• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI KULTURAL KARYA DESAIN PERTAMANAN TRADISIONAL BALI REPRESENTASI CHAOS MENUJU ORDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI KULTURAL KARYA DESAIN PERTAMANAN TRADISIONAL BALI REPRESENTASI CHAOS MENUJU ORDER"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN FUNDAMENTAL

DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI KULTURAL

KARYA DESAIN PERTAMANAN TRADISIONAL BALI

REPRESENTASI CHAOS MENUJU ORDER

Penanggungjawab Program: Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn.

NIDN 0005076315

Anggota:

I Made Pande Artadi, S.Sn., M.Sn. NIDN 0018117504

I.A. Dyah Maharani, ST.M.Ds. NIDN 0010057806

Dibiayai oleh DIPA Institut Seni Indonesia Denpasar sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian

Nomor: 29/ IT5.3/PG 2013 tanggal 6 Mei 2013

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

(2)
(3)

RINGKASAN

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ras dan agama/ kepercayaan, serta

adanya kesenjangan ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin, menyebabkan peluang

untuk terjadinya konflik dan kekerasan sangat terbuka lebar. Untuk mengantisipasi hal itu,

Indonesia memerlukan pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Dalam hal ini,

peranan pendidikan moral dan spiritual (humaniora) menjadi sangat penting untuk

menanggulangi berkembangnya kekerasan di Indonesia. Budaya tradisi Indonesia, khususnya

di Bali, sebenarnya memiliki cara pendidikan humaniora menyangkut moral dan spiritual

melalui media kesenian, seperti lewat seni pertunjukan wayang atau lewat media lukisan

seperti yang ada di Bale Kertha Gosa, Smarapura (Klungkung). Akan tetapi, pendidikan

humaniora melalui kegiatan apresiasi atau pemahaman nilai-nilai moral dan spiritual melalui

karya tesain taman, belum dimanfaatkan secara maksimal.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan kajian budaya, melalui teori

dekonstruksi. Kajian budaya memanfaatkan dekonstruksi untuk mengungkap instabilitas

makna. Teori dekonstruksi digunakan untuk membongkar ―jejak-jejak‖ peristiwa chaos dan

makna-makna yang tersebunyi di balik wujud desain taman. Teori rekonstruksi digunakan

untuk mengetahui bagaimana dapat diciptakannya ketentraman dan kedamaian (order) di

Bali, sampai diwujudkannya sebuah karya desain taman pada masa kerajaan Bali kuno. Objek

penelitiannya adalah Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi

yang ada di desa Tampaksiring, Gianyar.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, karya-karya desain pertamanan peninggalan

kerajaan Bali kuno, di balik perwujudannya menyimpan wacana peristiwa kekacauan (chaos).

Peristiwa chaos muncul akibat pertentangan antar sekte keagamaan dan adanya mitos tentang

Mayadanawa. Pada masa pemerintahan Raja Udayana, pertentangan antar sekte keagamaan

tersebut menyebabkan dilakukannya penataan kehidupan sosial, budaya dan religi, yang

antara lain menyangkut sinkritisme agama Hindu-Buddha. Hal inilah menyebabkan penduduk

Bali menjadi bersifat sosial religius, sehingga tercipta ketentraman dan kedamaian (order).

Penelitian ini dapat memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia, bahwa

pendidikan humaniora dapat dilakukan melalui media desain taman peninggalan purbakala,

yang memiliki nilai-nilai luhur. Dalam jangka panjang, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memperkuat ketahanan budaya bangsa, agar tumbuh kesadaran untuk meninggalkan budaya

(4)

PRAKATA

Berkat rakhmat Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kami berhasil menyelesaikan

penelitian Fundamental, dengan judul Dekonstruksi dan Rekonstruksi Kultural Karya Desain

Pertamanan Tradisional Bali Representasi Chaos Menuju Order. Judul ini diangkat dari rasa

keprihatinan terhadap seringnya terjadi kekerasan di masyarakat beberapa tahun terakhir ini,

yang antara lain ada bersinggungan dengan masalah suku, agama, ras dan antar golongan

(SARA). Untuk mengantisipasi hal itu, Indonesia memerlukan pendekatan holistik terhadap

―budaya kekerasan‖, yang antara lain bisa melalui pendidikan moral dan spiritual

(humaniora).

Budaya tradisi Indonesia, khususnya di Bali, sebenarnya telah memiliki cara pendidikan

humaniora menyangkut moral dan spiritual melalui media kesenian, seperti lewat seni

pertunjukan wayang. Dalam penelitian ini dibahas karya desain pertamanan peninggalan

kerajaan Bali kuno, yang dapat menunbuhkan apresiasi atau pemahaman nilai-nilai moral dan

spiritual.

Laporan penelitian ini berhasil kami susun atas bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada

kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Direktur DP2M Dikti yang telah memberikan bantuan dana penelitian Fundamental.

2. Rektor ISI Denpasar yang telah mendorong peningkatan kinerja kegiatan penelitian.

3. Ketua LP2M ISI Denpasar, atas bantuan administrasi penelitian Fundamental.

4. Bapak Prof. I Wayan Ardika dan Prof. Wedakusuma, serta semua pihak yang telah

membantu pelaksanaan penelitian ini.

Kami menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki kekurangan-kekurangan. Oleh

karena itu melalui kesempatan ini, izinkan kami memohon maaf atas segala kekurangannya.

Meskipun demikian, kami berharap, semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat

menjadi landasan pijakan bagi penelitian berikutnya.

Sekian terimakasih.

Denpasar, 27 Nopember 2013

Penanggungjawab Program

(5)

DAFTAR ISI

halaman

Halaman Pengesahan ……….. i

RINGKASAN ………. ii

PRAKATA ……….. iii

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR GAMBAR ……….. vi

BAB I. PENDAHULUAN ………..……… 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……….………... 4

2.1 Dekonstruksi ……… 4

2.2 Rekonstruksi Kultural ………... 6

2.3 Taman Tradisional Bali ………. 7

2.4 Representasi ……….. 10

2.5 Chaos dan Order ………... 11

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT ………... 14

3.1 Tujuan ………... 14

3.2 Manfaat ………. 14

3.3 Temuan ……….. 14

BAB IV. METODE PENELITIAN ………...…..……….. 15

4.1 Subyek Penelitian ………. 15

4.2 Metode Pengumpulan Data ……….. 16

4.3 Metode Analisis Data ……… 17

4.4 Pengecekan Keabsahan Data ……… 18

4.4.1 Triangulasi ………. 18

4.4.2 Menggunakan Bahan Referensi ………. 18

4.4.3 Member Chek ………. 19

4.5 Metode Pendekatan ………... 19

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 20

5.1 Hasil Penelitian ………...……….. 20

(6)

5.1.2 Taman Percandian Gung Kawi ……….. 22

5.2 Pembahasan ………... 25

5.2.1 Representasi Chaos Menuju Order ……… 26

5.2.1.1 Kisah Mayadawa dan Hari Raya Galungan ……… 27

5.2.1.2 Pertentangan Sekte dan Sinkritisme Agama ………... 32

5.2.2 Rekonstruksi Kultural ……… 34

5.2.3 Makna Kultural ……….. 35

5.2.3.1 Makna Politik ……….. 36

5.2.3.2 Makna Sosial Religius ……… 38

5.2.3.3 Permainan Tanda dan Penundaan Makna ………... 39

BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA …...……… 41

BAB VII. PENUTUP ……….. 42

6.1 Simpulan ………... 42

6.2 Saran ……….. 42

DAFTAR PUSTAKA ………. 43

LAMPIRAN Lampiran 1 Luaran Penelitian: Artikel Ilmiah Untuk Jurnal ………... 45

Lampiran 2 Luaran Tambahan: Bahan Ajar ………... 54

(7)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 2.1 Taman Gantung Babylonia, 3.500 SM dan Central Park New York, 1858 8

Gambar 2.2 Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Ujung ………... 9

Gambar 3.1 Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi … 15

Gambar 4.2 Model Analisa Interaktif ……..………... 17

Gambar 5.1 Prasasti Batu di Pura Sakenan Desa Manukaya dan Taman Permandian

Tirta Empul. 1928 ……… 21

Gambar 5.2 Denah Pura Tirta Empul, Kolam Suci dan Taman Permandian ………….. 22

Gambar 5.3 Taman Percandian Gunung Kawi, 1920—1949 ………. 23

Gambar 5.4 Kelompok Candi untuk Istri-istri Raja, Candi untuk Mahamentri dan

Denah Percandian Gunung Kawi ……… 24

Gambar 5.5 Patung Patih Kala Wong dan Tanah Pegat ………. 31

Gambar 5.6 Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu ……….. 33 Gambar 5.7 Arca Perwujudan Udayana-Gunaprya Dharmapatni dan Candi Gunung

Kawi ………. 34

Gambar 5.8 Rekonstruksi Relief Candi Buddha di Goa Gajah, Candi Buddha di Pura

(8)

BAB I. PENDAHULUAN

Dalam sejarah peradaban manusia, desain taman sebagai suatu lingkungan binaan,

mulai dari skala yang paling kecil (rumah dengan halamannya) sampai skala yang paling

besar (negara dengan kota-kota dan taman rayanya), merupakan hasil dari suatu proses

peradaban. Lingkungan binaan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, sangat ditentukan

oleh kondisi alam, proses peradaban dan perkembangan kebudayaan manusia. Bagi manusia

tradisional Nusantara yang hidup di alam tropis yang lembab, fungsi ruang luar dan

pertamanan sangat penting. Karena dapat digunakan untuk beristirahat atau berkreasi di

arsitektur ruang terbuka.

Di zaman kerajaan, raja-raja Bali telah banyak berperanan dalam penataan alam binaan,

antara lain dalam berbagai wujud desainnya taman peninggalan kerajaan yang masih dapat

disaksikan sampai saat ini. Keberadaan taman peninggalan kerajaan-kerajaan yang ada di

tengah alam Bali yang indah, seakan makin memperkokoh pendapat tentang Bali sebagai

Pulau Surga. Tetapi di balik semua itu, sebenarnya Bali pernah mengalami suasana chaos,

sebelum dibangunnya taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali pada masa lalu. Memang

sesuatu yang bersifat alamiah apabila ketentraman dan kedamaian suatu peradaban bisa

berubah, karena mengalami suatu peritiwa kekacauan atau chaos. Seperti halnya yang terjadi

di Bali pada masa lalu atau di Indonesia sejak 1988. Suasana kekerasan seakan tak

henti-hentinya mendera bangsa Indonesia. Apalagi Indonesia yang terdiri dari bermacam suku

bangsa, ras dan agama, sangat berpotensi untuk terjadinya friksi atau gesekan-gesekan yang

bisa menyebabkan suasana chaos. Untuk mengantisipasi hal itu menurut Piliang (2001:

281-282), Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan

lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi berkembangnya

tindak kejahatan berskala global.

Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah

ingin mengungkapkan, bahwa desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali

menyimpan jejak-jejak peristiwa kekacauan (chaos) pada masa lalu. Jejak-jejak tersebut

terangkai dalam jaringan tanda (semiotika) ―teks visual‖ dan memiliki makna tersembunyi di

balik desain taman tersebut. ―Energi penyelamat‖ akhirnya datang dan membuat Bali menjadi

tentram dan damai (order) kembali. Melalui taman yang kemudian dibangun oleh raja Bali,

(9)

penyelamatan sumber mata air (ekologi), dan fungsi air sebagai ―pembersih‖ jasmani dan

rokhani (spiritual dan kerokhanian), agar kehidupan di Bali tetap tentaram dan damai.

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkap ―jejak-jejak‖

peristiwa kekacauan (chaos) sampai terciptanya ketentraman dan kedamaian (order) di Bali,

di balik desain taman peninggalan kerajaan-kerajaannya. Urgensi penelitian ini adalah

memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia menyangkut pendidikan moral, ekologi,

spiritual dan kerokhanian, melalui media desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan budaya bangsa, serta dapat

menumbuhkan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk tetap menjaga ketentraman dan

kedamaian, serta melestarikan peninggalan-peinggalan budaya masa lalu, khususnya di

bidang desain taman.

Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah melalui media desain taman

peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali dapat ditanamkan nilai-nilai pendidikan moral, ekologi,

spiritual, kerokhanian dan kepribadian bangsa. Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini

akan didukung luaran berupa artikel ilmiah untuk jurnal dan bahan ajar untuk mata kuliah

desain taman (exterior). Temuan penelitian ini dapat memberi kontribusi mendasar pada

bidang ilmu desain pertamanan dan pendidikan humaniora melalui karya desain pertamanan.

Temuan ini merupakan gagasan fundamental dan orisinal untuk mendukung pengembangan

Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni, serta Sosial Budaya di Indonesia. Desain taman

sebagai media pendidikan humaniora, merupakan kearifan lokal khas (indigenous) Bali dan

orisinal dari budaya Nusantara.

Penelitian ini akan dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan analisis

berdasarkan pendekatan kajian budaya. Teori yang digunakan untuk mengungkap masalah

dalam penelitian adalah teori dekonstruksi, untuk membongkar ―jejak-jejak‖ peristiwa chaos dan makna-makna yang tersebunyi di balik desain taman yang diteliti. Kemudian teori

rekonstruksi digunakan untuk mengetahui bagaimana dapat diciptakannya ketentraman dan

kedamaian (order) di Bali. Taman yang dibangun oleh raja setelah Bali mengalami peristiwa

chaos, merupakan dokumen teks visual yang dapat memberikan pendidikan humaniora, yang

terus diwariskan dari generasi ke generasi dan juga dapat memberi kontribusi positip bagi

bangsa Indonesia. Agar bisa dilakukan proses dekonstruksi dan rekonstruksi, maka proses

identifikasi permasalahan dilakukan dengan melakukan survey awal ke lokasi-lokasi taman

peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali dan berlandaskan pada hasil penelitian tahun-tahun

(10)

permasalahan yang akan diangkat, sehingga dapat dirumuskan permasalahannya sebagai

berikut:

1. Jejak-jejak peristiwa apa yang bisa diperoleh dari dekonstruksi terhadap desain taman

peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali?

2. Makna dan nilai-nilai apa yang bisa diperoleh dari hasil rekonstruksi objek desain

taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali?

3. Kontribusi apa yang dapat disumbangkan untuk mendukung pengembangan IPTEKS

(11)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini termasuk bidang ilmu seni, dengan penekanan pada ilmu desain

pertamanan dan juga berhubungan dengan ilmu humaniora. Pada bab ini akan diuraikan hasil

penelusuran pustaka, hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan artikel-artikel ilmiah terutama

yang terkait dengan desain pertamanan, serta pendekatan keilmuan yang digunakan dalam

penelitian ini. Melalui kegiatan penelusuran pustaka, diharapkan dapat diperoleh berbagai hal,

seperti informasi, konsep-konsep, ide-ide yang dapat memberi inspirasi dan membuka

wawasan berpikir. Berdasarkan hal itu, nantinya akan dapat ditunjukkan perbedaan penelitian

ini dengan penelitian atau karya-karya tulis ilmiah yang telah ada sebelumnya. Dengan

demikian akan dapat diperlihatkan orisinalitas penelitian ini.

2.1 Dekonstruksi

Dekonstruksi merupakan salah satu teori kritis yang muncul di era posmodern

(post-strukturalis).Teori dekonstruksi dikemukakan oleh Jaques Derrida, dimaksudkan untuk

membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan (Beilharz, 2003: 74). Tetapi Grenz dalam

Sobur (2003: 97) mengungkapkan, bahwa dekonstruksi sangat sulit didefinisikan.

Dekonstruksi justru menolak definisi, karena Derrida menghalangi pendefinisian tersebut.

Meski sulit didefisikan, bagi Grenz, ada sesuatu yang dapat dikatakan tentang dekonstruksi.

Pada prinsipnya, dekonstruksi berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi menggunakan

asumsi filsafat atau filologi tertentu untuk menghancurkan logosentrisme. Logosentrisme

adalah anggapan adanya sesuatu di luar sistem bahasa, yang dapat dijadikan acuan untuk

sebuah karya tulis agar kalimat-kalimatnya dapat dikatakan benar (Sobur, 2003: 97).

Menurutnya, prinsip utama filsafat tidak boleh berupa dasar transenden yang menyatukan

segala bahasa. Filasafat harus berupa sistem simbol-simbol yang tidak berdasarkan sesuatu

apa pun selain bahsa. Tujuan filsafat bukan mempertahankan atau menjelaskan sistem-sistem

ini, tetapi dekonstruksi atau merobohkannya (Sobur, 2003: 97). Lewat suatu pendekatan yang

disebut sebagai ―pembongkaran‖ atau ―dekonstruksi‖, Derrida memulai penelitian mendasar

pada bentuk tradisi metafisis Barat dan dasar-dasarnya dalam hukum identitas.

Sedangkan menurut Norris (2008: 11-13), pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau

metode membaca teks. Pada perjalanan selanjutnya, cara baca dekonstruktif sangat bermuatan

(12)

unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut

menjadi filosofis. Tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi adalah menunjukkan

ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda

tersebunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks.

Pembacaan dekonstruksi hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya teks

menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Lebih lanjut, Norris (2008:13)

menjelaskan bahwa sepintas lalu memang tidak ada tawaran ―konkret dari metode

dekonstruksi. Yang diinginkan dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan

tersembunyi yang membangun teks. Senada dengan hal tersebut, Wirtomartono (1995: 54)

juga melihat tujuan dari dekonstruksi adalah aletheia (Yunani), yaitu kebenaran, keberadaan

dan kondisi yang membuat suatu fenomenon bersinar melalui apa yang dikandungnya.

Kebenaran dalam arti aletheia merupakan suatu permainan dari unsur-unsur yang kontradiktif

dan oposisional.

Demikian pula yang diungkapkan Piliang (2003: 14), bahwa dekonstruksi digunakan

sebagai suatu metode analisis oleh Derrida, dengan membongkar struktur oposisi pasangan,

sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa

makna akhir. Tetapi, dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang

waktu. Dekonstruksi hanya dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi,

keusangan, atau krisis (dalam waktu). Kajian budaya mengambil dari Derrida sejumlah istilah

kunci, yaitu tulisan, intertekstualitas, tak dapat dipegang, dekonstruksi, difference, jejak dan

suplemen, yang kesemuanya menekankan instabilitas makna. Tidak ada kategori yang

memiliki makna universal mendasar kecuali konstruksi sosial bahasa. Ini adalah inti dari

anti-esensialisme yang terdapat dalam kajian budaya (Barker, 2006: 80).

Derrida bermaksud mengadakan suatu ‗dekonstruksi‘, sebagai suatu pembongkaran

terhadap metafisika, bukan penghancuran terhadap metafisika. Derrida seolah-olah

memutarbalikkan pandangan metafisika dengan mengatakan bahwa, kehadiran harus

dimengerti berdasarkan tanda. Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (jejak).

Kehadiran timbul sebagai efek dari jejak. Seandainya jejak dihapus, maka kehadiran akan

dihapus juga. Setiap percobaan untuk menghapus jejak, akan menggoreskan jejak lain lagi.

Jejak selalu mendahului objek. Objek timbul dalam jaringan tanda. Jaringan atau rajutan tanda

oleh Derrida disebut teks atau tenunan (Latin: texere artinya menenun). Menurut Bertens

(13)

Makna yang terdapat pada rajutan tanda sebagai teks tersebut merupakan semiotika.

Adams (1996: 162) menyebut teori semiotika Derrida sebagai ―semiotik dekonstruksi‖.

Makna yang terkandung di dalam teks, disebutkan tidak selalu pasti. Makna kata di dalam

suatu konteks selalu berbeda. Derrida menyebutnya ―deferred‖. Menurut Piliang (2001: 310), bila semiotika konvensional menekankan proses signifikasi, yaitu memfungsikan tanda

sebagai refleksi diri dari kode-kode sosial yang telah mapan, maka di dalam semiotika

post-strukturalis yang ditekankan adalah proses significance. Significance adalah proses penciptaan

kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tak terbatas. Di dalam positions, Derrida

juga menemukan bahwa kita tak bisa lagi terpaku pada makna/ petanda (signified) yang

transenden, yang melampaui bentuk ungkapan/ penanda (signifier). Bedanya bentuk ungkapan

dan makna itu kini cenderung mengapung. Setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru dari

makna berikutnya. Hubungan antara ungkapan dan makna yang pasti (signifier/ signified)

memang penting untuk kasus-kasus tertentu, namun untuk kasus-kasus yang lain, yang

ditemukan hanyalah ungkapan yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula

secara tak terhingga. Inilah yang disebut trace oleh Derrida (Piliang, 2001: 310). Ini pulalah

yang disebut-sebut sebagai semiotics of chaos atau semiotika ketidakberaturan.

Senada dengan Piliang, Sobur (2003: 102) juga mengungkapkan bahwa, semiotika yang

dikembangkan Derrida agak bertentangan dengan semiotika struktural yang dikembangkan

Saussure, yang mengandalkan pada keabadian, kestabilan, dan kemantapan tanda, kode, dan

makna-makna. Derrida sebagai salah seorang pemikir post-strukturalisme, lebih mampu

mengakomodasi dinamika, ketidakpastian, gejolak dan kegelisahan-kegelisahan yang

mencirikan budaya chaos.

2.2 Rekonstruksi Kultural

Rekonstruksi berarti pembangunan kembali (Echols dan Shadily, 1975: 471). Dalam

teori-teori kritis kajian budaya di era posmodern, rekonstruksi menurut Piliang (2003:

279-280), rekonstruksi dapat ditafsirkan sebagai sebuah proses penataan ulang secara

terus-menerus struktur, yang juga didekonstruksi secara terus-terus-menerus. Artinya, setiap proses

dekonstruksi berupa pencairan, peleburan, dan pembongkaran, harus diikuti dengan

rekonstruksi, sehingga diperlukan semacam durasi atau tenggang waktu bagi hidupnya

struktur beserta konsensus atau konvensi-konvensi yang membangunnya. Menurut Piliang,

dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu. Dekonstruksi

(14)

keusangan, atau krisis (dalam waktu). Sebaliknya, rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji

penggunaannya dalam masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi dalam suatu

budaya yang tidak teruji oleh masyarakat, tidak layak untuk hidup.

Indonesia yang menganut sistem ekonomi kapitalisme yang belum dewasa, memiliki

peluang untuk terjadinya konflik dan kekerasan. Hal ini diakibatkan oleh adanya kesenjangan

antara yang kaya dengan yang miskin. Untuk mengantisipasi hal itu, menurut Piliang (2001:

281-282), Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖.

Peranan lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi

berkembangnya tindak kejahatan berskala global.

2.3 Taman Tradisional Bali

Merujuk pendapat Piliang tentang perlunya lembaga-lembaga moral, dan spiritual untuk

meredam terjadinya budaya kekerasan di Indonesia dan berkembangnya tindak kejahatan

berskala global, maka sangat bermanfaat bila pendapat itu dicari padanannya di Indonesia.

Agar kondisi sosial budaya bisa membumi dengan kondisi di Indonesia, maka situasi dan

kondisi chaos yang pernah terjadi di masa Bali kuna dan di era pengaruh Majapahit dapat

digunakan sebagai rujukan. Suasana chaos dan akhirnya menjadi Bali yang tentram dan damai

(order) antara lain berkaitan dengan masalah pertamanan.

Konsep taman sebagai tempat untuk bersenang-senang diduga berasal dari mitologi,

mengingat rancangan dan susunannya nampak berasal dari praktek penanaman dan pengairan

kuno. Menurut Laurie (1985: 9), asal mula pengertian taman berasal dari bahasa Ibrani,

berupa kata gan dan oden. ―Gan‖ berarti melindungi atau mempertahankan, dan secara tidak

langsung menyatakan lahan berpagar. ―Oden‖ atau ―eden‖ berarti kesenangan atau kegembiraan, seperti Taman Gantung Babylonia (1.500 SM), taman tertua dalam peradaban

manusia yang ditemukan di kawasan Mesopotamia (Irak purba). Dalam bahasa Inggris, kata

gan dan eden menjadi garden, yang berarti sebidang lahan berpagar yang digunakan untuk

kesenangan dan kegembiraan (Laurie, 1985: 9). Fungsi pertamanan yang merupakan bagian

dari ―desain ruang luar‖, sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan tempat rekreasi (Ashihara, 1974: 3). Akan tetapi sekarang, fungsi pertamanan lebih

ditekankan pada peningkatan kualitas lingkungan, selain untuk memenuhi kepuasan jasmani

dan rohani manusia, seperti Central Park di New York, 1858 (lihat Gambar 2.1).

Taman tradisional Bali menurut Intan Wianta dalam Salain (1996: 35), disebutkan

(15)

bersenang-senang (rekreasi/lilacita) milik raja atau dewa, seperti yang dijumpai pada lontar Sutasoma,

Arjuna Wiwaha dan Kidung Malat. Dilukiskan pula bahwa di dalam taman akan dijumpai

bunga-bunga yang indah dan harum, pepohonan, kolam/telaga yang kadang-kadang

dilengkapi bangunan di tengah kolam. Pertamanan tradisional Bali sangat erat kaitannya

dengan arsitekturnya. Perencanaan dan perancangan arsitekturnya sekaligus melahirkan taman

(ruang luar), yang terbentuk akibat peletakan massa-massa bangunannya. Dalam areal

perumahan, ruang luar yang terbesar terdapat di tengah-tengah areal rumah, yang disebut

dengan natah (halaman rumah) atau natar (Salain, 1996: 34).

Gambar 2.1 Taman Gantung Babylonia, 3.500 SM (kiri) dan Central Park New Yok, 1858 (kanan)

(Sumber: Google.co.id)

Dalam tesis Raharja (1999: 3), telah dipaparkan bahwa di zaman kerajaan, raja-raja Bali

sangat berperanan dalam penataan alam binaan di Bali, antara lain dalam bentuk karya-kaya

arsitektur pertamanan. Karya arsitektur pertamanan itu diwujudkan dalam bentuk taman untuk

tempat suci, tempat rekreasi kerajaan dan taman permandian. Berbagai bentuk gubahan ruang

dapat kita saksikan pada peninggalan karya-karya arsitektur pertamanannya. Beberapa

peninggalan arsitektur pertamanan kerajaan-kerajaan di Bali masih dapat kita lihat di

beberapa kabupaten (lihat Gambar 2.2). Kabupaten-kabupaten yang ada di Bali ini

sebelumnya merupakan Daerah Pemerintahan Swapraja yang dibentuk oleh pemerintah

kolonial Belanda pada 1 Juli 1938, sebagai kelanjutan dari kerajaan-kerajaan yang telah

dikalahkan oleh Belanda saat itu. Kemudian oleh pemerintah RI, Pemerintahan Swapraja ini

dihapus tahun 1950 menjadi Pemerintahan Daerah Tk. II / Kabupaten (Agung, 1989: 677).

Bentuk-bentuk arsitektur pertamanan tradisional Bali pada umumnya berpola geometris. Hal

(16)

Sedangkan konsep ruang dalam pertamanan, inti sarinya adalah konsep ruang dalam

keseimbangan kosmos (balance cosmologi), yang bersumber dari ajaran Tat Twam Asi

(Gelebet, 1993: 5). Ruang makro (Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang

mikro (Bhuwana Alit).

Gambar 2.2 Taman Permandian Tirta Empul, di Gianyar, abad ke-10 (kiri) dan Taman Ujung, di Karangasem, abad ke-20 (kanan)

(Sumber: Google.co.id dan Dokumen Puri Gede Karangasem)

Menurut Salain (1996: 46), unsur-unsur taman tradisional Bali dalam perwujudannya

secara umum menggambarkan hubungan antara taman sebagai mikrokosmos dengan alam

raya sebagai makrokosmos. Hubungan ini bisa terlihat dari unsur-unsur dalam taman yang

terdiri dari lima unsur alam yang disebut Panca Mahabhuta, yaitu: (1) apah, merupakan

segala unsur cair di dalam taman; (2) teja, merupakan segala unsur cahaya yang ada di dalam

taman; (3) bayu, adalah udara/angin; (4) akasa, adalah gas/eter/angkasa yang merupakan

batas imajinasi dalam ruang atau batas pandangan (cakrawala/horison/langit); (5) pertiwi,

adalah unsur tanah atau segala unsur padat di dalam taman. Khusus mengenai unsur tanaman

yang ada di dalam taman tradisional Bali, menurut Oka (1996: 12) secara umum bersumber

pada ―Lontar Taru Premana‖. Dalam lontar ini diuraikan tanaman yang memiliki fungsi obat

dan religi. Karena itu penempatan tanaman dalam suatu tapak (site area) taman, akan

disesuaikan antara tata nilai ruang dengan fungsi tanaman tersebut.

Unsur bangunan yang ada pada taman tradisional Bali, jenis dan bentuk bangunannya

disesuaikan dengan fungsi suatu taman. Untuk taman yang berfungsi sebagai tempat kegiatan

keagamaan, maka akan dilengkapi dengan jenis dan bentuk bangunan-bangunan suci.

Sedangkan untuk taman yang lebih banyak untuk fungsi rekreasi, bangunannya berupa balai

(17)

menunjang estetika taman tradisional Bali, secara umum berupa menara atau candi air

mancur, patung dewa-dewi, patung-patung dari dunia pewayangan atau patung-patung

binatang yang diambil dari ceritera rakyat Ni Dyah Tantri. Dalam ceritera Rakyat ―Ni Dyah

Tantri‖, manusia diajarkan untuk berbuat kebajikan melalui ceritera kehidupan dunia binatang

(Anandakusuma, 1984: 3).

2.4 Representasi

Baker (2006: 9) mengungkapkan bahwa, unsur utama cultural studies dapat dipahami

sebagai studi kebudayaan, yang merupakan praktik pemaknaan representasi. Representasi dan

makna budaya dapat dilihat pada wujud-wujud kebudayaan, yang dipahami dalam konteks

sosial tertentu. Representasi menurut Piliang (2003: 18), adalah tindakan menghadirkan atau

mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda dan

simbol. Dunia simbol merepresentasikan sesuatu di luar dirinya (realitas atau dunia).

Hubungan antara simbol atau tanda dan dunia realitas bersifat referensial, yaitu tanda merujuk

pada realitas yang direpresentasikan. Keberadaan dunia tanda hanya dimungkinkan bila ada

dunia realitas yang direpresentasikannya (Piliang, 2004: 46-47).

Merujuk pada pendapat Hollier dalam Ikhwanuddin (2005: 86), arsitektur atau desain

pertamanan pada dasarnya merupakan general locus atau framework dari ―representasi‖.

Arsitektur atau desain pertamanan dapat merepresentasikan sebuah agama, kekuatan politik,

peristiwa dan lain-lain. Arsitektur atau desain pertamanan identik dengan ruang representasi.

Dengan demikian, sebuah desain taman selalu merepresentasikan sesuatu yang lain di luar

―dirinya‖, yang membedakannya dengan desain taman lainnya.

Sesuai dengan pendapat Klotz dalam Ikhwanuddin (2005: 87) yang mengungkapkan,

bahwa arsitektur dapat didefinisikan sebagai representasi dari sesuatu yang lain, maka desain

taman juga dapat dikaitkan dengan bahasa, sehingga unsur metafor pada desainnya

merupakan bagian dari representasinya. Mengacu pada pendapat Klotz tersebut, maka desain

taman juga bisa mengacu pada desain postmodern, yang menggunakan bentuk-bentuk

metaforik dan simbolik untuk memperkaya pemaknaan. Menurut Widagdo (1993: 9), desain

posmodern menggunakan analogi bahasa sebagai bagian dari komunikasi desain, untuk

menjelaskan maknanya. Analogi antara bahasa dengan desain, dipelopori tokoh arsitek

posmodern Charles Jenks. Ada bermacam-macam analogi tata bahasa dalam arsitektur yang

dikemukakan oleh Jencks, salah satunya adalah metafora.

Menurut Piliang (2003: 18), representasi adalah tindakan menghadirkan atau

(18)

simbol. Dunia simbol merepresentasikan sesuatu di luar dirinya (realitas atau dunia).

Hubungan antara simbol atau tanda dan dunia realitas bersifat referensial, yaitu tanda merujuk

pada realitas yang direpresentasikan. Keberadaan dunia tanda hanya dimungkinkan bila ada

dunia realitas yang direpresentasikannya (Piliang, 2004: 46-47).

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, represantasi adalah sebuah aktivitas yang

dilakukan oleh manusia untuk menampilkan hubungan sosial perwujudan benda budaya yang

digunakan oleh manusia, sehingga dapat dipahami maknanya oleh orang yang melihat wujud

benda budaya tersebut, baik berupa teks, suara (nada, irama), bentuk visual (gambar),

maupun dalam bentuk wujud bangunan (arsitektur dan desain interior).

2.5 Chaos dan Order

Chaos merupakan suatu keadaan yang kacau. Peluang terjadinya kekacauan, konflik dan

kekerasan di Indonesia sangat besar, karena adanya kesenjangan antara yang kaya dengan

yang miskin. Selain itu, Indonesia yang terdiri dari bermacam suku, agama dan ras, juga

berpotensi untuk terjadinya friksi atau gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan suasana

chaos. Untuk mengantisipasi hal itu menurut Piliang (2001: 281-282), Indonesia harus

memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi berkembangnya tindak kejahatan berskala

global. Merujuk pendapat Piliang, maka sangat bermanfaat bila pendapat itu dicari

padanannya di Indonesia. Agar kondisi sosial budaya bisa membumi dengan kondisi di

Indonesia, maka situasi dan kondisi chaos yang pernah terjadi di masa Bali kuna dan di era

pengaruh Majapahit dapat digunakan sebagai rujukan. Suasana chaos dan akhirnya menjadi

Bali yang tentram dan damai (order) antara lain berkaitan dengan masalah pertamanan.

Dalam penelitian tesis Raharja (1999: 72) telah diungkapkan, bahwa Taman

Permandian Tirta Empul di Tampaksiring peninggalan kerajaan Bali kuna, merupakan salah

satu taman yang menurut cerita rakyat, berkaitan dengan kekacauan yang pernah mencekam

penduduk Bali saat diperintah Raja Mayadanawa, yang melarang penduduk Bali sembahyang

ke Pura. Setelah ketentraman dan kedamaian Bali pulih kembali, Raja Indra Jaya Singha

Warmadewa kemudian membangun Taman Permandian Tirta Empul, untuk menyelamatkan

―mata air‖ yang telah menyelamatkan penduduk Bali. Dokumen yang memperkuat ceritera

rakyat ini adalah berupa prasasti batu di Pura Sakenan desa Manukaya-Tampaksiring

(Ardana, 1971: 66). Taman Permandian Tirta Empul kemudian juga dilengkapi tempat suci

(19)

pembangunan Pura Tirta Empul inilah, semua pancuran permandian Tirta Empul diberi tanda

sesuai dengan fungsinya (Soebandi, 1983: 59-60).

Setelah Majapahit menanamkan pengaruhnya di Bali, penduduk Bali sempat berontak

(Agung, 1991: 12). Setelah diadakan pertemuan dengan para tokoh dan pimpinan masyarakat

Bali Aga, maka diadakanlah perombakan secara besar-besaran, untuk menampung aspirasi

rakyat Bali. Sehinga sejak itulah perwakilan pemerintahan Majapahit di Bali pada masa

pemerintahan Adipati Sri Semara Kepakisan bisa berjalan (Soebandi, 1981: 57). Setelah

suasana chaos berganti dengan suasana tentram dan damai (order), dalam perkembangan

selanjutnya banyak puri-puri kerajaan di Bali membangun Taman Gili, yang merupakan

representasi suasana chaos menjadi order. Konsep filosofi Taman Gili bersumber dari

mitologi Pemutaran Gunung Mandhara di Lautan Susu Ksirarnawa. Gagasan (order) taman

berupa ―bangunan terapung‖ di tengah kolam dalam Raharja (1999: 81) memiliki makna

suatu ―ketentraman di tengah kekacauan‖ (chaos).

Makna yang terdapat pada wujud desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali,

terajut dalam jaringan atau rajutan tanda, yang oleh Derrida disebut teks. Di dalam teks

senantiasa terdapat makna (Bertens, 1996: 331-333). Makna yang terdapat pada rajutan tanda

sebagai teks tersebut merupakan semiotika. Adams (1996: 162) menyebut teori semiotika

Derrida sebagai ―semiotik dekonstruksi‖. Menurut Piliang (2001: 310), di dalam semiotika post-strukturalis yang ditekankan adalah proses significance. Significance adalah proses

penciptaan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tak terbatas. Setiap makna

menjadi bentuk ungkapan baru dari makna berikutnya. Hubungan antara ungkapan dan makna

yang pasti (signifier/ signified) memang penting untuk kasus-kasus tertentu, namun untuk

kasus-kasus yang lain, yang ditemukan hanyalah ungkapan yang berbeda-beda dengan makna

yang berbeda-beda pula secara tak terhingga. Inilah yang disebut trace oleh Derrida (Piliang,

2001: 310). Ini pulalah yang disebut-sebut sebagai semiotics of chaos atau semiotika

ketidakberaturan.

Senada dengan Piliang, Sobur (2003: 102) juga mengungkapkan bahwa, semiotika yang

dikembangkan Derrida agak bertentangan dengan semiotika struktural yang dikembangkan

Saussure, yang mengandalkan pada keabadian, kestabilan, dan kemantapan tanda, kode, dan

makna-makna. Derrida sebagai salah seorang pemikir post-strukturalisme, lebih mampu

mengakomodasi dinamika, ketidakpastian, gejolak dan kegelisahan-kegelisahan yang

mencirikan budaya chaos.

Berdasarkan pemaparan dari studi pendahuluan yang telah dilakukan terhadap taman

(20)

order dalam peradaban Bali kuna, maupun setelah masuknya Majapahit di Bali.

Wacana-wacana ini dapat ditindaklanjuti menjadi penelitian lanjutan, yang bermanfaat untuk

pembelajaran bagi penduduk Bali dan memiliki kontribusi positip bagi bangsa Indonesia,

(21)

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan

Tujuan dari penelitian dengan judul Dekonstruksi dan Rekonstruksi Kultural Karya

Desain Pertamanan Tradisional Bali Representasi Chaos Menuju Order adalah sebagai

berikut:

a. Ingin mengungkap jejak-jejak peristiwa kekacauan (chaos) sampai terciptanya

ketentraman dan kedamaian (order) di Bali, di balik peninggalan karya-karya desain

pertamanan masa kerajaan Bali kuno.

b. Melakukan kegiatan apresiasi terhadap taman-taman peninggalan kerajaan,

khususnya peninggalan taman kerajaan era Bali kuno, sebagai media pendidikan

ekologi, moral, spiritual dan kerokhanian, yang dapat memberi kontribusi positif

bagi bangsa Indonesia untuk meredam budaya kekerasan.

3.2 Manfaat

Urgensi penelitian ini adalah dapat memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia

menyangkut:

a. Pendidikan ekologi (perlindungan sumber mata air dan lingkungan), pendidikan

moral, spiritual dan kerokhanian, melalui media desain taman peninggalan

kerajaan-kerajaan di Bali.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan budaya bangsa, serta

dapat menumbuhkan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk tetap menjaga

ketentraman dan kedamaian dalam keberagaman, serta melestarikan

peninggalan-peinggalan budaya masa lalu, khususnya di bidang desain taman

3.3 Temuan

Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah memberi kontribusi mendasar

pada bidang ilmu desain pertamanan dan pendidikan humaniora melalui karya desain

pertamanan. Temuan ini merupakan gagasan fundamental dan orisinal untuk mendukung

pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (ipteks), yang merupakan pendidikan

(22)

BAB IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini ini adalah penelitian kualitatif, yang diarahkan pada kondisi asli subyek

penelitian. Subyek penelitian ini tidak ditentukan dengan teknik pemilihan sampling

(cuplikan) yang bersifat acak (random sampling), tetapi lebih bersifat purposive sampling.

Hal ini dilakukan, karena teknik ini lebih mampu menangkap realitas yang tidak tunggal.

Teknik sampling ini memberikan kesempatan maksimal pada kemampuan peneliti untuk

menyusun teori yang dibentuk di lapangan (grounded theory), dengan sangat memperhatikan

kondisi lokal dengan kekhususan ideografis atau nilai-nilainya (Sutopo, 1996: 37).

4.1 Subyek Penelitian

Subyek penelitian Tahun I adalah taman peninggalan kerajaan Bali kuna, yaitu Taman

Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi di desa Tampaksiring

Kabupaten Gianyar (lihat Gambar 3.1).

Gambar 3.1:

Taman Permandian Tirta Empul, Taman Permandian Goa Gajah dan Taman Percandian Gunung Kawi

Gambar 3.1

Taman Permanian Tirta Empul (kiri) dan Taman Percandian Gunung Kawi (kanan)

(Sumber: Dokumentasi Mugi-Raharja)

Penentuan subyek penelitian pada tahun ke-1 ini bersifat ―purposive‖ dengan

pertimbangan, bahwa subyek yang dipilih sebagai sampel adalah: (1) Karya-karya arsitektur

pertamanan peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali yang representatif; (2) Dikenal luas oleh

masyarakat di Bali; (3) Masih dipelihara dan difungsikan dalam aktivitas keagamaan oleh

(23)

waktu, serta dana penelitian, maka subyek yang dipilih sebagai sampel adalah Taman

Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi di Tampaksiring, Gianyar.

4.2Metode Pengumpulan Data

4.2.1 Sumber Data

 Data Primer: diperoleh berdasarkan pengamatan langsung, pemotretan, pengukuran,

wawancara dengan beberapa pakar pada bidangnya dan wawancara dengan beberapa

tokoh keluarga keturunan raja-raja yang mengetahui data subyek penelitian.

 Data Sekunder: dilakukan lewat studi pustaka, dilengkapi beberapa pendapat pakar pada

bidangnya yang telah ditulis dalam buku, hasil seminar, dan sebagainya.

4.2.2 Pengumpulan Data

Menurut (Sutrisno, 1983:139), ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk

mengumpulkan data penelitian antara lain:

a. Studi Kepustakaan

Mempelajari berbagai buku, jurnal, monografi dan media lainnya untuk memperoleh

acuan tentang definisi, pengertian, karakter dll. sehingga metode ini berfungsi untuk

memperjelas secara teoritis ilmiah tentang studi kasus yang diambil.

b. Wawancara

Sumber informan yang akan diwawancarai ditentukan secara purposif, yaitu beberapa

nara sumber yang mengetahui data-data subyek penelitian, untuk mendapatkan data secara

langsung tentang informasi kasus baik mengenai konsep, falsafah dan hal-hal lain yang

berhubungan dengan kasus penelitian.

c. Observasi

Pengumpulan data dengan jalan mengadakan pengamatan langsung di subyek

penelitian, untuk dapat melihat gubahan bentuk dan ruang dari masing-masing subyek yang

(24)

d. Dokumentasi

Mengumpulkan data lapangan dengan mencatat berbagai data dari subyek yang diteliti,

serta membuat sket, gambar, foto tentang bentuk dan tata ruang studi kasus. Data ini dapat

menjadi data faktual, sebagai bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

4.3 Metode Analisis Data

Menurut Singarimbun (1989:236), setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisis

data yang dipakai untuk memperoleh jawaban yang akan disimpulkan. Analisis data adalah

proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibacakan. Proses analisis

data dalam penelitian ini pada dasarnya dilakukan secara bersamaan dengan proses

pengumpulan data. Sebab dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data, proses

analisis dan analisis yang dilakukan setelah pengumpulan data saling berkaitan dan

berinteraksi. Karena itu dalam proses analisis ini digunakan ―Model Analisis Interaktif‖

berdasarkan teori Miles dan Huberman (Sutopo, 1996: 85). Berdasarkan model analisis ini,

dalam pengumpulan data selalu dilakukan reduksi dan sajian data. Data yang telah digali dan

dicatat di lapangan, dibuat rumusannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan yang

penting (yang telah dipahami), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan sajian data. Data

disajikan secara sistematis setelah dilakukan penyuntingan.

Gambar 4.2 Model Analisa Interaktif Pengumpulan

Data

Komponen I Reduksi Data

Komponen III

Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi

Komponen II

(25)

Agar maknanya menjadi lebih jelas dipahami, dilengkapi dengan sajian gambar secara

grafis atau teknis dan foto yang mendukung sajian data. Pada waktu pengumpulan data sudah

berakhir, mulai dilakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verivikasinya berdaraskan

semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila kesimpulan dirasa kurang

mantap akibat kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka bisa

dilakukan kembali pengumpulan data yang sudah terfokus, untuk lebih mendukung

kesimpulan dan pendalamannya, sehingga penelitian kualitatif ini prosesnya terlihat seperti

sebuah siklus.

4.4 Pengecekan Keabsahan Data

Pada penelitian kualitatif, salah satu langkah penting yang harus dilakukan adalah

mengecek keabsahan data. Untuk memperoleh validasi atau keabsahan data menurut

pendapat Lincoln dan Guba (1985: 367), dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai

berikut: (1) memperpanjang masa observasi, (2) pengamatan yang terus menerus, (3)

triangulasi, (4) membicarakan dengan sejawat, (5) menganalisis kasus negatif, (6)

menggunakan bahan referensi, dan (7) mengadakan member chek. Dari tujuh metode tersebut

digunakan caratriangulasi, menggunakan bahan referensi dan member chek.

4.4.1 Triangulasi

Untuk memeproleh data yang akurat dan teruji kebenarannya, dapat ditempuh teknik

triangulasi untuk mengecek data kembali (recheck data), yang telah diperoleh untuk

mengetahui kebenaran data tersebut. Moleong (1993) menyebutkan data-data yang telah

dikumpulkan dichek keabsahannya dengan memanfaatkan berbagai sumber di luar data itu

sebagai bahan pembanding terhadap data tersebut.

4.4.2 Menggunakan Bahan Referensi

Maksudnya bahan referensi disini adalah pengecekan terhadap persiapan data yang

dikumpulkan selama penelitian. Bahan referensi yang dipakai: tape recorder, dokumentasi,

catatan lapangan yang tersimpan, digunakan untuk mengecek apakah menyangsikan atau

tidak. Apabila ada kesesuaian antara data/informasi dan kesimpulan-kesimpulan hasil

(26)

4.4.3 Member Chek

Dalam penelitian ini, berusaha dilibatkan informan kunci, yang ahli pada bidangnya

untuk mereview data, mengkonfirmasi antara interpretasi peneliti dengan pandangan subyek

penelitian maupun informan. Pengecekan anggota ini selain dapat memberikan kesempatan

kepada peneliti untuk mengadakan perbaikan terhadap suatu kemungkinan kesalahan juga

memberikan kesempatan kepada informan untuk memberikan data-data tambahan.

4.5 Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kajian budaya melalui teori

dekonstruksi dan rekonstruksi. Teori dekonstruksi Jaques Derrida merupakan salah satu teori

kritis yang muncul di era posmodern (post-strukturalis).Teori dekonstruksi yang dikemukakan

oleh Jaques Derrida, dimaksudkan untuk membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan

(Beilharz, 2003: 74). Kajian budaya memanfaatkan dekonstruksi untuk mengungkap

instabilitas makna. Tidak ada kategori yang memiliki makna universal mendasar kecuali

konstruksi sosial bahasa. Ini adalah inti dari anti-esensialisme yang terdapat dalam kajian

budaya (Barker, 2006: 80). Dekonstruksi digunakan sebagai suatu metode analisis oleh

Derrida, dengan membongkar struktur oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga

menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Tetapi,

dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu. Dekonstruksi hanya

dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi, keusangan, atau krisis

(Piliang, 2003: 14).

Selanjutnya, rekonstruksi dalam penelitian ini diperlukan untuk memberi keseimbangan

pada proses dekonstruksi. Sebab, setiap proses dekonstruksi berupa pencairan, peleburan, dan

pembongkaran, harus diikuti dengan rekonstruksi, sehingga diperlukan semacam durasi atau

tenggang waktu bagi hidupnya struktur beserta konsensus atau konvensi-konvensi yang

membangunnya. Rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji penggunaannya dalam

masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi dalam suatu budaya yang tidak teruji

oleh masyarakat, tidak layak untuk hidup. Rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji

penggunaannya dalam suatu budaya di masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi

(27)

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Karya desain pertamanan yang menjadi objek penelitian pada tahun pertama penelitian

ini adalah karya desain pertamanan era kerajaan Bali kuno. Yang disebut era kerajaan Bali

kuno adalah kerajaan-kerajaan yang berdiri setelah Bali melewati masa prasejarah, sampai

sebelum masukya pengaruh Majapahit di Bali. Sri Kesari Warmadewa (913 Masehi), tercatat

sebagai raja pertama di era Bali kuno dan nama keratonnya diebut Singha Mandawa.

Kemudian Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten (1324-1343) yang berkeraton di Bedulu ,

merupakan raja terakhir di era Bali kuno. Taman peninggalan kerajaan-kerajaan Bali kuna

yang masih dapat dilihat sampai saat ini adalah berupa taman permandian, seperti Taman

Permandian Tirta Empul dan Taman Permandian Gua Gajah.

5.1.1 Taman Permandian Tirta Empul

Taman Permandian Tirta Empul kini berada di dalam lingkungan Pura Tirta Empul,

yang lokasinya berdekatan dengan Istana Presiden di desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.

Berdasarkan prasasti batu yang dibaca oleh peneliti Belanda, Prof. Dr. Stutterheim, di Pura

Sakenan Desa Manukaya, diketahui bahwa permandian Tirta Empul dibangun oleh Raja Sri

Candrabhaya Singha Warmadewa pada 962 Masehi, di bulan Kartika (Oktober) pada saat

bulan terang tanggal tigabelas (dua hari sebelum purnama), hari pasaran wijayapura atau

kajeng (Goris, 1954: 75—76 dan Soebandi, 1983: 58). Akan tetapi, hasil pembacaan ulang

yang dilakukan oleh Dr. L. C. Damais (Perancis) berbeda dengan Stutterheim. Berdasarkan

pembacaan Damais, disebutkan bahwa raja yang membangun permandian Tirta Empul

disebutkan E(e)dra Jaya Singha Warmadewa pada 882 Saka atau 960 Masehi (Sashtri, 1963:

42).

Apabila dihitung berdasarkan kalender Bali yang berulang setiap 23 tahun (Sudharta

dkk., 1984: 23—46), maka hasil pembacaan ulang Damais, dua hari sebelum purnama atau

tanggal tigabelas pada 960 akan sama dengan 29 Oktober 2001. Oleh karena. hari purnama

kapat jatuh pada 31 Oktober 2001, maka dua hari sebelum purnama adalah 29 Oktober

(Sukarsa, 2001: 10). Akan tetapi hari pasaran pada 29 Oktober 2001 bukan kajeng, tetapi

beteng, sehingga pembacaan Damais keliru. Berdasarkan pembacaan prasasti oleh

(28)

2003 (Bidja dan Agus Putra Wijaya, 2003: 10). Oleh karena hari purnama kapat jatuh pada 10

Oktober 2003, maka dua hari sebelum purnama adalah 8 Oktober. Hari pasaran pada 8

Oktober 2003 adalah kajeng, sehingga pembacaan Stutterheim dapat dikatakan lebih tepat.

Berdasarkan hasil pembacaan Stutterheim terhadap prasasti batu di Pura Sakenan desa

Manukaya, dan perulangan kalender Bali setiap 23 tahun, maka dapat diyakini permandian

Tirta Empul dibangun pada 8 Oktober 962. Walaupun huruf-huruf di dalam prasasti batu di

Manukaya sebagian telah rusak, secara umum dapat diketahui bahwa pembangunan atau

perluasan (masahamahin) permandian suci di Air Mpul, disebabkan oleh batunya telah rusak

akibat banyaknya penduduk yang datang melakukan kegiatan sepanjang tahun (lihat Gambar

5.1). Hal tersebut yang menyebabkan Sang Ratu Sri Candrabhayasingha Warmmadewa,

berinisiatip untuk masamahin permandian suci Air Mpul (Goris, 1954: 76 dan Brata, 1992:

11-12).

Gambar 5.1

Prasasti Batu di Pura Sakenan Desa Manukaya

(Sumber: Dokumentasi Mugi-Raharja)

Pada masa pemerintahan pasangan Raja Sri Dhanadhiraja Lancana dan Sri Dhanadewi

Ketu (Masula–Masuli) yang memerintah pada 1178–1255, dibangunlah Pura Tirta Empul.

Pembangunan Pura Tirta Empul ini dimaksudkan sebagai tempat suci (padharman) Bhatara

Indra, dirancang oleh I Bandesa Wayah. Semua pancuran di Taman Permandian Tirta Empul

kemudian diberi tanda sesuai dengan fungsinya (Soebandi, 1983: 59-60). Mata air Tirta

Empul berada di halaman dalam (Jeroan) Pura Tirta Empul ditampung dalam sebuah kolam

(29)

Tirta Surya Bulan Bintang. Taman Permandian Tirta Empul berada di sisi selatan Pura, terdiri

dua buah kolam yang dipisahkan oleh jalan menuju ke dalam Pura. Kolam permandian

dengan 13 pancuran yang ada di barat jalan berfungsi untuk pembersihan rohani dan untuk air

suci upacara kematian. Kolam dengan pancuran di timur jalan berfungsi untuk air suci

upacara keagamaan (lihat Gambar 5.2). Di halaman luar (Jabaan) Pura Tirta Empul juga

dibangun kolam renang, serta permandian umum untuk pria dan wanita, berupa pancuran di

bagian tenggara halaman.

Gambar 5.2

Denah PuraTirta Empul, Kolam Suci dan Taman Permandian

(Sumber: Museum Purbakala Bali dan Dokumentasi Mugi-Raharja)

5.1.2 Taman Percandian Gunung Kawi

Taman percandian Gunung Kawi, terletak di sebelah timur desa Tampaksiring, di tepi

sungai Pakerisan. Kompleks percandian ini ditemukan Dinas Purbakala Belanda pada 1920

(Kempers, 1960: 83). Untuk menuju lokasi taman purbakala ini, di persimpangan jalan desa

Tampaksiring menuju ke timur dan menuruni jalan berundak yang diapit tebing batu padas.

Jalan berundak ini berakhir di gerbang batu padas terbuka, yang merupakan pintu masuk

menuju kompleks taman percandian Gunung Kawi. Kompleks percandian Gunung Kawi ini

berada di tengah bentang alam yang indah, di tepi sungai Pakerisan (lihat Gambar 5.3).

Tebing-tebing batu padas di kompleks taman percandian Gunung Kawi ini, merupakan

material dari letusan Gunung Batur purba (informasi petugas Museum Gunung Berapi di Bali

TV, 2010 dan siaran Ekspedisi Cincin Api di Kompas TV, 2011). Kompleks taman

percandian Gunung Kawi ditemukan pada 1920 sebagai kompleks candi dharma atau

padharman, yang dibangun untuk memuliakan Raja Dharma Udayana beserta keluarganya

(30)

Gambar 5.3

Taman Percandian Gunung Kawi, 1920—1949

(Sumber: Dokumen Belanda/Google.co,id)

Di atas kompleks taman percandian Gunung Kawi bagian timur memiliki mata air.

Airnya kemudian dialirkan ke bawah melalui saluran air di atas candi induk. Saluran ini dapat

mengalirkan air ke saluran air di depan candi induk, yang dilengkapi pancuran dan kolam

persegi. Dari kolam pancuran ini, air kemudian disalurkan lagi ke bawah, ke Sungai

Pakerisan.

Di kompleks percandian ini juga terdapat wihara kuno atau pertapaan. Pertapaan kuno

ini pernah direnovasi pada 1940, karena salah satu ruangnya runtuh. Para ahli kepurbakalaan

berpendapat bahwa kompleks pertapaan (katyangan) ini bernama Amarawati (amarawati

asrama), sesuai dengan isi prasasti yang ditemukan di Pura Pasek desa Tengkulak, Gianyar.

Dalam prasasti tersebut, antara lain diuraikan bahwa Raja Udayana telah medirikan sebuah

Dharma Amarawati di tepi sungai Pakerisan. Menurut Shastri (1963: 48 dan 72), nama

kompleks pertapaan ini meniru nama tempat suci penganut Buddha di India selatan, di dekat

Nagapatana. Di dekat Amarawati terdapat sungai Krisna, sehingga sungai itu disamakan

dengan nama sungai Pakerisan, di Bali. Kompleks pertapaan ini dilengkapi regol atau pintu

batu yang terbuka. Kompleks pertapaan ini terdiri atas tiga kelompok bangun ruang yang

dibangun pada kaki bukit padas. Halaman pertapaan ini berbentuk bujur sangkar, dikelilingi

(31)

bangunan batu seperti rumah. Ruang utama pertapaan terdapat di bagian barat kompleks

pertapaan, dan dilengkapi altar batu padas sebagai tempat sesaji.

Kompleks taman percandian Gunung Kawi, terdiri dari dua kelompok candi batu padas

saling berhadapan, namun dipisahkan oleh Sungai Pakerisan. Candi induk terdiri atas lima

buah muka candi yang dipahat pada tebing padas seperti relief, menghadap ke barat. Di depan

candi terdapat halaman persegi dari patu padas. Pada candi paling besar di ujung utara,

terdapat tulisan dengan huruf Bali kuno kwadrat Kediri yang dipahat di atas bentuk relief

gapura atau chikara candi (Shastri, 1963: 72). Tulisan tersebut berbunyi haji lumah ing jalu

yang artinya raja yang di-dharma-kan di Jalu. Yang dimaksud dengan jalu adalah susuh ayam

jantan atau sama dengan keris, sehingga yang dimaksud dengan ing jalu dapat diketahui

sebagai Sungai Pakerisan (Kempers, 1960: 76). Pada bagian depan dari dua buah candi di

sebelah selatannya, terdapat tulisan rwanakira yang artinya dua anak atau putra beliau. Yang

dimaksud dengan tulisan ini, diperkirakan adalah Marakata dan Anak Wungsu. Dua buah

candi yang ada di sebelah selatannya diperkirakan sebagai candi untuk dua permaisuri raja

(lihat Gambar 5.4).

Gambar 5.4

Kelompok Candi untuk Istri-istri Raja,

Candi untuk Mahamentri dan Denah Percandian Gunung Kawi

(Sumber: Dokumen Belanda/Google.co,id dan Dok. Mugi-Raharja)

Selanjutnya, kelompok candi yang menghadap ke timur di sebelah barat Sungai

Pakerisan, terdiri atas empat buah candi yang bentuknya sama, diperkirakan merupakan candi

padharman bagi selir raja. Setiap candi dilingkupi ceruk setinggi 7 meter dan berdiri pada

batur yang sama. Di depan keempat candi tersebut terdapat pelataran atau halaman berbentuk

empat persegi. Selain candi-candi ini, lebih kurang 400 meter di sebelah tenggara candi induk

(32)

Gunung Kawi, terdapat sebuah candi yang berisi tulisan kryan (rakyan), yang artinya

mahamenteri atau mahapatih. Candi di tenggara candi induk Gunung Kawi ditemukan pada

1949 oleh Krijsman, Kepala Dinas Purbakala saat itu (Kempers, 1960: 83). Di tenggara candi

ke-10 ini, juga ditemukan ceruk-ceruk pertapaan seperti yang ada di kompleks katyangan

Amarawati (lihat Gambar 5.4).

5.2 Pembahasan

Dekonstruksi dan rekonstruksi kultural karya desain pertamanan tradisional Bali,

khususnya taman peninggalan kerajaan pada masa Bali kuno, dimaksudkan untuk

mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik wujud visual desain taman dan

wacana-wacana yang berkaitan dengan keberadaan taman tersebut. Pengkajian karya desain taman

peninggalan kerajaan era Bali kuno menggunakan teori dekonstruksi Jaques Derrida, sesuai

dengan pendapat Beilharz (2003: 74) dapat digunakan untuk membongkar bagian-bagian dari

keseluruhan. Kemudian mengacu kepada pendapat Norris (2008: 11–13), pengkajian

menggunakan teori dekonstruksi adalah upaya untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan

tersembunyi di balik sebuah teks. Teks dalam hal ini, dapat berupa wujud visual taman dan

wacana-wacana yang terkait dengan desain taman tersebut. Berdasarkan pendapat Piliang

(2004: 21), dekonstruksi merupakan sebuah konsep tentang ―pengingkaran‖ terhadap ―kebenaran akhir‖. Makna akhir adalah makna absolut yang membentuk berbagai bentuk

wacana, khususnya wacana teks. Setiap proses dekonstruksi menurut Piliang (2003: 279 –

280), sebenarnya harus diikuti dengan rekonstruksi bagi hidupnya struktur dan

konvensi-konvensi yang membangunnya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, upaya mendekonstruksi dan rekonstruksi kultural

terhadap karya desain Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi

di Tampaksiring, dimaksudkan untuk membongkar hal-hal yang tersebunyi di balik

keberadaan kedua taman tersebut. Oleh karena, di balik wujud kedua taman tersebut ada

representasi chaos menuju order pada masa Bali kuno, berdasarkan wacana-wacana dan teks

yang ada. Oleh karena itu, dalam penelitian ini berusaha mengungkap tanda-tanda sebagai

jejak yang mendahului objek, yang muncul dalam jaringan tanda (teks). Di dalam teks

tersebut sesuai dengan pendapat Bertens (1996: 331–333), selalu ada makna. Akan tetapi,

makna yang terdapat dalam dekonstruksi menurut Al-Fayyadl (2005: 162), dapat tertunda

akibat terjadinya pergerakan yang mendislokasi pemahaman, menyimpangkan teks dari

(33)

5.2.1 Representasi Chaos Menuju Order

Mengacu pada pendapat Barker (2006: 9), representasi merupakan sebuah aktivitas

untuk menampilkan hubungan sosial perwujudan benda budaya yang digunakan oleh

manusia, sehingga maknanya dapat dipahami melalui teks-teks budaya, yang antara lain

berupa karya desain pertamanan. Oleh karena itu, representasi dapat dikaji untuk mengetahui

cara dihasilkannya makna pada beragam konteks, seperti representasi karya-karya desain

petamanan di Bali. Lebih lanjut, Barker (2006: 215) mengungkapkan bahwa dalam

representasi senantiasa ada masalah kekuasaan yang mengandung unsur pelibatan dan unsur

penyingkiran. Pelibatan adalah berperannya sikap dan emosi dalam situasi tertentu serta

dimasukkannya hal-hal yang bermanfaat bagi pemegang kekuasaan. Unsur penyingkiran

merupakan sikap pengabaian terhadap hal-hal yang kurang bermanfaat bagi pemegang

kekuasaan.

Berkaitan dengan karya desain, Hollier dalam Ikhwanuddin (2005: 86) mengungkapkan

bahwa karya desain arsitektural dapat merepresentasikan agama, kekuatan politik, suatu

peristiwa, dan lain-lain. Oleh karena itu, representasi desain arsitektural tidak selalu

ditentukan oleh perancang atau desainernya saja, tetapi juga ditentukan oleh pengaruh

kekuasaan. Faktor kekuasaan atau penguasa sudah sejak zaman purba, turut menentukan

representasi karya desain arsitektural.

Chaos dan order merupakan keadaan yang saling bertolak belakang. Chaos adalah suatu

keadaan yang kacau, sebaliknya keadaan yang tentram dan damai disebut dengan order.

Menurut Piliang (2001: 281-282), peluang terjadinya kekacauan, konflik dan kekerasan di

Indonesia sangat besar, karena adanya kesenjangan kesejahteraan. Selain itu, Indonesia yang

terdiri dari bermacam suku, agama dan ras, berpotensi untuk terjadinya friksi atau

gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan suasana chaos. Untuk mengantisipasi hal itu menurut

Piliang, Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖.

Berdasarkan pendapat Piliang tersebut, pendekatan dapat dilakukan melalui pendidikan

humaniora yang terkait dengan pendidikan moral dan spiritual.

Di Bali, pendidikan humaniora yang sekaligus terkait dengan pendidikan moral dan

spiritual, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan apresiasi atau pengkajian terhadap

karya desain pertamanan yang ada hubungannya dengan suasana chaos di Bali pada masa

lalu. Oleh karena, berdasarkan wacana dan teks yang ada, di balik keberadaan dua buah taman

peninggalan kerajaan Bali kuno yang ditelitu, menyiratkan pernah terjadinya peristiwa chaos

(34)

pernah terjadinya chaos terkait dengan kisah Raja Mayadawa. Kedua, Taman Percandian

Gunung Kawi di Tampaksiring, menyiratkan makna penghargaan terhadap raja yang telah

berhasil menghindarkan Bali dari suasana chaos menjadi order, pada masa Bali kuno. Raja

yang sangat dihormati rakyat Bali ini bergelar Sri Dharmodayana Warmadewa, yang lebih

dikenal dengan nama Raja Udayana, masa pemerintahannya 989 – 1011.

5.2.1.1Kisah Mayadawa dan Hari Raya Galungan

Mengacu kepada pendapat Beilharz (2003: 74), teori dekostruksi dapat digunakan untuk

mengkaji Taman Permandian Tirta Empul, untuk membongkar bagian-bagian dari suatu

keseluruhan. Pembongkaran tersebut merupakan upaya untuk mengungkap

kekuatan-kekuatan atau makna yang tersembunyi pada teks visual karya desain taman dan

wacana-wacana di masyarakat yang terkait dengan keberadaan taman permandian tersebut.

Pendekonstruksian terhadap desain Taman Permandian Tirta Empul, adalah untuk

menemukan nilai-nilai pada taman, yang dapat bersinar berdasarkan makna yang

dikandungnya. Oleh karena, makna selalu ada pada rajutan tanda, yang disebut teks. Dalam

hal ini, Taman Permandian Tirta Empul, merupakan objek yang ada dalam jaringan tanda,

yang keberadaannya terkait dengan jejak-jejak peristiwa yang mendahuluinya. Melalui

dekonstruksi terhadap karya desain Taman Permandian Tirta Empul, dapat ditemukan

jejak-jejak peristiwa yang terkait dengan keberadaan taman tersebut.

Jejak-jejak tersebut dapat ditemukan dalam ceritera rakyat Bali tentang Tirta Empul,

yang senantiasa dikaitkan dengan ceritera peperangan Raja Mayadawa dengan Bhatara Indra,

sebagai peperangan antara kejahatan (adharma) dengan kebenaran (dharma). Mata air suci

yang disebut Tirta Empul, disebutkan sebagai ciptaan Bhatara Indra, untuk menghidupkan

pasukannya yang tewas akibat minum air beracun ciptaan Mayadanawa. Peperangan akhirnya

dimenangkan oleh Bhatara Indra dan pasukannya yang didukung rakyat Bali. Kemenangan ini

kemudian dirayakan sebagai Hari Raya Galungan. Ceritera yang bersifat mitologi ini, tertuang

dalam naskah tua Usana Bali, Tatwa Mayadanawa, Mayadanawantaka (karya sastra Dang

Hyang Nirartha). Ceritera rakyat ini, antara lain telah ditulis dalam bentuk buku berjudul

―Perabu Mayadanawa‖ oleh Djasa (1958), dan ada juga dalam bentuk lontar tentang ―Babad Mayadawa‖, yang ditranskripsi oleh Sukiya (1983)dan menjadi koleksi Museum Bali No.

5381/VI.b.

Di dalam lontar Usana Bali, antara lain diuraikan bahwa keberadaan Tirta Empul

Gambar

Gambar 2.1 Taman Gantung Babylonia, 3.500 SM (kiri) dan Central Park New Yok, 1858 (kanan)
Gambar 2.2 Taman Permandian Tirta Empul, di Gianyar, abad ke-10 (kiri)  dan Taman Ujung, di Karangasem, abad ke-20 (kanan) (Sumber: Google.co.id dan Dokumen Puri Gede Karangasem)
Gambar 3.1:
Gambar 4.2 Model Analisa Interaktif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Temuan penelitian menunjukkan: (1) Nilai karakter kreatif anak usia dini dapat dikembangkan secara terintegrasi dengan bermain komputer untuk berbagai lingkup

diregenerasi atau tidak dengan agen pendesorpsi yang sesuai agar tidak menimbulkan kerusakan pada adsorben yang telah terlepas dari ion logam serapannya sehingga

Tahap ini dimulai dengan melihat pola penyakit kanker paru-paru di RSUP Dr.Sardjito yang diperoleh dari instalasi catatan medik. Laporan tersaji dalam bentuk catatan

Kerjasama subyek dengan siswa-siswa yang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor dari subyek ( intern) maupun faktor dari luar ( ekstern ), (2) siswa autis dalam

Penelitian ini menggunakan data jumlah kasus DBD di Provinsi Jawa Timur tahun 2014 dengan unit penelitian adalah tiap kabupaten/kota untuk mendapatkan wilayah yang

Flame Assisted Spray Pyrolysis adalah salah satu metode yang tidak memerlukan biaya mahal, efektif digunakan untuk produksi dalam jumlah yang banyak, produk

[r]

Minyak bekas juga mempunyai mempunyai kandungan trigliserida yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan asam lemak dan gliserol melalui reaksi