• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KAJIAN TEORI

1. Perspektif Solidaritas Mekanik

Perbedaan dalam pengelompokkan ini secara rinci dibahas oleh Emile Durkheim. Durkheim membedakan antara antara kelompok yang didasarkan solidaritas mekanik dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat masih hidup sederhana.

Dalam masyarakat solidaritas mekanik kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup secara terpisah. Masing-masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka Masing- masing-masing tanpa memerlukan bantuan dari kelompok lain. Solidaritas organik merupakan solidaritas yang mengikat masyarakat dan telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian.28

Dapat disimpulkan bahwa, solidaritas mekanik merupakan masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sedangkan, solidaritas organik merupakan masyarakat yang tinggal di perkotaan.

b. Pengertian Masyarakat

Masyarakat pada umumnya sudah memiliki kedekatan satu sama lain. Kedekatan ini terjadi dikarenakan mereka sudah lama mengenal masing-masing dan menjalani rutinitas kehidupan di dalam lingkungan yang sama. Ini yang menyebabkan mereka harus melakukan adanya interaksi satu sama lain. Tak jarang mereka sudah menganggap satu sama lain seperti saudara.

28

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), h. 128

Menurut Basrowi, “Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab syaraka yang berarti ikut serta, berpartisipasi. Di dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin

socius, berarti kawan.”29

Sedangkan menurut Koentjaraningrat, “Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana agar warganya dapat saling berinteraksi. Negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi.”30

Masyarakat memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Elly M. Setiadi beserta kawan-kawan, “ 1) kumpulan orang, 2) sudah terbentuk dengan lama, 3) sudah memiliki system social

atau struktur sosial tersendiri, 4) memiliki kepercayaan, sikap, dan

perilaku yang dimiliki bersama.”31

Seperti yang dikutip Basrowi dari pendapat Ralph Linton,

“masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama

dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai salah satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.”32

Di dalam masyarakat juga harus memiliki suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka. Menurut Koentjaraningrat bahwa, “Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan

29

Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 37

30

Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 115

31

Elly M. Setiadi. Rama Abdul Hakam. Ridwan Effendi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.80

32

itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinu, dengan perkataan lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang

khas.”33

Menurut Abu Ahmadi yang di kutip Basrowi, menyatakan bahwa “masyarakat harus mempunyai ciri-ciri: a) harus ada pengumpulan manusia dan harus banyak, bukan pengumpulan binatang. b) telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama di suatu daerah tertentu. c) adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan dan

tujuan bersama.”34

Jadi dapat disimpulkan, masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan bukan hanya kumpulan atau kerumunan orang dalam waktu sesaat, seperti kerumunan orang di terminal atau pasar. Dan di dalam kebersamaan yang cukup lama terjadi interaksi sosial.

c. Masyarakat Perkotaan

Antara desa dan kota secara secara sepintas kilas hanya mengenai perbedaan geografisnya saja, tetapi bila dilihat secara mendasar tidaklah demikian. Kota dan desa mempunyai perbedaan yang unik dan kompleks sekali. Baik dilihat dari segi jumlah penduduknya, sosial ekonominya, kebudayaan, tata nilai dan normanya.

Kota adalah sebagai pusat pendomisian yang bertingkat-tingkat sesuai dengan sistem administrasi negara yang bersangkutan. Di samping itu kota juga merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan komunikasi. Sehingga dengan adanya sistem komunikasi dan transportasi yang baik, tidaklah aneh kalau kota tersebut merupakan jaringan

33

Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 117

34

ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota itu sendiri bahkan negara pada umumnya. Maka dari itu bagi kota yang letaknya strategis baik dari lalu lintas darat, laut maupun udara, akan berkembang dengan pesat.

“Seorang sosiolog Belanda merumuskan kota sebagai suatu pemukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencaharian non-agraris dan tataguna tanah yang beraneka ragam,

serta dengan pergedungan yang berdirinya berdekatan.”35

Menurut S. Menno dan Mustaman Alwi, Dilihat dari segi fisik,

“kota adalah suatu pemukiman yang mempunyai bangunan-bangunan perumahan yang berjarak relatif rapat dan yang mempunyai sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas yang relatif memadai guna memenuhi kebutuhan penduduknya. Rumusan ini terlepas dari besarnya jumlah penduduk. Yang utama disini ialah gedung-gedung dan bangunan-bangunan yang letaknya berdekatan, dan memiliki sarana dan prasarana umum serta lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan bersama penduduknya”.36

Pertambahan penduduk dan kemajuan teknik merupakan dua hal yang sangat besar pengaruhnya atas situasi dan perkembangan masyarakat. Perkembangan yang dimaksud adalah suatu pertumbuhan yang menjadikan masyarakat selalu berubah (bertambah). Makin besar pertambahan penduduk, makin nampak pula ciri perkotaan suatu tempat. Pertambahan penduduk ada dua kemungkinan, yaitu adanya kelahiran maupun perpindahan.

Pertambahan karena perpindahan yang biasanya sangat kuat atau besar. Penduduk dari desa-desa sekitar kota tertentu banyak berdatangan untuk mencari pekerjaan dan nafkah di luar agraris. Sebab di kota dianggap dapat menciptakan berbagai pekerjaan,

35

S. Menno dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan, (Jakarta: CV Rajawali, 1992), h. 24

36

sehingga mengundang anggota masyarakat di sekitarnya untuk datang ke kota. Sehingga tidak aneh kalau di kota jumlah penduduk cepat bertambah.

Semakin padat penduduk kota, maka berkurang kebebasan indvidu, semakin tajam persaingan antar manusia sehingga akan mendorong terciptanya organisasi-organisasi kolektif, demi terjaminnya kebutuhan hidup serta pembelaan kepentingan mereka. Ikatan sosial dan ikatan kekeluargaan menjadi lemah, pudar, dan menghilang, sedang yang ada hanyalah organisasi kolektif dan organisasi resmi.

Sebuah kota pada hakikatnya merupakan suatu tempat pertemuan antara bangsa. Di desa lapangan gerak tidak terlalu luas karena adanya ikatan adat serta sistem pengendalian sosial (social control) yang agak kuat. Sehingga hubungan antara kota dengan daerah sekitarnya di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi mempunyai pengaruh yang aktif. Walaupun kota memiliki fungsi demikian terhadap daerah sekitarnya, akan tetapi kehidupan fisik kota tergantung pada daerah sekitarnya itu.37

Walaupun jumlah penduduknya padat, hidup berdekatan satu sama lain, tetapi hubungan diantara mereka terjadi sepintas kilas saja, kurang akrab dan dingin. Hidup di antara tetangga yang sangat berdekatan, tetapi terasa sepi dan hampa. Perasaan malu, enggan, gengsi dan takut menjiwai setiap anggotanya (masyarakat kota) dalam menjalin hubungan bertetangga. Semua tali hubungan dijalin secara formal dan kaku. Sifat kerukunan dan gotong royong yang asli dan menjadi tradisi telah menipis, yang diganti dengan sifat individualistis dan materialistis.

Masyarakat kota lebih mengarah pada perhitungan rugi laba yaitu yang memberi keuntungan pada dirinya. Sifat gotong royong

37

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada 2005) h. 158

mereka ganti dengan uang, sedang ia sendiri akan melakukan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Di dalam hidup bertetangga saling bersaing, yang diukur secara materi yang dimilikinya.

Maka dari itu hidup di kota sebenarnya kurang aman atau tenteram, di samping individualistis dan kikir. Rasa suka atau duka harus dipikul sendiri oleh anggota masyarakat yang bersangkutan bersama keluarganya. Uluran tangan dari para tetangga sulit untuk diharapkan. Namun juga pernah kita jumpai ada anggota masyarakat yang juga dermawan tetapi itupun terjadi sangat jarang. Bahkan sifat dermawan tersebut kadang-kadang mempunyai maksud tertentu.

Bagi masyarakat kota kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (kehidupan magis religius), biasanya cukup terarah dan ditekankan pada pelaksana ibadah. Upacara-upacara keagamaan sudah berkurang, demikian pula upacara-upacara adat sudah menghilang. Hal ini disebabkan bahwa masyarakat kota sudah menekankan pada rasional pikir dan bukan pada emosionalnya. Semua kegiatan agama, adat berlandaskan pada pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki.

Antara warga masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, juga terdapat perbedaan dalam perhatian, khususnya terhadap keperluan-keperluan hidup. Di desa-desa yang utama adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama daripada kehidupan, hubungan-hubungan untuk memperhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah dan sebagainya. Lain dengan orang-orang kota yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Soerjono Soekanto menjelaskan, ada beberapa ciri lagi yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu:

1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan agama di desa. Ini disebabkan cara berpikir yang

rasional, yang didasarkan pada perhitungan eksak yang berhubungan dengan realita masyarakat.

2. Orang kota pada umumnya, dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarga.

3. Pembagian kerja diantara warga kota juga lebih tegas dan punya batas-batas nyata. Di kota, tinggal orang-orang dengan aneka warna latar belakang sosial dan pendidikan yang menyebabkan individu memperdalami suatu bidang kehidupan khusus. Ini melahirkan suatu gejala bahwa warga kota tak mungkin hidup sendirian secara individualistis.

4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa, karena sistem pembagian kerja yang tegas tersebut diatas.

5. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. 6. Jalan kehidupan yang cepat dikota mengakibatkan pentingnya

faktor waktu, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.

7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar.38

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. Sebenarnya perbedaan tersebut tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat modern,

38

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 156-157

seberapapun kecilnya desa pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Pembedaan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan karena adanya hubungan konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan urbanisme.

Masyarakat perkotaan yang mana kita ketahui itu selalu identik dengan sifat yang individual, egois, materialistis, penuh kemewahan, dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran yang mewah dan pabrik-pabrik yang besar. Asumsi dasar kita tentang kota adalah tempat kesuksesan seseorang.

Dari penjelasan masyarakat perkotaan diatas, penulis dapat simpulkan bahwa masyarakat perkotaan lebih dipahami sebagai kehidupan komunitas yang memiliki sifat kehidupan dan ciri-ciri kehidupannya berbeda dengan masyarakat pedesaan. Akan tetapi, kenyataannya di perkotaan juga masih banyak terdapat beberapa kelompok pekerja-pekerja di sektor informal, misalnya tukang becak, penjual angkringan, tukang sapu jalanan, pemulung samapai pengemis. Bila kita telusuri masih banyak juga terdapat perkampungan-perkampungan kumuh tidak layak huni.

Dokumen terkait