HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Viktimologi Didalam Kajian Hukum Pidana Islam 1. Hukum Pidana Islam dalam Viktimologi
Dengan berjalannya waktu dalam dunia islam yang berkembang, maka banyak ilmu yang berkembang untuk memberikan ketetapan dan ketentuan dalam hubungan sosial di tengah masyarakat. Hubungan ini sampai lah ke negara Indonesia yang menjadi patokan bahwa dunia islam terbesar dunia.
Hubungan sosial ini menimbulkan banyak konfik yang terjadi yang di antaranya adalah konfik antara negara, konflik antara kelompok, dan konflik antar
89Dalam Rancangan Kuhp Tahun 2005, Tentang Pemidanaan, Pidana Dan Tindakan, Elsam 2005. Hlm 30
individu. Kecenderungan mengenai konflik itu menimbulkan kesenjangan antara sosial yang ada di tengah masyarakat pada umumnya.
Hubungan sosial merupakan jenjang terjadinya interaksi sosial dan kemudian tanpa adanya masyarakat hubungan sosial ataupun interaksi sosial tidak akan tercipta sama sekali.90 Dengan adanya interaksi sosial maka terbentuklah suatu tindakan hukum yang digunakan untuk membuat aturan dan mengadili.
Hukum disini digunakan untuk mengatur sebuah tatanan hubungan sosial dan interaksi sosial di tengah masyarakat. masyarakat pada umumnya adalah pengendali atas semua aturan dan keadilan terhadap sebuah sistem. Kemudian masyarakat padaumumnya menjadi sebuah agen terbentuknya aturan yang di peruntukkan untuk manusia baik itu kelompok maupun individu.
Hukum secara bahasa arab berasal dari kata, Hakama, yang berarti menetapkan sesuatu yang lain, atau meniadakan sesuatu yang lain. Dalam bahasa Indonesia, hukum diartikan sebagai peraturan atau norma-norma yang dibuat oleh penguasa atau adat yang berlaku untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.91
Apa yang telah dikemukakan diatas memberikan makna bahwa hukum diperuntukan oleh manusia untuk keselamatan dan kesejahteraan dirinya sendiri di tengah-tengah kehidupan bersama. Tanpa ada hukum, maka yang akan akan terjadi dalam sebuah tatanan kehidupan masyarakat adalah kompetisi yang tidak sehat yang kemudian akan menimbulkan sebuah kekuatan yang dimana kekuatan tersebut adalah siapa yang kuat diaakan menindas yang lema, yang pintar akan
90Http://Sosiologis.Com/Hubungan-Sosial:Pengertian-Dan Bentuknya//9-April-2018 (7 Juli 2020)
91"Jws Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1984.
Hlm 363"
mampu dan membodohi yang bodoh, yang kaya akan menindas yang miskin, yang berkuasa akan memperlakukan rakyatnya sesuka hatinya. Jadi manusia memerlukan hukum sebagai pengayom hidup. Hukum adalah salah satu sistem yang amat subtansial bagi masyarakat.92
Hukum dapat dibagi kepada dua bagian yaitu hukum yang di syariatkan oleh Allah dan hukum yang diciptakan oleh manusia. Hukum yang disyariatkan oleh Allah adalah hukum yang di Syari’atkan (al-syar’iy) berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, kemudian hukum yang diciptakan oleh manusia yang dapat kita sebut dengan Peraturan, Undang-undang, kemudian Ketetapan. Disini dapat di artikan hukum ciptaan manusia dengan disebut Hukm Al-Wadh’iy.
Hukum Islam merupakan ketetapan-ketetapan yang berasal dari Al-Qur’an, Hadits dan Sunnah Nabi SAW. Dua sumber hukum islam ini hanya digunakan istillah syar’iat yang secara bahasa adalah jalan yang lempang tau jalan yang dilalui air terjun.93
Penjelasan disini hukum Islam merupakan hukum yang telah ada dan ditetapkan berdasarkan Syari’at Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits. Dimana dalam bahasanya adalah jalan setapak yang telah dapat menuju kepada sumber air sebagai sumber kehidupan dan yang harus kita ikuti, atau jalan sebuah kehidupan.
Dalam sebuah wawancara kajian hukum dikalangan ahli hukum barat ditemukan istilah Islamic Law yang kemudian didalam hukum Indonesia dikenal
92 Alauddin Koto, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Raja Wali Pers. 2014, Hlm 21
93 Tm. Hasbi Ashshiddiegy, Pengantar Ilmu Figh, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, Hlm 7
dengan istilah hukum islam. Istilah hukum islam merupakan Literaturhukum yang berasal dari barat (Islamic Law) atau terjemahan dari Hukm Al-Syar’iy.94
Dari asalnya hukum islam berasal dari istilah Hukm Al-Syar’iyyang berarti hukum yang bersal dari syari’at yang bahan dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadits. Kemudian di adopsi oleh ahli barat kepada Islamic Lawyang dimana dapat kita artikan bahwa hukum islam merupakan kajian dari ahli barat.
Dalam dunia hukum islam dapat kita liahat kajian yang sangat urgen adalah kajian mengenai hukum pidana islam. Dimana dalam hukum pidana islam dapat kita gunakan istilah hukum islam dengan sebutan Jarimah, Jinayah dan kemudian Ma’shiyat. Pengertian hukum pidana islam ada pada tiga bagian yang kita pelajari yaitu:
1. Jarimah
Hukum pidana islam dalam bahasa arab disebutkan dengan jarimah atau jinayah secara etimologis jarimah berasal dari kata jarama, yajrimu, jarimatanyang berarti berbuat dan memotong. Kemudian secara khusus digunakan terbatas pada perbuatan dosa atau perbuatan yang dibenci. Kata jarimah juga berasal dari kata ajrama,yajrimu yang berarti melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, ke adilan, dan menyimpang dari jalan yang lurus.95
94 Alaiddin Koto, Ibid, Hlm 24
95"Muhammad Abu Zahra, Jarimah Wa Uqubat Fi Fiqh Islami, Kairo,
Al-Anjlu Al-Mishriyah, T.Th, Hlm 22"
Secara terminologis jarimah yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman hudud dan takzir.96 Dalam hukum positif jarimah diartikan dengan peristiwa pidana, tindak pidana, perbuatan pidana atau delik. Menurut Qanun No 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat, bahwa yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syari’at Islam yang dalam Qanun ini diancam dengan uqubahhudud dan takzir.97 Menurut Qanun No 7 Tahun 2013 tentang hukum acara jinayat, jarimah adalah melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh syari’at islam dalam qanun jinayah diancam dengan uqubah hudud, qisash, diyat, dan takzir.98
Jarimah merupakan suatu tindakan yang melangar syariat islam baik untuk diri pribadi atau kelompok yang kemudian di tetapkan sebuah hukuman yang tepat untuk semua tindakan yang diperbuat. Perbuatan yang melangar aturan syari’at akan mendapatkan hukuman yang berupa uqubah, hudud, qishas,diyat dan takzir sesuai dengan tingkat kesalahan yang di perbuat.
2. Jinayah
Secara etimologis, jinayah berasal dari kata jana-yajni-jinayatan, yang berarti berbuat dosa.99 Secara terminologis, jinayah yaitu perbuatan yang
96"Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990. Hlm 1"
97"Perda Aceh, Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 Tentang Hukuman Jinayat, Bab I Ketentuan
Umum, Pasal 1 Angka 16"
98"Perda Aceh, Qanun No 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat, Pasal 1 Angka
36".
99"Mustofa Hasan Dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah,
Bandung, Pustaka Setia, 2013, Hlm 15"
dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu merugikan jiwa, harata benda atau laiinya.100 Menurut Muhammad Ichan dan Mendio Susilo, Fiqh Al-Jinayah di gunakan secara teknis dalam hukum islam sebagai hukum yang mengatur persoalan yang berhubungan dengan tindak pidana (kejahatan).101
Jinayah merupakan perlakuan yang dapat menimbulkan atau perbuatan yang secara langsung sudah berada dalam lamunan dosa, dikarenakan perbuatan tersebut dapat merugikan jiwa, harta benda, dan lainnya. Secara tidak langsung jinayah merupakan perbuatan yang melanggar hukum Syara’ yang telah ditetapkan dalam hukum Islam atau Fiqh.
Menurut Qanun No 7 Tahun 2013 tentang hukum acara jinayat, hukum jinayat adalah hukum yang mengatur tentang jarimah dan uqubah.
Kemudian menurut Suparma Usman, hukum pidana yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut tindak pidana atau kejahatan terhadap badan, jiwa, kehormatan, akal, harta benda, dan lainnya.102
Kita lihat bahwa jinayat menurut Qanun adalah jarimah dan uqubah yang dimana disini Qanun menetapkan hukuman terhadap sebuah kejahatan, kemudian menurut Suparma Usman adalah tindak kejahatan yang melukai, menciderai orang dengan tujuan yang ingin dicapai, misalakan seseorang
100"Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1967, Hlm 1"
101"Muchammad Ihsan Dan M. Endiro Susilo, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif.
Yogyakarta, Lab Hukum Fh Uii, 2008, Hlm 6"
102"Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, Hlm 41"
ingin mencapai kedudukan di sebuah roda pemeritahan, nah disini orang tersebut harus melukai, menciderai lawannya, baik itu seperti badannya, kehormatannya atau harta benda yang dimilikinya.
Menurut Abdul Qadir Audah, dalam terminologi Syara’ mengandung pembahasan pidana yang luas, yaitu pelangaran terhadap jiwa, harta atau yang lainnya. Ada pun sebagian ulama mengunakan istilah jinayah hanya pada jarimah hudud dan qisas. Dengan demikian jarimah dan jinayah dalam terminologi syara’ adalah sama. Berdasarkan hal tersebut penamaan Fiqh jinayah sebagai bidang ilmu yang membahas berbagai bentuk perbuatan (tindak) pidana adalah benar dan sejalan dengan pengertian dan kandungan jarimah.103
3. Ma’shiyat
Istilah ma’shiat dalam hukum pidana mengandung makna melalukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan maupun yang dilarang oleh hukum, sehingga istilah Ma’shiat hanya mencakup unsur perbuatan yang dilarang oleh hukum untuk dilakukan.104
Perbuatan yang dimaksud dalam Ma’shiat disini adalah perbuat yang dilakukan baik melukai diri sendiri atau perbuatan yang melukai orang lain, dan perbuatan yang melangar kepada Syari’at Islam. Dalam berma’siat memiliki kejahatna yang tidak bisa diduga dan tidak bisa di prediksi.
103 Mardani,Hukum Pidana Islam, Jakarta, Prenada Grup, 2019, Hlm 3
104"Amran Suardi Dan Mardi Chandra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata Dan
Hukum Pidana Dan Ekonomi Syariah, Jakarta, Prenada Media Grup, Cet, Ke 1, 2016, Hlm 298 "
Hukum pidana islam adalah suatu syari’at yang telah ditetapkan dalam Nash-nash Al-quran dan Hadits yang memiliki aturan dan membuat pelaku sebuah tindak kejahan menjadi jera dan tidak akan pernah melakukannya lagi. Kemudian hukum pidana islam memiliki beberapa unsur yang sangat berhubungan yaitu:
a. Ada Nash yang melarang disertai sanksi hukumnya, hukum ini dapat kita beri nama dengan hukum formil (rukun syara’),
b. Adanya perbuatan pidana, unsur ini disebut dengan unsur materil (rukun madani),
c. Pelaku tindak pidana harus cakap hukum (mukalaf). Unsur ini disebut dengan unsur moril (rukunadabi).
Ketiga unsur tersebut harus terpenuhi dalam tindak pidana yang merupakan sebuah unsur pokok dalam terjadinya sebuah kejahatan tindak pidana. Selain unsur pokok ada juga unsur umum dan unsur khsus yang tindakan berbeda untuk setiap tidak pidana yang diperbuat nya. Misalnya unsur mengambil secara diam-diam untuk tidak pidana pencurian.105
Pendapat Saepuddin Jahar Et Al unsur-unsur perbuatan pidana, mereka menyebutnya ruang lingkup hukum pidana terfokus kepada tiga hal, yaitu: 106
Pertama, subjek perbuatan, yakni pelaku atau menyangkut pertanggung jawaban pidana, yaitu keadaan yang membuat seseorang dapat dipidana
105Adhmad Hanafi, Ibid, Hlm 6
106Asep Saepuddin Jahar Et Al, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis, Jakarta, Prenada Media Grup, 2003, Hlm 115-116
serta alasan-alasan dan keadaan apa saja yang membuat seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dapat dipidana.
Kedua, objek perbuatan, yakni perbuatan apa saja yang dilarang dan lazim disebut dalam bahasa Indonesia sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana dan perbuatan pidana. Istilah ini merupakan terjemahan dari istilah jarimah dalam bahasa arab. Strafbarfiet dalam bahasa Belanda, delic dalam bahasa latin atau criminalact, dalam bahasa Inggris.
Ketiga, saksi hukum, yaitu hukuman atau sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada seorang yang melakukan tindak pidana dan kepadannya dapat ditangkap bertangung jawab. Istilah ini merupakan terjemahan dari istilah uqubah dalam bahasa arab.
Tiga unsur menurut Asep Saepuddin Jahar Et At adalah unsur yang menyangkut kepada perlakuan tindak pidana yang kemudian di kenakan hukuman yang tepat terhadap pelaku yang melangar tindak pidana tersebut. "Dapat kita beri kesimpulan bahwa tindak pidana merupakan hal yang sangat sering terjadi".
Kemudian untuk tindak kan bagi para pelaku tindak pidana maka diberikan sangsi yang tepat atas perbuatan yang di nilai melakukan sebuah kejahatan.
Kejahatan yang sering terjadi ini dapat menimbulkan korban terhadap perlakuan yang dilakukannya. Perlakuan ini hukum pidana islam sudah mendahului perhadap perlakuan yang adil dalam bertindak untuk korban yang diantaranya adalah korban di beri wewenang untuk memberi jerah kepada pelaku.
Pembahasan tentang korban dapat dikaji dalam sebuah studi yang dikenal dengan Viktimologi, dimana dalam Viktimologi membahas tentang bagaimana terjadinya korban, sebab timbulnya korban yang menyebabkan manusia adalah masalah dalam kenyatasan sosial. Ilmu Viktiologi juga membahas kajian yang menyangkut kepada pengetahuan dunia hukum terhadap korban kejahatan yang sering terjadi ditengah masyarakat. ini membuktikan bahwa kajian ilmu yang membahas tindak tanduk korban setelah terjadinya sebuah kejahatan adalah Viktimologi atau Viktim. Ada tiga hal yang terdapat dalam Viktimologi yaitu :
a. Viktimologi perkembangan, yaitu kajian ilmu korban yang mengkaji tentang permasalahan korban kejahatan atau dikenal dengan Panel Or Special Victimology.
b. Viktimologi general, yaitu kajian ilmu yang tidak lagi membahas tentang kajian korban kejahatan tetapi sudah berkembang menjadi pengkajian terhadap korban kecelakaan.
c. New Viktimologi, yaitu perkembangan terhadap ilmu kejahatan yang terjadi dalam struktural pemerintahan. Baik berupa kekuasaan maupun berupa ketidak sengajaan dalam mewujubkan keinginan.
Implementasi pertangung jawaban terhadap korban kejahatan dengan pendekatan cultural-religius dalam pembangunan sistem hukum pidana nasional, seyogyanya memposisikan kedudukan korban dan ahli waris korban seimbang.
Sebagai perbandingan kedudukan korban dan ahli waris korban dalam tindak pidana islam (Jinayah) dapat dilihat dalam penjelasan berikut:
a. Muhammad Aly Al-Shabuny menyatakan hakim hanya bertindak sebagai juri, yaitu menilai lalu menetapkan benar tidaknya suatu dakwaan (Gugatan). Selanjutnya dalam pelaksanaan pidana jika memang dakwaan korban benar, maka pelaksanaannya adalah terserah kepada pendakwa (Gugatan).107
b. Abu ‘Abdillah menjelaskan bahwa dalam proses sidang di pengadilan, menurut ulama’ Mazhab Hanafy korban mendapatkan tempat khusus, yaitu minimal 50 orang yang mengucapkan sumpah (Qosamah).
Sedangkan menurut ulama’ mazhab Maliki dan Syafi’iy yang berperan dalam qasamah adalah korban, bukan orang lain.108
Perbedaan pendapat diatas membuktikan bahwa dalam hukum pidana islam memiliki pandangan yang berbeda terhadap korban kejahatan. Untuk mempelajari korban kejahatan perlu maka pelaksanaan nya adalah dikembalikan kepada pendakwa (Gugatan). Kemudian untuk membuktikaannya korban perlu mengucapkan sumpah (Qasamah) yang diucapkan langsung oleh korban.
Pengadilan hukum pidana islam (Fiqih Jinayat), sebagaimana di ungkapkan Wahabbah Zuhaily adalah sebagai berikut :
a. Pengakuan (Iqrar), yaitu pengakuan seseorang tentang adanya hak orang lain atas dirinya,
107"Muhammad Aly Al Shabuny, Tth., Rawai Al-Bayan Fi Tafsir Ayatal-Ahkam, Jilit I,
Beirut, Dar Al-Fikr, Hlm 185"
108Abu ‘Abdillah Muhammad, Rahmad Al-Ummah, Hlm 278
b. Kesaksisan (sahahadah), yaitu pernyataan keadaan yang sebenarnya untuk menetapkan suatu, baik hak pribadinya atau hak orang lain,
c. Petunjuk (qarinah), adalah suatu tanda yang tampak, yang bersesuaian dengan suatu peristiwa yang samar, yang bisa menunjukkannya
d. Menolak sumpah (nukul), ialah penolakan sumpah dari pihak terdakwa (tergugat) yang diajuakan oleh pihak pendakwa (penggugat),
e. Qasamah, ialah bersumpah lima puluh kali dalam kaitannya dengan dakwaan (gugatan) pembunuh.109
Perbedaan yang membuktikan hukum islam berbeda dengan hukum positif adalah tentang tidakan terhadap korban (ilmu viktimologi). Dimana orang yang dirugikan oleh tindak kejahatan hukum islam lebih memberikan hak-haknya kepada korban. Hukum islam menetapkan dua bentuk hukuman atas tindak pidana yaitu qisas dan diyat.
2. Viktimologi Islam
Manusia sebagai angota masyarakat atau warga negara yang mampunyai hak dan kedudukan yang sama dan seimbang ke dudukannya dalam hukum dan pemerintahan, serta tidak ada diskriminasi di antara mereka, sehingga selayaknya mereka diperlakukan secara adil termasuk hak asasi manusia adalah hak mereka
109"Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Jilid Vi, Bairut, Dar Al-Fikr,
1989, Hlm 3"85
dalam bidang hukum, terutama hukum pidana. Antara satu dan lainnya tidak ada perbedaan, baik ketika mereka berposisi sebagai pelaku atau berposisi sebagai korban. Mereka berhak mendapatkannya sesuai dengan proposisi kemanusiaan mereka.110
Oleh karena itu, bisa dikatakan suatu sistem peradilan pidana disebut ideal jika hak dan kewajiban antara pelaku dan korban adalah seimbang. Akan tetapi, kedudukan yang seimbang antara pelaku dan korban tidak dapat dalam hukum positif. Ini senada dengan apa yang dikatakan Andi Hamza, kita sering banyak membicarakan hak-hak tersangka dan sering lupa hak-hak korban delik yang justru lebih adil diperhatikan.111
Sebagai contoh apa yang terdapat dalam KUHP, jumlah pasal-pasal yang mengatur pelaku jika di bandingkan dengan hak-hak yang diperoleh korban tidak sebegitu banyak dengan hak-hak yang diperoleh terdakwa (pelaku suatu tindak pidana).
Hak-hak pelaku jika dibandingkan dengan korban maka pelaku memiliki hak yang sangat tinggi di bandingkan dengan korban yang memiliki hak yang sangat sedikit. Ketempangan ini menunjukan bahawa korban merupakan suatu target yang harus di perhatikan dalam sebuah tindak pidana yang kemudian di perlukan keseimbangan yang tepat dalam tindakan hakim.
Secara historis, ketimpangan kedudukan antara pelaku dan korban ini bermula dari pengambilalihan tangung jawab pelaksana hukum pidana dari pihak
110"Nofi Mubarok, Korban Pembunuhan Dalam Prespektif Viktimologi Dan Fikih Jinayat,
Al-Qanun Vol 12, 2 Desember 2009, Hlm 475"
111"Andi Hamzah, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Bandung, Bina Cipta, 1989, Hlm 33"
korban oleh negara. Negara bertindak sebagai wakil perdamaian dalam masyarakat dari pihak korban, sehingga kata kerugian dan perdamaian diartikan sebagai tertib hukum. Akibatnya, semua tindak pidana tidak lagi dilihat atas jiwa dan raga, akan tetapi, dipandang sebagai pelangaran terhadap suatu tertib hukum.112
Dilihat dari segi historisnya dapat kita lihat bahawa ketimpangan tersebut terjadi antara pelaku dan korban. Kemudian pengalihan tangung jawab terhadap pelaksanaan hukum pidana dari pihak korban yang di tindak oleh negara yang dapat disebut dengan wakil dalam perdamaian yang terjadi antara pelaku dan korban.
Dalam KUHP tidak dikenal apa yang disebut ganti rugi, sedangkan dalam KUHAP sudah dikenal kata ganti rugi. Sayangnya, ganti rugi tersebut lebih banyak banyak diperuntukkan untuk terdakwa. Sedangkan untuk korban hanya mungkin melalui pasal 101 KUHAP, ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain. Akan tetapi ketentuan tersebut hanya mengatur sebatas hukum formil, tidak ada kaitannya dengan kerugian yang diberikan kepada korban suatu tindak pidana.113
Memang dalam perkembangnnya, kemudian lahir Undang-undang No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Pasal 7 dari undang-undang tersebut mengatur tentang kepentingan korban yang dikuasakan pada suatu lembaga yang di bentuk oleh undang-undang.
112 Nofi Mubarok, Ibid, Hlm 477
113 Ibid, Hlm 478
Dalam hukum islam terdapat hak-hak yang merupakan hak yang dimiliki oleh korban yaitu :
a. Hak mengadukan sebuah kejahatan terhadap dirinya, b. Hak bertindak langsung, tanpa diwakilkan,
c. Hak yang menunjukan bahwa dia adalah sebagai pelaku terhadap kejahatan terhadap korban.
d. Hak mendapatkan perlindungan,
e. Hak mendapatkan ganti rugi terhadap pelaku kejahatan.
f. Hak mendapatkan eksekusi terhadap pelaku.
Untuk menunjukan bahwasanya pelaku kejahatan merupakan ornaag utama yang bertindak terhadap korban kejahatan maka untuk membuktikan tersebut hukum islam melakukan qasamah, yang berarti salah satu bentuk sumpah.
Sumpah dipakai untuk menunjukan bahwa bukti tersebut nyata adanya. Dalam hukum islam melakukan sumpah itu dilakukan juka pelangaran tersebut sudah terlalu berat, maka dilakukan sumpah. Adapun ayat al-quran yang menjelaskan terhadap sumpah yaitu :
وعمنك ْوالبمعيوب لاوًةبضو عرنعو اللولوونلبَعجبتوبلا بَ
و سوالَّنْلو بنعيببولو عونح لعصنتو بَول عونقَّتبتو بَول عَ ُّربْبتو عنبلو و ععي مبسون َّالل بَو
و معي لبع
Artinya: ”Dan jangan lah kamu jadikan (nama) allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah di antara manusia. Allah maha pendengar lagi maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah (2): 224)
Sisi lain perlindungan hak korban adalah dalam masalah hukuman bagi pelaku pembunuhan jika terbukti,hukuman yang pantas adalah hukum mati (qisas), dan kemudian diyat adalah hukuman yang dimaafkan oleh korban. Ini tidak lain adalah demi melindungi kepentingan korban, di mana salah satu keluarganya telah dibunuh yang memungkinkan merupakan orang yang berkedudukan penting dalam keluarganya. Inilah yang disebut dengan aspek pembalasan dalam teori pemidanaan, dan ini sah-sah saja, karena “hukum qisas”
hanyalah merupakan reaksi, sedangkan pembunuhan adalah aksi.
Abdur Rohman I. Doi mengatakan tidak ada agaam didunia ini yang menganggap hidup manusia sedemikian kudusnya, sehingga membunuh satu orang telah dianggap membunuh semua orang, dan siapa pun yang menyelamatkan hidup seseorang seolah-olah telah menyelamatkan.114
Hukum pidana islam untuk mengakaji ilmu korban perlunya beberapa hal antaranya tentang qasamah, yang berarti sumpah yang banyaknya adalah 50 orang. Untuk lebih jelasnya kita dapat memperhatikan surat QS. Al-Ma’idah ayat 86:
ونموالبَعط لونهنتوبروالَّفِبكبفوجو بنالمعيوب علالونمُّتوعَِّقبعوالبم بوعمنكونذ خولوبؤُّيو عن كبَْوعمنك ْوالبميوبلوعي ف وعغَّلْال بون اللونمنكونذ خولبؤنيَبلا ونموالبي صوبفوعِ جبيوعمَّْو عنبمبفولَّقوٍهبْبق بر نرعيو رعحبت عَبلوعمنهنتو بوعس ك عَبلوعمنك لعهبلوبن عونم َعطنتوالبمو طبسوَلوعن موبنعي كبسبمو ةو بربشبع وعمنكَّلبَبْو ه تبيبلوعمنكبْوونَّاللونن يبْنيو بك ْوبذبكولَّقووعمنكبْوالبمعيبلووعونظبفِعحولو بَولَّقوعمنتعفِبلبحولبذ لوعمنك ْوالبمعيبلونة بروالَّفِبكو بك ْبذولَّقو ٍموالَّيبلو ةبَبلبث وبن عَ نرنكعشبت
114 Abdur Rohman I. Doi, Tindak Pidana Syariat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992, Hlm 18
Artinya : “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelangaran sumpah) ialah memberi kaman sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
Artinya : “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelangaran sumpah) ialah memberi kaman sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang