• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah

commit to user 11

TELAAH KEPUSTAKAAN

A. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah 1.Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah

Remaja melakukan perilaku seksual pranikah karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut bisa berasal dari diri remaja itu sendiri, bisa juga dari lingkungan di sekitarnya. Faktor-faktor tersebut bisa juga berkaitan satu sama lain. Adapun faktor-faktor yang memicu perilaku seksual pranikah di kalangan remaja adalah:

a. Faktor internal

1. Perkembangan seksualitas

Perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja terjadi akibat perkembangan seksualitas yang dialaminya, seperti tumbuhnya ciri seks primer dan ciri seks sekunder. Seiring perkembangan tersebut, terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon reproduksi/seksual (Pangkahila, 2004). Ini mengakibatkan munculnya dorongan biologis dari tubuh remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2007) mengungkap bahwa partisipan yang bersedia melakukan hubungan seks pranikah menyatakan bahwa seks pranikah dilakukan untuk memuaskan dorongan biologis dan untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan beberapa orang. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Sadarjoen (2001) bahwa perilaku

seks didasari oleh keinginan memperoleh kenikmatan seksual secara fisik.

Perkembangan seksual yang dialami juga membuat remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi mengenai masalah seputar seksual (Pangkahila, 2004). Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, remaja kemudian mencari dari berbagai sumber, baik orang tua, teman, media, dan lain-lain. Sumber yang didapat tidak jarang malah memberikan dampak negatif pada remaja itu sendiri.

Seiring meningkatnya libido seksual dalam diri seseorang, maka muncullah fantasi erotis atau fantasi seks. Fantasi erotis berguna untuk memfasilitasi gairah seksual yang lebih banyak menggambarkan perilaku seks terutama visualisasi akan hubungan seks. Semakin sering fantasi erotis dilakukan individu, akan semakin besar pula kemungkinan keterlibatan individu dalam aktivitas seksual (Rahardjo, 2008).

2. Waktu mengalami pubertas (Pangkahila, 2004).

Umur menarche cenderung menurun sejak permulaan abad 20.

Usia pertama mengalami menstruasi dan mimpi basah lebih cepat dibandingkan periode sebelumnya. Ini membuat remaja lebih cepat matang secara fisik dan dorongan seksual yang dirasakan pun lebih awal (Hartono, 2004).

3. Skeptisisme terhadap agama dan rendahnya keimanan (Hawari, 1999) Ilmu agama dan iman penting untuk menghadapi perubahan sosial budaya yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral, etik dan pedoman hidup sehat yang universal (Hawari, 1999).

4. Permasalahan cinta yang dirasakan.

Rahardjo (2008) menyebutkan bahwa perilaku seks juga dipengaruhi oleh masalah cinta. Salah satu teori yang paling menarik

adalah teori colors of love dari sosiolog Kanada, John A. Lee. Teori ini

menyatakan enam tipe cinta, mulai dari eros, ludus, storge, mania,

pragma, dan agape. Pria lebih identik dengan tipe eros dan ludus

mengingat pria lebih mementingkan kedekatan fisik dan seksual dibandingkan wanita yang lebih memilih kedekatan emosional dan

intimasi seperti ciri khas storge, mania dan pragma (Lee dalam

Rahardjo, 2008). Hal ini membuat pria lebih berani melakukan

aktivitas seksual dan kemudian membujuk pasangannya untuk mau melakukannya. Sedangkan wanita lebih mementingkan kedekatan emosional dan intimasi dalam berhubungan sehingga mudah luluh jika dibujuk oleh pasangan yang dicintainya dan yang ingin dinikahinya.

5. Berkembangnya prinsip sex just for fun.

Prinsip sex just for fun berarti pelaku hanya sekedar ingin

memenuhi hasrat seksual dan mendapatkan kesenangan semata (Hartono, 2004). Prinsip ini muncul karena dorongan biologis yang

dirasakan dan kemudian diperkuat dengan pengaruh dari lingkungan sehingga pelaku berani berprinsip seperti itu.

6. Sebagian orang menggunakan seksual pranikah sebagai alat skrining

atau drive test untuk memilih pasangan hidup (Teachman, 2003).

Beberapa situs perbincangan di dunia maya menampilkan

diskusi mengenai hal ini, dimana test drive dilakukan pada pasangan

untuk mengetahui ke-normal-an seks atau baik tidaknya urusan seks pasangan.

“Bagi gw virgin itu ga penting, mala hrs dicoba sebelon merid, ntar kl dy "not good on the bed" ato tnyt gw "not good in bed" menurut dy, apa mo selingkuh2an?”

“Mending kalo udah serius, ML dulu aja deh sebelom merid... maxud gw, kalo merid berarti udah yakin 100%. jangan sampe ntar gara2 masalah sex tar rumah tangga bubar. kalo udah ketauan sebelom merid pan pas setelah itu berarti bisa mutusin mau terus merid ato mau bubar, kalo mau terus merid berarti udah siap dgn segala resiko nya termasuk (mungkin) kekurangan di sex”

7. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta, kegagahan atau

kemolekan dan kemampuan fisik pada pasangan (Pangkahila, 2004). Keinginan ini merupakan salah satu bentuk untuk

menunjukkan bahwa “I’m the best for you”, baik dari segi fisik

maupun perasaan. b. Faktor eksternal

1. Keberadaan dan peran orang tua.

Kadarwati, Lestari dan Asyanti (2008) mengatakan bahwa sumber informasi paling bertanggung jawab adalah dari orang tua.

Untuk itu, diperlukan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, khususnya komunikasi dalam masalah seksualitas. Melalui komunikasi yang efektif, orang tua dapat memberikan tuntunan dan arahan kepada anak agar dapat menyalurkan dorongan-dorongan yang dimilikinya secara positif sehingga tidak terjerumus dalam hal-hal yang tidak diinginkan seperti perilaku seksual pranikah. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik anak-anak untuk memasuki masa remaja dengan baik akan membuat anak terjerumus dalam perilaku seksual pranikah (Pangkahila, 2004).

2. Pengaruh teman sebaya.

Teman sebaya sangat berpengaruh pada pergaulan remaja. Pengaruh dari teman sebaya bisa bersifat positif dan bisa juga negatif. Pengaruh positif misalnya adanya dorongan untuk berprestasi dan berkreasi karena bergaul dengan orang-orang yang cerdas dan kreatif. Pengaruh negatif misalnya tuntutan untuk berkencan dan berciuman,

tuntutan untuk update dalam penampilan, dan lain-lain. Tuntutan dan

tekanan dari teman sebaya membuat remaja harus melaksanakannya agar diakui sebagai anggota dalam kelompok (Hurlock, 2006). Sumber informasi yang salah dan tidak bertanggung jawab pun seringkali diperoleh remaja dari teman sebayanya. Sebagai orang yang pengetahuannya lebih kurang sama, pergaulan sebaya membuat remaja mencari tahu pengetahuan tanpa adanya arahan yang benar dan tidak jarang malah mencoba-coba guna membuktikan, misalnya mencoba

narkoba untuk membuktikan bahwa narkoba memang bisa membuat “fly” atau mencoba seks untuk membuktikan bahwa seks itu memang indah, dan sebagainya. Pergaulan yang negatif seperti inilah yang membuat remaja terjerumus dalam lembah kehidupan (Pangkahila, 2004).

3. Hubungan bersama pasangan.

Frekuensi bertemu pasangan. Adanya komitmen bersama pasangan membuat seseorang memiliki keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya yang salah satunya ditunjukkan dengan menerima aktivitas seksual dari pacarnya (Pangkahila, 2004). Sebagian dari partisipan dalam penelitian Prasetya (2007) menyebutkan bahwa meskipun mereka sudah berpendapat bahwa seks pranikah tidak boleh dilakukan, tetapi bila sudah berhadapan dengan pasangannya, pikiran berubah bersedia melakukan hubungan seks pranikah. Christopher dan Sprecher (2000) mengatakan bahwa hal ini biasanya terjadi pada perempuan karena perempuan tidak ingin mengecewakan pasangan atau beresiko merusak hubungan. Santrock (2003) juga mengatakan bahwa perempuan sering didorong oleh kekasihnya untuk mau melakukan hubungan seksual.

4. Media massa, penyebaran gambar dan video porno dan kurangnya

informasi tentang seks yang benar (Prasetya, 2007).

5. Lingkungan sosial yang tidak mendukung perkembangan remaja ke

6. Adanya larangan berhubungan seks sebelum menikah dan panjangnya tahapan perkawinan yang harus dilalui oleh pasangan (upacara keagamaan, pengesahan secara hukum, pesta, dan lain-lain) (Hartono, 2004).

7. Perilaku seksual pranikah terjadi juga terjadi akibat meningkatnya usia

perkawinan (Hartono, 2004; Christopher dan Sprecher, 2000).

Penundaaan perkawinan di Indonesia dipengaruhi oleh kesulitan untuk mencari kerja untuk menopang kehidupan rumah tangga yang cukup layak (Hartono, 2004).

8. Status ekonomi keluarga (Pangkahila, 2004).

9. Adanya fasilitas-fasilitas seperti tempat-tempat sepi untuk berkencan

(Pangkahila, 2004).