• Tidak ada hasil yang ditemukan

Viktimologi Didalam Kajian Hukum Pidana Di Indonesia

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Viktimologi Didalam Kajian Hukum Pidana Di Indonesia

Dalam sebuah ilmu hukum yang membahas tentang korban kejahatan, dimana korban adalah hal yang penting untuk dibahas dalam sebuah kajian ilmu hukum. Disini korban digunakan untuk menemukan sebuah kesalahan terhadap pelaku. Korban lebih berpengaruh besar untuk menentukan sebuah kesalahan dalam ilmu hukum. Adapun korban digunakan sebagai objek terpenting untuk menentukan kedisiplimanan hukuman terhadap pelaku tindak pidana.

Untuk pempelajari korban suatu tindak pidana maka perlu dikaji melalaui pengkajian yang sangat mendasar dalam kajian ilmu hukum. Mendasarnya hukum ialah bagaimana menepatkan suatu kejadian yang disini berpengaruh terhadap korban kejahan. Dimana menurut Arif Gosita Viktimologi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan korban dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.83

Viktimologi merupakan kajian ilmu yang membutuhkan korban kejahatan sebagai oebjek terpenting untuk sebuah kajian. Dalam hal ini hukum pidana (Hukum Positif) merupakan salah satu hukumyang memiliki korban kejahatan paling banyak untuk sebuah pengkajian ilmu". Dimana korban kejahatan dalam hukum pidana belum sepenuhnya di bahas dalam undang-undang hukum pidana.

83 Http//Handarsubhandi.Blogspot.Com/2014/11/Pengertian-Viktimologi.Html?M=1 (24 November, 2014)

Adapun hukum pidana membahas tentang korban hanya diperuntukan untuk pengantian kerugian terhadap korban yang terdapat dalam Pasal 14 Huruf (c) KUHP. Pasal 14 Huruf (c) ini menjelaskan bahwa harus menganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tidank pidana.

Dalam Pasal 98 KUHAP Ayat (1) menjelaskan bahwa : jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbukan kerugian orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk mengabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

Pasal ini menunjukan adanya rasa kepedulian terhadap korban kejahatan yang dimana dalam pasal ini menunjukan bahwa, adanya ganti kerugian terhadap korban kejahatan yang kemudian digabungkan kepada perkara pidana terhadap orang yang dirugikan oleh pelaku kejahatan.

Kemudian KUHAP Pasal 99 Ayat (1) menjelaskan tentang, Apabila pihak yang dirugikan meminta penggambungan perkara gugutan pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman pengantian biaya yang telah dikeluarkan pihak yang dirugikan tersebut.84

Menurut undang-undang diatas menjelaskan bahwa gugatan pengambungan perkara pidana, maka pengadilan akan menimbang untuk mengadili guguatan ganti rugi tersebut. Disini jelas bahwa gugatan yang dinyatakn untuk

84"Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tentang Pengabungan Perkara Gugatan Ganti

Kerugian, Pasal 99 Ayat 1, Karya Anda, Surabaya, Hlm 47"

pengabungan ganti rugi yang merugikan korban kejahatan hakim tidak bisa memutuskan perkara gugatan nya. Adapun dalam Ayat (2) menjelaskan bahwa : pengantian biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

Jelas bahwa pengantian biaya kerugian dikeluarkan oleh pelaku kajahatan, kalau pelaku tidak dapat menganti kerugian tersebut maka ahliwaris lah yang akan menganti kerugian terhadap korban. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 95 Ayat (3) mnejelaskan bahwa tuntutan ganti kerugian sebagaiman dimaksud dalam Ayat (1) diajukan oleh tersangaka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersengkutan.

Ini menunjukan bahwa perkara pidana bisa untuk menetapkanb ganti kerugian terhadap korban kejahatan jika perkara tersebut sudah ditetapkan.

Penetapan tersebut harus diajukan kepada pengadilan kemudian ganti kerugian tersebut harus mengikuti acara praperadilan. Sebgaimana yang telah di katakan dalam Pasal 95 Ayat (5) bahwa: pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada Ayat (4) mengikuti acara peradilan.

Dalam Pasal 96 Ayat (1) menjelaskan bahwa: putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan. Ini membuktikan bahwa untuk korban kejahatan ganti kerugiaan bersifat tetap dan dibayarkan oleh pelaku kejahatan. dalam pasal selanjutnya yaitu Pasal 97 mengenai rehabilitas pada Ayat (1) menjelaskan bahwa: Seseorang Berhak Memperoleh Rehabilitas Apabila Oleh Pengadilan Diputus Atau Diputus Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Yang Diputus Bebas Atau Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Yang Putusannya Telah Mampunyai Kekuatan Hukum Tetap.

Penetapan rehabilitas dalam KUHAP ini menunjukan adanya upaya rehabilitas terhadap korban kejahatan. dimana dalam Pasal 97 menunjukan bahwa rehabilitas bisa dilakukan apabila putusan sudah dilaksanakan dan kemudian putusan telah ditetapkan. Maka dari itu korban kejahan dalam hukum pidana sudah memiliki hukum tetap dan sudah mendapat rehabilitas terhadapa kejadian yang ia derita.

PP No 3 Tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelangaran HAM yang berat. Menjelaskan orang perseorangn atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelangaran HAM yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya. Pelangaran HAM berat yang menimbulkan korban kejahatan untuk menerima ganti kerugian atau rehabilitas nya di tangung oleh pemerintah yang kemudian di tujukan kepada korban dan ahli warisnya.

Kerugian yang dapat dijadikan sebagai objek dalam viktimologi mengenai hukum pidana adalah :

1. Luka fisik 2. Kerugian mater

3. Kerugian sosial dan pisikologi.

Kerugian yang dialami oleh korban belum bisa sembuh seutuhnya atas apa yang ia derita. Kerugian ini apalagi kerugian menyangkut kepada kerugian fisik dan sosial terhadap korban harus diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah

berhak untuk merawat dan memelihara orang yang menderita dikarenakan kejahatan yang di perbuat oleh pelaku kejahatan.

Dalam pasal-pasal diatas adanya beberapa hal yang menyangkut kepada ganti kerugian terhadap korban dan rehabilitasi kepada korban. Ini menandakan bahwa peranan hukum pidana menunjukan bahwa korban perlu diperhatikan secara hukum oleh pengadilan dan pemerintahan. Dimana dalam pasal tersebut korban yang harus diganti kerugiannya yang pertama adalah korban perampokan, penganiayaan, pencurian. Dan yang kedua adalah korban rehabilitas yaitu korban narkotika, korban pembunuhan, dan korban pemerkosaan.

Dengan adanya ganti kerugian dan rehabilitas diatas perlu rasanya kajian viktimologi dalam hukum pidana islam. Kemudian juga perlunya pembelajaran terhadap korban dalam hukum pidana. Hukum pidana sudah seharusnya memperhatikan hukum berdasarkan tingkat kerugiannya dan rehabilitas yang di alami oleh korban.

Viktimologi dinegara barat sudah berkembang dengan adanya tulisan Hans Von Hentig yang berjudul", “remarks in the interaction of perpetrator and victim” yang merupakan langkah awalnya terciptanya pengkajian tentang kriminologi (pelaku) dan Viktimologi (korban) yang menjadi kan sebagai objek.

Dalam kajian nya Von Hentig tidak hanya mengkaji tentang korban kejahatan, tetapi juga mengkaji tentang korban adalah pemicu terjadinya sebuah kejahatan.

Sejak munculnya pemikiran perlindungan hukum korban-korban kejahatan, di samping membuat kajian ilmiah Kriminologi menjadi semakin ilmiah

Kriminologi menjadi objektif, karena dalam menganalisa faktor-faktor yang menghasilkan kejahatan tidak hanya menyoroti dimensi pelakunya saja. Tetapi korban kejahatan telah mendorong munculnya Viktimologi sebagai kajian ilmiah terhadap korban kejahatan. Faktor yang menyumbang kemunculan Viktimologi dan perhatian masyarakat terhadap korban kejahatan meliputi beberapa faktor diantaranya:

a. Sumbangan pemikiran Margery Fry, pemikir deformasi penghukuman tahun 1940-an, bahwa kepentingan korban kejahatan harus diperhatikan, b. Media masa yang mengpublikasikan penderitaan korban kejahatan, c. Peningkatan pengakuan adanya kelompok-kelompok rentan, pada tahun

1960an,

d. Terdapat kasus-kasus menarik secara internasional maupun domestik yang menunjukan penderitaan korban,

e. Meningkatnya pengetahuan tentang korban kejahatan melalui survei korban, Pengakuan para ahli kriminologi.85

Korban kejahatan sudah menjadi kajian PPB pada tahun 1985 dalam deklarasi asas-asas yang mendasar kepada keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang merumuskan pengertian korban sebagai berikut:86

a. Orang-orang yang secara individual maupun kolektif, telah menderita kerugian termasuk perlakuan fisik atau mental, penderitaan emosional,

85Muhammad Mustofa, Viktimologi Posmodern, Universitas Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia,.Vol 13 No 2.November 2017. Hlm 57

86Ibid, Hlm 57-58

kerugian ekonomi, atau penurunan substantifhak-hak asasinya, melalui tindakan-tindakan omisi (tindakan melaksanakan) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota, termasuk hukum-hukum yang merumuskan penyalah gunaan kekuasaan sebagai kejahatan.

b. Orang yang dipertimbangkan sebagai seorang korban, menurut deklarasi ini, dengan tanpa memangandang apakah pelaku pelangarannya dapat ditengarai, ditangkap, dihukum atau di penjara, dengan tanpa memandang hubungan kekeluargaan antara pelaku pelangaran dan korbannya. Pengertian korban bila memungkinkan juga termasuk, keluarga langsung atau keluarga dekat tanggungan dari korban langsung, yang menderita kerugian, yang terlibat dalam usaha membantu korban-korban kejahatan yang stres untuk mencegah viktimasi.

Maka hukum di Indonesia merupakan kandungan hukum barat yang bersifat individual, ini merupakan tantangn bagi masyarakat indonesia. Bangsa yang besar ini memiliki hidup berkelompok yang sangat tergantung kepada adat istiadat daerahnya masing masing.

Hubungan ini menunjukan bahwa peranan Viktimologi terhadap bangsa indonesia menunjukan bahwa hukum itu bersifat individual dan tersendiri.

Berdasarkan kaedah hukum di Indonesia yang menunjukan bahwa nilai hukum yang baik maka, perlu nilai-nilai kebangsaan yang baik pula.

Hukum di Indonesia untuk korban kejahan yang berakibat kepada penderitaan secara Fisikdan Phikisyang sudah menimbulkan kerugian ini di tetapkan dalam UU No 23 Tahun 2004 (Pasal 6), kekerasaan Fisiksebagai mana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat. Penderitaan Psikis, sesuai dengan UU No 23 Tahun 2004 (Pasal 7), kekerasan Psikissebagai mana di maksud dalam Pasal 5 huruf (b) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan Psikis berat seseorang.

Penderitaan Fisik dan Psikis tersebut akan mengakibatkan kerugian yang sangat mendalam kepada korban kejahatan diataranya adalah kerugian mental dan kerugian material. Penderitaan fisik merupakan hal yang terdapat kepada korban kejahatan yang melukai badan atau angota tubuh korban yang dapat dikatakan sebagai kerugian mental kepada korban. Kemudian psikis adalah kerugian yang berupa barang, atau segala hal yang dimiliki oleh korban, dapat dikatakan sebagai kerugian materil.

Jika kita lihat penderitaan yang paling menyentuh terhadap korban adalah penderitaan mengenai fisik korban atau kerugian kepada mental korban. Hal ini juga berdampak kepada psikis terhadap korban yang menderita kerugian materil.

Mungkin kita lihat kejadian ini terjadi setelah adanya kejahatan.

Di Indonesia kejahatan dihukum berdasarkan tingkat kejahatan nya, yang kemudian tidak melihat korban kejahatannya. Ini membuktikan bahwa Indonesia

belum bisa memasukan Viktimologi sebagai kajian ilmu tentang korban kejahatan. inilah yang membuktikan bahwa Indonesia memiliki hukum tersendiri terhadap korban kejahatan.

Dalam RUU KUHP tahun 2005, pergeseran orientasi pemidanaan telah mulai terlihat. Pelaku tindak pidana bukanlah salah satunya fokus perhatian, melainkan keberadaan korban pun sudah mulai diakui dalam sistem peradilan. Hal ini ditunjukan dengan dimuatnya pasal tentang pedoman pemidanaan.

Diantaranya mempertimbangkan tentang pengaruh tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban atau keluarga korban, pemanfaatan dari korban ataupun keluarga korban, dan pandangan mesyarakat terhadap tindak pidana tersebut pun menjadi salah satu hal yang harus di pertimbangkan.87

RUU KUHP tahun 20015 sudah mengarahkan kepada hukum tersebut tidak diperuntukakn kepada pelaku. Tetapi juga mengarahkan kepada korban kejahatan dimana hukuman diberikan kepada pelaku kejahatan kemudan korban terhadap kejahatan tersebut mendapatkan pemuliahan.

Dengan adanya pemidanaan Maka jenis pidana yang diatur dalam RUU KUHP mengalami perubahan sesuai dengan orientasinya yang sudah mengarah kepada korban kejahatan. pedoman dan tujuan pemidanaan yang di anut oleh

87Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Yogyakarta, Graha Ilmu, 2013, Hlm 142

RUU KUHP merupakan model keseimbangan kepentingan yaitu model yang berorientasi perlindungan terhadap kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat.88

RUU KUHP ini memberikan kesempatan kepada pelaku kejahan untuk memberi, meminta kerugian terhadap pelaku kehajatan. Walaupun disini ganti rugi ditetapkan sebagai pidana tambahan, namun sudah memberikan ruang kepada korban untuk mendapatkan pemulihan terhadap dirinya sendiri.

Untuk memberikan ruang kepada korban maha hukum pidana mengunakan tiga macam pendekatan yaitu :

a. Pendekatan normatif

Adalah pendekatan yang dilakukan oleh aparat hukum yaitu, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga kemasyarakatan sebagai pelaksana perundang-undangan sehinga penegakan hukum tersebut tidak semata-mata.

b. Pendekatan adminitratif

Adalah pendekatan yang digunakan untuk keoranisasian yang dimana pendekatan ini digunakan untuk keadminitrasian sebugah organisasi.

c. Pendekatan sosial

Adalah pendekatan yang dilakukan penegak hukum sebagai sistem untuk mendekatkan diri kepada masyarakat.

Pendekatan ini merupakan proses terkendalinya sebuah kejahatan yang menimbulkan korban. Kemudian juga digunakan kepada korban untuk

88Ibid, Hlm 143

memulihkan keadan korban kejahatan baik memulihkan fisik dan pisiks terhadap korban kejahatan. RUU KUHP sudah mementingkan terhadap korban kejahatan walupun itu sebatas pemidanaan yang diperuntukan kepada pelaku kejahatan yang dimana terdapat pada Pasal 65 dan Pasal 67 RUU KUHP.

Dengan dicantumkannya pidana tambahan terhadap pelaku berupa pembayaran ganti kerugian menunjukan bahwa adanya pengakuan atas derita yang di alami oleh korban kejahatan. Pasal 99 menyatakan bahwa keputusan hakim dapat ditetapkan kewajiban bagi terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban dan ahli warisnya dan jika pembayaran ganti kerugian tersebut tidak terlaksana, maka berlaku ketentuan pidana penjara untuk penganti pidana denda. Penjelasan pasal ini juga menunjukan bahwa siapa yang menjadi korban dan perlu mendapatkan ganti kerugian.89

B. Viktimologi Didalam Kajian Hukum Pidana Islam