• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII. PENUTUP

6.2 Saran

a. Untuk meredam budaya kekerasan dan menghormati keberagaman di Indonesia, pemerintah dapat menerapkan pendidikan humaniora melalui kegiatan apresiasi karya seni budaya, seperti apresiasi terhadap taman-taman peninggalan kerajaan Bali kuno.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi bangsa Indonesia, untuk memperkuat ketahanan budaya bangsa, serta dapat menumbuhkan kesadaran untuk tetap menjaga ketentraman, kedamaian dan dalam keberagaman, serta melestarikan peninggalan-peinggalan budaya masa lalu, seperti dalam bidang desain pertamanan.

DAFTAR PUSTAKA

Ashihara, Yoshinobu, 1974. Merencana Ruang Luar, terjemahan Ir. S. Gunadi. Surabaya : FT Arsitektur ITS.

Astuti, Sri, et.al., 1991. ―Perkembangan Ruang Terbuka Kota: Dari Forum Sampai Taman Rekreasi‖. Bandung : (Paper) PS Perancangan Arsitektur Fakultas Pascasarjana ITB.

Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Barker, Chris. 2006. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Beilharz, Peter. 2003. Cultural Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filsof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Budiastra, 1980. Buku Pameran Werdhi Budaya I. Denpasar: Badan Pengelola Werdhi Budaya Bali.

Djasa. I D. M., 1958. ―Perabu Mayadawa‖. Denpasar: Pustaka Balimas.

Echols, John M dan Shadily, Hasan. 1975. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Gambar, I Made. 1989. Sapa Kala dan Tatwa Mayadawa. Denpasar: Penerbit Cempaka. Geria, Anak Agung Gde. 1976/1977. Desa Bedaulu. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali. Goris, Roelof. 1954. Prasasti Bali. Bandung: Lembaga Bahasa dan Budaya Universitas

Indonesia dan NV Masa Baru.

Ikhwanuddin, 2005. Menggali Pemikiran Posmodernisme Dalam Arsitektur. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Laurie, Michael. 1985. Pengantar Kepada Arsitektur Pertamanan (edisi terjemahan). Bandung: PT Intermedia.

Lincoln, Y.S., & Guba, E.G., 1985. Naturalistic Inquiry. London: Sage Publications.

Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Norris, Christopher. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media.

Piliang, Yasraf Amir. 2001. Sebuah Dunia yang Menakutkan: Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos. Bandung: Mizan

______, 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

______. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.

Raharja, 1999. ―Makna Ruang Arsitektur Pertamanan Peninggalan Kerajaan-Kerajaan di Bali

Sebuah Pendekatan Hermeneutik‖ (Thesisi). Bandung: Pascasarjana Magister

Desain ITB.

Reischaueur, Edwin O., 1982. Manusia Jepang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Ricoeur, Paul, 1974. The Conflicict of Interpretations. Evanston: Nortwestern University Press.

Salain, Putu Rumawan., et.al., 1996. ―Taman Rumah Tinggal Tradisional Bali‖. Denpasar: Dinas Kebersihan Dan Pertamanan Pemda Tk.I Bali.

Singarimbun, Masri, 1983. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda.

Soebandi, Ktut., 1981. Pura Kawitan/ Padharman dan Panyungsungan Jagat. Denpasar: Guna Agung.

Sonhadji K.H.H.A., 1996. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif. Dalam Arifin. Penelitian Kualitatif. Malang: Kalimasada Press.

Sukiya, I Mangku. 1983. ―Babad Mayadanawa‖. Ttranskripsi lontar koleksi Museum Bali Denpasar No. 5381/VI.b.

Sutopo, Heribertus B., 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Widagdo, 2001. Desain dan Kebudayaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depatemen Pendidikan Nasional.

Wirtomartono, Bagoes P. 1995. Dekonstruksi Dalam Arsitektur: Sebuah Penjelajahan Kemungkinan (artikel dalam Majalah Kalam Edisi 5). Jakarta.

Wuisman, J.J.J.M., 1996. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Penyunting M Hisyam. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Lampiran 1 Luaran Penelitian Artikel Ilmiah untuk Jurnal

Dekonstruksi Dan Rekonstruksi Kultural Karya Desain Pertamanan Tradisional Bali Representasi Chaos Menuju Order

Oleh

Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn., I Made Pande Artadi, S.Sn, M.Sn, I. A. Dyah Maharani, ST, M.Ds. Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar

E-mail: mugi5763@yahoo.co.id

Abstrak

Konflik dan kekerasan kini sering terjadi di Indonesia. Untuk mengantisipasi hal itu, Indonesia harus

memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan pendidikan moral dan spiritual menjadi

sangat penting, untuk menghadapi berkembangnya kekerasan dan tindak kejahatan berskala global.

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian desain dengan pendekatan kajian budaya, menggunakan metode deskriptif kualitatif. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah dekonstruksi dan rekonstruksi budaya terhadap desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan Bali kuno, yaitu Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi di Tampaksiring Gianyar.

Dari hasil penelitian diketahui, bahwa Bali pernah mengalami suasana chaos akibat pertentangan sekte keagamaan. Adanya politik kekuasaan, menyebabkan tokoh penyebab chaos tersingkir dan menjadi mitos. Rekonstruksi kultural dilakukan, sehingga Bali menjadi tentram (order) melalui sikritisme agama Hindu-Buddha dan pembangunan tempat suci di desa-desa adat, serta di masing-masing keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi positip bagi bangsa Indonesia. Pendidikan humaniora melalui pengkajian (apresiasi) secara mendalam terhadap karya desain pertamanan peninggalan kerajaan Bali kuno, dapat menumbuhkan ketahanan budaya untuk meredam budaya kekerasan, agar kehidupan di Indonesia, khususnya di Bali, tetap tentram dan damai (order).

Kata-kata kunci: Dekonstruksi, Rekonstruksi, Chaos, Order, Sinkritisme Agama.

Deconstruction and Cultural Reconstruction of Bali Traditional Landscape Design Representation of Chaos Into Order

by

Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn., I Made Pande Artadi, S.Sn, M.Sn, I. A. Dyah Maharani, ST, M.Ds.

Study Program Interior Design of Faculty Art and Design Indonesia Institute of the Arts Denpasar

Abstract

Conflict and violence is now often the case in Indonesia. To anticipate this, Indonesia must have a holistic approach to the "culture of violence ". The role of moral and spiritual education to be very important, to deal with the growing violence and crime global scale.

The research was designed as a research design with a cultural studies approach, using qualitative descriptive methods. Issues raised in this study is the deconstruction and reconstruction of culture the garden design heritage of ancient kingdoms of Bali, Taman Permandian (bath garden) Tirta Empul and Taman Percandian (enshrinement garden) Gunung Kawi in Tampaksiring Gianyar.

The results showed that Bali had experienced the atmosphere of chaos from conflicting religious sects. The existence of power politics, causing leaders eliminated the cause of chaos and become a myth. Cultural reconstruction is done, so that a peaceful Bali (order) through syncretism Hindu-Buddhist and temple development in traditional villages, as well as in each family. The result is expected to contribute positively to the nation of Indonesia. Humanities education through assessment (appreciation) in depth to the landscape design work of the kingdom of ancient Bali , can foster cultural resistance to curb the culture of violence, so that life in Indonesia, especially in Bali, remain calm, and peaceful ( order).

PENDAHULUAN

Ketentraman dan kedamaian suatu peradaban bisa saja suatu saat berubah, karena mengalami suatu peritiwa kekacauan atau chaos. Hal ini memang merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, seperti halnya yang terjadi di Indonesia sejak 1988. Suasana kekerasan seakan tak henti-hentinya mendera bangsa Indonesia. Apalagi Indonesia yang terdiri dari bermacam suku bangsa, ras dan agama, sangat berpotensi untuk terjadinya friksi atau gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan suasana chaos. Selain itu, Indonesia yang menganut sistem ekonomi kapitalisme yang belum dewasa, memiliki peluang untuk terjadinya konflik dan kekerasan, akibat adanya kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Untuk mengantisipasi hal itu menurut Piliang (2001:

281-282), Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Peranan lembaga-lembaga moral, dan spiritual harus diperkuat, untuk menghadapi berkembangnya tindak kejahatan berskala global.

Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengungkap jejak-jejak peristiwa kekacauan (chaos) di Bali pada masa lalu, di balik perwujudan desain taman peninggalan kerajaan-kerajaan Bali kuno. Jejak-jejak tersebut terangkai dalam jaringan tanda ―teks visual‖ dan memiliki

makna tersembunyi di balik desain taman tersebut. ―Energi penyelamat‖ kemudian datang, yang membuat Bali menjadi tentram dan damai (order) kembali. Kegiatan apresiasi atau pengkajian secara mendalam terhadap karya desain pertamanan peninggalan kerajaan Bali kuno, merupakan salah satu kegiatan pendidikan humaniora yang dapat meredam budaya kekerasan di Indonesia, khususnya di Bali. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menanamkan pendidikan moral dan ketahanan budaya, agar kehidupan di Indonesia, khususnya di Bali, tetap tentaram dan damai.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang diarahkan pada kondisi asli objek penelitian. Objek penelitian tidak ditentukan dengan teknik pemilihan sampling (cuplikan) yang bersifat acak (random sampling), tetapi lebih bersifat purposive sampling. Hal ini dilakukan, karena teknik ini lebih mampu menangkap realitas yang tidak tunggal. Teknik sampling ini memberikan kesempatan maksimal pada kemampuan peneliti untuk menyusun teori yang dibentuk di lapangan (grounded theory), dengan sangat memperhatikan kondisi lokal dengan kekhususan ideografis atau nilai-nilainya (Sutopo, 1996: 37). Objek penelitian ini adalah taman peninggalan kerajaan Bali kuno, yaitu Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi di desa Tampaksiring Kabupaten Gianyar.

Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan pengamatan langsung, pemotretan, pengukuran, wawancara dengan beberapa pakar pada bidangnya dan wawancara dengan beberapa orang ahli pada bidangnya, yang mengetahui data subyek penelitian. Selanjutnya data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, dilengkapi beberapa pendapat pakar pada bidangnya yang telah ditulis dalam buku, hasil seminar, dan sebagainya. Oleh karena itu, pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Untuk mengecek keabsahan data, dilakukan cara triangulasi, memanfaatkan referensi, dan member

check. Triangulasi digunakan untuk mengecek data kembali (recheck data) untuk mengetahui kebenaran data

tersebut, dengan memanfaatkan berbagai sumber di luar data itu sebagai bahan pembanding terhadap data. Bahan referensi diperlukan untuk pengecekan terhadap persiapan data yang dikumpulkan selama penelitian. Apabila ada kesesuaian antara data atau informasi dan kesimpulan hasil penelitian melalui proses validisasi, maka kesimpulan dapat dipercaya (Sonhadji dkk, 1996). Member check dilakukan dengan cara melibatkan informan kunci, yang ahli pada bidangnya untuk mereview data, mengkonfirmasi antara interpretasi peneliti dengan pandangan subyek penelitian maupun informan.

Proses analisis menggunakan ―Model Analisis Interaktif‖ berdasarkan teori Miles dan Huberman (Sutopo,

1996: 85). Berdasarkan model analisis ini, pada pengumpulan data selalu dilakukan reduksi dan sajian data. Data yang telah digali dan dicatat di lapangan, dibuat rumusannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan yang penting (yang telah dipahami), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan sajian data. Data disajikan secara sistematis setelah dilakukan penyuntingan. Di dalam proses analisis juga digunakan pendekatan kajian budaya melalui teori dekonstruksi dan rekonstruksi. Kajian budaya memanfaatkan dekonstruksi untuk mengungkap instabilitas makna. Dekonstruksi bukan permainan bebas pembongkaran teks. Dekonstruksi hanya dimungkinkan ketika suatu struktur telah mengalami degradasi, keusangan, atau krisis (Piliang, 2003: 14). Selanjutnya, rekonstruksi diperlukan untuk memberi keseimbangan pada proses dekonstruksi. Oleh karena, setiap proses dekonstruksi berupa pencairan, peleburan, dan pembongkaran, harus diikuti dengan rekonstruksi, yang memerlukan tenggang waktu bagi hidupnya struktur beserta konvensi-konvensi yang membangunnya.

HASIL PENELITIAN

Taman Permandian Tirta Empul

Taman Permandian Tirta Empul berada di dalam lingkungan Pura Tirta Empul, yang lokasinya berdekatan dengan Istana Presiden di desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar (lihat Foto 1). Berdasarkan prasasti batu di Pura Sakenan Desa Manukaya yang dibaca oleh Stutterheim, diketahui bahwa penataan kawasan Tirta Empul dan pembangunan permandiannya dilakukan oleh Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa pada 962 Masehi, pada bulan Kartika (Oktober) di saat bulan terang tanggal tigabelas (dua hari sebelum purnama), hari pasaran wijayapura atau kajeng (Goris, 1954: 75—76 dan Soebandi, 1983: 58).

Apabila dihitung berdasarkan kalender Bali yang berulang setiap 23 tahun (Sudharta dkk., 1984: 23—46), maka peristiwa penataan dan pembangunan permandian Tirta Empul saat bulan terang tanggal tigabelas pada Oktober 962, akan sama dengan 8 Oktober 2003 (Bidja dan Agus Putra Wijaya, 2003: 10). Oleh karena hari purnama kapat jatuh pada 10 Oktober 2003, maka dua hari sebelum purnama adalah 8 Oktober. Hari pasaran pada 8 Oktober 2003 adalah kajeng, sehingga pembacaan Stutterheim dapat dikatakan tepat. Oleh karena itu, dapat diyakini permandian Tirta Empul dibangun pada 8 Oktober 962. Kemudian Pura Tirta Empul dibangun pada masa pemerintahan pasangan Raja Sri Dhanadhiraja Lancana dan Sri Dhanadewi Ketu (Masula–Masuli) yang memerintah pada 1178–1255. Pura Tirta Empul dirancang oleh I Bandesa Wayah, dan dibangun sebagai tempat suci (padharman) Bhatara Indra (Soebandi, 1983: 59-60).

Taman Percandian Gunung Kawi

Taman percandian Gunung Kawi, terletak di sebelah timur desa Tampaksiring, di tepi sungai Pakerisan (lihat Foto 2). Kompleks percandian ini ditemukan Dinas Purbakala Belanda pada 1920 (Kempers, 1960: 83). Percandian ini berada di tengah bentang alam berupa tebing batu padas, yang berasal dari material letusan Gunung Batur purba. Di atas kompleks percandian Gunung Kawi bagian timur terdapat mata air, dan airnya kemudian dialirkan ke bawah melalui saluran air di atas candi induk. Saluran ini dapat mengalirkan air ke saluran air di depan candi induk, yang dilengkapi pancuran dan kolam persegi. Dari kolam pancuran ini, air kemudian disalurkan lagi ke bawah, ke Sungai Pakerisan.

Kompleks taman percandian Gunung Kawi merupakan kompleks candi dharma atau padharman, yang dibangun untuk memuliakan Raja Dharma Udayana beserta keluarganya (Mirsha, dkk., 1978: 55-56). Di kompleks percandian ini juga terdapat wihara kuno atau pertapaan (katyangan) yang bernama Amarawati, sesuai dengan isi prasasti yang ditemukan di Pura Pasek desa Tengkulak, Gianyar. Menurut Shastri (1963: 48 dan 72), nama kompleks pertapaan ini meniru nama Amarawati, tempat suci penganut Buddha di India selatan, di dekat Nagapatana. Di dekat Amarawati terdapat sungai Krisna, sehingga kemungkinan nama sungai Pakerisan dimaksudkan agar mirip dengan nama sungai Krisna, di India selatan.

Kompleks taman percandian Gunung Kawi, terdiri dari dua kelompok candi batu padas saling berhadapan, namun dipisahkan oleh Sungai Pakerisan. Candi induk terdiri atas lima buah muka candi yang dipahat pada tebing padas seperti relief, menghadap ke barat. Pada candi paling besar di ujung utara, terdapat tulisan dengan huruf Bali kuno kwadrat Kediri yang dipahat di atas bentuk relief gapura atau chikara candi (Shastri, 1963: 72). Tulisan tersebut berbunyi haji lumah ing jalu yang artinya raja yang di-dharma-kan di Jalu. Yang dimaksud dengan jalu adalah susuh ayam jantan (sama dengan keris), sehingga yang dimaksud dengan ing jalu dapat diketahui sebagai Sungai Pakerisan (Kempers, 1960: 76). Pada bagian depan dari dua buah candi di sebelah selatannya, terdapat tulisan rwanakira yang artinya dua anak atau putra beliau. Yang dimaksud dengan tulisan ini, diperkirakan adalah Marakata dan Anak Wungsu. Dua buah candi yang ada di sebelah selatannya diperkirakan sebagai candi untuk dua permaisuri raja. Kelompok candi di sebelah barat sungai dan menghadap ke timur, terdiri atas empat buah candi yang bentuknya sama, diperkirakan merupakan candi padharman bagi selir raja. Selain candi-candi ini, lebih kurang 400 meter di sebelah tenggara candi induk Gunung Kawi, terdapat sebuah candi yang berisi tulisan kryan (rakyan), yang artinya mahamenteri atau mahapatih. Candi di tenggara candi induk Gunung Kawi ditemukan pada 1949 oleh Krijsman, Kepala Dinas Purbakala saat itu (Kempers, 1960: 83). Di tenggara candi ke-10 ini, juga ditemukan ceruk-ceruk pertapaan seperti yang ada di kompleks

katyangan Amarawati.

PEMBAHASAN

Dekonstruksi dan rekonstruksi kultural karya desain pertamanan tradisional Bali, khususnya taman peninggalan kerajaan pada masa Bali kuno, dimaksudkan untuk mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik wujud visual desain taman dan wacana-wacana yang berkaitan dengan keberadaan taman tersebut. Pengkajian karya desain taman peninggalan kerajaan era Bali kuno menggunakan teori dekonstruksi Jaques Derrida, sesuai dengan pendapat Beilharz (2003: 74) dapat digunakan untuk membongkar bagian-bagian dari keseluruhan. Mengacu kepada pendapat Norris (2008: 11–13), pengkajian menggunakan teori dekonstruksi adalah upaya untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi di balik sebuah teks. Teks dalam hal ini, dapat berupa

wujud visual taman dan wacana-wacana yang terkait dengan desain taman tersebut. Berdasarkan pendapat

Piliang (2004: 21), dekonstruksi merupakan sebuah konsep tentang ―pengingkaran‖ terhadap ―kebenaran akhir‖.

Makna akhir adalah makna absolut yang membentuk berbagai bentuk wacana, khususnya wacana teks. Setiap proses dekonstruksi menurut Piliang (2003: 279 – 280), sebenarnya harus diikuti dengan rekonstruksi bagi hidupnya struktur dan konvensi-konvensi yang membangunnya.

1. Representasi Chaos Menuju Order

Mengacu pada pendapat Barker (2006: 9), representasi merupakan sebuah aktivitas untuk menampilkan hubungan sosial perwujudan benda budaya yang digunakan oleh manusia, sehingga maknanya dapat dipahami melalui teks-teks budaya, yang antara lain berupa karya desain pertamanan. Di dalam representasi senantiasa ada masalah kekuasaan yang mengandung unsur pelibatan dan unsur penyingkiran. Pelibatan adalah berperannya sikap dan emosi dalam situasi tertentu serta dimasukkannya hal-hal yang bermanfaat bagi pemegang kekuasaan. Unsur penyingkiran merupakan sikap pengabaian terhadap hal-hal yang kurang bermanfaat bagi pemegang kekuasaan (Barker, 2006: 215). Berkaitan dengan karya desain, Hollier dalam Ikhwanuddin (2005: 86) mengungkapkan bahwa karya desain arsitektural dapat merepresentasikan agama, kekuatan politik, suatu peristiwa, dan lain-lain. Oleh karena itu, representasi desain arsitektural tidak selalu ditentukan oleh perancang atau desainernya saja, tetapi juga ditentukan oleh pengaruh kekuasaan. Faktor kekuasaan atau penguasa sudah sejak zaman purba, turut menentukan representasi karya desain arsitektural.

Chaos dan order merupakan keadaan yang saling bertolak belakang. Chaos adalah suatu keadaan yang

kacau, sebaliknya keadaan yang tentram dan damai disebut dengan order. Menurut Piliang (2001: 281-282), peluang terjadinya kekacauan, konflik dan kekerasan di Indonesia sangat besar, karena adanya kesenjangan kesejahteraan. Selain itu, Indonesia yang terdiri dari bermacam suku, agama dan ras, berpotensi untuk terjadinya friksi atau gesekan-gesekan yang bisa menyebabkan suasana chaos. Untuk mengantisipasi hal itu menurut

Piliang, Indonesia harus memiliki pendekatan holistik terhadap ―budaya kekerasan‖. Menurut Piliang,

pendekatan dapat dilakukan melalui pendidikan humaniora yang terkait dengan pendidikan moral dan spiritual. Khusus untuk di Bali, pendidikan humaniora terkait dengan pendidikan moral dan spiritual, sudah sejak zaman dulu telah dilakukan melalui kesenian, seperti pementasan wayang, arja atau lukisan wayang. Akan tetapi, dalam penelitian ini yang akan dikaji adalah pendidikan humaniora yang terkandung pada karya desain pertamanan tradisional, dan di balik perwujudan desainnya merepresentasikan peristiwa chaos menuju order. Karya desain pertamanan yang dikaji dalam penelitian ini adalah Taman Permandian Tirta Empul dan Taman Percandian Gunung Kawi di Tampaksiring.

a. Kisah Mayadawa dan Hari Raya Galungan

Pengkajian karya desain Taman Permandian Tirta Empul menggunakan teori dekonstruksi, dimaksudkan untuk menemukn kekuatan-kekuatan atau makna yang tersembunyi pada teks visual karya desain taman dan wacana-wacana di masyarakat yang terkait dengan keberadaan taman permandian tersebut. Menurut Beilharz (2003: 74), dekonstruksi dapat digunakan untuk membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan. Dalam hal ini, Taman Permandian Tirta Empul merupakan objek yang ada dalam jaringan tanda, yang keberadaannya terkait dengan jejak-jejak peristiwa yang mendahuluinya. Melalui dekonstruksi terhadap karya desain Taman Permandian Tirta Empul, dapat ditemukan jejak-jejak peristiwa yang terkait dengan keberadaan taman tersebut. Jejak-jejak tersebut dapat ditemukan dalam ceritera rakyat Bali tentang Tirta Empul, yang senantiasa dikaitkan dengan ceritera peperangan Raja Mayadawa dengan Bhatara Indra, sebagai peperangan antara kejahatan (adharma) dengan kebenaran (dharma). Mayadanawa melarang rakyat Bali melakukan persembahyangan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), sehingga rakyat dicekam ketakutan dan Bali mengalami suasana chaos. Bantuan Tuhan kemudian datang lewat Bathara Indra dan pasukannya. Dalam kondisi terdesak, Mayadanawa kemudian beberapa kali berganti rupa, tetapi senantiasa dapat diketahui oleh Bathara Indra. Pada saat pasukan kedua belah pihak beristirahat di tengah malam, Mayadanawa menciptakan air beracun (cetik). Agar tindakannya tidak diketahui, Mayadanawa kemudian berjalan dengan telapak kaki miring, sehingga tempat jejak kaki miring tersebut kemudian disebut Tampaksiring. Pada pagi harinya, banyak pasukan Bathara Indra tewas setelah meminum air beracun Mayadanawa. Melihat kondisi tersebut, Bathara Indra segera menciptakan mata air yang dapat menghidupkan pasukannya yang tewas. Mata air inilah yang kemudian disebut Tirta Empul. Aliran air Tirta Empul kemudian menjadi sungai Pakerisan.

Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Bhatara Indra, setelah berhasil menewaskan Mayadanawa dan patih Kala Wong dengan panah, saat berganti rupa menjadi batu padas. Darah Mayadanawa kemudian mengalir menjadi sungai Petanu. Sungai ini dikutuk selama 1000 tahun oleh Bathara Indra. Apabila air sungai Petanu menggenangi sawah, hasil sawah tidak diperbolehkan untuk persembahan dalam persembahyangan, meskipun sawah menjadi subur. Kemenangan Bathara Indra atas Mayadanawa, oleh rakyat Bali kemudian dirayakan sebagai Hari Raya Galungan. Ceritera yang bersifat mitologi ini, tertuang dalam naskah tua Usana Bali, Tatwa Mayadanawa, dan Mayadanawantaka (karya sastra Dang Hyang Nirartha). Ceritera rakyat ini juga telah ditulis

dalam bentuk buku berjudul ―Perabu Mayadanawa‖ oleh Djasa (1958), dan ada juga dalam bentuk lontar tentang

―Babad Mayadawa‖, yang ditranskripsi oleh Sukiya pada 1983 (koleksi Museum Bali No. 5381/VI.b).

Pada area mata air Tirta Empul yang diyakini sebagai ciptaan Bhatara Indra, kemudian ditata oleh Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa agar tidak rusak. Mata airnya dibuatkan kolam suci, dan untuk masyarakat umum dibangun permandian suci pada 962. Selanjutnya, pada masa pemerintahan pasangan Raja Sri Dhanadhiraja Lancana dan Sri Dhanadewi Ketu (Masula–Masuli) yang memerintah pada 1178–1255, dibangun Pura Tirta Empul. Pura yang dirancang oleh I Bandesa Wayah, dimaksudkan sebagai tempat suci untuk

padharman Bhatara Indra (Soebandi, 1983: 59-60).

Dokumen terkait