• Tidak ada hasil yang ditemukan

Viktimologi Dalam Kajian Ilmu Hukum Pidana Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Viktimologi Dalam Kajian Ilmu Hukum Pidana Islam"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

Viktimologi Dalam Kajian Ilmu Hukum Pidana Islam

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Prongram Hukum Pidana Islam

(Jinayah)

Oleh:

Cilung Ardizon

Nim: 1416.024

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH)

FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGI

TAHUN 2020 M/1441H

(2)

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini berjudul “Viktimologi Dikaji Dalam Hukum Pidana Islam” yang disusun oleh Cilung Ardizon, NIM 1416.024 Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi telah dilakukan bimbingan secara maksimal dan untuk selanjutnya disetujui untuk di ajukan ke sidang munaqasyah skripsi.

Mengetahui

Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi

H. M. Ridha, L.c,.M.A NIP. 19770916 200501 1 005

(3)

ii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS yang bertanda tanggan dibawah ini :

Nama : Cilung Ardizon

NIM : 1416.024

Tempat/Tanggal Lahir : Lompek, 14 April 1996 Program Studi : Hukum Pidana Islam (Jinayah)

Fakultas : Syari’ah

Judul Skripsi : Viktimologi Dikaji Dalam Hukum Pidana Islam

Menyatakan dengan ini sesungguhnya bahwa karya ilmiah (skripsi) penulisan dengan judul diatas adalah benar karya penulis. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya sendiri, maka penulis bersedia diproses sesuai hukum yang berlaku dan gelar kesarjanaan penulis dicopot hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sesungguhnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bukittinggi, Yang menyatakan

Cilung Ardizon NIM.1416.024

(4)

iii Abstrak

Skripsi ini berjudul “Viktimologi Dikaji Dalam Hukum Pidana Islam”

yang ditulis oleh Cilung Ardizon, NIM 1416024, pada Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Skripsi ini ditulis berdasarkan dugaan ada rasa keadilan yang kurang diperhatikan antara pelaku kejahatan dan korban. Korban kejahatan yang belum optimal dibahas dalam KUHP, KUHAP dan HUKUM PIDANA ISLAM. Dimana pelaku kejahatan dibahas dalam ilmu kriminologi dan kemudian korban kejahatan dibahas dalam ilmu viktimologi. Berdasarkan hal ini maka penulis ingin untuk mengetahui secara mendalam dan utuh tentang kepedulian hukum positif dan hukum islam terhadap korban kejahatan yang dibahas dalam hukum pidana islam.

Maksud judul skripsi ini adalah peneliti ingin mengungkap bagaimana pembahasan ilmu viktimologi dalam kajian hukum positif dan hukum pidana islam.

Penelitian ini mengunakan metode kepustakaan (library) dan sumber data yang diperlukan seperti buku-buku, kitab-kitab islam, dan data sekunder yang penulis temukan baik di media masa, di internet maupun jurnal-jurnal yang ada kaitannya dengan penulisan karya ilmiah yang penulis tulis ini.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis temukan bahwa viktimologi dikaji dalam hukum positif merupakan suatu suatu hal yang ditanggung oleh pemerintah. Korban dalam hukum positif hanya digunakan untuk keterangan saksi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Dan kemudian dalam kajian hukum pidana islam korban diguna untuk menentukan hukuman terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Dimana dalam hukum islam berlaku yang namanya hukum hudud, qhisas, dan diyat. Sehingga dalam pembahasan viktimologi ini ada perbedan sangat menarik untuk dibahasa dan dipahami sebagai sumber ilmu.

(5)

iv

KATA PENGANTAR

puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT. Tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan rahmat-nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam disampaikan agar tercurah buat nabi muhammad saw. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum pada programstudi hukum pidana islam (jinayah) fakultas syari’ah IAIN BUKITTINGGI. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingandari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Ibu Dr. Ridha Ahida, M.Hum beserta Bapak-bapak wakil rektor, Bapak Dr. Asyari, M.Si, Bapak Dr. Novi Hendri, M.Ag dan Bapak Dr. Miswardi, M.Hum, yang telah memfasilitasi penulis selama menjalani pendidikan di IAIN Bukittinggi.

2. Dekan Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Bapak Dr. H. Ismail, M.Ag, beserta Bapak-bapak wakil Dekan, Bapak Dr.

Nofriardi, S.Ag, Bapak Dr. Busyro, M.Ag, dan Bapak Fajrul Wadi, S.Ag,.M.Hum, serta ketua Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Bapak Muhammad Ridha, L.c.,M.Ag yang telah menfasilitasi penulis dalam menjalani pendidikan dan bimbingan skripsi ini.

3. Pembimbing skripsi penulis, Bapak Gusril Basir, SH.,M.Hum yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulisan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ucapan terimakasih yang sangat besar penulis ucapkan kepada orang tua penulis Ibu Ardiati dan ayahanda Yunifrizon yang telah memberikan bantuan dukungan materil, moral kepada penulis dan mendoakan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang penulis tulis.

5. Ucapan terimakasih juga menulis ucapkan kepada adek kandung Sri Wahyuni dan Cholil Putra yang telah mempercayai dan memberi semangat kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat penulis selsesaikan dengan baik.

(6)

v

6. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada pelatih silat PPS SATRIA MUDA INDONESIA (PPS SMI) Bapak Rikko Martha dan Ibu Rida Malinda yang telah memberikan dorongan supor dan motifasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi penulis dan adik-adik yang sedang penulis latih di sekretariat Unit Khusus Bay Pass Bukittinggi.

7. Para sahabat Doni Fernando dan Rahmad Hanafi, dan teman-teman seperjuangan penulis yang telah memberikan dukungan materil untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman sekelas yang telah memberikan penulis dorongan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Pimpinan beserta staf perpustakaan yang telah menujinkan penulis untuk mengakses buku-buku dan referensi yang dibutuhkan dalam mengumpulkan data-data dan informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10. Seluruh pihak yang telah membantu, baik moril maupun materil, dan siapa saja yang telah ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhirkata, penulis berharap Allah SWT, tuhan yang maha pengasih, berkenaan membelas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembanggan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum pidana islam (jinayah).

Bukittinggi, 20 Juli 2020 Penulis

Cilung Ardizon NIM. 1416.024

(7)

vi DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBUNG ... i

LEMBARAN PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

A. Viktimologi Dan Perkembangannya di Indonesia ... 13

1. Sejarah perkembangan viktimologi ... 13

2. Manfaat viktimologi ... 17

3. Pengertian viktimologi ... 20

4. Ruang lingkup viktimologi ... 23

B. Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana ... 26

(8)

vii

1. Kedudukan korban dalam kitab undang-undang hukum acara

pidana (KUHAP) ... 26

2. Kedudukan koraban dalam undang-undang peradilan saksi dan korban ... 27

3. Kedudukan korban dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapudan kekerasan dalam rumah tangga ... 29

C. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan ... 33

1. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan ... 33

2. Retributif judtive dan perlindungan hukum pidana ... 36

3. Resperktif restorative justic dalam perlindungan hukum terhadap korban ... 39

D. Peranan viktimologi dalam hukum pidana ... 42

1. Pengertian korban ... 42

2. Hubungan viktimologi dan kriminologi ... 46

3. Korban tindak pidana sebagai aspek viktimologi ... 49

E. Sistem peradilan Pidana Islam ... 57

1. Azas-azas hukum pidana islam ... 57

2. Tindak pidana dan hukumnya dalam perspektif islam ... 60

F. Kedudukan korban dalam Pidana Islam ... 67

BAB III METOGOLOGI PENELITIAN ... 71

A. Jenis Penelitian ... 71

B. Sifat penelitian ... 72

C. Pendekatan penelitian ... 72

(9)

viii

D. Sumber data ... 73

E. Teknik pengumpulan ... 74

F. Istrumen penelitian ... 75

G. Uji keabsahan data ... 75

H. Metode analisis data ... 75

BAB IV PEMBAHASAN DAN PENELITIAN ... 78

A. Viktomologi didalam kajian ilmu hukum pidana di indonesia ... 78

B. Viktimologi didalam kajian ilmu hukum pidana islam ... 88

1. Hukum pidana islam dalam viktimoligi ... 88

2. Viktimologi islam ... 90

BAB IV PENUTUP ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 107

C. Penutup ... 108

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 109 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kriminal merupakan sesuatu yang dilarang oleh negara dan agama seperti apa yang tertera dalam undang-undang. Undang-undang mengatur setiap tingkah laku warga negaranya yang tidak terlepas dari segala aturan yang bersumber dari hukum. Negara hukum mengharapkan agar hukum senantiasa harus ditegakan, dihormati, dan ditaati oleh siapa pun juga tanpa ada pegecualian. Dalam upaya menegakan Supremasi Hukum diIndonesia,

Diperlukan produk hukum dalam hal ini Undang-undang yang berfungsi sebagai pengatur segala tindakan masyarakat sekaligus sebagai alat paksa kepada masyarakat. Hal tersebut bermaksud untuk mewujubkan tujuan nasional bangsa yang utamanya adalah bangsa Indonesia yang tertara dalam pembukaan Undang- undang dasar 1945 yaitu “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpa darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertibatan dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social”. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan harkat martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-hak hanya dapat efektif apa bila hak–hak itu dapat melindunggi hukum. Melindunggi hak-hak dapat terjmin, apabila hak itu merupakan bagian dari hukum, yang memuat prosedur hukum untuk melindungi hak-hak tersebut.

(11)

Hukum pada dasarnya merupakan pencerminan dari keadilan dan kemuadian di kembangkan dalam bentuk Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak, ditentukan oleh Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikandung, diatur dan dijamin oleh hukum itu. Hukum tidak lagi dilihat sebagai Refleksi kekuasaan semata-mata, tetapi juga harus memancarkan perlindunngan terhadap hak-hak warga negara.

Hukum pidana sudah seharusnya mampu melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) baik pelaku maupun korban kejahatan serta melindungi kepentingan- kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang serasi. Kelemahan mendasar dalam penegakan Hukum Pidana dimaksud adalah terabainya hak korban kejahatan, dalam proses penanganan perkara pidana maupun akibat yang harus ditangung oleh korban.

Hal ini dapat dilihat dalam KUHP bahwa tidak ada Pasal-pasal yang membahas tentang korban, pembahasannya pun tidak fokus terhadap Eksitensi Korban Tindak Pidana (KTP). Terlihat dengan bermacam-macamnya istilah yang digunakan dalam menunjuk seseorang korban. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu Tindak Pidana, justru tidak memperoleh perlindungan dan keamanan sebanyak yang diberikan oleh Undang-undang kepada pelaku kejahatan.

Akibatnya, pada saat Pelaku Kejahatan telah dijatuhkan Sanksi Pidana oleh Pengadilan kondisi korban kejahatan sepertinya tidak di pedulikan sama sekali. Pada hal masalah keadilan, dan kehormatan suatu Hak Asasi Manusia

(12)

(HAM) tidak hanya berlaku terhadap pelaku kajahatan saja, tetapi juga terhadap korban kejahatan.

Posisi korban dalam suatu Tindak Pidana dapat dikatakan tidak mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban dari sejak lama kurang begitu mendapat perhatian, tetapi objek perhatian hanya terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada pelaku Tindak Pidana. Korban dalam KUHAP belum mendapatkan perhatian yang Optimum, tetapi sebaliknya perhatian pengeturan hukum atas dasar penghormatan terhadap HAM, dari pelaku Tindak Pidana cukup banyak. Mengenai kepentingan korban dalam kajiian Viktimologi, tidak saja dipandang dari perispektif Hukum Pidana atau Krimiinologi saja, melainkan berkaitan pula dengan aspek kepardataan.

Pandangan KUHAP terhadap hak-hak Korban Tindak Pidana masih sangat terbatas dan tidak sebanding dengan hak-hak yang diperoleh Pelaku Pidana.

Dalam hukum Pidana Islam seandainya terjadi Tindak Pidana Kriminal yang mengakibatkan seseorang korban mengalami kecideraan fisik, maka pelaku akan sama seperti korban. Seperti contohnya korban mendapatkan potong tangan dari seorang pelaku, maka pelaku akan dipotong tangannya sama seperti korban.

Tetapi jika korban mau memaafkan pelaku maka pelaku akan dikenakan Diat atas korban.

Hukuman seperti itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah Ayat 178 yang berbunyi :

(13)

و ٰ بَعْن عْل بَو ِعْبَعْالو بونِعْبَعْل بَو رنحعْال بو ُّرنحعْلوۖوٰ بلعتبقعْلوي فو نصالبص قعْلونمنكعيبلبعو بب تنكولوننبمآوبني ذَّْلوالبهُّيبأوالبي و عن مو ٌي فِوعخوبتو بك ْ بذوۗو ٍنالبسعح إ بو هعيبْ إو ءلبدبأ بَو فَ نرعَبمعْال بو عالبْ تالبفو ءعيبشو هي خبأو عن مونهبْوبي فِنعو عنبمبفوۚو ٰ بَعْن عْال ب و مي ْبأو بلبذبعونهبلبفو بك ْ بذوبِعَبْىبِبتععلو نبمبفوۗو ةبمعح بر بَوعمنك ب بر

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”.1

Hukum Pidana Islam menjelaskan bahwa hukuman bagi pelaku terhadap korban adalah hukuman Qishash. Dapat diartikan bahwa hukum yang dilakukaan oleh Hukum Pidana Islam adalah hukuman balas dendam dimana siapa yang berbuat maka akan mendapatkan ganjaran setimpal dengan apa yang iya lakukan.

Korban didalam Hukum Pidana Islam sudah dipandang sebagai orang yang dapat memberikan pinjelasan terhadap kejadian yang dialami oleh pelaku terhadap korban itu sendiri. Dimana korban menjadi patokan utama terhadap hukuman yang akan didapatkan oleh pelaku.

1Https://Tafsirweb.Com/677-Quran-Surat-Al-Baqarah-Ayat-178.Html

(14)

Korban dilihat dari sudut Hukum Pidana Islam sudah sangat diperhatikan bagaimana berlaku dengan adil terhadap pelaku kejahatan. Kemungkinan yang akan terjadi sandainya Hukum Pidana Islam tidak mengatur tentang korban akan berakibat bahwa korban tidaklah terlalu penting dalam proses peradilan dan dianggap sebagai orang yang tidak dibutuhkan untuk proses hukum.

Kepentingan korban dalam proses hukum sudah diatur dalam sebuah kajian ilmu yang dapat disebut sebagai Viktimologi yang kemudian mengatur tentang kepentingan terhadap korban kejahatan terhadap warga negara.

Kepentingan Viktimologi yang mementingkan terhadap kepentingan warga negara sudah menunjukan bahwa keadilan ditunjukan kepada orang yang menderita dalam sebuah kejahatan kriminal.

Kepentingan tentang Viktimologi yang berhubungan langsung kepada kepentingan korban dalam sebuah kejahatan kriminal. Dalam ruang lingkupnya Viktimologi, korban mampunyai arti yang luas sabab tidak hanya terbatas pada individu yang nyata dalam menderita kerugian, namun juga kelempok, kerporasi, swesta atau pemerentah.2

Viktimologi tidak saja berparan dalam bidang Hukum Pidana, Kriminologi, dan Penology saja, tetapi juga ilmu mengenai penjatuhan hukuman. Dalam kamus Crime Dictionary dijelaskan, bahwa Victim adalah orang yang talah mendapat penderataan fisik atau penderiitaan mental, kerugian harta benda atau

2 . Didikm. Arifmansur & Elisatri Gultom, Urgensiperlindungan Korban Kejaharan, (Jakarta: Pt. Rajagrafindo Persadi, 2007) Hal 39

(15)

mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelangaran ringan yang dilakukan oleh Pelaku Tindak Pidana dan lainnya.3

Menurut Arif Gosita menganai pengertian Viktimologi ini sangat luas, yang dimaksud korban disini adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah. Sebagi akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri dalam konteks kerakuran individu dalam meperoleh apa yang diinginkan secara tidak baik dan sangat melangar atau pun bertantangan dengan kepintingan dan hak asasi yang menderita. Sebab dan kenyataan sosial yang dapat disebut sebagai korban bencana alam, korban kebijakan pemerintah dan lain-lain.4

Penjelasan Viktimologi menurut Arif Gosita merupakan kajian tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial yang terdapat dalam jismani dan rohani korban kejahatan kriminal. Tujuannya adalah untuk memberiikan penjelasan mengenai peran yang sesunguhnya dan hubungan mereka dengan para korban serta memberikan keyakinan dan kesadaran bahwa setiap orang mampunyai hak mengetahui bahaya yang dihadapi berkaitan dengan lingkungannya, pekerjaannya, profesinya, dan lain-lainnya. Dalam rangka memberikan pengertian yang lebih baik agar orang lebiih waspada dalam menciptakan rasa aman juga meliputi pengetahuan mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan bangaimana menghadiri bahaya”.5

3"Bambang Haluyo, Viktimologi Perlindungan Korban Dan Saksi, (Jakarta: Sinar

Grafika) Hal". 9

4"Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1983) Hal"

75-76

5"Dikdik M Arief Mansur Dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan: Antara Norma Dan Realita, (Jakarta: Rajawali Pres, 2006), Hal"34

(16)

Kajian Viktimologi memberikan sesuatu hal yiang berkaitan untuk mempelajari masalah terhadap korban tindak kriminal yang merupakan suatu kenyataan sosial. Dapat diperhatikan bahwa Viktimologi juga mempelajari sejauh manaa pelaksanaan peeraturaan teentang hak-hiak terhadap korban yang telah delaksanakan.

Dalam penelitian ini penulis mencermati Viktimologi belum dapat berperan sebagai kajian ilmu yang mempelajari tentang korban. Kemudian Viktimologi belum dapat dipahami oleh Hukum Pidana Islam sebagai suatu kajian ilmu yang bertindak langsung terhadap korban kejahatan yang mencerminkan bahwa Viktimologi adalah salah satu kajian ilmu yang memperhatikan sebuah kejadian yang menimpa korban tersebut.

Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diiatas maka penulis ingin untuk membahas, mengkaji dan mendalami lebih tentang “VIKTIMOLOGI DALAM KAJIAN ILMU HUKUM PIDANA ISLAM”. Mengigat bahwa peran Viktimologi dalam system ilmu hukum pidana dan ilmu hukum pidana islam belum mendapat berperan aktif dalam proses penyelesaiian perkara pidana diIndonesia.

B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

Agar permasalahan yang penulis tulis ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar belakang dari uraiian diatas, dalam hal ini penulis akan mencoba membatasii penilitian ini hanya mengenaii masalah yang menyangkut: tentang

“Viktimologi Dalam Kajian Ilmu Hukum Pidana Islam”.

(17)

Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan diatas maka dapat dirumuskan dalam suatu pirmasalahan yang akan menjadi titik fokus pada kajian skripsi ini, yaitu:

a. Bagaimana viktimologi di dalam kajian hukum pidana di Indonesia b. Bagaimana viktimologi di dalam kajian hukum pidana islam

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitia

Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan yang hendak ingin dicapai dan kegunaan dari penelitian skripsi ini, yaitu:

a. Mengetahui peranan viktimologi dalam kajian hukum pidana di indonesia

b. Mengetahui Viktimologi didalam kajian Ilmu Hukum Pidana Islam c. Mengetahui pandangan Ilmu Hukum Pidana Islam terhadap

Viktimologi sebagai kajian ilmu terhadap korban kejahatan.

2. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan peneltian ini adalah :

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan dan menambah pengetahuan akademisi khususnya tentang ilmu Hukum Pidana Islam terhadap Viktimologi

(18)

b. Secara prektis, hasil penelitan ini diharapkan akan membawa perkembangan terhadap duniea ilmu pengetahuan dan dapat diijadikn sebagaii bahan perimbangan sekaliigus rujukan teriutama tentang penegakan hukum pidana islam terhadap korban dalam Viktimologi tentang korban kejahatan.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam literatur yang telah penulis baca, penulis mngambil untuk dijadikan sebuah perbandingan mengenai Viktimologi dalam kajian ilmu hukum pidana islam penulis mengambil beberapa rujukan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini adalah :

Skripsi riska okta lubiis, NPM: 1221020057, Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, dengan judul skripsi Perlindungan Sanksi Dan Korban Menurut Hukum Islam Dan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Yang menjadi pembahasannya adalah perlindungan saksi dan korban menurut undang- undang no 31 tahun 2014 dan pandangan hukum islam terhadap perlindungan saksi dan korban. Berbeda dengan apa yang penulis kaji, dalam skripsi tersebut yang dikaji adalah kajian Viktimologi yang dikaji dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif.

Skripsi Daimatul Ihsan, Nim 2060431003772, Jurusan Konsentrasi Perbandingan Madhzab Fiqhi, Prongram Studi Perbandingan Madzhab Dan Hukum, Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan judul skripsi pandangan hukum islam terhadap

(19)

perlindungan saksi dan korban dalam perkara pidana di Indonesia (kajian terhadap pasal (1) UU no. 13 tahun 2006) yang membahas tentang kedudukan saksi dan korban dalam perkara pidana diindonesia. Hal ini berbeda dengan apa yang penulis kaji dalam skripsi ini yaitu Viktimologi Dikaji Dalam Hukum Pidana Islam Dan Hukum Positif.

E. Penjelasan Judul

Untuk menghindari kesulitan dalam memahami judul skripsi ini, maka perlu dijelaskan istilah-istilah sabagai berikut:

Viktimologi : Studi ilmu yang mempelari teintang koriban, penyebab korban, timbulnya korban, dan akibat-akibat timbulnya korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.

Hukum Pidana Islam : Segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh seseorang.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam pembahasan dan pemahaman dalam penulisan skruipsi ini, penulis memabagi masing-masing pembahasan menjadi lima BAB, dan setiap BAB sebagian akan di uraikan menjadi satu-satu BAB.

Untuk lebih jelasnya secara garis besar sebagai berikut:

(20)

BAB I yaitu Pendahuluan yang memuat tentang Letar Belakang, Rumusan Masalah Dan Batasan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Sistematika penulisan.

BAB II yaitu Landasan Teori yang memuat tentang: Viktimologi Dan Perkembangannya diIndonesia, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Peranan Viktimologi dalam Hukum Pidana, Sistem Peradilan Pidana Islam, Kedudukan Korban dalam Pidana Islam.

BAB III yaitu Metogologi Penelitian yang memuat tentang : Jenis Penilitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Metode Pembahasan.

BAB IV yaitu Hasil Penelitian dan Pembahasanmemuat tentang : Viktimologi didalam kajian Hukum Pidana DiIndonesia dan Viktimologi di dalam kajian Hukum Pidana Islam.

BAB V yaitu Penutup berisikan tentang Kesimpulan dan Saran.

(21)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Viktimologi dan Perkembangan diIndonesia 1. Sejarah Perkembang Viktimologi

Pasca1940-an berkembang ilmu Viktimologi yang secara khusus memusatkan perhatian pada arti penting dan peranan korban dalan dalam konteks dinamik berlangsungnya kejahatan, serta sebab akibat kejahatan.11 Hal ini sebagai implikasi studi kejahatan berupa reaksi terhadap pemikiran korban sebagai objek pasif.

Secara ilmiah karya Hans Von Hentig dalam jurnalو Kriminologi yang berjudul “remasks on the interation of perpetratior and victim” dan kemudian pada tahun1949 Von Henting dalam tulisanya “the criminal and his viktim”, merupakan langkah pertama yang memaparkan analisis yang menyeluruh mengenai hubungan interaksi antara pelaku dan lebih memfokuskan kepada korban kejahatan, (yang menjadi objek kajian Kriminologi) dan korban (yang menjadi objek kajian Viktimologi).12

Istilah Viktimologi sendiri baru muncul pada tahun 1947 yang diperkenalkan oleh Benjamin Mendelsohn dengan artikelnya yang berjudul “new bio-psycho social horizons : Viktimology”. Dapat dikemukakan bahawa tulisan kedua tokoh ini merupakan awal bagi perkembangan Viktimologi.

11"S. Maya Indah , Perlindungan Korban (Suatu Perspektif Viktimologi Dan Kriminologi),

Prenadamedia Grup", Jakarta 2014, Hlm7

12"Chaerudin Dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi Dan

Hukum Pidana Islam", Graha Dhika Pres, Jakarta, 2004,Hlm 21

(22)

Karya-karya dalam studi Viktimologi ini memperoleh pengakuan bagi perhatian terhadap korban dengan Simposium Internasional I tentang Viktimologi pada tanggal 2-6 September 1973 di Yerusalem, hingga sampai Simposium kelima di Zagreb, Yugoslavia pada 1985.

Perhatian terhadap korban kejahatan sebenarnya dimulai pada 1937 dalam penulisan Mendelsohn terhadap korban baik secara Biologis, Sosiologis dengan cara meneliti “Personality Of The Criminal. Disimpulkan bahwa “Personality Of The Bio-Psycho-Social Point Of View and Paralely Into The ‘Data Concerning The Personality Of Their Victims and Even Of Their Social Relations”.

Mendelsohn mengemukakan bahwa aplikasi dari hal ini terlihat dalam studinya tentnag “Rape In Criminology”.13

A.و Karmen dalam bukunya Crime Victims: A Introduction to Victimologi mengidentifikasikan ada tiga tendensi dalam perdebatan Victimological, yaitu :

“The Conservative Victimologi, The Liberal Victimology, and The Radical Viktimology”: 14

“The conservative tendency within Viktimology defines the discipline in four ways. First, it focuses on crime as a problem with particular attention being paid to victims of street crime; secondly , it is concerned to render people accountable for their actions; thirdly , it encouregas self-reliance; and finally it focuses on nations of retributive justice”.

13 Benjamin Mendelsohn, Viktimology And Conteporery Society Trend’s Dalam Victim And Society, (Washington Dc, Emilio Viano, Visage Press, 1976) Hlm 3

14 Dalam R.I Mawby, S. Walklate, Critikal Viktimology, International Perspectives, "

(London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publication, 1994), Hlm 8-9

(23)

"The liberal victimology tendency extends this consrvative focus by including

‘crimes of the suites’ in their analyses; by being concerned to ‘make the victim whole again’; and by considering the value of restitution and reconsiliation as apropriate penal strategies. The radical-critical tendency within viktimology wishes to extend the discipline even further”.

Penanaman yang berbeda dalam penegakan Viktimologi diidentifikasikan oleh D. Miers dalam bukunya “Positivist Victimology: A critique International Review of Victimology”, dalam tiga tipe viktimologi yaitu; “Positivist Viktimology, Radical Viktimology,dan Critical Vitimology”.15

Von Hentig telah membuka cakrawala pemikir baru yang lebih luas, bahwa dalam suatu peristiwa pidana seyogyanya dipandang ada interaksi yang bukan saja disebabkan oleh pelaku, akan tetapi terhadap interrelation ship atau dualrelation ship antara pelaku dan korban meskipun ruang lingkup Viktimologi masih dalam tahap pentahapan sempit. Selanjutnya pada tahun 1947, Benjamin Medelshon memperkenalkan nama Victimology dan pada tahun 1956 istilah tersebut diperkenalkan kembali dalam tulisannya yang berjudul “Revue Internatiopale De Vriminologie Et De Police Technique”.

Pembahasan mengenai korban oleh Von Hentig dan Mendelshon kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana lain di antaranya seperti Ellenberger , yang melakukan suatu studi tentang hubungan psikologis antara penjahat dengan korban bersama dengan H. Manheim , Schefer, dan Fiseler.16

15 Ibid., 9., 12

16"Dikdik M. Arif Mansur Dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

Antaranorma Dan Realita, Hlm 39

(24)

Pada tahun 1959 P. Cormil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan viktimologi harus memperhatikan dalam membuat kebijakan kriminal dan juga dalam pembinaan para pelaku kejahatan. Baik P. Cormil maupun Nagel memperluas wilayah bahasan kriminologi sampai masalah korban.

Perhatian terhadap korban kejahatan akhirnya diwujubkan dalam suatu

“Simposium Internasional” di jerussalem ini berhasil dirumuskan beberapa kesimpulan, yaitu : “Viktimologi” dapat dirumuskan sebagai studi ilmiah mengenai para korban, dan “Kriminologi” telah di percaya dengan suatu

“Orientasi Viktimologi".

"Simposium” kedua diadakan diBoston, pada tanggal 5-7 September 1976.

Studi lebih lanjut tentang “Viktimologi” juga telah di lakukan dalam bentuk

“Postgraduate Course On The Victim Of Crime In The Criminal Justice System”

dan telah dua kali dilakukan diDubrovnick, Yugoslavia. Setelah mengalami berbagai kesulitan pada saat diselenggarakannya simposium yang kedua di Buston, maka pada tahun 1977 didirikan “Word Society of Viktimology” (WSV).

WSV ini dipelopori oleh Schneider dan Drapkin.

Perjalanan panjang untuk menghasilkan suatu prinsip-prinsip dasar tentang pelunya korban terwujud pada kongres Milan, Italia pada tanggal 26 Agustus- 6 September 1985 dengan nama “Congtess On The Prevention of Crimeand Treatment Of Offenders”, yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentnag korban kejahatan dan penyalahgunaan yang selanjutnya diadopsi oleh PBB pada

(25)

tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power".17

Perkembangan viktimologi sebagai suatu study tentang korban dengan segala aspeknya, pada awalnya merupakan daerah dominion dari kriminologi, dengan aspek dan faset kepidanaan atau kriminologi menjadi fokus perhatian.

Perkembangan viktimologi sekarang diakui mandiri sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, sebagai ilmu baru di indonesia yang dapat dipandang sebagai

‘Terra Incognata’.18 Dalam ulasannya, saheatapy menyatakan bahwa beranjak dari pangkal tolak Viktimatis, maka masalah korban tidak perlu selalu dihubungkan dengan faktor kejahatan.

2. Manfaat Viktimologi

Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu pengetahuan merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan ilmu itu sendiri.

Dengan demikian, apabila suatu ilmu pengetahuan dalam pengembangannya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis maupun teoritis, sia-sialah ilmu pengetahuan itu dipelajari dan dikembangkan. Dengan dipelajarinya viktimologi, diharapkan akan banyak manfaat yang diperoleh.

Arif Gosita menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi, yaitu sebagai berikut:

17 Ibid, 40-41

18 J. E. Sahetapy, Ed. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Hlm 8-9

(26)

a. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang telibat dalam proses viktimasi.

b. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulakan penderitaan fisik, mentaln dan sosial.

c. Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mampunyai hak dan kewajiban mengetahui mengenai bahaya yang di hadapinya berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka.

d. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimasi yang tidak langsung, misalnya: “Efek politik pada penduduk dunia ketiga akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat –akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali seorang pejabt menyalahkangunakan jabatan dalam pemerintahan untuk keuntungan sendiri".

e. Viktimologi memberikan dasar pemikiran utama untuk masalah penyelesaian viktimasi kriminal, pendapatan-pendapatan viktimologi dipengaruhi dalam keputusan-keputusan peradilan kriminl dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal.

Manfaat Viktimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama dalam mempelajari manfaat studi korban yaitu:

a. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukum.

(27)

b. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasaan peranan korban dalam suatu tindak pidana.

c. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.

Manfaat Viktimologi ini dapat memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran. Viktimologi juga berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat dan sebagai warga negara yang mampunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.

Viktimologi bermanfaat bagi kinerja aparatur penegak hukum, seperti aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Bagi aparat kepolisian, Viktimologi sangat membantu dalam upaya penangulangan kejahatan. Melalui Viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, sebarapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspek-aspek lainnya yang terkait.

Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penutupan perkara pidana di pengadilan, Viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, mengigat dalam praktiknya sering dijumpain korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.

Bagi kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai orang pengadilan yang di anggap memahami hukum yang menjalankan tugas luhurnya, yaitu menegakkan

(28)

hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum republik indonesia, dengan adanya Viktimologi, hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkretisasi dalam putusan hakim.

Hakim dapat mempertimbangkan berat ringan hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat pada penderitaan yang dialami oleh korban akibat perbuatan terdakwa. Misalnya korban menderita cacat seumur hidup, korban kehilangan penghasilan, korban kehilangan orang yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi keluarga.19

Viktimologi dapat di pergunakan sebagai pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai kebijakan atau perundang-undangan yang selama ini terkesan kurang memperhatikan aspek perlindungan korban.

3. Pengertian Viktimologi

Viktimologi, berasal dari bahasa latin Victim yang berarti korban dan Logos yang berarti ilmu. Secara Terminologis, Viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.

19 Dikdik M. Arif Mansur Dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan AntaraوNorma Dan Realita, Hlm 67

(29)

Korban dalam lingkup Viktimologi memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan korban dan pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.20

Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu Viktimasi (Kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu pemahaman, yaitu:21

a. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsinya yang sebenarnya secara dimensional,

b. Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi,

c. Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat sertentu.

Viktimologi mencoba memberi pemahaman, mencerahkan permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibat-akibatnya dalam rangka menciptakan kebijaksanaan dan tindakan pencegahan dan menekan kejahatan secara lebih bertanggungjawab.

Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan-

20 Ibid, Hlm 34

21 Arif Gosita,Masalah Korban Kejahatan, Hlm 40

(30)

penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya adalah tidak untuk menyanjung- nyanjung para korban, tetapi hanya untuk memberi penjelasan mengenai peranan sesungguhnya para korban dan hubungan mereka dengan para korban. Penjelasan ini adalah penting dalam rangka mengusahakan kegiatan-kegiatan dalam mencegah peningkatan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam suatu Viktimisasi. Khususnya, dalam bidang informasi dan pembinaan untuk tidak mencari korban kejahatan Struktural atau Non Struktural.

Viktimologi mencoba mencapai hasil-hasil praktis. Ini berarti ingin menyelamatkan manusia dari dan berada di dalam bahaya. Viktimalogi juga memberikan perhatian terhadap permasalahan viktimisasi yang tidak langsung.

Misalnya: efek-efek sosial polusi industri pada setiap anggota masyarakat;

terjadinya Viktimisasi Ekonomis, sosial politik, setiap kali jika seorang pejabat meneyalahgunakan fungsinya dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadinya.22 Perkembangan Viktimologi hingga pada keadaan seperti sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami berbagai perkembangan yang dapat dibagi dalam tiga fase.

Pada tahap pertama, Viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja, pada fase ini dikatakan sebagai “Penal Or Special Viktimology” Sementara itu, fase kedua, Viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut sebagai “General Viktimology. Fase ketiga, Viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi, yaitu

22Ibid, 208-209

(31)

megkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan sebagai “ new victimology”.

4. Ruang Lingkup Viktimologi

Perspektif Viktimologi dalam kajian korban memberikan orientasi bagi kesejahteraan masyarakat, pembangunan kemanusiaan masyarakat, pembangunan kemanuasiaan masyarakat, dalam upaya untuk menjadikan para anggota masyarakat tidak menjadi korban dalam arti luas. Sebagaimana dikemukakan Mendelsohn bahwa: “That Viktimology Should Be A Separate and Autonomous Science, Should Have Its Owh Institutions and Should Be Allowed To Develop FOR The Well-Being and Progress Of Humanity”.23

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana.

Menurut J. E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu Victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Namun dalam perkembangannya di tahun 1985 Separovic memelopori pemikiran agar Viktimology khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan

23"Benjamin Mendelshohn, The Origin Of The Doctrine Of Victimology Dalam Israel

Drapkin, Emilio, Viktimology, (Toronto-London: Lexington Books D.C. Heath And Company Lexington", 1974) Hlm. 11

(32)

penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam diluar kemauan manusia (Out Of Man’’s Will).24

Tujuan Victimologi dikatakan Muladi adalah :25

a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;

b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musibab terjadinya Viktimisasi dan

c. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.

Objek studi atau ruang lingkup perhatian Viktimalogi menurut Arif Gosita adalah sebagai berikut:26

a. Berbagai macam “Viktimisasi Kriminal atau Kriminalitas”.

b. Teori-teori etimologi “Viktimisasi Kriminal”.

c. Para peserta yang terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu

“Viksismisasi Kriminal atau Kriminalitas”. Seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan sebagainya.

d. Reaksi terhadap “Viktimisasi Kriminal".

e. Respons terhadap suatu “Viktimisasi Kriminal”: argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu “Viktimisasi atau Viktimologi”,

24 Dikdik M. Arif Mansur Dan Elisatris Gultom,"Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara norma Dan Realita", Hlm 43-44

25 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, "Bunga Rampai Hukum Pidana, " Pt. Alumni, Bandung, 2007, Hlm 82

26 Arid Gosita,Masalah Korban Kejahatan, Hlm 40-41

(33)

usaha-usaha prevensi, represi, tindak lanjut (Ganti Kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.

f. Faktor-faktor “Viktimogen/Kriminogen”.

Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai objek kajian viktimilogi semakin luas setelah Kongres PBB Kelima di Geneva tahun 1975, Kongres keenam tahun 1980 di Caracas, yang meminta perhatian bahwa korban kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian, penganiayaan dan lainnya, tetapi juga kejahatab inkonvensional seperti, terorisme, pembajakan, dan kejahatan kerah putih.

Dalam kongres PBB Kelima di Geneva tahun 1975 dihasilkan kesepakatan untuk memerhatikan kejahatan yang disebut sebagai crime as business, yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan material melalui kegiatan dalam bisnis atau industri yang umumnya dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh orang-orang yang mampunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat, seperti pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, perbankan dan kejahatan lain yang biasa dikenal dengan “organized crime, white collar crime”, dan korupsi.

Dalam kongres PBB Keenam Tahun 1990 di Caracas dinyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan merugikan bukan hanya kejahatan terhadap nyawa, orang, dan harta benda, tetapi bukan penyalahgunaan kekuasaann (abusepower), sedangkan dalam Kongres PBB Ketujuh Thun 1985, menhasilkan kesepakatan untuk memerhatikan kejahatan-kejahatan tertentu yang

(34)

dianggap atau dipandang membahayakan seperti “economic crime, environmental offences, illegal traficking in grug, apartheid, dan industrial crime".27

B. Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

1. Kedudukan Korban dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Dalam penegankan hukum kelemahan mendasar adalah terabainkannya hak korban kejahatan dalam proses penanganan perkara pidana maupun akibat yang harus ditangggung oleh korban kejahatan karena perlindungan hukum korban kejahatan tidak mendapat pengaturan yang memadai.28

Hal ini dapat dilihat dalam KUHAP, sedikit sekali pasal-pasal yang membahas tentang korban tindak pidana melainkan hanya sebagai warga negara biasa yang mampunyai hak yang sama dengan warga negara lain”. Terlihat dengan bermacam-macam nya istilah yang digunakan dalam menunjuk seorang korban. Sebagai contoh, dalam pasal 160 ayat 1b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa yang pertama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Dengan demikian posisi korban tindak pidana di sini hanyalah sebagai saksi dari suatu perkara pidana yang semata-mata untuk membuktikan kesalahan tersangka terdakwa.

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak mendapat perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan.

27 Dikdik M. Arif Mansur Dan Elisatris Gultom,Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara norma Dan Realita , Hlm 44

28Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan, Umm Press, Malang, 2005, Hlm 2

(35)

Akibatnya, pada saat pelaku kajahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali.

Padahal masalah keadilan dan menghormatanhak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban kejahatan.29

Dalam penyelesaian perkara pidana yang dianut oleh KUHAP pun mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateril maupun materil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.

2. Kedudukan Korban dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan Korban

Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban, akhirnya pada tanggal 11 Agustus tahun 2006 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan dan diberlakukan.

Dasar pertimbangan perlinya diatur undang-undang mengenai perlindungan korban (dan saksi) kejahatan dapat dilihat pada bagian pertimbangan undang- undang ini, yang diantara lain menyebutkan dalam proses peradilan pidana sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

29 Dikdik M. Arif Mansur Dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antaranorma Dan Realita, Hlm 24

(36)

Hal ini terjadi karena tidak hadirnya saksi dipersidangan yang disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Padahal diketahui bahwa peranan saksi (korban) dalam suatu proses peradilan pidana menepati posisi kunci dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Korban dan saksi siakui keberadaannya dalam proses peradilan pidana.30

Kedudukan korban tidak pidana hanya sekedar dapat ikut serta dalam proses memiliki dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanann atau dapat memperoleh informasi mengenai putusan pengadilan atau pun korban dapat mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Namun, sebagai pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh ganti rugi dari apa-apa yang diderita.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban didalam Pasal 7 menyebutkan bahwa korban dapat mengajukan hak atas konpensasi (dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat) dan Hak atas Retitusi atau Ganti Kerugian yang menajadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.

Namun pengajuan hak atas konpensasi, retitusi ataupun ganti kerugian diatas harus diajukan kepengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pada praktiknya mekanisme seperti ini tetntu tidak lah sederhana.

30Ibid, Hlm 152

(37)

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa korban yang telah menjadi objek kekerasan dan penindasan oleh para pelaku dari dahulunya hingga saat ini menjadi pihak yang dilalaikan.

3. Kedudukan Korban dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Keutuhan dan keteraturan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujubkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkungan rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengadilan diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengadilan diri tidak dapat di kontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berbeda dalam lingkup rumah tanggga tersebut.

Setiap orang berhak untuk memiliki rasa aman, berhak atas perlakuan hukum yang adil tanpa diskriminasi. Kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Kasus kekerasan dalam rumah tanggan semangkin hari semngakin menigkat, untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga tersebut diperlukan suatu perangkat hukum yang lebih terakomodir, hal ini ditanggapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 23

(38)

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disahkan pada tanggal 14 September 2004.

Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) diharapkan dapat menjadi solusi untuk mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam upaya penegakan hukum. Sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 3, yakni:

a. Penghormatan hak asasi manusia, b. Keadilan dan kesetaran gender, c. Perlindungan korban.

Mengenai korban kekerasan dalam rumah tangga dapat berasal dari berbagai latar belakang usia, tingkat sosial ekonomi, agama dan suku bangsa. Yang dimaksud dengan korban menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga (KDRT) adalah orang yang mengalami kekerasan dan ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

Arif Gosita memberikan pengertian tentang korban yaitu mereka yang menderita jasmani dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan dari diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.31

31 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan , Hlm 63

(39)

Suatu terobosan baru dalam perundang-undangan kita, bahwa dalam UU penghapusan KDRT ini diatur mengenai hak-hak korban,sebagaimana yang terdapat dalam pasal 10:

Korban berhak mendapatkan:

a. Perlindungan dari pihak keluarha, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, sementara maupun berdasarkan penerapan perintah perlindungan dari pengadilan,

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, d. Pendamping oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

e. Pelayanan bimbingan rohani.

Dengan adanya pasal yang memuat tentang hak-hak korban ini maka diharapkan korban kekerasan dalam rumah tangga akan mendapat perlindungan dari negara atau masyarakat sehingga tidak mengakibatkan dampak trumatis yang berkepanjangan sesuai dengan konsideran UU penghapusan KDRT, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan perempuan harus mendapat perlindungan dari negara atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari

(40)

kekerasan atau ancaman kekerasa, penyiksaa, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.32

Selain mengatur tentang hak-hak korban, UU penghapusan KDRT ini juga mengatur tentang pelayanan yang diberikan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, Ruang Pelayanan Khusus (RPK) bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampinggi korban (Pasal 17).

Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara atau dapat juga memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.

Sebuah kemajuan lain dalam UU PKDRT adalah korban dapat mengajukan permohonan surat perintah penetapan perlindungan kepada pengadilan. Dengan demikian selama dalam proses korban berada dalam kondisi yang aman dan dilindungi.

Permohonan untuk memperoleh surat perintah penetapan perlindungan dapat diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani. Permohonan perlindungan tersebut dapat diajukan baik secara lisan maupun tulisan (Pasal 30). Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan

32 Rena Yulia, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Penegakan Hukum, Mimbar, Lppm-Unismu, Bandung, Volume Xx No 3 Juli-September 2004, Terakreditasi, Hlm 322

(41)

wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisikan perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut. Perintah perlindungan yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.

Dengan demikian menyangkut pelindungan terhadap korban KDRT, secara normatif sudah memenuhi, tetapi perlu pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan tersebut baik berupa kebijakan maupun tindakan. Hal ini berkenaan dengan pengaturan bentuk-bentuk kekerasan yang termasuk kedalam delik aduan dan delik biasa.33 Perbuatan yang termasuk kedalam delik aduan (Pasal 51-53) merupakan perbuatan kekerasan yang terjadi antara suami-istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari.

UU KDRT merupakan suatu aturan yang memebrikan solusi untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagai upaya penegakan hukum. Namun tetap diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat serta korban kekerasan itu sendiri.

C. Perlindungan Hukum terhadap Korban Kerjahatan 1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan

Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena

33 Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, Hlm 39

(42)

itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian seirus, dapat dilihat dari dibentuknya

“declaration of basic principal of justice for victims of crime and abuse of power”

oleh PBB, sebagai hasil dari “the sevent united nation conggres on the prevention of crime and the treatment of offenders”, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985.

Sepanajang menyangkut korban kejahatan dalam deklarasi PBB tesebut telah menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal sebagai berikut:

a. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlukukan secara adil (access to justice and fair treatment),

b. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada korban, keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku, c. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar

santunan (comoensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang menjadi tangunggan korban,

d. Bantuan materil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui negara, sukarelawan, masyarakat (assistence),

Perlindungan menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga

(43)

lainnya sesuai dengan ketentuan.34 Perlindugnan ini diberikan salam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujubkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan konpensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum.

Sebagaimana telah diuraikan, beberapa bentuk perlindungan terhadap korban, yaitu:

a. Ganti rugi

Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban menganti kerugian, yaitu:35

1) Meringankan penderitan korban,

2) Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan, 3) Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana,

4) Mempermudah proses peradilan,

5) Dapat mengurangi ancaman arau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.

b. Retitusi (restitution)

Lebih diarahkan pada tangungjawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menangulangi semua keguian yang diderita korban. Dalam hal korban dengan status sosial lebih rendah dari pelaku, akan tetapi

34 Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

35 Chaerudhin Dan Syarif Fadillah,Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi Dan Hukum Pidana Islam, Hlm 56

(44)

mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi, dan sebaliknya jika status korban lebih tinggi dari pelaku maka pemulihan harkat serta nama baik akan lebih di utamakan.

c. Konvensasi

Konvensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Konpensasi sebagai bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung bagaimana berjalannya proses peradilan dan putusan yang dijatuhkan, bahkan sumber dana untuk itu diperoleh dari pemerintah atau dana umum.36

2. Retributive Justice dan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Perlindungan hukum terhadap korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil, dengan mengunakan KUHAP sebagai hukum acaranya. Bila diperhatikan, di dalam KUHP lebih banyak diatur mengenai tersangla dari pada mengenai korban. Kependudukan korban dalam KUHP tampaknya belum optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam penjelasan sebagi berikut:37

Pertama, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langasung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.

36 Ibid, Hlm 69-70

37 Angkasa,Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, Hlm 169-172

(45)

Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya kaadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik, lingkungan serta mental.

Melihat penjelasan diatas, maka dapat diketahui bahwa pengaturan KUHP berorientasi terhadap pelaku, bahkan korban cenderung dilupakan. Padahal korban merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku.

Perlindungan hukum bagi korban seharusnya diatur secara eksplisit dalam KUHP. Misalnya dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku dipertimbngkan juga kerugian yang diderita oleh korban atau keluarga korban. Sehingga pelaku bisa saja diberikan pidana ganti rugi yang mungkin akan lebih baik bermaafan bagi korban.

Begitu pula apabila dilihat dalam KUHAP, pengaturan mengenai korban sama sekali termarjinalkan. KUHP lebih banyak mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka, sedangkan perlindungan terhadap korban tidak terumuskan secara lengkap. Hak yang diberikan KUHAP terhadap korban sangat terbatas, diantaranya dapat ditemukan dalam Pasal 98-101.

Posisi korban kejahatan tidak diakui dalam sistem peradilan pidana, korban kejahatan hanya bertindak sebagai pelapor dan saksi yang bersifat pasif. Ia tidak memiliki hak-hak hukum terhadap pelangaran, termasuk hak untuk memperoleh ganti rugi melalui mekanisme sistem peradilan pidana. Hukum pidana tidak mengakui adanya ganti kerugian yang disebabkan kerena kejahatan, karena masalah ini menjadi bagian/cakupan hukum pirdata. Hukum pidana melihat

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin

Putusan yang dijatuhkan oleh Majlis Hakim tersebut dilihat dari aspek keadilan, dari sisi terdakwa sudah dapat dikatakan sesuai dengan nilai keadilan, karena dari fakta-fakta

Rani A, Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

Sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah yang diucapkan saksi sebelum memberikan keterangan didepan sidang pengadilan dalam hal ini didepan majelis hakim, sumpah saksi

Sedangkan perlindungan hukum yang diberikan oleh hakim di dalam sidang peradilan bagi korban perkosaan adalah seorang hakim akan melakukan pertimbangan hukum

penelitian yaitu komparasi, maka penyusun mencoba menganalisa antara peran saksi korban pembunuhan dalam proses pemeriksaan perkara menurut hukum acara pidana Islam

Namun sebaliknya, dalam kasus ini telah diajukan tiga (3) orang saksi syahadah al istifadhah dan saksi korban beserta dengan bukti visum at rapertum namun hakim

peradilan di Indonesia adalah peradilan negara yang menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila; 4. Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan