• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

5.2.1 Representasi Chaos Menuju Order

5.2.1.2 Pertentangan Sekte dan Sinkritisme Agama

Pada masa Bali kuna saat dipemerintah oleh Raja Udayana Warmadewa bersama Permaisuri Gunaprya Dharmapatni (988 – 1011), sering terjadi pertentangan antar sekte agama. Menurut Soebandi (1981: 45), saat itu rakyat Bali Aga menganut enam sekte agama. Masing-masing sekte agama ingin menonjol, sehingga pertentangan-pertentangan antar sekte agama sering terjadi. Melihat masalah sosial yang dapat menyebabkan situasi kurang kondusif (chaos) tersebut, kemudian Raja Udayana berinisiatif mengundang rokhaniawan dari Jawa Timur. Dibantu Permaisuri Gunaprya Dharmapatni yang berasal dari Jawa Timur, diundanglah lima pendeta dari Jawa Timur. Dari lima pendeta yang diundang, hanya empat pedeta yang bisa datang ke Bali antara 999 – 1001 M. Pendeta-pendeta tersebut adalah Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Gnijaya (Soebandi, 1981: 45—46).

Dari keempat pendeta tersebut, Mpu Kuturan yang paling menonjol. Selain ahli di bidang agama, Mpu Kuturan juga memiliki pengalaman menjadi pemimpin wilayah di Girah (Jawa Timur). Oleh karena itu, Mpu Kuturan juga dipercaya menjadi senapati oleh Raja Udayana dan menjadi Ketua Majelis pakira-kira ijo makabehan (Soebandi, 1981: 46—49). Mpu Kuturan kemudian berinisiatif mengadakan pesamuan agung (pertemuan besar) yang melibatkan sekte-sekte agama masyarakat Bali Aga, perutusan paham Siwa dari Jawa dan paham Buddha Mahayana. Pertemuan yang melibatkan tiga kelompok ini kemudian disebut samuan tiga. Di tempat pertemuan itu, kemudian dibangun Pura Samuan Tiga, di desa Bedulu, Kabupaten Gianyar (lihat Gambar 5.6).

Hasil dari pertemuan samuan tiga adalah sebagai berikut:

1. Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan, yang mencakup semua aham keagamaan di Bali saat itu.

2. Di setiap Desa Adat harus didirikan Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem).

3. Di setiap rumah pekarangan harus memiliki tempat suci Sanggah Kemulan. 4. Agama yang dianut penduduk Bali disebut Siwa-Buddha (sinkritisme agama).

Gambar 5.6 Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu

(Sumber: Dokumentasi Mugi-Raharja)

Setelah dilakukan pertemuan besar samuan tiga, kemudian mulailah dilakukan pengaturan tata kehidupan di Bali dalam wadah desa adat atau desa pakraman, dengan aturan adat-istiadatnya yang disebut awig-awig. Tata kehidupan di Bali yang diatur sesuai dengan hasil pertemuan di Pura Samuan Tiga tersebut, kemudian telah membentuk kehidupan penduduk Bali sebagai masyarakat yang bersifat sosial religius. Hasil dari pertemuan besar samuan tiga yang kemudian diaplikasikan pada kehidupan sosial religius di Bali atas perintah Raja Udayana, menyebabkan Raja Udayana sangat disegani dan dihormati rakyat Bali. Atas prestasi Raja Udayana yang berhasil menghidarkan penduduk Bali dari suasana kacau (chaos) akibat pertentangan antar sekte agama, menjadi masyarakat yang hidup tentram (order) dan bersifat sosial religius, setelah Raja Udayana meninggal dunia kemudian dimuliakan dalam bentuk candi dharma di Gunung Kawi, berdampingan dengan pertapaan (katyangan) Amarawati di tepi sungai Pakerisan, Tampaksiring. Selain itu, penghormatan terhadap Raja Udayana bersama Permaisuri Gunaprya Dharmapatni juga diwujudkan ke dalam bentuk sepasang arca di Pura Penulisan Kintamani (lihat Gambar 5.7).

5.2.2 Rekonstruksi Kultural

Sesuai dengan pendapat Piliang (2003: 279 – 280), setiap proses dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi bagi hidupnya struktur dan konvensi-konvensi yang membangunnya. Rekonstruksi dapat ditafsirkan sebagai sebuah proses penataan ulang dari sesuatu yang telah didekonstruksi. Pendekonstruksian bukan sebuah permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu. Dekonstruksi dalam suatu budaya hanya dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi, keusangan, atau krisis (dalam waktu).

Sebaliknya, rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji penggunaannya dalam masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi dalam suatu budaya yang tidak teruji oleh masyarakat, tidak layak untuk hidup.

Gambar 5.7 Arca Perwujudan Udayana-Gunaprya Dharmapatni dan Candi Gunung Kawi

(Sumber: Dokumentasi Mugi-Raharja)

Berdasarkan pendapat Piliang dan pembahasan terhadap objek penelitian di atas, pendekonstruksian memang diperlukan akibat terjadinya kriris atau chaos, karena ulah Raja Mayadanawa. Meskipun ada keraguan kalangan akedemis, khususnya dari kalangan arkeolog, terhadap kebenaran tokoh Mayadawa, tetapi besarnya keyakinan masyarakat akan hubungan ceritera Mayadawa dengan Hari Raya Galungan menyebabkan adanya keyakinan, bahwa Bali pernah menglami suasana chaos pada masa Bali kuno. Suasana chaos tersebut terjadi akibat dari perbedaan paham keagamaan. Ada penafsiran, bahwa Mayadawa adalah tokoh yang beragama Buddha aliran Hinayana, yang berpusat di Bataanyar (sekitar Kitamanai). Kemudian terjadi pertentangan antara penganut Buddha paham Hinayana dengan penganut Siwa Pasupata yang berpusat di Besakih (anonim, 1982: 6).

Adanya wacana, bahwa Mayadanawa adalah tokoh yang beragama Buddha paham Hinayana, menurut Ruscita Dewi, alumnus antropologi Universitas Udayana, paham Hinayana tersebut memang sering mengkultuskan diri sendiri (informasi pada 18 April 2002). Sehingga masuk akal apabila penduduk Bali dilarang bersembahyang ke pura. Suasana ketakutan yang mencekam bagi penduduk Bali memang harus diakhiri, karena telah terjadi degradasi dan krisis. Hal inilah yang menyebabkan perlunya rekonstruksi kultural, untuk dapat mengembalikan kehidupan penduduk Bali yang tentram (order). Agar Bali tetap

tentram dan damai, serta penduduknya tetap merayakan Hari Raya Galungan, Raja Jaya Kasunu kemudian meyakinkan penduduk Bali, bahwa Hari Raya Galungan harus dilaksanakan terus atas petunjuk Bhatari Durga, agar penduduk Bali tetap selamat, tentram, dan sejahtera. Hal ini diuraikan dalam Lontar Jaya Kasunu, yang mengandung makna penegasan terhadap pelaksanaan wajib Hari Raya Galungan, agar Bali tidak lagi mengalami chaos dan pemimpin-pemimpinnya tidak berumur pendek (anonim, 1982: 6). Hal ini menunjukkan rekonstruksi telah melalui proses pengujian, sebab sebelumnya Hari Raya Galungan pernah tidak dirayakan. Terjadiya proses pengujian dan terbukti kemudian penduduk Bali tidak mengalami chaos, menyebabkan Hari Raya Galungan terus dirayakan.

Pertentangan sekte keagamaan kembali terjadi pada masa pemerintahan Raja Udayana bersama permaisuri Gunaprya Dharmapatni (989 – 1011). Menurut Goris (1986: 4), sekte-sekte yang pernah berkembang di Bali pada intinya berjumlah sembilan, sebelum terpecah-pecah. Sekte-sekte tersebut adalah Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha atau Sogata, Brahmana, Rsi, Sora (penyembah Surya) dan Ganapatya (penyembah Ganesa). Setelah dilakukan pertemuan besar samuan tiga yang diprakarsai oleh Mpu Kuturan, terjadilah rekonstruksi kultural sehingga di Bali tidak ada lagi sekte-sekte yang saling terpisah dan saling menyerang. Mpu Kuturan menyimpulkan ada titik persamaan yang menjadi prinsip antar sekte (Soebandi, 1981: 46). Sehingga dicetuskalah paham Tri Murti, sebagai pegangan hidup penduduk Bali kuno, dengan dalil Wedhahulu atau Weda utama. Agama di Bali kemudian disebut Siwa-Buddha. Sinkritisme agama ini kemungkinan yang melandasi adanya candi segi delapan dan stupa Buddha di Pura Pegulingan Tampaksiring

Dokumen terkait