• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan Hakim Memutuskan Pidana Bersyarat terhadap

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Pertimbangan Hakim Memutuskan Pidana Bersyarat terhadap

Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai criminal responsibility. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang

terjadi atau tidak. Seiring berjalannya waktu dan penggalian terhadap ilmu

hukum pidana, manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Diperlukan suatu hal lain yang menjadi subjek hukumpidana.

Disamping orang dikenal subjek hukum selain manusia yang disebut

BadanHukum. Badan Hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang

commit to user

dan perseroanterbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang

merupakan badanhukum. Badan hukum dibedakan menjadi dua bentuk yaitu:

a. Badan hukum dalam lingkungan hukum publik, yaitu badan-badan yang pendiriannya dan tatanannya ditentukan oleh hukum publik. Badan hukum ini merupakan hasil pembentukan dari penguasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan eksekutif, pemerintah atau badan pengurus yang diberi tugas untuk itu. Misalnya negara, propinsi, kabupaten, bank Indonesia,desa, dll.

b. Badan hukum dalam lingkungan hukum privat, yaitu badan-badan yang pendirian dan tatanannya ditentukan oleh hukum privat. Badan hukum ini merupakan badan hukum swasta yang didirikan oleh pribadi orang untuk tujuan tertentu, yaitu mencari keuntungan, sosial pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesehatan, olahraga, dsb. Badan hukum yang termasuk dalam hukum privat misalnya koperasi, NV, dan waris.

Delik yang dilakukan oleh korporasi disebut corporate crime. Menurut Subekti dan Tjitrosudibio yang dimaksud dengan corporate atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum, korporasi atau perseroan di sini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di

muka pengadilan.60

Di Indonesia, sejak tahun 1997 telah diatur mengenai korporasi yang melakukan tindak pidana merusak lingkungan hidup yang tercantum dalam undang-undang, sebagai berikut:

UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Pasal 46

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan

commit to user

tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.

(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Adapun sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam Pasal 45. Dalam Pasal 45 disebutkan bahwa jika tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Sementara itu, mengenai korporasi yang melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tercantum pada pasal 116:

commit to user

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Adapun untuk sanksi pidana bagi korporasi diatur dalam Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 117 menyebutkan jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Berdasarkan ketentuan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), maka terdapat perbedaan dalam ancaman sanksi pidananya. Pada UU PPLH ancaman pidananya lebih berat, karena sanksi yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat sepertiga. Sedangkan dalam UU PLH, ancaman pidananya hanya berupa pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Sementara itu, berkaitan dengan hasil putusan hakim dalam kasus pencemaran lingkungan hidup, pada bagian menimbang menyebutkan bahwa dalam dakwaan didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Jo. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsurnya adalah sebagai berikut :

commit to user a) Barang siapa

b) Dengan Melanggar ketentuan Perundang-undangan yang berlaku

c) Sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas tanah atau ke dalam tanah berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara, ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya;

d) Padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain;

e) Perbuatan mana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Hakim Anggota di Pengadian Negeri Karanganyar, di katakan bahwa pertimbangan hakim dalam memutus Perkara PT. Sariwarna asli, sesuai dengan Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Orang adalah orang perorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum.

Lebih lanjut dikatakan oleh hakim anggota di PN Karanganyar pertimbangan harus memenuhi unsur Barang siapa yang dalam hal ini menyangkut masalah indentitas Terdakwa bernama Drs.SUTEDJO Bin LISTYO SUSENO yang mana identitas dalam surat dakwaan dibenarkan oleh Terdakwa selaku plant Manager PT SARI WARNA ASLI III di jalan Raya Solo-Sragen Km 8.6 Karanganyar sebagaimana bukti Surat Keputusan Direksi PT SARI WARNA ASLI III Asli Tekstil Industri No. 408/SWA TI/03.DIR/VII-2004 tentang Pengangangkatan Terdakwa selaku selaku Plant

Manager PT SARI WARNA ASLI III unit SWA – III, Brujul, tanggal 20 JUli

2004. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Terdakwa sebagai pimpinan perusahaan bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan Perusahaan

commit to user

termasuk didalamnya pengolahan limbah produksi perusahaan karena berdasarkan fungsi yang diembannya (fungsional Perpetrator).

Menurut Hakim Anggota di PN Karanganyar berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan diperoleh fakta bahwa baku mutu limbah cair PT SARI WARNA ASLI III yang dibuang atau dilepas ke sungai Sroyo, melebihi batas baku mutu limbah cair yang ditentukan dalam SK Gubernur Jateng No 660.1/02/1997. Berdasarkan hal tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa sebagai Plan Manager korporasi telah melanggar ketentuan SK Gubernur Jateng No 660.1/02/1997 tersebut. Selain itu menurut Hakim Anggota di Pengadilan Negeri Karanganyar bahwa PT Sariwarna Asli memenuhi unsur melepaskan atau membuang zat,energy dan atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas tanah atau ke dalam tanah berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, dalam hal ini diperoleh fakta limbah cair PT SARI WARNA ASLI III dibuang dan dilepas ke sungai Sroyo, sebagimana adanya outlet limbah yang dialihkan ke sungai Sroyo, limbah tersebut adalah merupakan zat atau komponen lain yang berbahaya/beracun.

Lebih lanjut dikatakan Hakim di Pengadilan Negeri Karanganyar, unsur mengetahui sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, PT. SARI WARNA ASLI III dimana terdakwa pelaku Plant Manager telah mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa pelepasan limbah cair yang ditentukan dalam SK Gubernur Jateng No.660.1/02/1997 ke sungai Sroyo mempunyai potensi terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.

Dikatakan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Karanganyar, Unsur perbuatan yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain juga di penuhi dalam kasus pencemaran oleh PT. Sariwarna Asli hal ini berdasarkan fakta Terdakwa Drs Sutedjo Bin Listyo Suseno sebagai plant Manager PT SARI WARNA ASLI III yaitu sebuah perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.

commit to user

Berdasarkan hasil penelitian terebut diatas, maka dapat di analisis bahwa berdasarkan teori ilmu hukum pidana, terdapat dua kriteria untuk menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, yaitu kriteria roling dan kriteria kawat duri (iron wire). Menurut kriteria roling, korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan yang dilarang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas korporasi atau untuk mencapai tujuan korporasi. Berdasarkan teori kriteria kawat berduri, korporasi dapat dijatuhkan hukuman pidana apabila dipenuhi dua syarat. Pertama, korporasi memiliki kekuasaan (power) baik secara de jure maupun secara de facto untuk mencegah atau menghentikan pelaku untuk melakukan kegiatan yang dilarang oleh undang-undang. Kedua, korporasi menerima tindakan pelaku (acceptance) sebagai bagian dari kebijakan korporasi.

Korporasi sebagai pelaku perbuatan pidana tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena dalam KUHP dikenal asas atau adagium “actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas ini mengandung konsekuensi bahwa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana hanyalah yang memiliki kalbu saja yaitu manusia, badan hukum tidak memiliki kalbu maka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Bertitik tolak pada prinsip asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, maka beberapa isi rumusan perumusan perundang-undangan pidana itu mengakui badan hukum (korporasi) sebagai subjek tindak pidana, tetapi hanya saja yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurus berdasarkan kuasa dari badan hukum. Perkembangan kemudian, secara teoritis (menurut doktrin) bahwa badan hukum sebagai subjek tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, yaitu sebagai berikut:

a) Dapat dikenakan terhadap korporasi (badan hukum) itu sendiri;

b) Dikenakan kepada mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan tindak pidana (pengurus);

c) Dikenakan baik terhadap korporasi maupun mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan melakukan tindak

commit to user

pidana tersebut (pengurus) atau keduaduanya, yaitu badan hukum dan pengurus.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam BAB XV dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur mengenai ketentuan pidana. Ketentuan pidana ini mencakup 2 (dua) macam atau 2 (dua) kategori delik, yang pertama adalah delik materil, diatur dalam pasal 98-99, yang intinya mengatur tentang pengelolan hukum terhadap orang-perorangan atau badan hukum yang telah melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan tercemarnya atau rusaknya lingkungan, UU PPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan yang dirumuskan dalam pasal 112 UU PPLH. Adapun yang kedua adalah delik formil.

Dalam UUPPLH terdapat 16 (enam belas) jenis delik formil sebagaimana dirumuskan dalam pasal 100 hingga pasal 111, kemudian pasal 113 hingga pasal 115.

a) Pasal 100 UUPPLH memuat rumusan delik formil tentang pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan.

b) Pasal 101 UUPPLH yakni delik formil tentang perbuatan melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan.

c) Pasal 102 UUPPLH yakni melakukan pengolahan limbah B3 tanpa izin. d) Pasal 103 UUPPLH tentang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan

pengolahan.

e) Pasal 04 UUPPLH tentang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan.

f) Pasal 105 UUPPLH yaitu memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

g) Pasal 106 UUPPLH tentang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

commit to user

h) Pasal 107 UUPPLH limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

i) Pasal 108 UUPPLH tentang melakukan pembakaran lahan.

j) Pasal 109 adalah tentang kegiatan usaha tanpa memiliki izin lingkungan. k) Pasal 110 UUPPLH tentang penyusunan AMDAL tanpa memiliki sertifikat

kompetensi penyusunan AMDAL.

l) Pasal 111 UUPPLH tentang pejabat pemberi izin lingkungan tanpa dilengkapi AMDAL atau UKL-UPL.

m) Pasal 111 ayat (2) UUPPLH tentang pejabat pemberi izin usaha tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan.

n) Pasal 113 UUPPLH tentang memberikan informasi palsu, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

o) Pasal 114 UUPPLH tentang penanggung jawab kegiatan usaha yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah.

p) Pasal 115 UUPPLH tentang perbuatan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil.

Berdasarkan pertimbangan hakim dalam memutus perkara pencemaran

yang dilakukan oleh PT Sariwarna Asli, maka dapat disimpulkan bahwa PT

Sariwarna Asli telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Jo. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsurnya adalah barang siapa, dengan Melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas tanah atau ke dalam tanah berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara, ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya dan padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan

commit to user

pencemaran atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain serta perbuatan mana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain.

Adapun dalam hal penjatuhan pidana, terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) bulan, dengan ketentuan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali jika kemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain disebabkan karena terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 7 (tujuh) bulan berakhir dan denda Rp 65.000.000,00 (enam puluh lima juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara kurungan selama 1 (satu) bulan. Putusan pada tingkat Pengadilan Negeri tersebut diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Penjatuhan pidana sebagaimana disebutkan di atas, dapat dikategorikan sebagai pidana bersyarat. Hal ini sebagaimana pendapat dari Muladi yang menyebutkan bahwa pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.61

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh R. Soesilo yang menyebutkan pidana bersyarat adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian yang telah ditentukan oleh hakim kepadanya.62

61 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, alumni, Bandung, 1985, hlm. 195-196.

commit to user

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pidana bersyarat merupakan suatu pidana yang dijatuhkan kepada terpidana tanpa harus menjalan pidana tersebut, kecuali selama dalam masa percobaan melakukan pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pengadilan. Oleh karena itu, selama dalam masa percobaan tersebut, terpidana harus menjaga perilakunya untuk tidak melakukan pelanggaran atau tindak pidana sebagaimana syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh pengadilan.

2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana dalam

Dokumen terkait