• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undangNomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ada 2 (dua) sumber yaitu pertama, bersumber dari perumusan pembuat Undang-undang itu sendiri dan kedua, yang ditarik dari Pasal-pasal KUHP yaitu sebanyak 13 (tiga belas) Pasal, sehingga dengan demikian sebagian besar perumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang tersebut adalah bersumber dari KUHP. Pasal tindak pidana korupsi yang bersumber dari KUHP tersebut yaitu : Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,

Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP.99

Tindak pidana korupsi pada mulanya hanya dipahami orang sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berhubungan dengan pemerintahan.Korupsi jika dilihat dari sudut itu maka hanya dianggap sebagai penyimpangan dari norma-norma yang berlaku bagi orang yang menjabat suatu jabatan di lingkungan pemerintahan. Esensinya terletak di satu pihak pada penggunaan kekuasaan atau wewenang yang terkandung dalam suatu jabatan, dan di lain pihak terdapat unsur

keuntungan, baik berupa uang ataupun bukun.100

J.S. Nye dalam artikelnya “Corruption and Political Development: A Cost

Benefit Analysis”, mendeskripsikan perilaku korupsi sebagai perilaku menyimpang

99 Repository.unand.ac.id/1745/1/SATRIA_abdi_03211042,diakses tanggal : 08-07-2014.

100

dari tugas yang normal dalam pemerintahan karena pertimbangan pribadi (keluarga, sahabat pribadi dekat), kebutuhan uang atau pencapaian status atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan yang memanfaatkan pengaruh pribadi dan tindakan itu termasuk perilaku penyuapan (penggunaan hadiah untuk menyimpangkan keputusan seseorang dalam posisi mengemban amanah), nepotisme (menggunakan perlindungan oleh seseorang yang mempunyai hubungan darah atau keturunan daripada berdasar kinerja), dan penyalahgunaan (penggunaan secara tidak

sah sumber daya milik umum untuk manfaat pribadi).101

Robert Klitgaard menyatakan korupsi muncul dalam banyak bentuk, dan membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat besar yang dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan seperti soal tarif, pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman, dan sebagainya. Robert Klitgaard juga menegaskan bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak

Korupsi hanya digambarkan sekedar sebagai suatu gejala politik. Pemahaman seperti itu dapat menimbulkan implikasi hukum, khususnya terhadap cara orang memandang korupsi dalam perspektif hukum pidana, akibatnya tindak pidana korupsi akan dipersepsikan orang sebagai suatu kejahatan yang hanya mungkin dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pejabat) pemerintah dengan kualifikasi pegawai negeri.

saja di sektor pemerintahan tetapi juga dapat terjadi sektor swasta, bahkan sering

terjadi sekaligus di kedua sektor tersebut.102

Berdasarkan Transparency International, korupsi adalah prilaku pejabat

publik, atau para pemain politik atau para pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri, atau memperkaya orang lain yang ada hubungan kedekatan dengan dirinya, dengan cara menyalagunakan kekuasaan publik atau wewenang yang dipercayakan kepada mereka. Definisi ini tegas dan lugas bahwasannya korupsi biasanya dilakukan oleh oknum yang mendapat kesempatan untuk korup, tentu saja mereka yang memiliki kekuasaan, atau kepercayaan publik seperti pejabat birokrat, para dewan wakil rakyat, pimpinan polri, kejaksaan, hakim dan sebangsanya, juga tidak terkecuali para pelayan masyarakat seperti pegawai

negeri sipil dan sejenisnya pula.103

Perilaku serta tindakan tidak wajar atau ilegal secara kasat mata dapat diukur dengan mudah melalui pengamatan fisik berdasarkan pola kehidupan keseharian. Pertama dengan menentukan jenjang kepegawaiannya termasuk golongan berapakah dia, lantas berapa gaji dan tunjangan bulanannya, lalu sesuaikah bentuk rumah megah dan mobil mewah yang dimilikinya. Berdasarkan pengamatan tersebut, jika tidak sebanding, maka indikasi awal perlu dicurigai apakah ia termasuk tikus atau ada sisi sinyalement lain yang perlu dibongkar. Hukum tindak pidana korupsi mengisyaratkan pula penjeratan pada prilaku memperkaya orang lain dengan mempergunakan

102

Robert Klitgaard, “Membasmi Korupsi”, Terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor,Jakarta, 1998, hal. 19.

103

wewenang atau kekuasaan, sehingga kita jangan salah bahwa ukuran materi bukan satu-satunya indikasi yang mesti di amati, namun modus operandi akan lebih

substansi pada akar permasalahan yang hendak kita terjuni.104

Tindakan korupsi dalam bentuk apapun yang jelas biasanya memiliki ciri-ciri

khas, diantaranya sebagai berikut :105

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu

merajalela, dan begitu mendalam berurat berakar, sehingga individu-individu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk

menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan

keputusan-keputusan yang tegas, dan meraka yang mampu untuk mempengaruhi keoutusan-keputusan itu;

f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;

g. Korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;

h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka

yang melakukan tindakan itu;

i. Korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan

masyarakat.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus.Tindak pidana korupsi apabila dijabarkan mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran terhadap keuangan dan perekonomian negara.Adanya hal-hal tertentu didalam tindak pidana korupsi yang memerlukan penanganan secara khusus, dan

104Ibid., hal. 8.

105

Syed Hussein Alatas, “Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer”, LP3ES, Jakarta, 1983, hal. 12.

menyimpang dari beberapa aturan umum yang terdapat dalam kodifikasi.Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan Peraturan perkodifikasi.Undang-undang- perundang-undangan pidana yang telah memenuhi karakteristik sebagai suatu undang-undang

pidana khusus.106

Konvensi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United

Nations Convention Againts Corruption) adalah merupakan landasan hukum yang bersifat universal untuk memerangi praktek korupsi berdasarkan karakteristik tindak

pidana korupsi yang menjadi ancaman secara nasional maupun internasional.107

Karateristik tindak pidana korupsi dapat dilihat dari tipologi tindak pidana korupsi antara lain: murni merugikan keuangan negara, suap, pemerasan, penyerobotan, gratifikasi, percobaan, pembantuan dan permufakatan. Komisi pemberantasan korupsi telah menerbitkan buku saku yang telah mengklasifikasi bentuk dan jenis tindak pidana korupsi ke dalam 30 (tiga puluh) karakteristik berdasarkan UUPTPK yang dikelompokkan sebagai berikut : pertama, kerugian keuangan negara. Kedua, suap menyuap.Ketiga, penggelapan dalam jabatan.Keempat, pemerasan.Kelima, perbuatan

curang.Keenam, benturan kepentingan dalam pengadaan.Ketujuh, gratifikasi.108

106

Elwi Danil, Op.Cit., hal. 87.

107

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi 2003) Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32 Taun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620, mendeskripsikan masalah tindak pidana korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.

108

Karakteristik tindak pidana korupsi mengarah pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku yang menentukan suatu perbuatan pidana dapat dipidana (strafbarehandeling) 109 cenderung diarahkan pada pejabat/pegawai negeri (deambtenaar) dengan maksud (met het oogmerk om) menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum (zich of een ander wederrechtelijk te

bevoordelen) dengan menyalahgunakan kekuasaannya (door misbruik van gezag beshikken).110Tindakan tersebut menunjukkan bahwa karakteristik tindak pidana

korupsi sebagai extra ordinary crime. Menurut Romli Atmasasmita bahwa :111

Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi dapat dilihat dari dilahirkannya undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini mengklasifikasikan

Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mandalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan

merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan sudah merupakan

kejahatan yang laur biasa (extra ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari

sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan orde baru sampai saat ini jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.

109

O.C Kaligis dan Associates, “Kumpulan Kasus Menarik Jilid 4”, O.C Kaligis dan Associates, jakarta, 2009, hal. 15. Bahwa strafbarehandeling harus dibedakan antara bestanddel delict

dengan element delict.

110

P. A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, “Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi”, Sinar Grafika , Jakarta, 2009, hal. 149.

111

perbuatan yang dapat dilakukan sebagai tindak pidana korupsi, disamping

dibentuknya lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi yakni KPK112

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang memiliki karakteristik yang secara mendasar membedakannya dengan undang-undang nomor 3 tahun 1971 yang digunakan dalam rangka efektifitas penegakan hukum tindak pidana, sebagai berikut:

dengan tidak mengabaikan tugas aparat penegak hukum lainnya dalam bingkai criminal justice system yakni kejaksaan dan kepolisian.

113

a. Tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal (delik formal) bukan delik

materil dimana pengembalian (kerugian) keuangan negara tidak menghapus penuntutan pidana terhadap terdakwa;

b. Pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum, disamping perseorangan;

c. Pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminil yang dapat

diperlakukan keluar batas teritorial Indonesia;

d. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang atau

balanced burden of proof”;

e. Pengaturan tentang ancaman pidana dengan minimum khusus, disamping

ancaman maksimum;

112

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal.137.

113

Romli Atmasasmita, “Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum”, Editor Aman Sembiring Meliala, Agus Takariawan, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 96.

f. Ancaman pidana mati sebagai pemberatan;

g. Pengaturan tentang penyidikan gabungan dalam perkara tindak pidana korupsi

yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung;

h. Pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia Bank yang lebih luas dengan

diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa atau freezing yang

dapat dilanjutkan dengan penyitaan;

i. Pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol sosial

diperluas sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif;

j. Memuat amanat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang

bersifat independen.

Korupsi pada hakikatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa

dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut :114

a. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of

purpose or intent);

b. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance

upon the ingenuity or carelesneof the victim);

c. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation)

Beberapa pidana yang ditunjuk atau yang terkait di dalam UUPTPK menyangkut pemenuhan rumusan delik yang tidak hanya terfokus pada pemenuhan

114

Barda Nawawi Arief dan Muladi, “Bunga Rampai Hukum Pidana”, Alumni, Bandung, 1992, hal. 56.

perumusan delik “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

namun delik yang ada kaitannya dengan delik jabatan (actieve omkoping) misalnya

dalam hal delik korupsi yang berbentuk penggelapan oleh pegawai negeri atau

pejabat yang secara expressis verbis tercantum unsur sengaja (bestanddeel).115

Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi lebih luas dari

huku m pidana umum, hal ini nyata dalam hal116

a. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat 1 sampai ayat

4 UUPTPK);

:

b. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang

telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat 5), bahkan kesempatan banding tidak ada;

c. Perumusan delik dalam UUPTPK yang sangat luas ruang lingkupnya terutama

unsur ketiga pada Pasal 1 ayat 1 sub a dan b UUPTPK;

d. Penafsiran kata penggelapan pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh

yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas.

Tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terbagi atas beberapa tipe, diantaranya :117

115

Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 96.

116Ibid., hal. 64.

117

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007, hal. 78.

a. Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama

Terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun1999 menyebutkan bahwa :

(1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah)”.

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) merupakan delik formil, maka adanya kerugian negara atau kerugian perekonomian negara tidak harus sudah terjadi.Karena yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh undang-undang.118 Dengan demikian, agar seseorang

dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara.119

b. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua

Diatur dalam ketetuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu :

118

R. Wiyono,Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 27.

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Unsur-unsur dari pasal tersebut ialah dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, serta perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Hakikatnya korupsi tipe kedua ditetapkan kepada pegawai negeri. Unsur perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, bahwa jika ditinjau dari aspek pembuktian dapat lebih mudah dibuktikan jaksa/ penuntut umum karena unsur menguntungkan tidak memerlukan dimensi apakah tersangka/ terdakwa menjadi kaya atau bertambah kaya karenanya lain dengan aspek memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebagaimana pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 relatif lebih sulit membuktikannya. Bahwa istilah menguntungkan membuat tersangka/ terdakwa memperoleh aspek materiil sehingga dapat dilakukan dengan cara korupsi, kolusi, nepotisme.

Kata “dapat” dalam unsur perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menentukan jaksa/ penuntut umum tidak harus membuktikan adanya unsur kerugian keuangan negara/ perekonomian negara karena tindak pidana korupsi merupakan delik formil.

c. Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga

Terdapat dalam ketentuan Pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang merupakan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ditarik menjadi Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan, korupsi tipe ketiga ini dapat dibagi menjadi 4 pengelompokkan yaitu :

1) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni Pasal 209, 210, 418, 419,

dan 420 KUHP;

1) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni Pasal 415, 416 dan

417 KUHP;

2) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (knevelarij, Extortion), yakni

Pasal 423, 425 KUHP;

3) Penarikan perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan, leverensir, dan

rekanan, yakni Pasal 387, 388, dan 435 KUHP.

d. Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat

Pengertian tindak pidana korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan orang di luar wilayah Indonesia (Pasal 15 dan 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).

e. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima

Pengertian tindak pidana korupsi tipe kelima ini bukanlah bersifat murni tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana

korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

2. Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berdasarkan Unsur Memperkaya