• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana atau peristiwa pidana adalah sebagai terjemahan dari

bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “delict”. Istilah peristiwa pidana dikenal pula

beberapa terjemahan, antara lain perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan

yang boleh dihukum dan perbuatan yang dapat dihukum.51Tindak pidana atau delik

ialah perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh karena itu bertentangan

dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.52

Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan tindak pidana

dengan istilah “Strafbaar Feit”. Perkataan “feit” dalam bahasa Belanda berarti

sebagian dari suatu kenyataan atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan

“strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harafia perkataan “strafbaar

feit”. Pembentuk Undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa

yang sebenarnya “strafbaar feit”, maka timbullah doktrin berbagai pendapat tentang

apa sebenarnya yang “strafbaar feit” tersebut.53

51

C. S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 36.

52Ibid

., hal. 30.

53

(2)

Beberapa sarjana memberikan perumusan mengenai pengertian tindak pidana,

diantaranya54 yaitu D.Simon menyatakan bahwa peristiwa pidana adalah “Een

Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een

toerekeningsvatbaar person” yang mempunyai arti yaitu perbuatan salah dan

melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu

bertanggung jawab.Peristiwa pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang

berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan dalam arti luas meliputi dolus (sengaja)

dan culpa late (alpa dan lalai). Simon mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana

yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban pidana,

mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggung

jawab.55

Van Hamel menguraikannya sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh

undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai untuk dipidana, dan dapat dicela

karena kesalahan.56

Pompe memberikan dua definisi yaitu bersifat teoretis dan yang bersifat

perundang-undangan. Definisi teoretis, ialah pelanggaran norm (kaidah, tata hukum)

yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus diberikan pidana untuk Vos, menyatakan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang

dinyatakan dapat dipidana oleh undang-undang (Een strafbaar feit is een door de wet

strafbaar gesteld feit).

54

C. S. T. Kansil Op.Cit., hal. 37.

55

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 224.

(3)

dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Menurut hukum positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh

undang-undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian,

tidak berbuat, berbuat pasif) biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan, merupakan

bagian suatu peristiwa.

Van Bemmelem menyatakan toerekenbaarheid van het feit of

toerekeningsvatbaarheid van de dader yaitu bahwa syarat untuk pemidanaan pembuat

delik ialah peristiwa tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Van

Bemmelem juga menambahkan bahwa dari asas-asas hukum yang diterima umum

disyaratkan pembuat harus mempunyai Schuld (kesalahan) dan peristiwa itu

menyebabkan pembuat dapat disesali serta dilakukan atau diwujudkan dengan

melawan hukum.

Hazewinkel-Suringa istilah Strafbaar feit terpilih untuk setiap langka yang

dilarang disertai ancaman pidana, terdiri atas berbuat maupun pengabaian. Ia menolak

istilah strafwaardig feit, dengan alasan bahwa tiap-tiap peristiwa yang bernilai untuk

dipidana belum tentu dapat dipidana. Definisi strafbaar feit karena batasan demikian

dapat memperkecil atau memperluas uraian delik yang tercantum di dalam

pasal-pasal KUHPidana.

Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan

(4)

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.57 Bahwa pokok pikiran dalam perbuatan pidana diletakkan pada sifatnya perbuatan dan bukan

pada sifatnya orang yang melakukannya.58

Moeljatno berpendapat yang dikutip oleh Adam Chazawi perbuatan pidana

lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :59

a. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu

kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan

itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan

pada orangnya.

b. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang

ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan

(yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar

larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat

pula.

c. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat

digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk

pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan),

dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

57

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 11.

58Ibid.

, hal. 14

59

(5)

Komariah Emong Supardjadja berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat

bersalah melakukan perbuatan itu. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau

serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan pidana

dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang

meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak

pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.

Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang

dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai

perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.60

Pembedaan ini menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan

antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan

pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini

pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana

dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam

mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak

pidana.61

Indrianto Seno Adji mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan

seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat

60

Chairul Huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media, Jakarta, 2006, hal 28.

61 Ibid

(6)

suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya.62

Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi

yang dilarang oleh hukum untuk melindungu masyarakat dan dapat dipidana

berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Konsep KUHP, tindak pidana diartikan

sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan

perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana. Konsep ini juga mengemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai

tindak pidana, selain perbuatan, harus juga bersifat melawan hukum atau

bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Tindak pidana selalu dipandang

bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.63

Aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali dengan perbuatan-perbuatan

yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan, seperti yang dikatakan “The rules

which all of you us what we can and cannot do”. Aturan tersebut menentukan

perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.64

2. Unsur dan Jenis Tindak Pidana

62

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 99.

63Ibid,

hal.98.

64

(7)

Unsur-unsur tindak pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian

perbuatan yang dipisahkan dengan pertanggung jawaban pidana.65Tindak pidana atau

perbuatan pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pada umumnya

dijabarkan dalam beberapa unsur yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri sendiri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya66. Unsur objektif adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan

mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.67

Ketika dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka unsur-unsur tindak

pidana meliputi beberapa hal68

a. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat

pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum; :

b. Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik

dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil;

c. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan

akibat yang dilarang oleh hukum. Unsur ini terkait dengan beberapa hal yang

wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada

(8)

dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana,

tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi

pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.

Tindak pidana ialah tindak yang mengandung 5 unsur, diantaranya69

a. Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging);

:

b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke

omschrijving);

c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;

d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;

e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

Sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun

jangan dikira perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum. Perbuatan tersebut

sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu untuk

dinyatakan tersendiri.70

Secara teoretis, perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas

kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (rechtdelicten) merupakan

perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan-perbuatan itu diancam

pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai

delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini

69

C. S. T. Kansil Op.Cit., hal. 36. Lihat juga Moeljatno, Op.Cit., hal. 69.

70Ibid,

(9)

disebut mala in se artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat

perbuatan tersebut memang jahat. Pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh

masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang

merumuskannya sebagai delik. Perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh

masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana.

Perbuatan pidana jenis ini disebut juga dengan istilah mala prohibita.71

Jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik komisi (commission act) dan

delik omisi (ommisison act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran

terhadap larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan

pencurian. Delik omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah yaitu

tidak berbuat sesuatu yang diperintah, misalnya tidak menghadap sebagai saksi di

muka pengadilan.72

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana

Perbuatan pidana juga dibedakan atas perbuatan pidana kesengajaan (delik

dolus) dan kealpaan (delik culpa). Delik dolus adalah delik yang memuat unsur

kesengajaan, sedangkan delik culpaadalah delik yang memuat unsur kealpaan.

Perbuatan pidana dibedakan lagi menjadi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan

adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan

dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, sedangkan delik biasa adalah delik yang

tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pembunuhan.

71

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 102.

(10)

Berbicara mengenai perbuatan apa yang dilarang dan siapa pelaku yang

bertanggung jawab merupakan persoalan yang terus menerus dibicarakan dikalangan

para ahli hukum. Tindak pidana atau strafbaarfeit merupakan suatu perbuatan yang

mengandung unsur perbuatan yang dapat dipidana dan pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana atau toerekenbaardheid/criminal responsibility merujuk

kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang

terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi

atau tidak. Pertanggungjawaban itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang obyektif

yang ada pada tindak pidana dan untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan

bahwa tindak pidana yang dilakukannya haruslah memenuhi unsur-unsur yang telah

ditentukan undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan

tersebut apabila dalam tindakan itu terdapatnya melawan hukum serta tidak ada

alasan pemaaf.73

Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku

dalam hubungannya dengan kelakuan yang dapat dipidana. Berdasarkan kejiwaan itu

pelaku dapat dicela karena kelakuannya. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor yang

menentukan dalam pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar

unsur mental dalam tindak pidana.74

73

Mahmud Mulyadi, dan Ferri A. Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 34.

74Ibid

., hal. 35.

Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan

syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak

(11)

Penentuan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dilakukan dengan

memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu

sendiri. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya

berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat

diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban pidana atas

tindak pidana yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana bukan hanya berarti

rightfully sentences melainkan rightfully accused. Pertanggungjawaban pidana

pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan

tindak pidana dan menghubungkan antara keadaan pembuat dengan perbuatan dan

sanksi yang sepatutnya dijatuhkan.75

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk dalam pengertian

pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan

diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Seseorang yang melakukan

perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam

melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Hal ini disebabkan asas

dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist rea).

Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan

leer van het materiele feit.76

75

Ibid., hal. 36.

76

(12)

Konsep pertanggungjawaban merupakan konsep sentral yang dikenal dengan

ajaran kesalahan (mens rea). Doktrin ini dilandaskan kepada suatu perbuatan tidak

mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin

tersebut dalam bahasa Inggris dirumuskan dengan “an act does not make a person

guilty, unless the mind is legally blameworthy”. Berdasarkan asas tersebut, ada dua

unsur syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang yaitu perbuatan

lahiriah yang terlarang atau perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat

(mens rea).77

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya tersebut. Dasar adanya perbuatan

pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas

kesalahan. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia

mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.78

Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah

melakukan tindak pidana dengan adanya kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan

menjadi 3 (tiga) yaitu79

Bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :

a. Kemampuan bertanggungjawab;

80

Tri Andrisman, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009, hal. 91.

(13)

1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum (faktor akal);

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik

dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak).

Ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab

yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan antara

perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu

dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang

diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. 81

Sengaja atau dolus dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan

yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Kesengajaan

(dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld). Kesengajaan pelaku

mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibandingkan

dengan culpa, karena ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat apabila

Seseorang yang tidak mampu

bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan

dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti. Orang tersebut

hanya dapat dkenakan tindakan tetapi tidak dapat dikenakan pidana.

b. Sengaja (dolus/opzet) dan lalai (culpa/alpa);

80

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 171.

(14)

dilakukan dengan sengaja dibandingkan dengan apabila dilakukan dengan kealpaan.82

Sedangkan, culpa diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang

berhati-hati sehingga secara tidak disengaja sesuatu terjadi.83

Kesengajaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu84

1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk);

:

Bentuk sengaja sebagai maksud adalah bentuk yang paling sederhana, seperti

yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai maksud apabila

pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Pelaku tidak pernah melakukan

perbuatannya apabila pelaku tidak mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan

terjadi. Contohnya apabila seseorang menembak orang lain dengan senjata yang

ditujukan kearah jantung atau kepala, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku berbuat

dengan sengaja (sebagai maksud) menghilangkan nyawa orang tersebut.

2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid

of noodzakelijkheid);

Bentuk kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian diberikan contoh

yang sangat terkenal, yaitu kasus Thomas van Bremerhaven. Thomas van

Bremerhaven berlayar ke Sou-thamton dan meminta asuransi yang sangat tinggi di

sana. Thomas memasang dinamit, supaya kapal itu tenggelam dilaut lepas. Motifnya

ialah menerima uang asuransi. Kesengajaannya ialah menenggelamkan kapal itu.

82

S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 164.

83

C. S. T. Kansil, Op.Cit., hal. 53.

84

(15)

Sengaja dengan kepastian terjadi itu pembuat yakni bahwa akibat yang

dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud.

Penenggelaman kapal itu sebagai maksud tidak akan terjadi tanpa matinya para

penumpang. Kematian penumpang merupakan kepastian terjadi jika kapal

ditenggelamkan dengan dinamit di laut lepas.

3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met

waarschijnlijkheidsbewustzijn).

Sengaja dengan kemungkinan sekali atau sengaja dengan kemungkinan terjadi

atau sengaja bersyarat atau dolus eventualis terjadi, jika pembuat tetap melakukan

yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak

diinginkannya terjadi. Sengaja dengan kemungkinan terjadi atau sengaja bersyarat

sangat tipis bedanya dengan kesalahan yang disadari (bewusteschuld).

c. Tidak ada alasan pemaaf;

Alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf dalam hukum pidana antara

lain daya paksa (overmacht),85

85

Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang hukum Pidana (KUHP), Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”.

(16)

ekses),86 dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad

baik.87

Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Bahwa yang dipertanggungjawabkan orang

tersebut ialah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban

pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pada

hakikatnya, hal ini merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana

untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan

tertentu.88

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi, menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana pada perkara tindak

pidana korupsi yaitu89

86Ibid.

, Pasal 49 yang berbunyi: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. (2) Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum.

87Ibid

., Pasal 51 yang berbunyi: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. (2) Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah itu. Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 181.

(17)

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi

baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang

kepegawaian;

b. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab

Undang-undang HukumPidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam membicarakan tentang

pertanggungjawaban pidana tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus

dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan,

sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur

yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin

dengan keadilan sebagai soal filsafat.90

90

(18)

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan

dalam undang-undang. Tindakan yang terlarang (diharuskan) jika dilihat dari sudut

terjadinya, maka seseorang akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan tersebut

yang apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan

sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu.

Hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung

jawabkan tindak pidannya apabila dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab.91

Syarat untuk penjatuhan pidana ialah orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan sehingga orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya. Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana

seseorang. Tanpa hal tersebut, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.

Istilah tersebut dikenal dalam hukum pidana yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan

(geen straf zonder schuld).92

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian

pertangungjawaban dalam hukum pidana. Makna dapat dicelanya si pembuat atas

perbuatannya. Seseorang yang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, oleh karena

itu, ia dapat dicela atas perbuatanya.93

91

Kanter E.Y dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hal. 249

92

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 157.

93

(19)

Menurut Simon, sebagai dasar dari pertanggungjawaban adalah kesalahan

yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat

dipidana, dan berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela. Adanya kesalahan

pada pelaku ditentukan oleh beberapa hal, yaitu kemampuan bertanggungjawab,

hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakuan dan akibat yang ditimbulkan dan dolus

atau culpa.94

Pompe membahas mengenai unsur kesalahan yang mengatakan bahwa dilihat

dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dari kehendak pelaku, sedangkan

sifat melawan hukum merupakan bagian luar dari padanya.Kesalahan merupakan

kelakuan yang bertentangan dengan hukum.Pompe membagi menjadi tiga (3) ciri-ciri

yaitu95

Sifat melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara

objektif.Melawan hukum sebagai yang kita maksud dengan melawan hukum

materil.Melawan hukum formil diartikan bertentangan dengan undang-undang.

kelakuan atau perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesengajaan (dolus

atau culpa) dan kemampuan bertanggungjawab.

96

Menurut Ruslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk

mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu

sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa

terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian

semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang

(20)

dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya

terdakwa maka terdakwa haruslah97

a. Melakukan perbuatan pidana;

:

b. Mampu bertanggung jawab;

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan

d. Tidak adanya alasan pemaaf.

Keempat unsur tersebut terpenuhi maka orang yang bersangkutan atau pelaku

tindak pidana dimaksud dapat dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana,

sehingga ia dapat dipidana.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809

dicantumkan bahwa sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Memorie

van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu PengajuanCriminiel Wetboek

1881 (yang menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915),

menjelaskan “Sengaja” diartikan “dengan sadar dan kehendak melakukan suatu

kejahatan tertentu”.98

C. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

97

Ruslan Saleh, Op.Cit., hal. 75.

98

(21)

1. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undangNomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ada 2 (dua)

sumber yaitu pertama, bersumber dari perumusan pembuat Undang-undang itu

sendiri dan kedua, yang ditarik dari Pasal-pasal KUHP yaitu sebanyak 13 (tiga belas)

Pasal, sehingga dengan demikian sebagian besar perumusan tindak pidana korupsi

yang diatur dalam Undang-undang tersebut adalah bersumber dari KUHP. Pasal

tindak pidana korupsi yang bersumber dari KUHP tersebut yaitu : Pasal 209, Pasal

210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,

Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP.99

Tindak pidana korupsi pada mulanya hanya dipahami orang sebagai suatu

bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berhubungan dengan pemerintahan.Korupsi

jika dilihat dari sudut itu maka hanya dianggap sebagai penyimpangan dari

norma-norma yang berlaku bagi orang yang menjabat suatu jabatan di lingkungan

pemerintahan. Esensinya terletak di satu pihak pada penggunaan kekuasaan atau

wewenang yang terkandung dalam suatu jabatan, dan di lain pihak terdapat unsur

keuntungan, baik berupa uang ataupun bukun.100

J.S. Nye dalam artikelnya “Corruption and Political Development: A Cost

Benefit Analysis”, mendeskripsikan perilaku korupsi sebagai perilaku menyimpang

99 Repository.unand.ac.id/1745/1/SATRIA_abdi_03211042,diakses tanggal :

08-07-2014. 100

(22)

dari tugas yang normal dalam pemerintahan karena pertimbangan pribadi (keluarga,

sahabat pribadi dekat), kebutuhan uang atau pencapaian status atau melanggar

peraturan dengan melakukan tindakan yang memanfaatkan pengaruh pribadi dan

tindakan itu termasuk perilaku penyuapan (penggunaan hadiah untuk

menyimpangkan keputusan seseorang dalam posisi mengemban amanah), nepotisme

(menggunakan perlindungan oleh seseorang yang mempunyai hubungan darah atau

keturunan daripada berdasar kinerja), dan penyalahgunaan (penggunaan secara tidak

sah sumber daya milik umum untuk manfaat pribadi).101

Robert Klitgaard menyatakan korupsi muncul dalam banyak bentuk, dan

membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat besar yang dapat

menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan seperti soal tarif, pajak,

kredit, sistem irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan

menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman, dan

sebagainya. Robert Klitgaard juga menegaskan bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak Korupsi hanya digambarkan sekedar sebagai suatu gejala politik. Pemahaman

seperti itu dapat menimbulkan implikasi hukum, khususnya terhadap cara orang

memandang korupsi dalam perspektif hukum pidana, akibatnya tindak pidana korupsi

akan dipersepsikan orang sebagai suatu kejahatan yang hanya mungkin dilakukan

oleh pemegang kekuasaan (pejabat) pemerintah dengan kualifikasi pegawai negeri.

101Ibid

(23)

saja di sektor pemerintahan tetapi juga dapat terjadi sektor swasta, bahkan sering

terjadi sekaligus di kedua sektor tersebut.102

Berdasarkan Transparency International, korupsi adalah prilaku pejabat

publik, atau para pemain politik atau para pegawai negeri yang secara tidak wajar dan

tidak legal memperkaya diri, atau memperkaya orang lain yang ada hubungan

kedekatan dengan dirinya, dengan cara menyalagunakan kekuasaan publik atau

wewenang yang dipercayakan kepada mereka. Definisi ini tegas dan lugas

bahwasannya korupsi biasanya dilakukan oleh oknum yang mendapat kesempatan

untuk korup, tentu saja mereka yang memiliki kekuasaan, atau kepercayaan publik

seperti pejabat birokrat, para dewan wakil rakyat, pimpinan polri, kejaksaan, hakim

dan sebangsanya, juga tidak terkecuali para pelayan masyarakat seperti pegawai

negeri sipil dan sejenisnya pula.103

Perilaku serta tindakan tidak wajar atau ilegal secara kasat mata dapat diukur

dengan mudah melalui pengamatan fisik berdasarkan pola kehidupan keseharian.

Pertama dengan menentukan jenjang kepegawaiannya termasuk golongan berapakah

dia, lantas berapa gaji dan tunjangan bulanannya, lalu sesuaikah bentuk rumah megah

dan mobil mewah yang dimilikinya. Berdasarkan pengamatan tersebut, jika tidak

sebanding, maka indikasi awal perlu dicurigai apakah ia termasuk tikus atau ada sisi

sinyalement lain yang perlu dibongkar. Hukum tindak pidana korupsi mengisyaratkan

pula penjeratan pada prilaku memperkaya orang lain dengan mempergunakan

102

Robert Klitgaard, “Membasmi Korupsi”, Terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor,Jakarta, 1998, hal. 19.

103

(24)

wewenang atau kekuasaan, sehingga kita jangan salah bahwa ukuran materi bukan

satu-satunya indikasi yang mesti di amati, namun modus operandi akan lebih

substansi pada akar permasalahan yang hendak kita terjuni.104

Tindakan korupsi dalam bentuk apapun yang jelas biasanya memiliki ciri-ciri

khas, diantaranya sebagai berikut :105

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu

merajalela, dan begitu mendalam berurat berakar, sehingga individu-individu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk

menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan

keputusan-keputusan yang tegas, dan meraka yang mampu untuk mempengaruhi keoutusan-keputusan itu;

f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;

g. Korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;

h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka

yang melakukan tindakan itu;

i. Korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan

masyarakat.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana

khusus.Tindak pidana korupsi apabila dijabarkan mempunyai spesifikasi tertentu

yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan

materi yang diatur dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin terjadinya

kebocoran terhadap keuangan dan perekonomian negara.Adanya hal-hal tertentu

didalam tindak pidana korupsi yang memerlukan penanganan secara khusus, dan

104Ibid

., hal. 8.

105

(25)

menyimpang dari beberapa aturan umum yang terdapat dalam

kodifikasi.Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan Peraturan perkodifikasi.Undang-undang-

perundang-undangan pidana yang telah memenuhi karakteristik sebagai suatu undang-undang

pidana khusus.106

Konvensi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United

Nations Convention Againts Corruption) adalah merupakan landasan hukum yang

bersifat universal untuk memerangi praktek korupsi berdasarkan karakteristik tindak

pidana korupsi yang menjadi ancaman secara nasional maupun internasional.107

Karateristik tindak pidana korupsi dapat dilihat dari tipologi tindak pidana korupsi

antara lain: murni merugikan keuangan negara, suap, pemerasan, penyerobotan,

gratifikasi, percobaan, pembantuan dan permufakatan. Komisi pemberantasan korupsi

telah menerbitkan buku saku yang telah mengklasifikasi bentuk dan jenis tindak

pidana korupsi ke dalam 30 (tiga puluh) karakteristik berdasarkan UUPTPK yang

dikelompokkan sebagai berikut : pertama, kerugian keuangan negara. Kedua, suap

menyuap.Ketiga, penggelapan dalam jabatan.Keempat, pemerasan.Kelima, perbuatan

curang.Keenam, benturan kepentingan dalam pengadaan.Ketujuh, gratifikasi.108

106

Elwi Danil, Op.Cit., hal. 87.

107

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi 2003) Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32 Taun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620, mendeskripsikan masalah tindak pidana korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.

108

(26)

Karakteristik tindak pidana korupsi mengarah pada perbuatan pidana yang

dilakukan oleh pelaku yang menentukan suatu perbuatan pidana dapat dipidana

(strafbarehandeling) 109 cenderung diarahkan pada pejabat/pegawai negeri (deambtenaar) dengan maksud (met het oogmerk om) menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum (zich of een ander wederrechtelijk te

bevoordelen) dengan menyalahgunakan kekuasaannya (door misbruik van gezag

beshikken).110Tindakan tersebut menunjukkan bahwa karakteristik tindak pidana

korupsi sebagai extra ordinary crime. Menurut Romli Atmasasmita bahwa :111

Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana

korupsi dapat dilihat dari dilahirkannya undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang

perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum,

menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan perlakuan adil dalam

memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini mengklasifikasikan Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mandalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan

merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan sudah merupakan

kejahatan yang laur biasa (extra ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari

sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan orde baru sampai saat ini jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.

109

O.C Kaligis dan Associates, “Kumpulan Kasus Menarik Jilid 4”, O.C Kaligis dan Associates, jakarta, 2009, hal. 15. Bahwa strafbarehandeling harus dibedakan antara bestanddel delict

dengan element delict.

110

P. A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, “Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi”, Sinar Grafika , Jakarta, 2009, hal. 149.

111

(27)

perbuatan yang dapat dilakukan sebagai tindak pidana korupsi, disamping

dibentuknya lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi yakni KPK112

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang memiliki karakteristik yang

secara mendasar membedakannya dengan undang-undang nomor 3 tahun 1971 yang

digunakan dalam rangka efektifitas penegakan hukum tindak pidana, sebagai

berikut:

dengan tidak mengabaikan tugas aparat penegak hukum lainnya dalam bingkai

criminal justice system yakni kejaksaan dan kepolisian.

113

a. Tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal (delik formal) bukan delik

materil dimana pengembalian (kerugian) keuangan negara tidak menghapus

penuntutan pidana terhadap terdakwa;

b. Pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum, disamping perseorangan;

c. Pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminil yang dapat

diperlakukan keluar batas teritorial Indonesia;

d. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang atau

balanced burden of proof”;

e. Pengaturan tentang ancaman pidana dengan minimum khusus, disamping

ancaman maksimum;

112

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal.137.

113

(28)

f. Ancaman pidana mati sebagai pemberatan;

g. Pengaturan tentang penyidikan gabungan dalam perkara tindak pidana korupsi

yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung;

h. Pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia Bank yang lebih luas dengan

diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa atau freezing yang

dapat dilanjutkan dengan penyitaan;

i. Pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol sosial

diperluas sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan

efektif;

j. Memuat amanat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang

bersifat independen.

Korupsi pada hakikatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa

dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut :114

a. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of

purpose or intent);

b. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance

upon the ingenuity or carelesneof the victim);

c. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation)

Beberapa pidana yang ditunjuk atau yang terkait di dalam UUPTPK

menyangkut pemenuhan rumusan delik yang tidak hanya terfokus pada pemenuhan

114

(29)

perumusan delik “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

namun delik yang ada kaitannya dengan delik jabatan (actieve omkoping) misalnya

dalam hal delik korupsi yang berbentuk penggelapan oleh pegawai negeri atau

pejabat yang secara expressis verbis tercantum unsur sengaja (bestanddeel).115

Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi lebih luas dari

huku m pidana umum, hal ini nyata dalam hal116

a. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat 1 sampai ayat

4 UUPTPK);

:

b. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang

telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal

23 ayat 5), bahkan kesempatan banding tidak ada;

c. Perumusan delik dalam UUPTPK yang sangat luas ruang lingkupnya terutama

unsur ketiga pada Pasal 1 ayat 1 sub a dan b UUPTPK;

d. Penafsiran kata penggelapan pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh

yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas.

Tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terbagi atas beberapa tipe, diantaranya :117

115

Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 96.

116Ibid

., hal. 64.

117

(30)

a. Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama

Terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun1999

menyebutkan bahwa :

(1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah)”.

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1)

merupakan delik formil, maka adanya kerugian negara atau kerugian perekonomian

negara tidak harus sudah terjadi.Karena yang dimaksud dengan delik formil adalah

delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh undang-undang.118 Dengan demikian, agar seseorang

dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang

ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk

membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara.119

b. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua

Diatur dalam ketetuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu :

118

R. Wiyono,Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 27.

(31)

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Unsur-unsur dari pasal tersebut ialah dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, perbuatan

tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, serta perbuatan

tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Hakikatnya korupsi tipe kedua ditetapkan kepada pegawai negeri. Unsur

perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, bahwa

jika ditinjau dari aspek pembuktian dapat lebih mudah dibuktikan jaksa/ penuntut

umum karena unsur menguntungkan tidak memerlukan dimensi apakah tersangka/

terdakwa menjadi kaya atau bertambah kaya karenanya lain dengan aspek

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebagaimana pasal 2

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 relatif lebih sulit membuktikannya. Bahwa istilah

menguntungkan membuat tersangka/ terdakwa memperoleh aspek materiil sehingga

dapat dilakukan dengan cara korupsi, kolusi, nepotisme.

Kata “dapat” dalam unsur perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara menentukan jaksa/ penuntut umum tidak harus

membuktikan adanya unsur kerugian keuangan negara/ perekonomian negara karena

(32)

c. Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga

Terdapat dalam ketentuan Pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 yang merupakan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana yang ditarik menjadi Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan, korupsi

tipe ketiga ini dapat dibagi menjadi 4 pengelompokkan yaitu :

1) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni Pasal 209, 210, 418, 419,

dan 420 KUHP;

1) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni Pasal 415, 416 dan

417 KUHP;

2) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (knevelarij, Extortion), yakni

Pasal 423, 425 KUHP;

3) Penarikan perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan, leverensir, dan

rekanan, yakni Pasal 387, 388, dan 435 KUHP.

d. Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat

Pengertian tindak pidana korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan,

pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau

keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan orang di luar wilayah

Indonesia (Pasal 15 dan 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).

e. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima

Pengertian tindak pidana korupsi tipe kelima ini bukanlah bersifat murni

(33)

korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

2. Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berdasarkan Unsur Memperkaya Diri Sendiri

Pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam hukum pidana dilandasi oleh

adanya kesalahan (schuld) di dalam perbuatan melawan hukum (wederechtelijk)120

sebagai syarat untuk pengenaan pidana (grenzen van delictsomschrijving,

wederechtelijk is en aan schuld te wijten). Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan

manusia yang termasuk dalam rumusan delik, melawan hukum dan kesalahan yang

dapat dicelakan kepadanya). Kantorowicz121

Kesalahan (schuld) sangat erat kaitannya dengan suatu kejahatan yang

dilakukan oleh subjek hukum manusia alamiah yang mengandung arti bahwa dapat menyatakan, untuk adanya penjatuhan

pidana terhadap pelaku diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya perbuatan

pidana, kemudian diikuti dengan dibuktikannya schuld atau kesalahan subjektif

pembuat, sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam

paham KUHP diperlukan adanya beberapa syarat : pertama, adanya suatu tindak

pidana yang dilakukan oleh kealpaan. Kedua, adanya unsur kesalahan berupa

kesengajaan atau kealpaan.Ketiga, adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab

dan tidak ada alasan pemaaf.

120

Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003,hal. 86.

121

(34)

dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan hukum atau sifat melawan hukum.Meskipun perbuatannya

memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dapat dibenarkan,

namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana karena

penjatuhan pidana memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan

perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt)122

(1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah)”.

.

Delik korupsi yang berkaitan dengan perbuatan memperkaya atau

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan (korporasi) yang dapat

merugikan keuangan negara dengan cara melawan hukum, tercantum dalam Pasal 2

dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi :

Pasal 2 Undang-undang ini menyatakan sebagai berikut :

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) di atas dapat dijelaskan beberapa unsur yang

terkandung di dalamnya antara lain:

a. Setiap orang;

Pasal 2 ayat (1) tidak ditentukan adanya suatu syarat, misalnya seperti syarat

pegawai negeri yang harus menyertai setiap orang yang melakukan tindak pidana

122

(35)

korupsi yang dimaksud. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat

dalam pasal ini adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.123 Bahwa istilah setiap

orang dalam konteks hukum pidana juga harus dipahami sebagai orang perorangan

(persoonlijkheid) dan badan hukum (rechtspersoon).124

b. Secara melawan hukum;

Perbuatan melawan hukum dapat dipahami secara formil dan materil. Secara

formil, berarti perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang

melawan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan,

secara materil berarti tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila

perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau

norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat

dipidana.125

Sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi mempunyai arti ganda,

baik yang berarti melawan hukum materiil maupun melawan hukum formil.

Penjelasan seperti ini dapat mempermudah pembuktian tentang pembuktian tentang

keberadaan sifat tercelanya dari suatu perbuatan yang nyata memperkaya. Apabila

suatu perbuatan tertentu sebagai wujud dari memperkaya yang tidak terlarang

menurut hukum tertulis, akan tetapi apabila diukur dari sudut nilai-nilai seperti

keadilan, kepatutan yang hidup di masyarakat sebagai perbuatan yang tercela.

123

R. Wiyono,Op.Cit., hal. 27.

124Ibid

.

125Ibid

(36)

Dengan demikian, celaan menurut nilai masyarakat tersebut termasuk dalam

pengertian sifat melawan hukum atas perbuatan memperkaya menurut pasal 2 di

atas.126

c. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;

Memperkaya menunjukkan perbuatan setiap orang untuk bertambah kaya atau

adanya pertambahan kekayaan. Memperkaya diri sendiri artinya diri si pembuat

sendirilah yang memperoleh atau bertambah kekayaannya secara tidak sah.

Memperkaya orang lain adalah sebaliknya, yaitu orang yang kekayaanya bertambah

atau memperoleh kekayaannya adalah orang lain selain pembuat. Memperkaya suatu

korporasi, bukan si pembuat yang memperoleh atau bertambah kekayaannya oleh

perbuatannya tetapi suatu korporasi.127

Unsur

2 (dua) rumusan penting dalam memahami persoalan tindak pidana korupsi tersebut,

antara lain:128

1. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi

dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi;

2. Menyalahgunakan kewenangan dan/atau jabatan untuk menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan negara

adalah korupsi.

126

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi Di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal. 44.

127Ibid.,

hal. 41.

128

(37)

Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai delik korupsi jika telah

memenuhi hal-hal, antara lain:

1. Perbuatan

dengan cara melawan hukum;

2. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau

perekonomian negara.

Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah

perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan

dipidana. Sementara yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah

sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan

negara.

“Perbuatan”, yang menjadi persoalan adalah apakah yang dimaksudkan itu

adalah perbuatan aktif saja atau perbuatan pasif (atau tidak berbuat). Memperhatikan

rumusan mengenai “memperkaya diri sendiri atau orang lain”, yang merupakan kata

kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud itu adalah perbuatan

aktif.129

129

Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 25.

Perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila melakukan perbuatan

aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya, jika terjadi kerugian negara

yang menguntungkan seorang pejabat negara atau orang lain dan dipastikan bukan

karena perbuatan aktif dari pejabat negara tersebut, maka si pejabat negara itu tidak

melakukan perbuatan korupsi. “Perbuatan” itu juga harus memperkaya diri sendiri

(38)

maka rumusan ini bersifat alternatif. Memperkaya orang lain saja walaupun tidak

memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi.

Unsur memperkaya diri sendiri menurut Martiman Prodjohamidjojo adalah

sama pengertian dengan menguntungkan diri sendiri yang tercantum dalam Pasal 378

KUHP.130 Meskipun tidak ada unsur melawan hukum, akan tetapi unsur itu ada

secara diam-diam, sebab setiap perbuatan delik selalu ada unsur melawan hukum.

Unsur menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum berarti menguntungkan

diri sendiri tanpa hak. Unsur melawan hukum ini tidak diatur secara tegas dalam

Pasal 3, sebgaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), namun unsur melawan hukum

termasuk dalam keseluruhan perumusan yaitu dengan menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya.131

Maksud memperkaya diri sendiri dapat ditafsirkan suatu perbuatan bahwa si

pelaku bertambah kekayaannya atau menjadi lebih kayak karena perbuatan tersebut.

Perbuatan memperkaya dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan

membeli, menjual, mengambil, memindahbukukan rekening, menandatangani

kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi bertambah kekayaannya.

Perumusan tersebut

merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu penuntut umum tidak perlu

secara tegas mencantumkannya dalam dakwaan maupun dalam tuntutannya.

132

130

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal. 69.

131

Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 192.

132

(39)

UUPTPK, pengertian “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi” dapat dikaitkan dengan Pasal 37A ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2001 : “(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh

harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang

atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan, yang tidak

seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka

keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada

bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi”.

Pasal 37A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah alat

bukti “petunjuk” dalam perkara korupsi, setiap orang yang didakwa sebagai pelaku

korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum

didakwakan, tapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (1) Sehingga, jika

terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan

karena tindak pidana korupsi, maka harta benda tersebut dianggap diperoleh dari

tindak pidana korupsi. Ketentuan undang-undang ini merupakan beban pembuktian

terbalik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2) undang-undang nomor 20

tahun 2001: (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi,

harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim

berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk

(40)

bagian intinya ada kerugian negara atau perekonomian negara saja yang dapat

dikenakan uang ganti rugi dari perampasan harta benda tersebut (oleh pengadilan).133

Unsur

bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari

harinya dalam hal ini, dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku

korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan.

d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.134

Merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang,

sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur merugikan keuangan

negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau

berkurangnya keuangan negara. Merugikan perekonomian negara sama artinya

dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang

berjalan.

Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang

dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk segala bagian kekayaan negara dan segala

hak dan kewajiban yang timbul karena yaitu :

1. Dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara baik

ditingkat pusat maupun daerah serta dalam pengurusan;

133

Dominggus Silaban, “Pemahaman Unsur Memperkaya dan atau Menguntungkan pada

Tindak Pidana Korupsi”,

pidana-korupsi.html, di Akses Tanggal 5 Mei 2014.

134

(41)

2. Dalam pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD yaysan, badan

hukum, perusahaan yang menyertakan modal negara perusahaan yang

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai

usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri

yang berdasarkan kebijakan pemerintah, baik di pusat/ daerah berdasar penataran

perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberi manfaat, kemakmuran

dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

Pasal 2 ayat (1) secara khusus mengatur mengenai unsur “memperkaya”, dan

pada Pasal 3 mengenai unsur “menguntungkan”, jika melihat ketentuan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

jo.undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Bagian

penjelasan atas undang-undang korupsi tersebut sama sekali tidak menjelaskan

kriteria dari pada unsur “memperkaya” dan atau unsur “menguntungkan” sehingga

dapat berdampak multitafsir saat interpretasinya. Bagian penjelasannya hanya

menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah

dan memberantas tindak pidana korupsi, undang-undang korupsi ini memuat

ketentuan pidana yang menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda

yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati.135

135

(42)

3. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Yang Merugikan Keuangan Negara

Objek dari tindak pidana korupsi adalah keuangan negara. Keuangan negara

merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat menentukan

kelangsungan perekonomian baik sekarang maupun yang akan datang. Semakin

banyak tindak pidana korupsi yang berlangsung, maka kelangsungan perekonomian

suatu bangsa dapat terganggu.136

Peraturan perundang-undangan pidana tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi tidak ditemukan adanya ketentuan yang secara khusus mengatur kualifikasi

pelaku (pembuat) sebagai subjek tindak pidana korupsi.Artinya, rumusan hukum

pidana tentang korupsi sejak semula tidak pernah menentukan subjek dengan

kualifikasi tertentu. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi dalam merumuskan tindak pidana korupsi selalu diawali dengan kata

“barangsiapa”, demikan pula Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang

No. 20 Tahun 2001, mengawali rumusan tindak pidana korupsi dengan kata “setiap

orang” yang berarti siapa saja.137

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Pasal 3 Undang-undang ini menyatakan sebagai berikut :

136

Hilman Tisnawan., “Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebansentralan 42 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005, hal. 1.

137

(43)

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana pidana penjara paling sedikit 1 (Satu) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah) ”.

Berdasarkan Pasal 3 di atas dapat dijelaskan beberapa unsur yang terkandung

di dalamnya antara lain:

a. Setiap orang;

Sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ditentukan

“setiap orang”, sehingga seolah-olah setiap orang dapat melakukan tindak pidana

korupsi yang terdapat dalam Pasal 3. Berdasarkan Pasal 3 tersebut ditentukan bahwa

pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu jabatan atau

kedudukan, oleh karenanya yang dapat memangku suatu jabatan atau kedudukan

hanya orang perseorangan, sedangkan korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana

korupsi tersebut.138

Subjek hukum dari Pasal 3 di aats menyebutkan setiap orang, yang oleh pasal

1 butir 3 ditegaskan terdiri dari orang pribadi dan korporasi. Korporasi merupakan

subjek hukum yang tidak mungkin memangku jabatan atau kedudukan seperti subjek

hukum orang, oleh karena itu korporasi tidak mungkin dapat menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya (karena jabatan atau

kedudukan). Dengan demikian, tidak semua tindak pidana korupsi dapat dilakukan

oleh suatu korporasi.139

138

R. Wiyono,Op. Cit., hal. 37.

139

(44)

b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

Menurut R. Wiyono, yang dimaksud menguntungkan adalah sama artinya

dengan mendapatkan untung yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar

daripengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang

diperolehnya. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah

sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi.140

Unsur

sarana atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.

Tindak pidana korupsi secara umum adalah penyalahgunaan wewenang dan

kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu, maka variabel

utama dalam korupsi adalah kekuasaan, dengan kata lain mereka yang memiliki

kekuasaan, khususnya terhadap sumber daya publik (sumber daya yang digunakan

untuk kepentingan umum) akan memiliki potensi besar untuk melakukan korupsi.

c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan;

R.Wiyono menyatakan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah menggunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan

140

(45)

yang dijabat atau yang diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain

dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut.141

Menyalahgunakan kewenangan dapat didefiniskan sebagai perbuatan yang

dilakukan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan

secara salah atau diarahkan pada hal yang salah dan bertentangan dengan hukum atau

kebiasaan.142

Kesempatan adalah peluang atau tersediannya waktu yang cukup dan

sebaik-baiknya untuk melakukan perbuatan tertentu. Seseorang yang karena memiliki

jabatan atau kedudukan mempunyai peluang atau waktu yang sebaik-baiknya untuk

melakukan perbuatan-perbuatan tertentu berdasarkan jabatan atau kedudukannya itu.

Apabila peluang yang ada tersebut digunakan untuk melakukan perbuatan lain yang

tidak seharusnya dilakukan dan bertentangan dengan tugas pekerjaannyadalam

jabatan atau kedudukan yang dimiliki, maka telah terdapat unsur menyalahgunakan

kesempatan karena jabatan atau kedudukan.143

Perbuatan yang menyalahgunakan sarana karena jabatan atau kedudukan

terjadi apabila seseorang menggunakan sarana yang ada pada dirinya karena jabatan

atau kedudukan untuk tujuan lain diluar tujuan yang berhubungan dengan tugas

pekerjaan yang menjadi kewajibannya.144

Referensi

Dokumen terkait

Adapun proyeksi yang dilakukan guru diantaranya adalah proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media, pendekatan dan metode, serta penilaian pembelajaran dalam

penduduk juga bekerja pada TPQ, yang mana tempatnya tidak jauh dari tempat tinggal warga. Ada juga yang bekerja pada kota terdekat, misalnya di bangunan, bengkel, dan

Penelitian sebelumnya pada tahun 2017 dengan judul one husband one client dan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet besi dengan hasil penelitian sebagai berikut

Karena menggunakan konverter Cȕk dan konverter boost bertingkat, maka akan didapat rasio tegangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan konverter Cȕk dan konverter boost yang

Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan atau barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk

Hasil penelitian dengan menggunakan uji Ttest menunjukkan bahwa: (1) budaya organisasi dan komunikasi organisasi berpengaruh langsung positif dan tidak

tingkah laku bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat harus sesuai dengan

Sedangkan analisis sistem informasi adalah tahap pengembangan dalam membangun project sistem informasi yang berfokus pada masalah bisnis dan kebutuhannya, terlepas dari