• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

3. Perubahan Histopatologi (HP)

Pemeriksaan histopatologi untuk mengetahui adanya kerusakan jaringan pada organ akibat infeksi S. iniae dilakukan terhadap insang, mata, otak, hati, jantung, ginjal, limpa, dan usus. Hasil pengamatan secara deskriptif perubahan histopatologi dituangkan pada Tabel 5.

Perubahan histopatologi paling banyak terjadi adalah pada organ hati, selanjutnya diikuti organ ginjal, jantung, usus, limpa, otak, dan insang. Bentuk perubahan histopatologi pada organ-organ tersebut adalah berupa degenerasi, nekrosis, kongesti, hemoragi, edema dan radang. Perubahan histopatologi tersebut memperlihatkan bahwa rute infeksi S. iniae adalah melalui sistem peredaran darah. Menurut Russo et al. (2006); Inglis (1993) bahwa S. iniae adalah kelompok bakteri Gram positif yang bersifat septisemik yaitu mampu bertahan dan bereplikasi pada sistem peredaran darah dan pada beberapa target organ yang spesifik dan cocok dengan standar kebutuhannya maka akan menempel dan bereplikasi pada organ target tersebut. Bellanti (1985)

mengklasifikasikan Streptococcus kedalam kelompok bakteri yang dapat menyebabkan infeksi akut.

Tabel 5. Perubahan histopatologi ikan Kerapu macan (E.fuscogutattus) yang diinfeksi dengan S.iniae

Perlakuan Organ hari ke

1 2 3 4 5 6

K Insang Normal Normal Normal Normal Normal Normal Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal Otak Normal Normal Normal Normal Normal Normal Hati Normal Normal Normal Normal Normal Normal Jantung Normal Normal Normal Normal Normal Normal Limpa Normal Normal Normal Normal Normal Normal Ginjal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Usus Normal Normal Normal Normal Normal Normal

106

Insang Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Normal Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal Otak Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Normal Normal Hati Degenerasi

Hepatitis

Hepatitis Degenerasi Hepatitis Hepatitis Normal Jantung Epikarditis Perikarditis Perikarditis Myokarditis

Perikarditis

Myokarditis Normal Limpa Normal Splenitis Splenitis Splenitis Splenits Splenits Ginjal Nefritis Nefritis Nefritis Nefritis Nefritis Normal Usus Enteritis Enteritis Enteritis Enteritis -Enteritis

-Peritoni tis

Peritoni tis

109

Insang Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Brankhitis Mata Normal Normal Normal Normal Normal Normal Otak Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Ensefalitis Normal Hati Hepatitis Hepatitis Hepatitis Hepatitis Hepatitis Normal Jantung Normal Perikarditis Perikarditis Perikarditis Perikarditis Perikarditis Limpa Normal Splenitis Splenitis Splenitis Splenitis Normal Ginjal Normal Nefritis Nefritis Nefritis Nefritis Nefritis Usus Normal Enteritis Enteritis Enteritis Enteritis Enteritis

Russo et al. (2006) yang melakukan penelitian karakterisasi S. iniae pada beberapa ikan hias kelompok cyprinid menyatakan bahwa dalam waktu 2 (dua) hari setelah infeksi terdapat peningkatan jumlah bakteri dalam darah, limpa, ginjal dan jantung.

Dalam penelitian ini terbukti bahwa infeksi melalui rute intraperitoneal S. iniae dengan dosis 10 9 sel/ ml dan 10 6 sel/ ml menyebabkan terjadinya infeksi

akut pada organ limpa, ginjal, jantung, insang dan usus. Perubahan histopatologi akibat infeksi S.iniae tersebut sesuai dengan hasil penelitian Eldar et al. (1999) yang menyatakan bahwa infeksi S.iniae pada ikan Red drum (Sciaenops ocellatus) menyebabkan meningitis akut, perikarditis dan infiltrasi multifokal pada organ pankreas.

A. Insang

Hasil pemeriksaan HP menunjukan lamella insang bengkak dan terjadi perlekatan (fusi) disertai brankhitis. Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti, hemoragi, proliferasi sel khlorid dan infiltrasi sel radang Eocinophilik Granular Cell (EGC) (Gambar 11, 12 dan 13). Jaringan insang normal dituangkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Jaringan insang normal. Lamella primer (A) dan sekunder (B) teratur seragam bentuk dan ukurannya. Pewarnaan HE.

Pada perlakuan infeksi 10 9 sel/ml brankhitis terjadi pada hari ke 1 sampai hari ke 6 sedangkan ikan yang diinfeksi 10 6 sel/mlpada hari ke 1 sampai hari ke 5. Edema dan kongesti pada lamella primer (LP) dan lamella sekunder (LS)

A

seperti tampak pada Gambar (12 dan 13) serta infiltrasi sel radang menunjukaan bahwa S. iniae yang diinfeksikan dengan rute intraperitoneal mampu memasuki pembuluh darah insang (pada bagian lamella) pada hari pertama dan menetap hingga hari ke 6.

Beredarnya antigen hingga lamella, merangsang proliferasi sel khlorid. Selain itu S. iniae menyebabkan terjadi kongesti dan infiltrasi sel radang EGC ke jaringan lamella, yang tampak sebagai reaksi peradangan (Gambar 11, 12, 13).

Parameter terjadinya nekrosa seperti ekskresi lendir berlebihan karena proliferasi sel khlorid, penggabungan (fusi) lamella merupakan suatu indikasi adanya efek toksik dari suatu bahan dan adanya respon sistem imunitas tubuh terhadap bahan toksik tersebut.

Gambar 11. Insang ikan Kerapu Macan yang diinfeksi S. iniae mengalami brankhitis dengan lesio kongesti dan hiperemia (A); Infiltrasi

sel radang (B) yang menyebabkan fusi lamella sekunder.

A

A

B

3 µm

A

A

B

3 µm

EGC

KL

Gambar 12. Kongesti pada lamella primer (KP) dan lamella sekunder (KS). Sebagian lamella menghilang akibat erosi (E), disertai Infiltrasi sel radang (R). Pewarnaan HE.

Gambar 13. Perbesaran Gambar 12 memperlihatkan fokus infiltrasi sel radang EGC (EGC)), dan Sel Khlorid (KL) pada filamen insang. Pewarnaan HE.

3 µm B. Otak

Otak ikan yang diinfeksi S. iniae memperlihatkan mengalami ensefalitis yang ditandai dengan adanya degenerasi neuron, kongesti, demyelinisasi, gliosis dan infiltrasi sel radang (Gambar 15, 16, 17 dan 18). Jaringan otak normal dituangkan pada Gambar 14. Pada penelitian ini tidak berhasil didapatkan struktur meningen yang utuh sehingga tidak diketahui pengaruh infeksi S.iniae pada meningen. Genus streptococcus pada umumnya menyebabkan meningitis dan ensefalitis.

Perubahan jaringan otak mulai terjadi pada hari ke 1. Ikan yang diinfeksi 109 sel/ml menunjukan ensefalitis pada hari ke 1 sampai hari ke 5, pada hari ke 6 kongesti dan gliosis masih terjadi. Pada ikan yang diinfeksi 106 sel/ml gejala ensefalitis terjadi pada hari ke 1 sampai hari ke 4, hari ke 5 dan 6 tidak terdeteksi adanya perubahan HP yang menciri terhadap ensefalitis.

Gambar 15. Lesio pada otak kerapu yang diinfeksi S. iniae berupa ensefalitis yang ditandai dengan gliosis (G) dan malacia (M). Pewarnaan HE.

Gambar 16. Perbesaran salah satu daerah peradangan yang disertai malacia (M), hyperemia atau kongesti, neokapilarisasi dan infiltrasi sel radang pada arteri (V).

Pewarnaan HE.

M

V

Gambar 17. Lesio mikroskopis pada jaringan otak : infiltrasi sel radang (Gliosis (G)) dan Malacia (M). Pewarnaan HE.

Gambar18. Kongesti pada pembuluh darah besar otak (K1), pembuluh darah lebih kecil (K2), dan pembuluh darah kapiler (K3). Pewarnaan HE .

1 µm

K1 K2 K3

1 µm

K1 K2 K3

M

M

2 µm

G

Gambar 19. Degenerasi sel neuron pada jaringan otak (DN), pada neuron terbentuk vakuol. Pewarnaan Gram.

Menurut Cheville (1999) Malacia yaitu perubahan patologi fokal nekrosis berupa pelunakan jaringan (liquefavtive) sebagai akibat reaksi enzimatis yang terjadi karena masuknya toksin. Timothy dalam Gyles & Charles (1993) menyatakan bahwa kemampuan kelompok bakteri Streptococcus menyebabkan lesi dipengaruhi oleh faktor virulensi yang dimiliki yaitu Asam hylarunic, Protein M dan molekul pada permukaan dinding sel yaitu Streptolisin, toksin leukosidal dan streptokinase.

Meningoensefalitis adalah salah satu lesio spesifik yang banyak ditemukan pada kasus alami infeksi S. Iniae (Weinstein et al. 1997; Russo et al. 2006; Bromage & Owens 1999). Pada penelitian ini infeksi sistemik oleh S. Iniae telah menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga suplai oksigen terganggu dan menimbulkan lesio iskhemia. Dalam proses reaksi terhadap lesi di otak, mikroglia mengalami pembesaran, hiperplasia dan otofagia. Neuron yang mengalami degenerasi dan nekrosa akan difagositosis oleh sel glia. Monosit yang berasal dari sirkulasi biasanya memasuki neuropil. Menurut Stevens et al,

DN

DN

V

(2002) Gliosis terjadi pada saat jaringan otak mengalami lesi nekrosis. Pada permulaannya, terjadi respon eksudatif dengan aktivasi mikroglia lokal dan pengerahan monosit fagositik untuk memfogositosis jaringan yang mati. Cheville (1999) menyatakan bahwa neurofagia merupakan proses fagositosis sel-sel syaraf oleh mikroglia.

Infeksi S.iniae menyebabkan timbulnya degenerasi, hal ini sesuai dengan yang dikatakan Robert (2001), bahwa infeksi bakterial dapat menyebabkan gangguan metabolisme sel yang bersifat sementara (degenerasi) yang ditandai adanya akumulasi intraseluler dengan ciri mikroskopik yaitu, banyak sel yang letaknya berdesakan, sel-sel membengkak, warna lebih pucat; sitoplasma keruh,

tersebar dan kadang-kadang ditemukan adanya vakuola. Menurut Supriyadi et al (2002) infeksi S.iniae menyebabkan granuloma otak yang selanjutnya menyebabkan keseimbangan tubuh terganggu sehingga gerakan renang berputar dan cenderung ke permukaan..

C. Hati.

Perubahan histopatologi organ hati setelah diinfeksi oleh S. iniae adalah :

1. Kongesti yang tampak pada vena sentralis dan sinusoid hati (meluas) (Gambar 20, 21);

2. Degenerasi dan nekrosa sel hati. Degenerasi berupa degenerasi hidropik dan degenerasi lemak (Gambar 22);

3. Radang hati yang bersifat multifokal ditandai dengan adanya akumulasi sel radang limfosit diantara jaringan parenkim dan interstisium disekitar pembuluh darah (Gambar 21).

Perubahan histopatologi hati ikan uji yang diinfeksi S. iniae 109 sel/ml terjadi pada hari 1 sampai hari ke 5, pada hari ke 6 tidak terlihat adanya gejala hepatitis. Ikan yang diinfeksi 106 sel/ml menunjukkan gejala hepatitis pada hari ke 2 sampai hari ke 5, pada hari ke 6 tidak terlihat ciri-ciri hepatitis namun terdapat kongesti dan degenerasi parenkim. Diperkirakan pada hari ke 6 sisim kekebalan tubuh sudah dapat mengatasi perubahan atau kerusakan jaringan akibat infeksi.

3

R

Gambar 20. Hepatitis, ditandai oleh kongesti (K), infiltrasi sel radang limfosit (L) diantara sel hati/pada ruang sinus hati, infiltrasi EGC di perivaskuler. Pewarnaan HE.

Gambar 21. Kongesti pada pembuluh darah hati (K), Peradangan vaskuler atau vaskulitis (V) dengan infiltrasi sel EGC dan fokus radang limfositik (R). Pewarnaan HE .

L

EGC

K

Gambar 22. Infiltrasi limfosit (L) dan EGC di tepi pembuluh darah. Hepatosit mengalami degenerasi lemak yang tampak sebagai vakuola. Pewarnaan HE

Gambar 23. Sel radang EGC dan limfosit (L) pada jaringan sel hati Pewarnaan HE. 2 µm

L

EGC

D

1µm EGC L

Degenerasi lemak yang tampak sebagai vakuola dalam sel hati menunjukan bahwa dalam tubuh terdapat ketidakseimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar jaringan hati akibat gangguan metabolisme. Menurut Cheville (1990) adanya peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak metabolisme lemak atau hipoksia menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak yang selanjutnya mengakibatkan akumulasi sel lemak. Degenerasi sel lemak dan infiltrasi sel radang EGC pada penelitian ini diduga sebagai reaksi atas adanya toksin S. iniae.

Radang pada organ hati diindikasikan dengan adanya infiltrasi EGC dan limfosit, hal ini dapat diinterprestasikan bahwa pada jaringan hati telah masuk agen infeksius S. iniae. Migrasi sel radang merupakan indikasi reaksi tanggap kebal terhadap zat toksik yang masuk kedalam tubuh dan merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk menghancurkan agen infeksi. Menurut Ressang (1984.) radang pada hati secara langsung dapat dipicu dan diakibatkan oleh kuman-kuman yang mempunyai potensi mengeluarkan toksin.

Radang pada organ hati diindikasikan dengan adanya infiltrasi EGC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tizard (1982), bahwa EGC setelah melakukan fagositosis di dalam pembuluh darah yang hanya beberapa hari saja, kemudian menjelang kematian EGC bermigrasi ke dalam jaringan. Keberadaan EGC yang rusak di dalam jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya makrofag secara kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan menghancurkan mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan. Menurut Rukmono dalam Himawan (1973) bahwa radang dapat dipicu oleh infeksi yang diakibatkan oleh kuman.

D. Ginjal.

Perrera & Sterling (1994) menyatakan bahwa infeksi S. iniae dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dalam rongga perut, pembengkakan hati, limpa dan ginjal. Hasil penelitian infeksi S. iniae pada ikan flounder menunjukan terjadi gejala klinis patologi berupa asites/peritonitis, hemoragi pada mukosa intestinum, kongesti pada limpa, ginjal, otak dan usus (Anonim, 2006).

Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal ikan yang diinfeksi 109 sel/ml memperlihatkan mengalami radang ginjal (nefritis) pada hari ke 2 sampai hari ke

6, sedangkan ikan yang diinfeksi 106 sel/ml mengalami nefritis hari ke 1 sampai hari ke 5. Nefritis pada ginjal dicirikan dengan adanya infiltrasi sel radang EGC, degenerasi dan nekrosis tubulus, droplet protein dalam lumen tubulus. Sedangkan pada glomerulus terjadi deposisi protein hialin, infiltrasi del radang, nekrosa yang menyebabkan atrofi glomerulus (Gambar 25). Gambaran patologi lain selain nefritis adalah kongesti dan edema (Gambar 25, 26 dan 27). Gambaran jaringan ginjal normal dituangkan dalam Gambar 24.

Gambar 24. Jaringan ginjal normal dengan Extra Medullary Haemapoietic centre

(EMHC)

Penyakit pada ginjal umumnya menunjukan suatu pola tertentu dan hanya menyerang salah satu diantara keempat kesatuan terpenting pada ginjal, yaitu glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah (Himawan 1996). Ginjal pada umumnya terletak antara columna vertebralis dan gelembung renang. Ginjal mempunyai peran sebagai organ ekskresi yang menyaring bahan limbah yang tidak bermanfaat dari darah. Proses filtrasi ini dilakukan ginjal pada bagian nefron glomerulus yang terdiri dari corpus renalis dan tubulus renalis (Anonim, 2008)

2 µm EMHC

Pada perlakuan 109 sel/ml maupun 106 sel/ml masing-masing menunjukan organ ginjal mengalami radang (nefritis). Interstisium memperlihatkan hemoragi dan kongesti; sedangkan pada parenkim terjadi dilatasi tubulus, degenerasi hingga nekrosa sel epitel tubulus. Degenerasi ditandai dengan adanya epitel tubuli yang membengkak. Hal ini berlanjut menjadi nekrosa yang ditandai sitoplasma yang berisi droplet-droplet (endapan) eosinifilik berupa protein. Adanya kerusakan epitel tubuli menyebabkan terhambatnya fungsi reasorbsi protein. Edema interstisialis dan deposit protein pada glomerulus menyebabkan terjadinya glomerulonefritis. Glomerulonefritis ditandai oleh suatu reaksi radang pada glomerulus dengan infiltrasi leukosit dan proliferasi sel.

Gambar 25. Glomerulus (GR) mengalami peradangan (R) dan atrofi (AG), Sel epitel tubulus membengkak mengalami degenerasi (DT). Droplet Protein hialin pada Glomerulus (PH) dan nekrosis .

Gambar 26. Kongesti (K), kumpulan infiltrasi sel radang (R) droplet protein hialin (PH) dan dilatasi tubulus (LT) dan Extra medullary haemapoeitic centre (EMHC). Pewarnaan HE.

Gambar 27. Lesio pada ginjal berupa infiltrasi sel radang (SR), droplet hialin

(DH) . Tampak extra Medulary Haemapoeitic centre (EMHC). Pewarnaan HE.

Pembengkakan ginjal terjadi akibat kongesti dan peradangan glomerulus (Glomerulonefritis), infiltrasi sel radang di tepi pembuluh darah, degenerasi sel epitel pada ginjal diduga disebabkan bakteri patogen S. iniae yang meginfeksi sel- sel epitel tubulus renalis menyebabkan kerusakan sel tersebut. Infeksi ini selanjutnya mempengaruhi metabolisme dan proses enzimatis yang menyebabkan terganggunya fungsi normal ginjal sebagai organ ekskresi dan osmoregulasi, hal ini mengakibatkan terganggunya proses fisiologis dalam tubuh ikan bahkan dapat mengakibatkan kematian (Robert 2001).

E. Jantung.

Jantung memperlihatkan perubahan histopalogi berupa kongesti, hemoragi, perikarditis, epikarditis dan myokarditis. Perubahan lebih spesifik ditandai oleh infiltrasi sel radang (EGC), ikan yang diinfeksi 109 sel/ml menunjukkan gejala perikarditidis mulai hari ke 2 sampai hari ke 6 sedangkan ikan yang diinfeksi 106 sel/ml mengalami epikarditis pada hari ke 1 sampai hari ke 5 Gambar 29, 30, 31, 32). Radang jantung diindikasikan dari adanya migrasi sel radang EGC ataupun limfosit. Jaringan jantung normal dituangkan pada Gambar 28.

Epikarditis adalah peradangan pada bagian epikardium jantung. Peradangan ini terjadi diduga karena S. iniae yang diinfeksikan secara intraperitoneal menyebar dirongga abdomen dan thoraks. Organ internal rongga abdomen memiliki kelembaban tertentu yang memungkinkan bakteri tersuspensi dalam cairan diantara organ. Adanya lapisan serosa memungkinkan terjadinya perlekatan bakteri pada permukaannya. Streptococcus. iniae menempel pada selaput jantung menyebabkan tercetusnya radang, pada perikardium menyebabkan perikarditis. Selanjutnya radang akan meluas menjadi epikarditis dan myokarditis. Selain penyebaran langsung, radang juga terjadi akibat penyebaran melalui rute hematogenus pada pembuluh darah. Hemoragi terjadi karena S. iniae yang ada dalam pembuluh darah menyebabkan kerusakan endotel kapiler.

Gambar 28. Jaringan jantung normal. Pewarnaan HE.

Gambar 29. Hemoragi (H) pada bagian permukaan (epikardium) jantung. Pewarnaan HE.

2µm

4 µm

H H

EGC

Gambar 30. Infiltrasi EGC dan limfosit (L) diantara otot (miokardium) jantung. Pewarnaan HE.

Gambar 31. Infiltrasi sel radang (EGC) dan makrofag (M) pada epikard jantung. Pewarnaan HE.

Gambar 32. Sel radang (EGC) pada selaput jantung (Perikardium). Pewarnaan HE.

Pada otot jantung lesio yang terjadi adalah miokarditis yang diciirikan dengan degenerasi dan infiltrasi sel radang EGC

Menurut Kusumawidjaja (1996) perubahan histopatologi pada jantung dapat pula diakibatkan oleh infeksi bakteri, biasanya terjadi pada area katup jantung. Kongesti pada jantung dapat dipicu karena kegagalan ventrikel jantung mengalirkan darah. Akibat bendungan dan darah yang lamban mengalir maka permiabilitas bertambah sehingga terjadi hemoragi. Kongesti yang berlebihan dapat menimbulkan hemoragi.

F. Limpa

Limpa ikan yang diinfeksi 109 sel/ml menunjukkan radang limpa (splenitis) pada hari ke 2 sampai hari ke 5, sedangkan ikan yang diinfeksi 106 sel/ml mengalami splenitis pada hari ke 2 sampai hari ke 6. Selain splenitis ikan yang diinfeksi mengalami deplesi pulpa putih. (Gambar 34, 35, 36, 37, 38). Jaringan limpa normal dituangkan pada Gambar 33.

Gambar 33. Jaringan limpa normal. Pewarnaan HE.

Perubahan patologi limpa berupa radang (Splenitis) dicirikan oleh adanya folikel limfoid yang mengalami deplesi, infiltrasi EGC, Melano macrophag Centre (MMC) dan deposisi protein hialin pada bagian pulpa merah jaringan limpa serta serositis.

Pembengkakan dan pucat pada limpa diduga terjadi karena dalam aliran darah terdapat antigen S. iniae, toksin S. iniae yang dikeluarkan masuk dan menginvasi sel endotel, selanjutnya menginisiasi infiltrasi sel radang (terjadi infiltrasi sel radang) selain edema, deposisi protein radang (hialin) dan deplesi pada limpa serta MMC. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan terjadinya pembengkakan dan pucat.

S. iniae menghasilkan toksin yang dapat larut dalam aliran darah masuk dalam endotel pembuluh darah. Kerusakan pada endotel menyebabkan diperoduksinya cytokine sebagai mediator inflamasi, dilanjutkan terjadinya perenggangan pembuluh darah untuk mempersiapkan hadirnya sel radang, mekanisme ini yang mengakibatkan terjadinya pengeluaran benda darah (hemoragi), protein darah ke interstisium, edema dan merangsang Melano

macrophag centre (MMC). Menurut Bellanti (1985) fungsi makrofag dalam respon imun adalah mengingesti dan melenyapkan benda-benda asing dan bahan yang bersifat merusak. Dalam proses reaksinya makrofag dapat juga menekan aktivasi limfosit secara nonspesifik dengan mengeluarkan zat anti biologik lain.

Gambar 34. Peritonitis yang diindikasikan dengan sel radang dan MMC pada bagian serosa (R). Pewarnaan HE.

Gambar 35. Limpa. Radang pada pulpa putih diindikasikan dengan deplesi, MMC, dan deposisi protein hialin (PH).

Pewarnaan HE.

Gambar 36. Splenitis yang dicirikan dengan infiltrasi EGC di Pulpa putih, deposisi protein radang (PH) dan fibrin (F).

Pewarnaan HE.

EGC

EGC

Gambar 37. Perbesaran Gambat 36 Limpa memperlihatkan Splenitis yang ditandai infiltrasi EGC di pulpa putih dan deposisi protein hialin (PH). Pewarnaan HE.

Gambar 38. Limpa. Splenitis ditandai adanya infiltrasi EGC dan peningkatan MMC. Pewarnaan HE.

G. Usus

Usus ikan yang diinfeksi S. iniae menunjukkan enteritis secara konsisten. Enteritis diindikasikan oleh adanya infiltrasi sel radang (plasma sel, limfosit dan makrofag) di mukosa. Enteritis pada perlakuan infeksi 10 9 sel/ml terjadi hari ke 2 sampai hari ke 6 sedangkan yang diinfeksi 10 6 sel/ml menunjukan enteritis pada hari ke 1 sampai hari ke 5, pada hari ke 6 menunjukan peritonitis (Gambar 40 dan 41). Jaringan usus normal dari kelompok kontrol dituangkan pada Gambar 39.

Gambar 39. Jaringan organ usus kelompok kontrol, Sel Goblet (G) dan sel limfosit (L). Pewarnaan HE.

Usus dan saluran pencernaan ikan yang diinfeksi 10 6 sel/ml maupun 10 9 sel/ml mengalami lesio yang konsisten dari hari ke 1 sampai terakhir berupa enteritis dan peritonitis dapat terjadi karena melalui organ usus inilah S.iniae yang diinjeksikan secara intraperitoneal menempel, menginvasi dan memperbanyak diri. Toksin yang dikeluarkan menyebabkan sel-sel pada mukosa dan serosa mengalami peradangan yang diindikasikan dengan kongesti dan infiltrasi EGC. Infiltrasi sel radang terjadi pada lapisan sub mukosa dan lamina propria usus yang mengandung pembuluh darah. Bakteri yang disuntikkan secara intraperitoneal

mampu beredar secara sistemik dan menghasilkan toksin. Hal ini menunjukkan bahwa lesio enteritis yang ditemukan terjadi secara difus (Gambar 40).

Gambar 40. Lesio pada usus. Infiltrasi sel radang (R), Proliferasi sel Goblet (G) dan Peritonitis (P). Pewarnaan HE.

Selain itu perubahan yang ditemukan adalah terjadi radang pada serosa usus (serositis). Hal tersebut terjadi akibat banyaknya pembuluh darah pada lapis serosa. Miyazaki et al. (1984) menyatakan bahwa infeksi S.iniae menyebabkan peritonitis yang diindikasikan adanya infiltrasi makrofag pada tunika propria, sub mukosa dan serosa (Gambar 41).

EGC

Gambar 41. Serosa usus. Peritonitis dicirikan dengan hiperemi dan kongesti, infiltrasi EGC. Pewarnaan HE.

Dokumen terkait