• Tidak ada hasil yang ditemukan

Objek dari tindak pidana korupsi adalah keuangan negara. Keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat menentukan kelangsungan perekonomian baik sekarang maupun yang akan datang. Semakin banyak tindak pidana korupsi yang berlangsung, maka kelangsungan perekonomian

suatu bangsa dapat terganggu.136

Peraturan perundang-undangan pidana tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak ditemukan adanya ketentuan yang secara khusus mengatur kualifikasi pelaku (pembuat) sebagai subjek tindak pidana korupsi.Artinya, rumusan hukum pidana tentang korupsi sejak semula tidak pernah menentukan subjek dengan kualifikasi tertentu. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam merumuskan tindak pidana korupsi selalu diawali dengan kata “barangsiapa”, demikan pula Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001, mengawali rumusan tindak pidana korupsi dengan kata “setiap

orang” yang berarti siapa saja.137

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Pasal 3 Undang-undang ini menyatakan sebagai berikut :

136

Hilman Tisnawan., “Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebansentralan 42 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005, hal. 1.

137

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana pidana penjara paling sedikit 1 (Satu) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah) ”.

Berdasarkan Pasal 3 di atas dapat dijelaskan beberapa unsur yang terkandung di dalamnya antara lain:

a. Setiap orang;

Sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ditentukan “setiap orang”, sehingga seolah-olah setiap orang dapat melakukan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3. Berdasarkan Pasal 3 tersebut ditentukan bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu jabatan atau kedudukan, oleh karenanya yang dapat memangku suatu jabatan atau kedudukan hanya orang perseorangan, sedangkan korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana

korupsi tersebut.138

Subjek hukum dari Pasal 3 di aats menyebutkan setiap orang, yang oleh pasal 1 butir 3 ditegaskan terdiri dari orang pribadi dan korporasi. Korporasi merupakan subjek hukum yang tidak mungkin memangku jabatan atau kedudukan seperti subjek hukum orang, oleh karena itu korporasi tidak mungkin dapat menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya (karena jabatan atau kedudukan). Dengan demikian, tidak semua tindak pidana korupsi dapat dilakukan

oleh suatu korporasi.139

138

R. Wiyono,Op. Cit., hal. 37.

139

b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

Menurut R. Wiyono, yang dimaksud menguntungkan adalah sama artinya dengan mendapatkan untung yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar daripengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi.140

Unsur

sarana atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang. Tindak pidana korupsi secara umum adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu, maka variabel utama dalam korupsi adalah kekuasaan, dengan kata lain mereka yang memiliki kekuasaan, khususnya terhadap sumber daya publik (sumber daya yang digunakan untuk kepentingan umum) akan memiliki potensi besar untuk melakukan korupsi.

c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan;

R.Wiyono menyatakan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan

140

yang dijabat atau yang diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain

dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut.141

Menyalahgunakan kewenangan dapat didefiniskan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau

kebiasaan.142

Kesempatan adalah peluang atau tersediannya waktu yang cukup dan sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan tertentu. Seseorang yang karena memiliki jabatan atau kedudukan mempunyai peluang atau waktu yang sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu. Apabila peluang yang ada tersebut digunakan untuk melakukan perbuatan lain yang tidak seharusnya dilakukan dan bertentangan dengan tugas pekerjaannyadalam jabatan atau kedudukan yang dimiliki, maka telah terdapat unsur menyalahgunakan

kesempatan karena jabatan atau kedudukan.143

Perbuatan yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan terjadi apabila seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan lain diluar tujuan yang berhubungan dengan tugas

pekerjaan yang menjadi kewajibannya.144

141Ibid.

142

Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 51.

143Ibid., hal. 52. 144

Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 52.

Merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara. Merugikan perekonomian negara sama artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang

berjalan.145

Unsur “Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” R. Wiyono, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama artinya dengan menjadi

ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.146Keuangan negara

menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya

segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :147

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha

Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Tetap berpegangan pada kata “kerugian” yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur “merugikan

145

R. Wiyono,Op.Cit., hal. 33. 146

Ibid.

147

Penjelasan Umum Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

perekonomian negara” adalah sama artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan. Penjelasan umum Undang-undang No. 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan:

“Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha msyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan

kepada seluruh kehidupan rakyat”.148

Mengenai definisi keuangan negara, Erman Rajagukguk melakukan beberapa

pendekatan yaitu sebagai berikut149

148Ibid.

149

Erman Rajagukguk, Badan Hukum, Keuangan Negara, dan Korupsi, Lembaga Studi Hukum dan EKonomi Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2009, hal. 4.

:

“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”.

Menurut M. Solly Lubis, keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak

dan kewajiban tersebut.150

Keuangan negara yang dimaksud dari sisi subjek adalah meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara dari sisi proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Keuangan negaradari sisi tujuan meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan negara.151

Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Mendukung dalam rangka

terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan

negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab

150

M. Solly Lubis.,Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27.

151

Pemahaman Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, http://ardiundova.wordpress.com/2008/02/29/keuangan-negara-dalam-tindak-pidana-korupsi.html, di Akses Tanggal 5 Mei 2014.

sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar. Sesuai dengan amanat pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang keuangan negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru

sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam

pengelolaan keuangan negara, antara lain:akuntabilitas berorientasi hasil,profesionalitas,proporsionalitas,keterbukaan dalam pengelolaan keuangan

negara,pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.152

Unsur merugikan keuangan negara merupakan salah satu unsur pertanggungjawaban pidana dalam UUPTPK pada Pasal 2, dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK menyatakan bahwa: “Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Penjelasan ini jelas bahwa tindak pidana korupsi dirumuskan sebagai delik formil, bukan delik materil yang mensyaratkan timbulnya akibat, jadi untuk dikatakan adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya

unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.153

152Ibid.

153

Unsur Perekonomian negara ditinjau dari sudut pandang dalam ilmu hukum, apa yang dimaksud dengan “perekonomian negara” seperti yang disebutkan dalam penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 adalah sangat kabur, akibatnya sangat sulit menentukan apa yang dimaksud dengan unsur merugikan perekonomian negara di dalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1). Untuk dapat membuktikan adanya unsur merugikan “keuangan negara” tidak terlalu sulit, karena apa yang dimaksud keuangan negara pengertiannya sudah jelas, sebaliknya untuk dapat membuktikan adanya unsur merugikan “perekonomian negara” sangat sulit. Tidak mengherankan jika tidak begitu banyak atau langka adanya putusan pengadilan yang di dalam pertimbangan hukumnya memuat dengan jelas pembuktian adanya unsur merugikan perekonomian

negara.154

Terkait pengembalian kerugian negara, tindak pidana korupsi dalam UUPTPK

merumuskan secara tegas tindak pidana formil.155

154Ibid., hal. 33.

155

Elwi Danil, Op. Cit., hal. 120.

Rumusan delik formil berarti bahwa meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana sesuai Pasal 4 UUPTPK yang berbunyi sebagai berikut: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanannya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

Penjelasan Pasal diatas adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut.Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.

Akibat dari terjadinya tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.Kerugian tersebut sudah harus dibebankan kepada terpidana setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Terhadap terpidana perkara korupsi selain pidana badan (penjara) dan/atau denda, juga dijatuhi pidana tambahan antara lain pembayaran uang pengganti yang besarnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi. UUPTPK menyebutkan dalam ketentuan tentang pidana tambahan sebagai usaha untuk pengembalian kerugian negara telah diatur, terutama pada Pasal 18 yaitu:

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud

atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu yang paling

lama 1 (satu) tahun;

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan

seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut.

(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka di pidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Ketentuan diatas secara formal telah mendukung usaha pengembalian kerugian yang diderita negara sebagai akibat tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah diamanatkan Pasal 378 KUHP.Dalam praktik hampir tidak ada terpidana yang membayar uang pengganti dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset.Sikap terpidana yang tidak mau atau tidak mampu membayar uang pengganti itu sebenarnya sudah bisa diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan.Menghadapi terpidana seperti ini, seyogyanya penuntut umum menuntut hukuman badan (penjara) maksimum

sebagaimana ditetapkan undang-undang.156

Menurut Eddy Milyadi Soepardi, kerugian keuangan negara disebabkan karena Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau

156

Pemahaman Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, http://ardiundova.wordpress.com/2008/02/29/keuangan-negara-dalam-tindak-pidana-korupsi.html, diAkses Tanggal 5 Mei 2014.