuk menyelesaikan konflik.41
Pergeseran konsep kejahatan dan orientasi hukum pidana yang telah diuraikan diatas, telah membawa harapan cerah untuk perlindungan hukum terhadap korban. Pergeseran dari retributive justice kearah restorative justice memberikan dampak positif bagi pencegahan dan penaggulangan kejahatan.
Sebagai contoh program restorative justice di negara yang sudah lebih dahulu mengunakannya seperti New Zeland, Kanada, dan Inggris telah berhasil menguranggi kejahatan dan memulihkan korban kejahatan, atau pihak-pihak yang terlibat dalam sistem peradilaan pidana.
Konsep retributive justice yang sedang berlaku di indonesia dirasakan kurang memberikan perlindungan yang memadai terhadap korban. Konsep ini lebih fokus terhadap pelaku kejahatan sehingga posisi korban menjadi terabaikan.
Konsep restorative justice tidak hanya menghadirkan pelaku dalam sistem peradilan pidana melainkan juga di dalamnya melibatkan peran korban dan masyarakat. 42
Dalam perdamaian yang dilakukan, korban dapat memberikan masukan tentang keadilan apa yang hendak diperolehnya. Begitu juga pelaku bisa melakukan hal-hal sebaliknya, misalnya dapat saja membayar ganti kerugian atas penderitaan yang dialami oleh korban.43
41"Muzakkir, Viktimologi Studi Kasus Di Indonesia, Peranata Nasional Hukum Pidana
Dan Kriminologi Xi, Surabaya 14-16 Maret 2005", Hlm 26
42 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Korban Terhadap Korban Kejahatan, Hlm 194
43"John Braithwaite, Restorative Justice Regulation, Oxford University Press, New York",
2002, Hlm 54
Dalam restorative justice, korban mampunyai kesempatan untuk bertanya kepada keluarganya, mengenai detil setiap peristiwa, atau kejadian, atau kejahatan yang menimpa dirinya. Apabila tidak jelas, korban bisa bertanya kembali tentang ap yang terjadi, korban juga berhak untuk berbicara tentang perasaan yang tidak enak dan luka yang menderita akibat perbuatan pelaku, namun dengan tanpa memperlihatkan kebencian terhadap pelaku melainkan harus bersikap ramah dan tersenyum.
Apabila korban berpikir tentang pemanfaatan akan kesalahan pelaku maka kesalahan itu harus dilupakan dan dimaafkan. Namun dalam negosiasi yang dilakukan harus lah jelas, apa pertimbangannya dan dilakukan dengan fair.
Apabila menuntut hak maka harus diajukan menurut hukum yang berlaku.
Idealnya, dalam restorative justice, pertemuan antara pihak pelaku dan korban harus pula melibatkan pihak lain. Seperti masyarakat dengan dukungan dan perhatiannya. Oleh karena itu perbedaan utama dengan retributive justice terletak pada filosofinya yaitu kesempatan yang menurut hukum tidak sampai melukai kepentingan masyarakat atau dengan kata lain restorative justice dilakukan dengan melalui hukum tanpa mencederai perasaan masyarakat.44
D. Peranan Viktimologi dalam Hukum Pidana 1. Pengertian Korban
Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
44 Charles K. B. Barton, Restorative Justice (The Empowement Model),Hawkins Press, Sydney, 2003, Hlm 38
korban menyatakan koerban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh siatu tindak pidana.45
Menurut Aris Gosita yang di maksud dengan korban adalah:
“Mereka yang menderita jasmani dan rohaniah sebagai akibat tindakkan orang lain yang bertentangan sengan kepentingan diri sendiri atau orang lain mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita”.
Korban juga didefenisikan oleh Van Boven yang merujuk kepada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan sebagi berikut:
“Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik mau pun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission)”.46
Dalam pengertian diatas tampak bahwa istilah korban tidak hanya mengacu kepada perseorangan saja melainkan mencakup juga kolompok dan masyarakat . mengertian diatas juga merangkum hampir semua jenis penderitaan yang diderita oleh korban, penderitaan tidak hanya terbatas pada kerugian ekonomi, cedera fisik, emosional oleh para korban, seperti mengalami trauma. Mengenai penyababnya ditujukan bukan hanya terbatas pada perbuatan yang sengaja dilakukan tetapi juga meliputi kelalaian.
45 Titon Slamet Kurnia, Repsrasi (Reparation) Terhadap Korban Pelangaran Ham Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hlm 6-7
46 Theo Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban, Elsam, Jakarta, 2002, Hlm 13
Pengertian korban sebagaimana didefenisikan dalam pasal 1 prinsip-prinsip keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan (unite nation of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power) menyebutkan,
“victims means persons who individually or collectively have suffered harm, including physicalor mental injury, emotional suffering, economic loss or omissions thet are in violation of criminal laws operative within member states, incliding those laws proscribing criminal abuse of power".47
Pengertian korban yang bisa diartikan secara luas adalah yang didefinisikan oleh South Carolina “governor’s of executive policy and programs”, Colombia yaitu : “victims means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the result of a crime against him. Victim also includes the person’s is deceased, a minor, incompetent was a homicide victim and/or is physically or psycholohically incapacitated”.48
Secara luas perngertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang mendertia langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud korban tidak langsung disini seperti, istri kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anak dan lainnya.
Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian akibat suatu kejahan dan atau yang merasakan keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagi target (sasaran kejahatan.
47 Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rafika Aditama, Bandung, 2007, Hlm 78
48 Ibid, Hlm 78
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi, mengatakan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelangaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban ahli warisnya.
Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelangaran hak asasi manusia yang berat menyebutkan korban adalah orang perseorangan atau kelompok yang berat menyebutkan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalmai penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dalam ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak maupun. Menurut mendelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
a. Yang sama sekali tidak besalah, b. Yang jadi korban karena kelalaiannya, c. Yang sama salahnya dengan pelaku, d. Yang lebih bersalah dari pada pelaku,
e. Yang korban adalah salah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan),
Pengelompokan korban menurut sellin dan wolfgang dibedakan sebagai berikut :
a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perororangan (bukan kelompok),
b. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya bdan hokum,
c. Tertiary victimization yaitu korban masyarakat luas,
d. No victimization yaitu korban yang tidak diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam mengunakan suatu produksi.