LAPORAN AKHIR
PENELITIAN FUNDAMENTAL
DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI KULTURAL
KARYA DESAIN PERTAMANAN TRADISIONAL BALI
REPRESENTASI CHAOS MENUJU ORDER
Penanggungjawab Program: Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn.
NIDN 0005076315
Anggota:
I Made Pande Artadi, S.Sn., M.Sn. NIDN 0018117504
I.A. Dyah Maharani, ST.M.Ds. NIDN 0010057806
Dibiayai oleh DIPA Institut Seni Indonesia Denpasar sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian
Nomor: 29/ IT5.3/PG 2013 tanggal 6 Mei 2013
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
RINGKASAN
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ras dan agama/ kepercayaan, serta
adanya kesenjangan ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin, menyebabkan peluang
untuk terjadinya konflik dan kekerasan sangat terbuka lebar. Untuk mengantisipasi hal itu,
Indonesia memerlukan pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Dalam hal ini,
peranan pendidikan moral dan spiritual (humaniora) menjadi sangat penting untuk
menanggulangi berkembangnya kekerasan di Indonesia. Budaya tradisi Indonesia, khususnya
di Bali, sebenarnya memiliki cara pendidikan humaniora menyangkut moral dan spiritual
melalui media kesenian, seperti lewat seni pertunjukan wayang atau lewat media lukisan
seperti yang ada di Bale Kertha Gosa, Smarapura (Klungkung). Akan tetapi, pendidikan
humaniora melalui kegiatan apresiasi atau pemahaman nilai-nilai moral dan spiritual melalui
karya tesain taman, belum dimanfaatkan secara maksimal.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan kajian budaya, melalui teori
dekonstruksi. Kajian budaya memanfaatkan dekonstruksi untuk mengungkap instabilitas
makna. Teori dekonstruksi digunakan untuk membongkar ―jejak-jejak‖ peristiwa chaos dan
makna-makna yang tersebunyi di balik wujud desain taman. Teori rekonstruksi digunakan
untuk mengetahui bagaimana dapat diciptakannya ketentraman dan kedamaian (order) di
Bali, sampai diwujudkannya sebuah karya desain taman pada masa kerajaan Bali kuno. Objek
penelitiannya adalah Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi
yang ada di desa Tampaksiring, Gianyar.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, karya-karya desain pertamanan peninggalan
kerajaan Bali kuno, di balik perwujudannya menyimpan wacana peristiwa kekacauan (chaos).
Peristiwa chaos muncul akibat pertentangan antar sekte keagamaan dan adanya mitos tentang
Mayadanawa. Pada masa pemerintahan Raja Udayana, pertentangan antar sekte keagamaan
tersebut menyebabkan dilakukannya penataan kehidupan sosial, budaya dan religi, yang
antara lain menyangkut sinkritisme agama Hindu-Buddha. Hal inilah menyebabkan penduduk
Bali menjadi bersifat sosial religius, sehingga tercipta ketentraman dan kedamaian (order).
Penelitian ini dapat memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia, bahwa
pendidikan humaniora dapat dilakukan melalui media desain taman peninggalan purbakala,
yang memiliki nilai-nilai luhur. Dalam jangka panjang, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperkuat ketahanan budaya bangsa, agar tumbuh kesadaran untuk meninggalkan budaya
PRAKATA
Berkat rakhmat Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kami berhasil menyelesaikan
penelitian Fundamental, dengan judul Dekonstruksi dan Rekonstruksi Kultural Karya Desain
Pertamanan Tradisional Bali Representasi Chaos Menuju Order. Judul ini diangkat dari rasa
keprihatinan terhadap seringnya terjadi kekerasan di masyarakat beberapa tahun terakhir ini,
yang antara lain ada bersinggungan dengan masalah suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA). Untuk mengantisipasi hal itu, Indonesia memerlukan pendekatan holistik terhadap
―budaya kekerasan‖, yang antara lain bisa melalui pendidikan moral dan spiritual
(humaniora).
Budaya tradisi Indonesia, khususnya di Bali, sebenarnya telah memiliki cara pendidikan
humaniora menyangkut moral dan spiritual melalui media kesenian, seperti lewat seni
pertunjukan wayang. Dalam penelitian ini dibahas karya desain pertamanan peninggalan
kerajaan Bali kuno, yang dapat menunbuhkan apresiasi atau pemahaman nilai-nilai moral dan
spiritual.
Laporan penelitian ini berhasil kami susun atas bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Direktur DP2M Dikti yang telah memberikan bantuan dana penelitian Fundamental.
2. Rektor ISI Denpasar yang telah mendorong peningkatan kinerja kegiatan penelitian.
3. Ketua LP2M ISI Denpasar, atas bantuan administrasi penelitian Fundamental.
4. Bapak Prof. I Wayan Ardika dan Prof. Wedakusuma, serta semua pihak yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini.
Kami menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki kekurangan-kekurangan. Oleh
karena itu melalui kesempatan ini, izinkan kami memohon maaf atas segala kekurangannya.
Meskipun demikian, kami berharap, semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat
menjadi landasan pijakan bagi penelitian berikutnya.
Sekian terimakasih.
Denpasar, 27 Nopember 2013
Penanggungjawab Program
DAFTAR ISI
halaman
Halaman Pengesahan ……….. i
RINGKASAN ………. ii
PRAKATA ……….. iii
DAFTAR ISI ………... iv
DAFTAR GAMBAR ……….. vi
BAB I. PENDAHULUAN ………..……… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……….………... 4
2.1 Dekonstruksi ……… 4
2.2 Rekonstruksi Kultural ………... 6
2.3 Taman Tradisional Bali ………. 7
2.4 Representasi ……….. 10
2.5 Chaos dan Order ………... 11
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT ………... 14
3.1 Tujuan ………... 14
3.2 Manfaat ………. 14
3.3 Temuan ……….. 14
BAB IV. METODE PENELITIAN ………...…..……….. 15
4.1 Subyek Penelitian ………. 15
4.2 Metode Pengumpulan Data ……….. 16
4.3 Metode Analisis Data ……… 17
4.4 Pengecekan Keabsahan Data ……… 18
4.4.1 Triangulasi ………. 18
4.4.2 Menggunakan Bahan Referensi ………. 18
4.4.3 Member Chek ………. 19
4.5 Metode Pendekatan ………... 19
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 20
5.1 Hasil Penelitian ………...……….. 20
5.1.2 Taman Percandian Gung Kawi ……….. 22
5.2 Pembahasan ………... 25
5.2.1 Representasi Chaos Menuju Order ……… 26
5.2.1.1 Kisah Mayadawa dan Hari Raya Galungan ……… 27
5.2.1.2 Pertentangan Sekte dan Sinkritisme Agama ………... 32
5.2.2 Rekonstruksi Kultural ……… 34
5.2.3 Makna Kultural ……….. 35
5.2.3.1 Makna Politik ……….. 36
5.2.3.2 Makna Sosial Religius ……… 38
5.2.3.3 Permainan Tanda dan Penundaan Makna ………... 39
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA …...……… 41
BAB VII. PENUTUP ……….. 42
6.1 Simpulan ………... 42
6.2 Saran ……….. 42
DAFTAR PUSTAKA ………. 43
LAMPIRAN Lampiran 1 Luaran Penelitian: Artikel Ilmiah Untuk Jurnal ………... 45
Lampiran 2 Luaran Tambahan: Bahan Ajar ………... 54
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 2.1 Taman Gantung Babylonia, 3.500 SM dan Central Park New York, 1858 8
Gambar 2.2 Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Ujung ………... 9
Gambar 3.1 Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi … 15
Gambar 4.2 Model Analisa Interaktif ……..………... 17
Gambar 5.1 Prasasti Batu di Pura Sakenan Desa Manukaya dan Taman Permandian
Tirta Empul. 1928 ……… 21
Gambar 5.2 Denah Pura Tirta Empul, Kolam Suci dan Taman Permandian ………….. 22
Gambar 5.3 Taman Percandian Gunung Kawi, 1920—1949 ………. 23
Gambar 5.4 Kelompok Candi untuk Istri-istri Raja, Candi untuk Mahamentri dan
Denah Percandian Gunung Kawi ……… 24
Gambar 5.5 Patung Patih Kala Wong dan Tanah Pegat ………. 31
Gambar 5.6 Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu ……….. 33 Gambar 5.7 Arca Perwujudan Udayana-Gunaprya Dharmapatni dan Candi Gunung
Kawi ………. 34
Gambar 5.8 Rekonstruksi Relief Candi Buddha di Goa Gajah, Candi Buddha di Pura
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam sejarah peradaban manusia, desain taman sebagai suatu lingkungan binaan,
mulai dari skala yang paling kecil (rumah dengan halamannya) sampai skala yang paling
besar (negara dengan kota-kota dan taman rayanya), merupakan hasil dari suatu proses
peradaban. Lingkungan binaan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, sangat ditentukan
oleh kondisi alam, proses peradaban dan perkembangan kebudayaan manusia. Bagi manusia
tradisional Nusantara yang hidup di alam tropis yang lembab, fungsi ruang luar dan
pertamanan sangat penting. Karena dapat digunakan untuk beristirahat atau berkreasi di
arsitektur ruang terbuka.
Di zaman kerajaan, raja-raja Bali telah banyak berperanan dalam penataan alam binaan,
antara lain dalam berbagai wujud desainnya taman peninggalan kerajaan yang masih dapat
disaksikan sampai saat ini. Keberadaan taman peninggalan kerajaan-kerajaan yang ada di
tengah alam Bali yang indah, seakan makin memperkokoh pendapat tentang Bali sebagai
Pulau Surga. Tetapi di balik semua itu, sebenarnya Bali pernah mengalami suasana chaos,
sebelum dibangunnya taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali pada masa lalu. Memang
sesuatu yang bersifat alamiah apabila ketentraman dan kedamaian suatu peradaban bisa
berubah, karena mengalami suatu peritiwa kekacauan atau chaos. Seperti halnya yang terjadi
di Bali pada masa lalu atau di Indonesia sejak 1988. Suasana kekerasan seakan tak
henti-hentinya mendera bangsa Indonesia. Apalagi Indonesia yang terdiri dari bermacam suku
bangsa, ras dan agama, sangat berpotensi untuk terjadinya friksi atau gesekan-gesekan yang
bisa menyebabkan suasana chaos. Untuk mengantisipasi hal itu menurut Piliang (2001:
281-282), Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan
lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi berkembangnya
tindak kejahatan berskala global.
Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah
ingin mengungkapkan, bahwa desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali
menyimpan jejak-jejak peristiwa kekacauan (chaos) pada masa lalu. Jejak-jejak tersebut
terangkai dalam jaringan tanda (semiotika) ―teks visual‖ dan memiliki makna tersembunyi di
balik desain taman tersebut. ―Energi penyelamat‖ akhirnya datang dan membuat Bali menjadi
tentram dan damai (order) kembali. Melalui taman yang kemudian dibangun oleh raja Bali,
penyelamatan sumber mata air (ekologi), dan fungsi air sebagai ―pembersih‖ jasmani dan
rokhani (spiritual dan kerokhanian), agar kehidupan di Bali tetap tentaram dan damai.
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkap ―jejak-jejak‖
peristiwa kekacauan (chaos) sampai terciptanya ketentraman dan kedamaian (order) di Bali,
di balik desain taman peninggalan kerajaan-kerajaannya. Urgensi penelitian ini adalah
memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia menyangkut pendidikan moral, ekologi,
spiritual dan kerokhanian, melalui media desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan budaya bangsa, serta dapat
menumbuhkan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk tetap menjaga ketentraman dan
kedamaian, serta melestarikan peninggalan-peinggalan budaya masa lalu, khususnya di
bidang desain taman.
Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah melalui media desain taman
peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali dapat ditanamkan nilai-nilai pendidikan moral, ekologi,
spiritual, kerokhanian dan kepribadian bangsa. Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini
akan didukung luaran berupa artikel ilmiah untuk jurnal dan bahan ajar untuk mata kuliah
desain taman (exterior). Temuan penelitian ini dapat memberi kontribusi mendasar pada
bidang ilmu desain pertamanan dan pendidikan humaniora melalui karya desain pertamanan.
Temuan ini merupakan gagasan fundamental dan orisinal untuk mendukung pengembangan
Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni, serta Sosial Budaya di Indonesia. Desain taman
sebagai media pendidikan humaniora, merupakan kearifan lokal khas (indigenous) Bali dan
orisinal dari budaya Nusantara.
Penelitian ini akan dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan analisis
berdasarkan pendekatan kajian budaya. Teori yang digunakan untuk mengungkap masalah
dalam penelitian adalah teori dekonstruksi, untuk membongkar ―jejak-jejak‖ peristiwa chaos dan makna-makna yang tersebunyi di balik desain taman yang diteliti. Kemudian teori
rekonstruksi digunakan untuk mengetahui bagaimana dapat diciptakannya ketentraman dan
kedamaian (order) di Bali. Taman yang dibangun oleh raja setelah Bali mengalami peristiwa
chaos, merupakan dokumen teks visual yang dapat memberikan pendidikan humaniora, yang
terus diwariskan dari generasi ke generasi dan juga dapat memberi kontribusi positip bagi
bangsa Indonesia. Agar bisa dilakukan proses dekonstruksi dan rekonstruksi, maka proses
identifikasi permasalahan dilakukan dengan melakukan survey awal ke lokasi-lokasi taman
peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali dan berlandaskan pada hasil penelitian tahun-tahun
permasalahan yang akan diangkat, sehingga dapat dirumuskan permasalahannya sebagai
berikut:
1. Jejak-jejak peristiwa apa yang bisa diperoleh dari dekonstruksi terhadap desain taman
peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali?
2. Makna dan nilai-nilai apa yang bisa diperoleh dari hasil rekonstruksi objek desain
taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali?
3. Kontribusi apa yang dapat disumbangkan untuk mendukung pengembangan IPTEKS
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini termasuk bidang ilmu seni, dengan penekanan pada ilmu desain
pertamanan dan juga berhubungan dengan ilmu humaniora. Pada bab ini akan diuraikan hasil
penelusuran pustaka, hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan artikel-artikel ilmiah terutama
yang terkait dengan desain pertamanan, serta pendekatan keilmuan yang digunakan dalam
penelitian ini. Melalui kegiatan penelusuran pustaka, diharapkan dapat diperoleh berbagai hal,
seperti informasi, konsep-konsep, ide-ide yang dapat memberi inspirasi dan membuka
wawasan berpikir. Berdasarkan hal itu, nantinya akan dapat ditunjukkan perbedaan penelitian
ini dengan penelitian atau karya-karya tulis ilmiah yang telah ada sebelumnya. Dengan
demikian akan dapat diperlihatkan orisinalitas penelitian ini.
2.1 Dekonstruksi
Dekonstruksi merupakan salah satu teori kritis yang muncul di era posmodern
(post-strukturalis).Teori dekonstruksi dikemukakan oleh Jaques Derrida, dimaksudkan untuk
membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan (Beilharz, 2003: 74). Tetapi Grenz dalam
Sobur (2003: 97) mengungkapkan, bahwa dekonstruksi sangat sulit didefinisikan.
Dekonstruksi justru menolak definisi, karena Derrida menghalangi pendefinisian tersebut.
Meski sulit didefisikan, bagi Grenz, ada sesuatu yang dapat dikatakan tentang dekonstruksi.
Pada prinsipnya, dekonstruksi berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi menggunakan
asumsi filsafat atau filologi tertentu untuk menghancurkan logosentrisme. Logosentrisme
adalah anggapan adanya sesuatu di luar sistem bahasa, yang dapat dijadikan acuan untuk
sebuah karya tulis agar kalimat-kalimatnya dapat dikatakan benar (Sobur, 2003: 97).
Menurutnya, prinsip utama filsafat tidak boleh berupa dasar transenden yang menyatukan
segala bahasa. Filasafat harus berupa sistem simbol-simbol yang tidak berdasarkan sesuatu
apa pun selain bahsa. Tujuan filsafat bukan mempertahankan atau menjelaskan sistem-sistem
ini, tetapi dekonstruksi atau merobohkannya (Sobur, 2003: 97). Lewat suatu pendekatan yang
disebut sebagai ―pembongkaran‖ atau ―dekonstruksi‖, Derrida memulai penelitian mendasar
pada bentuk tradisi metafisis Barat dan dasar-dasarnya dalam hukum identitas.
Sedangkan menurut Norris (2008: 11-13), pada awalnya dekonstruksi adalah cara atau
metode membaca teks. Pada perjalanan selanjutnya, cara baca dekonstruktif sangat bermuatan
unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut
menjadi filosofis. Tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda
tersebunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks.
Pembacaan dekonstruksi hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya teks
menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Lebih lanjut, Norris (2008:13)
menjelaskan bahwa sepintas lalu memang tidak ada tawaran ―konkret dari metode
dekonstruksi. Yang diinginkan dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan
tersembunyi yang membangun teks. Senada dengan hal tersebut, Wirtomartono (1995: 54)
juga melihat tujuan dari dekonstruksi adalah aletheia (Yunani), yaitu kebenaran, keberadaan
dan kondisi yang membuat suatu fenomenon bersinar melalui apa yang dikandungnya.
Kebenaran dalam arti aletheia merupakan suatu permainan dari unsur-unsur yang kontradiktif
dan oposisional.
Demikian pula yang diungkapkan Piliang (2003: 14), bahwa dekonstruksi digunakan
sebagai suatu metode analisis oleh Derrida, dengan membongkar struktur oposisi pasangan,
sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa
makna akhir. Tetapi, dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang
waktu. Dekonstruksi hanya dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi,
keusangan, atau krisis (dalam waktu). Kajian budaya mengambil dari Derrida sejumlah istilah
kunci, yaitu tulisan, intertekstualitas, tak dapat dipegang, dekonstruksi, difference, jejak dan
suplemen, yang kesemuanya menekankan instabilitas makna. Tidak ada kategori yang
memiliki makna universal mendasar kecuali konstruksi sosial bahasa. Ini adalah inti dari
anti-esensialisme yang terdapat dalam kajian budaya (Barker, 2006: 80).
Derrida bermaksud mengadakan suatu ‗dekonstruksi‘, sebagai suatu pembongkaran
terhadap metafisika, bukan penghancuran terhadap metafisika. Derrida seolah-olah
memutarbalikkan pandangan metafisika dengan mengatakan bahwa, kehadiran harus
dimengerti berdasarkan tanda. Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (jejak).
Kehadiran timbul sebagai efek dari jejak. Seandainya jejak dihapus, maka kehadiran akan
dihapus juga. Setiap percobaan untuk menghapus jejak, akan menggoreskan jejak lain lagi.
Jejak selalu mendahului objek. Objek timbul dalam jaringan tanda. Jaringan atau rajutan tanda
oleh Derrida disebut teks atau tenunan (Latin: texere artinya menenun). Menurut Bertens
Makna yang terdapat pada rajutan tanda sebagai teks tersebut merupakan semiotika.
Adams (1996: 162) menyebut teori semiotika Derrida sebagai ―semiotik dekonstruksi‖.
Makna yang terkandung di dalam teks, disebutkan tidak selalu pasti. Makna kata di dalam
suatu konteks selalu berbeda. Derrida menyebutnya ―deferred‖. Menurut Piliang (2001: 310), bila semiotika konvensional menekankan proses signifikasi, yaitu memfungsikan tanda
sebagai refleksi diri dari kode-kode sosial yang telah mapan, maka di dalam semiotika
post-strukturalis yang ditekankan adalah proses significance. Significance adalah proses penciptaan
kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tak terbatas. Di dalam positions, Derrida
juga menemukan bahwa kita tak bisa lagi terpaku pada makna/ petanda (signified) yang
transenden, yang melampaui bentuk ungkapan/ penanda (signifier). Bedanya bentuk ungkapan
dan makna itu kini cenderung mengapung. Setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru dari
makna berikutnya. Hubungan antara ungkapan dan makna yang pasti (signifier/ signified)
memang penting untuk kasus-kasus tertentu, namun untuk kasus-kasus yang lain, yang
ditemukan hanyalah ungkapan yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula
secara tak terhingga. Inilah yang disebut trace oleh Derrida (Piliang, 2001: 310). Ini pulalah
yang disebut-sebut sebagai semiotics of chaos atau semiotika ketidakberaturan.
Senada dengan Piliang, Sobur (2003: 102) juga mengungkapkan bahwa, semiotika yang
dikembangkan Derrida agak bertentangan dengan semiotika struktural yang dikembangkan
Saussure, yang mengandalkan pada keabadian, kestabilan, dan kemantapan tanda, kode, dan
makna-makna. Derrida sebagai salah seorang pemikir post-strukturalisme, lebih mampu
mengakomodasi dinamika, ketidakpastian, gejolak dan kegelisahan-kegelisahan yang
mencirikan budaya chaos.
2.2 Rekonstruksi Kultural
Rekonstruksi berarti pembangunan kembali (Echols dan Shadily, 1975: 471). Dalam
teori-teori kritis kajian budaya di era posmodern, rekonstruksi menurut Piliang (2003:
279-280), rekonstruksi dapat ditafsirkan sebagai sebuah proses penataan ulang secara
terus-menerus struktur, yang juga didekonstruksi secara terus-terus-menerus. Artinya, setiap proses
dekonstruksi berupa pencairan, peleburan, dan pembongkaran, harus diikuti dengan
rekonstruksi, sehingga diperlukan semacam durasi atau tenggang waktu bagi hidupnya
struktur beserta konsensus atau konvensi-konvensi yang membangunnya. Menurut Piliang,
dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu. Dekonstruksi
keusangan, atau krisis (dalam waktu). Sebaliknya, rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji
penggunaannya dalam masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi dalam suatu
budaya yang tidak teruji oleh masyarakat, tidak layak untuk hidup.
Indonesia yang menganut sistem ekonomi kapitalisme yang belum dewasa, memiliki
peluang untuk terjadinya konflik dan kekerasan. Hal ini diakibatkan oleh adanya kesenjangan
antara yang kaya dengan yang miskin. Untuk mengantisipasi hal itu, menurut Piliang (2001:
281-282), Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖.
Peranan lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi
berkembangnya tindak kejahatan berskala global.
2.3 Taman Tradisional Bali
Merujuk pendapat Piliang tentang perlunya lembaga-lembaga moral, dan spiritual untuk
meredam terjadinya budaya kekerasan di Indonesia dan berkembangnya tindak kejahatan
berskala global, maka sangat bermanfaat bila pendapat itu dicari padanannya di Indonesia.
Agar kondisi sosial budaya bisa membumi dengan kondisi di Indonesia, maka situasi dan
kondisi chaos yang pernah terjadi di masa Bali kuna dan di era pengaruh Majapahit dapat
digunakan sebagai rujukan. Suasana chaos dan akhirnya menjadi Bali yang tentram dan damai
(order) antara lain berkaitan dengan masalah pertamanan.
Konsep taman sebagai tempat untuk bersenang-senang diduga berasal dari mitologi,
mengingat rancangan dan susunannya nampak berasal dari praktek penanaman dan pengairan
kuno. Menurut Laurie (1985: 9), asal mula pengertian taman berasal dari bahasa Ibrani,
berupa kata gan dan oden. ―Gan‖ berarti melindungi atau mempertahankan, dan secara tidak
langsung menyatakan lahan berpagar. ―Oden‖ atau ―eden‖ berarti kesenangan atau kegembiraan, seperti Taman Gantung Babylonia (1.500 SM), taman tertua dalam peradaban
manusia yang ditemukan di kawasan Mesopotamia (Irak purba). Dalam bahasa Inggris, kata
gan dan eden menjadi garden, yang berarti sebidang lahan berpagar yang digunakan untuk
kesenangan dan kegembiraan (Laurie, 1985: 9). Fungsi pertamanan yang merupakan bagian
dari ―desain ruang luar‖, sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan tempat rekreasi (Ashihara, 1974: 3). Akan tetapi sekarang, fungsi pertamanan lebih
ditekankan pada peningkatan kualitas lingkungan, selain untuk memenuhi kepuasan jasmani
dan rohani manusia, seperti Central Park di New York, 1858 (lihat Gambar 2.1).
Taman tradisional Bali menurut Intan Wianta dalam Salain (1996: 35), disebutkan
bersenang-senang (rekreasi/lilacita) milik raja atau dewa, seperti yang dijumpai pada lontar Sutasoma,
Arjuna Wiwaha dan Kidung Malat. Dilukiskan pula bahwa di dalam taman akan dijumpai
bunga-bunga yang indah dan harum, pepohonan, kolam/telaga yang kadang-kadang
dilengkapi bangunan di tengah kolam. Pertamanan tradisional Bali sangat erat kaitannya
dengan arsitekturnya. Perencanaan dan perancangan arsitekturnya sekaligus melahirkan taman
(ruang luar), yang terbentuk akibat peletakan massa-massa bangunannya. Dalam areal
perumahan, ruang luar yang terbesar terdapat di tengah-tengah areal rumah, yang disebut
dengan natah (halaman rumah) atau natar (Salain, 1996: 34).
Gambar 2.1 Taman Gantung Babylonia, 3.500 SM (kiri) dan Central Park New Yok, 1858 (kanan)
(Sumber: Google.co.id)
Dalam tesis Raharja (1999: 3), telah dipaparkan bahwa di zaman kerajaan, raja-raja Bali
sangat berperanan dalam penataan alam binaan di Bali, antara lain dalam bentuk karya-kaya
arsitektur pertamanan. Karya arsitektur pertamanan itu diwujudkan dalam bentuk taman untuk
tempat suci, tempat rekreasi kerajaan dan taman permandian. Berbagai bentuk gubahan ruang
dapat kita saksikan pada peninggalan karya-karya arsitektur pertamanannya. Beberapa
peninggalan arsitektur pertamanan kerajaan-kerajaan di Bali masih dapat kita lihat di
beberapa kabupaten (lihat Gambar 2.2). Kabupaten-kabupaten yang ada di Bali ini
sebelumnya merupakan Daerah Pemerintahan Swapraja yang dibentuk oleh pemerintah
kolonial Belanda pada 1 Juli 1938, sebagai kelanjutan dari kerajaan-kerajaan yang telah
dikalahkan oleh Belanda saat itu. Kemudian oleh pemerintah RI, Pemerintahan Swapraja ini
dihapus tahun 1950 menjadi Pemerintahan Daerah Tk. II / Kabupaten (Agung, 1989: 677).
Bentuk-bentuk arsitektur pertamanan tradisional Bali pada umumnya berpola geometris. Hal
Sedangkan konsep ruang dalam pertamanan, inti sarinya adalah konsep ruang dalam
keseimbangan kosmos (balance cosmologi), yang bersumber dari ajaran Tat Twam Asi
(Gelebet, 1993: 5). Ruang makro (Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang
mikro (Bhuwana Alit).
Gambar 2.2 Taman Permandian Tirta Empul, di Gianyar, abad ke-10 (kiri) dan Taman Ujung, di Karangasem, abad ke-20 (kanan)
(Sumber: Google.co.id dan Dokumen Puri Gede Karangasem)
Menurut Salain (1996: 46), unsur-unsur taman tradisional Bali dalam perwujudannya
secara umum menggambarkan hubungan antara taman sebagai mikrokosmos dengan alam
raya sebagai makrokosmos. Hubungan ini bisa terlihat dari unsur-unsur dalam taman yang
terdiri dari lima unsur alam yang disebut Panca Mahabhuta, yaitu: (1) apah, merupakan
segala unsur cair di dalam taman; (2) teja, merupakan segala unsur cahaya yang ada di dalam
taman; (3) bayu, adalah udara/angin; (4) akasa, adalah gas/eter/angkasa yang merupakan
batas imajinasi dalam ruang atau batas pandangan (cakrawala/horison/langit); (5) pertiwi,
adalah unsur tanah atau segala unsur padat di dalam taman. Khusus mengenai unsur tanaman
yang ada di dalam taman tradisional Bali, menurut Oka (1996: 12) secara umum bersumber
pada ―Lontar Taru Premana‖. Dalam lontar ini diuraikan tanaman yang memiliki fungsi obat
dan religi. Karena itu penempatan tanaman dalam suatu tapak (site area) taman, akan
disesuaikan antara tata nilai ruang dengan fungsi tanaman tersebut.
Unsur bangunan yang ada pada taman tradisional Bali, jenis dan bentuk bangunannya
disesuaikan dengan fungsi suatu taman. Untuk taman yang berfungsi sebagai tempat kegiatan
keagamaan, maka akan dilengkapi dengan jenis dan bentuk bangunan-bangunan suci.
Sedangkan untuk taman yang lebih banyak untuk fungsi rekreasi, bangunannya berupa balai
menunjang estetika taman tradisional Bali, secara umum berupa menara atau candi air
mancur, patung dewa-dewi, patung-patung dari dunia pewayangan atau patung-patung
binatang yang diambil dari ceritera rakyat Ni Dyah Tantri. Dalam ceritera Rakyat ―Ni Dyah
Tantri‖, manusia diajarkan untuk berbuat kebajikan melalui ceritera kehidupan dunia binatang
(Anandakusuma, 1984: 3).
2.4 Representasi
Baker (2006: 9) mengungkapkan bahwa, unsur utama cultural studies dapat dipahami
sebagai studi kebudayaan, yang merupakan praktik pemaknaan representasi. Representasi dan
makna budaya dapat dilihat pada wujud-wujud kebudayaan, yang dipahami dalam konteks
sosial tertentu. Representasi menurut Piliang (2003: 18), adalah tindakan menghadirkan atau
mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda dan
simbol. Dunia simbol merepresentasikan sesuatu di luar dirinya (realitas atau dunia).
Hubungan antara simbol atau tanda dan dunia realitas bersifat referensial, yaitu tanda merujuk
pada realitas yang direpresentasikan. Keberadaan dunia tanda hanya dimungkinkan bila ada
dunia realitas yang direpresentasikannya (Piliang, 2004: 46-47).
Merujuk pada pendapat Hollier dalam Ikhwanuddin (2005: 86), arsitektur atau desain
pertamanan pada dasarnya merupakan general locus atau framework dari ―representasi‖.
Arsitektur atau desain pertamanan dapat merepresentasikan sebuah agama, kekuatan politik,
peristiwa dan lain-lain. Arsitektur atau desain pertamanan identik dengan ruang representasi.
Dengan demikian, sebuah desain taman selalu merepresentasikan sesuatu yang lain di luar
―dirinya‖, yang membedakannya dengan desain taman lainnya.
Sesuai dengan pendapat Klotz dalam Ikhwanuddin (2005: 87) yang mengungkapkan,
bahwa arsitektur dapat didefinisikan sebagai representasi dari sesuatu yang lain, maka desain
taman juga dapat dikaitkan dengan bahasa, sehingga unsur metafor pada desainnya
merupakan bagian dari representasinya. Mengacu pada pendapat Klotz tersebut, maka desain
taman juga bisa mengacu pada desain postmodern, yang menggunakan bentuk-bentuk
metaforik dan simbolik untuk memperkaya pemaknaan. Menurut Widagdo (1993: 9), desain
posmodern menggunakan analogi bahasa sebagai bagian dari komunikasi desain, untuk
menjelaskan maknanya. Analogi antara bahasa dengan desain, dipelopori tokoh arsitek
posmodern Charles Jenks. Ada bermacam-macam analogi tata bahasa dalam arsitektur yang
dikemukakan oleh Jencks, salah satunya adalah metafora.
Menurut Piliang (2003: 18), representasi adalah tindakan menghadirkan atau
simbol. Dunia simbol merepresentasikan sesuatu di luar dirinya (realitas atau dunia).
Hubungan antara simbol atau tanda dan dunia realitas bersifat referensial, yaitu tanda merujuk
pada realitas yang direpresentasikan. Keberadaan dunia tanda hanya dimungkinkan bila ada
dunia realitas yang direpresentasikannya (Piliang, 2004: 46-47).
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, represantasi adalah sebuah aktivitas yang
dilakukan oleh manusia untuk menampilkan hubungan sosial perwujudan benda budaya yang
digunakan oleh manusia, sehingga dapat dipahami maknanya oleh orang yang melihat wujud
benda budaya tersebut, baik berupa teks, suara (nada, irama), bentuk visual (gambar),
maupun dalam bentuk wujud bangunan (arsitektur dan desain interior).
2.5 Chaos dan Order
Chaos merupakan suatu keadaan yang kacau. Peluang terjadinya kekacauan, konflik dan
kekerasan di Indonesia sangat besar, karena adanya kesenjangan antara yang kaya dengan
yang miskin. Selain itu, Indonesia yang terdiri dari bermacam suku, agama dan ras, juga
berpotensi untuk terjadinya friksi atau gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan suasana
chaos. Untuk mengantisipasi hal itu menurut Piliang (2001: 281-282), Indonesia harus
memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi berkembangnya tindak kejahatan berskala
global. Merujuk pendapat Piliang, maka sangat bermanfaat bila pendapat itu dicari
padanannya di Indonesia. Agar kondisi sosial budaya bisa membumi dengan kondisi di
Indonesia, maka situasi dan kondisi chaos yang pernah terjadi di masa Bali kuna dan di era
pengaruh Majapahit dapat digunakan sebagai rujukan. Suasana chaos dan akhirnya menjadi
Bali yang tentram dan damai (order) antara lain berkaitan dengan masalah pertamanan.
Dalam penelitian tesis Raharja (1999: 72) telah diungkapkan, bahwa Taman
Permandian Tirta Empul di Tampaksiring peninggalan kerajaan Bali kuna, merupakan salah
satu taman yang menurut cerita rakyat, berkaitan dengan kekacauan yang pernah mencekam
penduduk Bali saat diperintah Raja Mayadanawa, yang melarang penduduk Bali sembahyang
ke Pura. Setelah ketentraman dan kedamaian Bali pulih kembali, Raja Indra Jaya Singha
Warmadewa kemudian membangun Taman Permandian Tirta Empul, untuk menyelamatkan
―mata air‖ yang telah menyelamatkan penduduk Bali. Dokumen yang memperkuat ceritera
rakyat ini adalah berupa prasasti batu di Pura Sakenan desa Manukaya-Tampaksiring
(Ardana, 1971: 66). Taman Permandian Tirta Empul kemudian juga dilengkapi tempat suci
pembangunan Pura Tirta Empul inilah, semua pancuran permandian Tirta Empul diberi tanda
sesuai dengan fungsinya (Soebandi, 1983: 59-60).
Setelah Majapahit menanamkan pengaruhnya di Bali, penduduk Bali sempat berontak
(Agung, 1991: 12). Setelah diadakan pertemuan dengan para tokoh dan pimpinan masyarakat
Bali Aga, maka diadakanlah perombakan secara besar-besaran, untuk menampung aspirasi
rakyat Bali. Sehinga sejak itulah perwakilan pemerintahan Majapahit di Bali pada masa
pemerintahan Adipati Sri Semara Kepakisan bisa berjalan (Soebandi, 1981: 57). Setelah
suasana chaos berganti dengan suasana tentram dan damai (order), dalam perkembangan
selanjutnya banyak puri-puri kerajaan di Bali membangun Taman Gili, yang merupakan
representasi suasana chaos menjadi order. Konsep filosofi Taman Gili bersumber dari
mitologi Pemutaran Gunung Mandhara di Lautan Susu Ksirarnawa. Gagasan (order) taman
berupa ―bangunan terapung‖ di tengah kolam dalam Raharja (1999: 81) memiliki makna
suatu ―ketentraman di tengah kekacauan‖ (chaos).
Makna yang terdapat pada wujud desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali,
terajut dalam jaringan atau rajutan tanda, yang oleh Derrida disebut teks. Di dalam teks
senantiasa terdapat makna (Bertens, 1996: 331-333). Makna yang terdapat pada rajutan tanda
sebagai teks tersebut merupakan semiotika. Adams (1996: 162) menyebut teori semiotika
Derrida sebagai ―semiotik dekonstruksi‖. Menurut Piliang (2001: 310), di dalam semiotika post-strukturalis yang ditekankan adalah proses significance. Significance adalah proses
penciptaan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tak terbatas. Setiap makna
menjadi bentuk ungkapan baru dari makna berikutnya. Hubungan antara ungkapan dan makna
yang pasti (signifier/ signified) memang penting untuk kasus-kasus tertentu, namun untuk
kasus-kasus yang lain, yang ditemukan hanyalah ungkapan yang berbeda-beda dengan makna
yang berbeda-beda pula secara tak terhingga. Inilah yang disebut trace oleh Derrida (Piliang,
2001: 310). Ini pulalah yang disebut-sebut sebagai semiotics of chaos atau semiotika
ketidakberaturan.
Senada dengan Piliang, Sobur (2003: 102) juga mengungkapkan bahwa, semiotika yang
dikembangkan Derrida agak bertentangan dengan semiotika struktural yang dikembangkan
Saussure, yang mengandalkan pada keabadian, kestabilan, dan kemantapan tanda, kode, dan
makna-makna. Derrida sebagai salah seorang pemikir post-strukturalisme, lebih mampu
mengakomodasi dinamika, ketidakpastian, gejolak dan kegelisahan-kegelisahan yang
mencirikan budaya chaos.
Berdasarkan pemaparan dari studi pendahuluan yang telah dilakukan terhadap taman
order dalam peradaban Bali kuna, maupun setelah masuknya Majapahit di Bali.
Wacana-wacana ini dapat ditindaklanjuti menjadi penelitian lanjutan, yang bermanfaat untuk
pembelajaran bagi penduduk Bali dan memiliki kontribusi positip bagi bangsa Indonesia,
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan
Tujuan dari penelitian dengan judul Dekonstruksi dan Rekonstruksi Kultural Karya
Desain Pertamanan Tradisional Bali Representasi Chaos Menuju Order adalah sebagai
berikut:
a. Ingin mengungkap jejak-jejak peristiwa kekacauan (chaos) sampai terciptanya
ketentraman dan kedamaian (order) di Bali, di balik peninggalan karya-karya desain
pertamanan masa kerajaan Bali kuno.
b. Melakukan kegiatan apresiasi terhadap taman-taman peninggalan kerajaan,
khususnya peninggalan taman kerajaan era Bali kuno, sebagai media pendidikan
ekologi, moral, spiritual dan kerokhanian, yang dapat memberi kontribusi positif
bagi bangsa Indonesia untuk meredam budaya kekerasan.
3.2 Manfaat
Urgensi penelitian ini adalah dapat memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia
menyangkut:
a. Pendidikan ekologi (perlindungan sumber mata air dan lingkungan), pendidikan
moral, spiritual dan kerokhanian, melalui media desain taman peninggalan
kerajaan-kerajaan di Bali.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan budaya bangsa, serta
dapat menumbuhkan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk tetap menjaga
ketentraman dan kedamaian dalam keberagaman, serta melestarikan
peninggalan-peinggalan budaya masa lalu, khususnya di bidang desain taman
3.3 Temuan
Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah memberi kontribusi mendasar
pada bidang ilmu desain pertamanan dan pendidikan humaniora melalui karya desain
pertamanan. Temuan ini merupakan gagasan fundamental dan orisinal untuk mendukung
pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (ipteks), yang merupakan pendidikan
BAB IV. METODE PENELITIAN
Penelitian ini ini adalah penelitian kualitatif, yang diarahkan pada kondisi asli subyek
penelitian. Subyek penelitian ini tidak ditentukan dengan teknik pemilihan sampling
(cuplikan) yang bersifat acak (random sampling), tetapi lebih bersifat purposive sampling.
Hal ini dilakukan, karena teknik ini lebih mampu menangkap realitas yang tidak tunggal.
Teknik sampling ini memberikan kesempatan maksimal pada kemampuan peneliti untuk
menyusun teori yang dibentuk di lapangan (grounded theory), dengan sangat memperhatikan
kondisi lokal dengan kekhususan ideografis atau nilai-nilainya (Sutopo, 1996: 37).
4.1 Subyek Penelitian
Subyek penelitian Tahun I adalah taman peninggalan kerajaan Bali kuna, yaitu Taman
Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi di desa Tampaksiring
Kabupaten Gianyar (lihat Gambar 3.1).
Gambar 3.1:
Taman Permandian Tirta Empul, Taman Permandian Goa Gajah dan Taman Percandian Gunung Kawi
Gambar 3.1
Taman Permanian Tirta Empul (kiri) dan Taman Percandian Gunung Kawi (kanan)
(Sumber: Dokumentasi Mugi-Raharja)
Penentuan subyek penelitian pada tahun ke-1 ini bersifat ―purposive‖ dengan
pertimbangan, bahwa subyek yang dipilih sebagai sampel adalah: (1) Karya-karya arsitektur
pertamanan peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali yang representatif; (2) Dikenal luas oleh
masyarakat di Bali; (3) Masih dipelihara dan difungsikan dalam aktivitas keagamaan oleh
waktu, serta dana penelitian, maka subyek yang dipilih sebagai sampel adalah Taman
Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi di Tampaksiring, Gianyar.
4.2Metode Pengumpulan Data
4.2.1 Sumber Data
Data Primer: diperoleh berdasarkan pengamatan langsung, pemotretan, pengukuran,
wawancara dengan beberapa pakar pada bidangnya dan wawancara dengan beberapa
tokoh keluarga keturunan raja-raja yang mengetahui data subyek penelitian.
Data Sekunder: dilakukan lewat studi pustaka, dilengkapi beberapa pendapat pakar pada
bidangnya yang telah ditulis dalam buku, hasil seminar, dan sebagainya.
4.2.2 Pengumpulan Data
Menurut (Sutrisno, 1983:139), ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian antara lain:
a. Studi Kepustakaan
Mempelajari berbagai buku, jurnal, monografi dan media lainnya untuk memperoleh
acuan tentang definisi, pengertian, karakter dll. sehingga metode ini berfungsi untuk
memperjelas secara teoritis ilmiah tentang studi kasus yang diambil.
b. Wawancara
Sumber informan yang akan diwawancarai ditentukan secara purposif, yaitu beberapa
nara sumber yang mengetahui data-data subyek penelitian, untuk mendapatkan data secara
langsung tentang informasi kasus baik mengenai konsep, falsafah dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan kasus penelitian.
c. Observasi
Pengumpulan data dengan jalan mengadakan pengamatan langsung di subyek
penelitian, untuk dapat melihat gubahan bentuk dan ruang dari masing-masing subyek yang
d. Dokumentasi
Mengumpulkan data lapangan dengan mencatat berbagai data dari subyek yang diteliti,
serta membuat sket, gambar, foto tentang bentuk dan tata ruang studi kasus. Data ini dapat
menjadi data faktual, sebagai bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
4.3 Metode Analisis Data
Menurut Singarimbun (1989:236), setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisis
data yang dipakai untuk memperoleh jawaban yang akan disimpulkan. Analisis data adalah
proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibacakan. Proses analisis
data dalam penelitian ini pada dasarnya dilakukan secara bersamaan dengan proses
pengumpulan data. Sebab dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data, proses
analisis dan analisis yang dilakukan setelah pengumpulan data saling berkaitan dan
berinteraksi. Karena itu dalam proses analisis ini digunakan ―Model Analisis Interaktif‖
berdasarkan teori Miles dan Huberman (Sutopo, 1996: 85). Berdasarkan model analisis ini,
dalam pengumpulan data selalu dilakukan reduksi dan sajian data. Data yang telah digali dan
dicatat di lapangan, dibuat rumusannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan yang
penting (yang telah dipahami), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan sajian data. Data
disajikan secara sistematis setelah dilakukan penyuntingan.
Gambar 4.2 Model Analisa Interaktif Pengumpulan
Data
Komponen I Reduksi Data
Komponen III
Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi
Komponen II
Agar maknanya menjadi lebih jelas dipahami, dilengkapi dengan sajian gambar secara
grafis atau teknis dan foto yang mendukung sajian data. Pada waktu pengumpulan data sudah
berakhir, mulai dilakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verivikasinya berdaraskan
semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila kesimpulan dirasa kurang
mantap akibat kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka bisa
dilakukan kembali pengumpulan data yang sudah terfokus, untuk lebih mendukung
kesimpulan dan pendalamannya, sehingga penelitian kualitatif ini prosesnya terlihat seperti
sebuah siklus.
4.4 Pengecekan Keabsahan Data
Pada penelitian kualitatif, salah satu langkah penting yang harus dilakukan adalah
mengecek keabsahan data. Untuk memperoleh validasi atau keabsahan data menurut
pendapat Lincoln dan Guba (1985: 367), dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut: (1) memperpanjang masa observasi, (2) pengamatan yang terus menerus, (3)
triangulasi, (4) membicarakan dengan sejawat, (5) menganalisis kasus negatif, (6)
menggunakan bahan referensi, dan (7) mengadakan member chek. Dari tujuh metode tersebut
digunakan caratriangulasi, menggunakan bahan referensi dan member chek.
4.4.1 Triangulasi
Untuk memeproleh data yang akurat dan teruji kebenarannya, dapat ditempuh teknik
triangulasi untuk mengecek data kembali (recheck data), yang telah diperoleh untuk
mengetahui kebenaran data tersebut. Moleong (1993) menyebutkan data-data yang telah
dikumpulkan dichek keabsahannya dengan memanfaatkan berbagai sumber di luar data itu
sebagai bahan pembanding terhadap data tersebut.
4.4.2 Menggunakan Bahan Referensi
Maksudnya bahan referensi disini adalah pengecekan terhadap persiapan data yang
dikumpulkan selama penelitian. Bahan referensi yang dipakai: tape recorder, dokumentasi,
catatan lapangan yang tersimpan, digunakan untuk mengecek apakah menyangsikan atau
tidak. Apabila ada kesesuaian antara data/informasi dan kesimpulan-kesimpulan hasil
4.4.3 Member Chek
Dalam penelitian ini, berusaha dilibatkan informan kunci, yang ahli pada bidangnya
untuk mereview data, mengkonfirmasi antara interpretasi peneliti dengan pandangan subyek
penelitian maupun informan. Pengecekan anggota ini selain dapat memberikan kesempatan
kepada peneliti untuk mengadakan perbaikan terhadap suatu kemungkinan kesalahan juga
memberikan kesempatan kepada informan untuk memberikan data-data tambahan.
4.5 Metode Pendekatan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kajian budaya melalui teori
dekonstruksi dan rekonstruksi. Teori dekonstruksi Jaques Derrida merupakan salah satu teori
kritis yang muncul di era posmodern (post-strukturalis).Teori dekonstruksi yang dikemukakan
oleh Jaques Derrida, dimaksudkan untuk membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan
(Beilharz, 2003: 74). Kajian budaya memanfaatkan dekonstruksi untuk mengungkap
instabilitas makna. Tidak ada kategori yang memiliki makna universal mendasar kecuali
konstruksi sosial bahasa. Ini adalah inti dari anti-esensialisme yang terdapat dalam kajian
budaya (Barker, 2006: 80). Dekonstruksi digunakan sebagai suatu metode analisis oleh
Derrida, dengan membongkar struktur oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga
menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Tetapi,
dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran di sembarang waktu. Dekonstruksi hanya
dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi, keusangan, atau krisis
(Piliang, 2003: 14).
Selanjutnya, rekonstruksi dalam penelitian ini diperlukan untuk memberi keseimbangan
pada proses dekonstruksi. Sebab, setiap proses dekonstruksi berupa pencairan, peleburan, dan
pembongkaran, harus diikuti dengan rekonstruksi, sehingga diperlukan semacam durasi atau
tenggang waktu bagi hidupnya struktur beserta konsensus atau konvensi-konvensi yang
membangunnya. Rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji penggunaannya dalam
masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi dalam suatu budaya yang tidak teruji
oleh masyarakat, tidak layak untuk hidup. Rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji
penggunaannya dalam suatu budaya di masyarakat lewat perkembangan waktu. Rekonstruksi
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Karya desain pertamanan yang menjadi objek penelitian pada tahun pertama penelitian
ini adalah karya desain pertamanan era kerajaan Bali kuno. Yang disebut era kerajaan Bali
kuno adalah kerajaan-kerajaan yang berdiri setelah Bali melewati masa prasejarah, sampai
sebelum masukya pengaruh Majapahit di Bali. Sri Kesari Warmadewa (913 Masehi), tercatat
sebagai raja pertama di era Bali kuno dan nama keratonnya diebut Singha Mandawa.
Kemudian Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten (1324-1343) yang berkeraton di Bedulu ,
merupakan raja terakhir di era Bali kuno. Taman peninggalan kerajaan-kerajaan Bali kuna
yang masih dapat dilihat sampai saat ini adalah berupa taman permandian, seperti Taman
Permandian Tirta Empul dan Taman Permandian Gua Gajah.
5.1.1 Taman Permandian Tirta Empul
Taman Permandian Tirta Empul kini berada di dalam lingkungan Pura Tirta Empul,
yang lokasinya berdekatan dengan Istana Presiden di desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.
Berdasarkan prasasti batu yang dibaca oleh peneliti Belanda, Prof. Dr. Stutterheim, di Pura
Sakenan Desa Manukaya, diketahui bahwa permandian Tirta Empul dibangun oleh Raja Sri
Candrabhaya Singha Warmadewa pada 962 Masehi, di bulan Kartika (Oktober) pada saat
bulan terang tanggal tigabelas (dua hari sebelum purnama), hari pasaran wijayapura atau
kajeng (Goris, 1954: 75—76 dan Soebandi, 1983: 58). Akan tetapi, hasil pembacaan ulang
yang dilakukan oleh Dr. L. C. Damais (Perancis) berbeda dengan Stutterheim. Berdasarkan
pembacaan Damais, disebutkan bahwa raja yang membangun permandian Tirta Empul
disebutkan E(e)dra Jaya Singha Warmadewa pada 882 Saka atau 960 Masehi (Sashtri, 1963:
42).
Apabila dihitung berdasarkan kalender Bali yang berulang setiap 23 tahun (Sudharta
dkk., 1984: 23—46), maka hasil pembacaan ulang Damais, dua hari sebelum purnama atau
tanggal tigabelas pada 960 akan sama dengan 29 Oktober 2001. Oleh karena. hari purnama
kapat jatuh pada 31 Oktober 2001, maka dua hari sebelum purnama adalah 29 Oktober
(Sukarsa, 2001: 10). Akan tetapi hari pasaran pada 29 Oktober 2001 bukan kajeng, tetapi
beteng, sehingga pembacaan Damais keliru. Berdasarkan pembacaan prasasti oleh
2003 (Bidja dan Agus Putra Wijaya, 2003: 10). Oleh karena hari purnama kapat jatuh pada 10
Oktober 2003, maka dua hari sebelum purnama adalah 8 Oktober. Hari pasaran pada 8
Oktober 2003 adalah kajeng, sehingga pembacaan Stutterheim dapat dikatakan lebih tepat.
Berdasarkan hasil pembacaan Stutterheim terhadap prasasti batu di Pura Sakenan desa
Manukaya, dan perulangan kalender Bali setiap 23 tahun, maka dapat diyakini permandian
Tirta Empul dibangun pada 8 Oktober 962. Walaupun huruf-huruf di dalam prasasti batu di
Manukaya sebagian telah rusak, secara umum dapat diketahui bahwa pembangunan atau
perluasan (masahamahin) permandian suci di Air Mpul, disebabkan oleh batunya telah rusak
akibat banyaknya penduduk yang datang melakukan kegiatan sepanjang tahun (lihat Gambar
5.1). Hal tersebut yang menyebabkan Sang Ratu Sri Candrabhayasingha Warmmadewa,
berinisiatip untuk masamahin permandian suci Air Mpul (Goris, 1954: 76 dan Brata, 1992:
11-12).
Gambar 5.1
Prasasti Batu di Pura Sakenan Desa Manukaya
(Sumber: Dokumentasi Mugi-Raharja)
Pada masa pemerintahan pasangan Raja Sri Dhanadhiraja Lancana dan Sri Dhanadewi
Ketu (Masula–Masuli) yang memerintah pada 1178–1255, dibangunlah Pura Tirta Empul.
Pembangunan Pura Tirta Empul ini dimaksudkan sebagai tempat suci (padharman) Bhatara
Indra, dirancang oleh I Bandesa Wayah. Semua pancuran di Taman Permandian Tirta Empul
kemudian diberi tanda sesuai dengan fungsinya (Soebandi, 1983: 59-60). Mata air Tirta
Empul berada di halaman dalam (Jeroan) Pura Tirta Empul ditampung dalam sebuah kolam
Tirta Surya Bulan Bintang. Taman Permandian Tirta Empul berada di sisi selatan Pura, terdiri
dua buah kolam yang dipisahkan oleh jalan menuju ke dalam Pura. Kolam permandian
dengan 13 pancuran yang ada di barat jalan berfungsi untuk pembersihan rohani dan untuk air
suci upacara kematian. Kolam dengan pancuran di timur jalan berfungsi untuk air suci
upacara keagamaan (lihat Gambar 5.2). Di halaman luar (Jabaan) Pura Tirta Empul juga
dibangun kolam renang, serta permandian umum untuk pria dan wanita, berupa pancuran di
bagian tenggara halaman.
Gambar 5.2
Denah PuraTirta Empul, Kolam Suci dan Taman Permandian
(Sumber: Museum Purbakala Bali dan Dokumentasi Mugi-Raharja)
5.1.2 Taman Percandian Gunung Kawi
Taman percandian Gunung Kawi, terletak di sebelah timur desa Tampaksiring, di tepi
sungai Pakerisan. Kompleks percandian ini ditemukan Dinas Purbakala Belanda pada 1920
(Kempers, 1960: 83). Untuk menuju lokasi taman purbakala ini, di persimpangan jalan desa
Tampaksiring menuju ke timur dan menuruni jalan berundak yang diapit tebing batu padas.
Jalan berundak ini berakhir di gerbang batu padas terbuka, yang merupakan pintu masuk
menuju kompleks taman percandian Gunung Kawi. Kompleks percandian Gunung Kawi ini
berada di tengah bentang alam yang indah, di tepi sungai Pakerisan (lihat Gambar 5.3).
Tebing-tebing batu padas di kompleks taman percandian Gunung Kawi ini, merupakan
material dari letusan Gunung Batur purba (informasi petugas Museum Gunung Berapi di Bali
TV, 2010 dan siaran Ekspedisi Cincin Api di Kompas TV, 2011). Kompleks taman
percandian Gunung Kawi ditemukan pada 1920 sebagai kompleks candi dharma atau
padharman, yang dibangun untuk memuliakan Raja Dharma Udayana beserta keluarganya
Gambar 5.3
Taman Percandian Gunung Kawi, 1920—1949
(Sumber: Dokumen Belanda/Google.co,id)
Di atas kompleks taman percandian Gunung Kawi bagian timur memiliki mata air.
Airnya kemudian dialirkan ke bawah melalui saluran air di atas candi induk. Saluran ini dapat
mengalirkan air ke saluran air di depan candi induk, yang dilengkapi pancuran dan kolam
persegi. Dari kolam pancuran ini, air kemudian disalurkan lagi ke bawah, ke Sungai
Pakerisan.
Di kompleks percandian ini juga terdapat wihara kuno atau pertapaan. Pertapaan kuno
ini pernah direnovasi pada 1940, karena salah satu ruangnya runtuh. Para ahli kepurbakalaan
berpendapat bahwa kompleks pertapaan (katyangan) ini bernama Amarawati (amarawati
asrama), sesuai dengan isi prasasti yang ditemukan di Pura Pasek desa Tengkulak, Gianyar.
Dalam prasasti tersebut, antara lain diuraikan bahwa Raja Udayana telah medirikan sebuah
Dharma Amarawati di tepi sungai Pakerisan. Menurut Shastri (1963: 48 dan 72), nama
kompleks pertapaan ini meniru nama tempat suci penganut Buddha di India selatan, di dekat
Nagapatana. Di dekat Amarawati terdapat sungai Krisna, sehingga sungai itu disamakan
dengan nama sungai Pakerisan, di Bali. Kompleks pertapaan ini dilengkapi regol atau pintu
batu yang terbuka. Kompleks pertapaan ini terdiri atas tiga kelompok bangun ruang yang
dibangun pada kaki bukit padas. Halaman pertapaan ini berbentuk bujur sangkar, dikelilingi
bangunan batu seperti rumah. Ruang utama pertapaan terdapat di bagian barat kompleks
pertapaan, dan dilengkapi altar batu padas sebagai tempat sesaji.
Kompleks taman percandian Gunung Kawi, terdiri dari dua kelompok candi batu padas
saling berhadapan, namun dipisahkan oleh Sungai Pakerisan. Candi induk terdiri atas lima
buah muka candi yang dipahat pada tebing padas seperti relief, menghadap ke barat. Di depan
candi terdapat halaman persegi dari patu padas. Pada candi paling besar di ujung utara,
terdapat tulisan dengan huruf Bali kuno kwadrat Kediri yang dipahat di atas bentuk relief
gapura atau chikara candi (Shastri, 1963: 72). Tulisan tersebut berbunyi haji lumah ing jalu
yang artinya raja yang di-dharma-kan di Jalu. Yang dimaksud dengan jalu adalah susuh ayam
jantan atau sama dengan keris, sehingga yang dimaksud dengan ing jalu dapat diketahui
sebagai Sungai Pakerisan (Kempers, 1960: 76). Pada bagian depan dari dua buah candi di
sebelah selatannya, terdapat tulisan rwanakira yang artinya dua anak atau putra beliau. Yang
dimaksud dengan tulisan ini, diperkirakan adalah Marakata dan Anak Wungsu. Dua buah
candi yang ada di sebelah selatannya diperkirakan sebagai candi untuk dua permaisuri raja
(lihat Gambar 5.4).
Gambar 5.4
Kelompok Candi untuk Istri-istri Raja,
Candi untuk Mahamentri dan Denah Percandian Gunung Kawi
(Sumber: Dokumen Belanda/Google.co,id dan Dok. Mugi-Raharja)
Selanjutnya, kelompok candi yang menghadap ke timur di sebelah barat Sungai
Pakerisan, terdiri atas empat buah candi yang bentuknya sama, diperkirakan merupakan candi
padharman bagi selir raja. Setiap candi dilingkupi ceruk setinggi 7 meter dan berdiri pada
batur yang sama. Di depan keempat candi tersebut terdapat pelataran atau halaman berbentuk
empat persegi. Selain candi-candi ini, lebih kurang 400 meter di sebelah tenggara candi induk
Gunung Kawi, terdapat sebuah candi yang berisi tulisan kryan (rakyan), yang artinya
mahamenteri atau mahapatih. Candi di tenggara candi induk Gunung Kawi ditemukan pada
1949 oleh Krijsman, Kepala Dinas Purbakala saat itu (Kempers, 1960: 83). Di tenggara candi
ke-10 ini, juga ditemukan ceruk-ceruk pertapaan seperti yang ada di kompleks katyangan
Amarawati (lihat Gambar 5.4).
5.2 Pembahasan
Dekonstruksi dan rekonstruksi kultural karya desain pertamanan tradisional Bali,
khususnya taman peninggalan kerajaan pada masa Bali kuno, dimaksudkan untuk
mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik wujud visual desain taman dan
wacana-wacana yang berkaitan dengan keberadaan taman tersebut. Pengkajian karya desain taman
peninggalan kerajaan era Bali kuno menggunakan teori dekonstruksi Jaques Derrida, sesuai
dengan pendapat Beilharz (2003: 74) dapat digunakan untuk membongkar bagian-bagian dari
keseluruhan. Kemudian mengacu kepada pendapat Norris (2008: 11–13), pengkajian
menggunakan teori dekonstruksi adalah upaya untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan
tersembunyi di balik sebuah teks. Teks dalam hal ini, dapat berupa wujud visual taman dan
wacana-wacana yang terkait dengan desain taman tersebut. Berdasarkan pendapat Piliang
(2004: 21), dekonstruksi merupakan sebuah konsep tentang ―pengingkaran‖ terhadap ―kebenaran akhir‖. Makna akhir adalah makna absolut yang membentuk berbagai bentuk
wacana, khususnya wacana teks. Setiap proses dekonstruksi menurut Piliang (2003: 279 –
280), sebenarnya harus diikuti dengan rekonstruksi bagi hidupnya struktur dan
konvensi-konvensi yang membangunnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, upaya mendekonstruksi dan rekonstruksi kultural
terhadap karya desain Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi
di Tampaksiring, dimaksudkan untuk membongkar hal-hal yang tersebunyi di balik
keberadaan kedua taman tersebut. Oleh karena, di balik wujud kedua taman tersebut ada
representasi chaos menuju order pada masa Bali kuno, berdasarkan wacana-wacana dan teks
yang ada. Oleh karena itu, dalam penelitian ini berusaha mengungkap tanda-tanda sebagai
jejak yang mendahului objek, yang muncul dalam jaringan tanda (teks). Di dalam teks
tersebut sesuai dengan pendapat Bertens (1996: 331–333), selalu ada makna. Akan tetapi,
makna yang terdapat dalam dekonstruksi menurut Al-Fayyadl (2005: 162), dapat tertunda
akibat terjadinya pergerakan yang mendislokasi pemahaman, menyimpangkan teks dari
5.2.1 Representasi Chaos Menuju Order
Mengacu pada pendapat Barker (2006: 9), representasi merupakan sebuah aktivitas
untuk menampilkan hubungan sosial perwujudan benda budaya yang digunakan oleh
manusia, sehingga maknanya dapat dipahami melalui teks-teks budaya, yang antara lain
berupa karya desain pertamanan. Oleh karena itu, representasi dapat dikaji untuk mengetahui
cara dihasilkannya makna pada beragam konteks, seperti representasi karya-karya desain
petamanan di Bali. Lebih lanjut, Barker (2006: 215) mengungkapkan bahwa dalam
representasi senantiasa ada masalah kekuasaan yang mengandung unsur pelibatan dan unsur
penyingkiran. Pelibatan adalah berperannya sikap dan emosi dalam situasi tertentu serta
dimasukkannya hal-hal yang bermanfaat bagi pemegang kekuasaan. Unsur penyingkiran
merupakan sikap pengabaian terhadap hal-hal yang kurang bermanfaat bagi pemegang
kekuasaan.
Berkaitan dengan karya desain, Hollier dalam Ikhwanuddin (2005: 86) mengungkapkan
bahwa karya desain arsitektural dapat merepresentasikan agama, kekuatan politik, suatu
peristiwa, dan lain-lain. Oleh karena itu, representasi desain arsitektural tidak selalu
ditentukan oleh perancang atau desainernya saja, tetapi juga ditentukan oleh pengaruh
kekuasaan. Faktor kekuasaan atau penguasa sudah sejak zaman purba, turut menentukan
representasi karya desain arsitektural.
Chaos dan order merupakan keadaan yang saling bertolak belakang. Chaos adalah suatu
keadaan yang kacau, sebaliknya keadaan yang tentram dan damai disebut dengan order.
Menurut Piliang (2001: 281-282), peluang terjadinya kekacauan, konflik dan kekerasan di
Indonesia sangat besar, karena adanya kesenjangan kesejahteraan. Selain itu, Indonesia yang
terdiri dari bermacam suku, agama dan ras, berpotensi untuk terjadinya friksi atau
gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan suasana chaos. Untuk mengantisipasi hal itu menurut
Piliang, Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖.
Berdasarkan pendapat Piliang tersebut, pendekatan dapat dilakukan melalui pendidikan
humaniora yang terkait dengan pendidikan moral dan spiritual.
Di Bali, pendidikan humaniora yang sekaligus terkait dengan pendidikan moral dan
spiritual, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan apresiasi atau pengkajian terhadap
karya desain pertamanan yang ada hubungannya dengan suasana chaos di Bali pada masa
lalu. Oleh karena, berdasarkan wacana dan teks yang ada, di balik keberadaan dua buah taman
peninggalan kerajaan Bali kuno yang ditelitu, menyiratkan pernah terjadinya peristiwa chaos
pernah terjadinya chaos terkait dengan kisah Raja Mayadawa. Kedua, Taman Percandian
Gunung Kawi di Tampaksiring, menyiratkan makna penghargaan terhadap raja yang telah
berhasil menghindarkan Bali dari suasana chaos menjadi order, pada masa Bali kuno. Raja
yang sangat dihormati rakyat Bali ini bergelar Sri Dharmodayana Warmadewa, yang lebih
dikenal dengan nama Raja Udayana, masa pemerintahannya 989 – 1011.
5.2.1.1Kisah Mayadawa dan Hari Raya Galungan
Mengacu kepada pendapat Beilharz (2003: 74), teori dekostruksi dapat digunakan untuk
mengkaji Taman Permandian Tirta Empul, untuk membongkar bagian-bagian dari suatu
keseluruhan. Pembongkaran tersebut merupakan upaya untuk mengungkap
kekuatan-kekuatan atau makna yang tersembunyi pada teks visual karya desain taman dan
wacana-wacana di masyarakat yang terkait dengan keberadaan taman permandian tersebut.
Pendekonstruksian terhadap desain Taman Permandian Tirta Empul, adalah untuk
menemukan nilai-nilai pada taman, yang dapat bersinar berdasarkan makna yang
dikandungnya. Oleh karena, makna selalu ada pada rajutan tanda, yang disebut teks. Dalam
hal ini, Taman Permandian Tirta Empul, merupakan objek yang ada dalam jaringan tanda,
yang keberadaannya terkait dengan jejak-jejak peristiwa yang mendahuluinya. Melalui
dekonstruksi terhadap karya desain Taman Permandian Tirta Empul, dapat ditemukan
jejak-jejak peristiwa yang terkait dengan keberadaan taman tersebut.
Jejak-jejak tersebut dapat ditemukan dalam ceritera rakyat Bali tentang Tirta Empul,
yang senantiasa dikaitkan dengan ceritera peperangan Raja Mayadawa dengan Bhatara Indra,
sebagai peperangan antara kejahatan (adharma) dengan kebenaran (dharma). Mata air suci
yang disebut Tirta Empul, disebutkan sebagai ciptaan Bhatara Indra, untuk menghidupkan
pasukannya yang tewas akibat minum air beracun ciptaan Mayadanawa. Peperangan akhirnya
dimenangkan oleh Bhatara Indra dan pasukannya yang didukung rakyat Bali. Kemenangan ini
kemudian dirayakan sebagai Hari Raya Galungan. Ceritera yang bersifat mitologi ini, tertuang
dalam naskah tua Usana Bali, Tatwa Mayadanawa, Mayadanawantaka (karya sastra Dang
Hyang Nirartha). Ceritera rakyat ini, antara lain telah ditulis dalam bentuk buku berjudul
―Perabu Mayadanawa‖ oleh Djasa (1958), dan ada juga dalam bentuk lontar tentang ―Babad Mayadawa‖, yang ditranskripsi oleh Sukiya (1983)dan menjadi koleksi Museum Bali No.
5381/VI.b.
Di dalam lontar Usana Bali, antara lain diuraikan bahwa keberadaan Tirta Empul